Skip to main content
All Posts By

Teddy Hansen

Mengelola Relawan sebagai Sumber Daya Organisasi

By Kyutri

Masyarakat sipil yang kuat dapat dipastikan memiliki tingkat kerelawanan yang tinggi. Sebagai contoh Amerika, United Kingdom, Kanada dan Belanda yang secara umum telah dikenal sebagai negara yang sangat mengutamakan kerelawanan dan kerelawanan telah menjadi bagian gaya hidup masyarakat.

Seiring dengan menjamurnya organisasi masyarakat sipil di Indonesia paska-reformasi dan rentetan bencana alam serta kerusuhan yang kuantitasnya lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, semangat kerelawan dan solidaritas di Indonesia nampak semakin menonjol. Prof Mitsua Nakamura, peneliti di Universitas Harvard mengatakan bahwa meningkatnya kerelawanan dan solidaritas kemanusiaan di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan partisipasi aktif masyarakat sipil. Pertumbuhan tersebut harus dipertahankan bahkan diperkuat agar semangat solidaritas kemanusiaan dan kerelawanan di masyarakat Indonesia tidak hilang.

Hampir semua organisasi masyrakat sipil membutuhkan relawan. Sayangnya, banyak organisasi yang hanya melibatkan relawan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat incidental saja, belum mensinergikan relawan dalam struktur organisasi sebagai bagian penting organisasi yang juga memiliki peranan penting untuk mencapai visi dan misi organisasi serta untuk keberlanjutan organisasi itu sendiri.

Potensi kerelawanan masih digunakan sebatas untuk menanggulangi berbagai masalah yang diakibatkan bencana alam dan penyakit, belum disinergikan untuk mengatasi berbagai masalah sosial secara lebih strategis. Relawan yang tidak dikelola dengan baik akan membuat organisasi kehilangan media kampanye yang efektif dan modal sosial yang sangat mahal yang membuat organisasi kehilangan dukungan publik dalam memperluas gerakan sosial.

Oleh karena itu, peranan relawan perlu dipandang sebagai salah satu sumber daya organisasi yang perlu dikelola secara profesional dimana adanya sistem pendekatan manajemen relawan. Dengan adanya sistem manajemen relawan yang baik, maka peran dan fungsi relawan akan dapat menjadi optimal dan akhirnya dapat membantu organisasi dalam mencapai visi dan misinya.

Jadwal
Sesi 1: Kamis 14 Maret 2024, pukul 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WIT

Narahubung:
Sekretariat Jejaring Lokadaya, email secretariat@lokadaya.id, Telp 0852-1886-3131 (Whatsapp tersedia)

Narasumber

M Suhud Ridwan

Visibilitas Sokoguru Eksistensi OMS

By Artikel

Publish or perish. Publikasi atau binasa. Ungkapan yang telah mengarusutama ini menggambarkan pentingnya eksistensi. Tentu eksistensi di sini bukan sekadar absen, unjuk muka di hadapan jamak orang. Ia mencakup tindakan untuk memertahankan visibilitas, suatu proyeksi meninggalkan jejak karya.

“Kalau Anda ingat logo-logo ini,” terang Misran Lubis sembari menunjuk pada layar sejumlah gambar Nike, Apple, McDonald, dan Uni Eropa, “lantas, apa yang Anda ingat?” Bang Misran, panggilan akrabnya, tengah menjelaskan temali antara logo dan konsep di pikiran.

Sejumlah logo yang dipertanyakannya kemudian disahut peserta diskusi. Interaktivitas ini cukup membangun suasana segar serial diskusi ketiga Optimalisasi Visibilitas Organisasi Masyarakat Sipil di Zoom pada pagi pukul 09.00-11.00 WIB (30/01). Bang Misran mengajak audiens berimajinasi. Bila logo dan kalimat tertentu seperti isu anak, perempuan, lingkungan, HAM, dan TBC itu terasosiasi pada Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) apa? Kebanyakan audiens menjawab: KontraS, Walhi, STPI, Aisyiyah, dan lain-lain.

Visibilitas adalah sokoguru eksistensi OMS. Visibilitas bukan semata mempertontonkan rekam jejak. Melainkan juga memupuk kepercayaan publik terhadap OMS. Bang Misran menuturkan, visibilitas ibarat sebuah alat yang mampu membangun pengaruh dan dampak. Di tengah era serba media seperti sekarang, visibilitas identik dengan pemanfaatan aneka kanal media sosial. “Jadi, manfaatkanlah dan optimalkanlah semua media sosial yang ada agar visibilitas OMS kita menguat,” ucapnya.

Di hadapan OMS tingkat SR, SSR, dan IU dari Sabang sampai Merauke, Bang Misran menyodorkan delapan strategi penguatan visibilitas organisasi. Pertama, pemahaman target sasaran. Siapa audiens organisasi menentukan pengerahan brand visibility. Kedua, konsistensi identitas jenama (brand).

“Pastikan organisasi memiliki identitas yang konsisten di semua saluran dan platform, mencakup logo, warna, gaya visual, dan tone of voice,” ungkap tim Lokadaya Nusantara itu. Selanjutnya, aspek kehadiran organisasi di ruang maya atau digital. Situs laman menjadi penanda atas cerminan nilai-nilai keorganisasian. Nilai ini terhidang lewat sepak terjang rekam jejak digital.

Tak kalah menjadi bagian strategi, imbuh Bang Misran, perlunya optimalisasi SEO, kolaborasi dengan pemengaruh (influencer), menjalin kemitraan, brand advocacy, dan produksi konten secara ciamik serta relevan. “Media apa yang sudah organisasi Anda miliki?” celetuk Bang Misran kepada peserta. Beberapa audiens berefleksi karena ternyata selama ini kurang memperkuat strategi komunikasi medianya.

Pada pertengahan diskusi, Martin, salah seorang peserta, bertanya. Branding suatu organisasi selama ini kadang kalah dengan branding personal dari pendiri organisasi itu. Apa pasal?

“Ada tiga hal. Nama lembaga, core isu, atau individu. Memang branding bisa berangkat dari apa saja. Setidaknya tiga hal ini. Kembali pada proses pendirian organisasi. Ketika kita bikin lembaga, kita bikin gerakan seperti apa. Perlu kita seimbangkan bila kasusnya ditanyakan tadi. Yang jelas kalau kita membangun branding organisasi, kita menerapkan akuntabilitas organisasi,” tandas Bang Misran.

Diskusi tak terasa melewati pukul 11.00. Meski dipisahkan oleh sang kala, diskusi yang diselenggarakan oleh Lokadaya dan Menjadi Indonesia ini begitu membekas. Setidaknya pertanyaan, jawaban, dan keingintahuan makin tumbuh subur. Pekan berikutnya masih dijadwalkan diskusi serupa dengan memasuki seri keempat di hari dan waktu sama. (RKP).

Optimalisasi Penguatan Kapasitas Relawan

By Artikel

Optimalisasi penguatan kapasitas relawan penanggulangan bencana masih menjadi isu yang hangat di kalangan OMS baik yang bergerak dalam sektor kebencanaan maupun sektor lainnya. Lokadaya dan Pujiono Centre pun melihat pentingnya penguatan kapasitas relawan kebencanaan sebagai hal yang harus terus dibahas dan dikembangkan, mengingat wilayah negara kita yang rawan bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam.

Dalam seminar daring yang bertajuk “Mobilisasi Sumber Daya Lokal, Kerelawanan dalam Respons Kemanusiaan”, seri kedua, Lokadaya dan Pujiono Centre menghadirkan Adam Kurniawan (Walhi) dan Ridwan RC (PMI Pusat) sebagai pembicara.

Adam Kurniawan mengawali pemaparannya dengan menjelaskan bahwa saat ini Walhi memiliki 504 lembaga yang tersebar di seluruh Indonesia, yang bertugas mengadvokasi sumber daya alam dengan menitikberatkan pada peran masyarakat lokal sebagai subyek dalam pengolahan sumber daya alam secara arif. Keterlibatan masyarakat lokal dipercaya dapat meminimalisir resiko bencana dan menaikkan jaminan keselamatan warga.

Dalam kaitannya dengan penguatan kapasitas relawan, Adam selaku Kepala Divisi Keterlibatan Publik Walhi mengatakan bahwa Konferensi Daerah Lingkungan Hidup adalah salah satu cara yang dilakukan Walhi guna merawat jejaring relawan. Acara ini dilaksanakan secara reguler di tingkat provinsi. Selain itu, dalam struktur organisasi Walhi, juga ada Divisi Penguatan Kelembagaan (DPK) khusus yang bertanggungjawab dalam penguatan kapasitas, pembangunan jejaring termasuk relawan mapala yang perannya sangat krusial saat dibutuhkan di lapangan.

Di Walhi, tulang punggung mobilisasi relawan dan penguatan kapasitas relawan dijadikan satu dalam akademi ekologi. Dalam sistem pendidikan akademi ekologi ini diharapkan banyak warga dapat terlibat dan tergerak menjadi relawan.

Pada sesi selanjutnya, Ridwan SC, kepala divisi penanggulangan bencana PMI Pusat memaparkan tentang pengelolaan Pusdiklat untuk penguatan kapasitas Relawan bencana. Tujuan dari Pusdiklat PMI yang paling menarik dan sesuai dengan tema kali ini adalah meningkatkan pemberdayaan bagi masyarakat dalam menghadapi konflik bersenjata, bencana, krisis kesehatan dan tugas-tugas kepalangmerahan lainnya.

PMI menyediakan platform pembelajaran digital humanis PMI (humanispmi.online) yang telah diujicobakan sejak Juli 2022. Media belajar digital ini dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh relawan untuk belajar secara mandiri. Sampai saat ini platform tersebut telah memiliki peserta aktif lebih dari 1800 orang. Dengan demikian, media ini dirasa sangat efektif dalam menjangkau relawan secara luas.

Pelatihan daring yang disediakan Humanis PMI meliputi kompetensi dasar (gerakan kepalangmerahan dan karakter kemanusiaan), kompetensi teknis manajemen dan kompetensi teknis spesialisasi. “Platform berbasis digital berguna untuk mendokumentasikan berbagai praktik baik terkait organisasi, program, kerelawanan, dan layanan kemanusiaan”, imbuh Ridwan SC.

Seminar daring ini dapat diakses di kanal youtube Lokadaya. (ari)

Akuntabilitas Berakar di Pohon Organisasi

By Artikel

Mendengar kata akuntabilitas jamak orang acap kali spontan teringat pada audit keuangan. Secara asosiatif, akuntabilitas kemudian berkonotasi pada kegiatan formal kelembagaan. Padahal, kenyataannya tak sesempit itu. Ibarat sebuah pohon, akuntabilitas terletak pada akar, sebab ia merupakan nilai, prinsip, dan fondasi. Akuntabilitas, pertama dan terutama, bermula dari persona, baru kemudian organisasi.

Sugiarto Arif Santoso, fasilitator diskusi Menjadi Indonesia dan Lokadaya seri kedua, menganalogikan komponen akuntabilitas seperti akar pohon. Dalam diskusi bertemakan Peningkatan Akuntabilitas Masyarakat Sipil pada Selasa (23/01) di Zoom itu Sugiarto menuturkan, bila akuntabilitas berada di akar maka batangnya merupakan struktur dan dedaunnya mencerminkan dampak.

“Di daun, cerminan dampak ini ditimbulkan oleh arena masyarakat sipil. Juga aktivitas OMS terhadap kehidupan orang-per-orang dan masyarakat luas atau penilaian kinerja masyarakat sebagai arena yang efektif untuk memecahkan problem Ekosospol. Di daun ini terlihat melayani kepentingan bersama,” katanya.

Sugiarto berpendapat, OMS yang akuntabel itu bermakna mampu menunjukkan komitmennya pada nilai-nilai demokrasi dan turut membangun masyarakat sipil untuk masa depan yang lebih baik. “Jadi, organisasi yang akuntabel itu harus transparan dalam menyampaikan kegiatan dan anggarannya agar dapat diawasi oleh publik, penyandang dana, penerima manfaat, dan pihak lainnya,” tutur Sugiarto lebih lanjut.

Ia mengimbuhkan prinsip akuntabilitas. Pimpinan dan staf hendaknya bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya, memastikan kepatuhan pada peraturan, dan mencapai tujuan organisasi dengan jujur, transparan, serta inovatif.

Sementara itu, ditilik dari segi jenisnya, hemat Sugiarto, akuntabilitas dibagi tiga. Pertama, akuntabilitas ke atas: OMS bertanggung jawab kepada lembaga donor dan pemerintah. Kedua, akuntabilitas internal: OMS bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Ketiga, akuntabilitas ke bawah: OMS bertanggung jawab kepada anggota-anggotanya, konstituennya, atau kelompok masyarakat penerima manfaat.

Dalam paparannya, Sugiarto melansir model akuntabilitas Konsil LSM Indonesia. Pada tahun 2015, Konsil LSM Indonesia mengembangkan Standar Minimal Akuntabilitas (SMA) berdasarkan Kode Etik LSM. SMA digunakan untuk menilai tingkat akuntabilitas minimal OMS. Menurut Konsil LSM Indonesia, terdapat empat dimensi akuntabilitas: transparansi, partisipasi, evaluasi, dan mekanisme pengaduan.

“Sebuah organisasi yang sukses perlu memiliki beberapa elemen kunci. Hal ini termasuk memiliki sistem organisasi yang efektif, jaringan yang luas, mendapatkan dukungan pendanaan baik dari sumber internasional maupun domestik, memperoleh kepercayaan dari stakeholder dan/atau publik, memiliki posisi tawar, serta berkelanjutan,” terang Sugiarto.

Manakala memasuki sesi tanya-jawab, salah seorang audiens menyodorkan refleksi. “Dulu, beberapa tahun lalu, ketika donor selesai ya programnya selesai. Masyarakat hanya kita jadikan sebagai objek. Tapi hak mereka berupa reward kami sampaikan secara transparan, pasien juga kita dampingi. Semua akuntabel. Tetapi yang membuat gundah selama ini, dan saya merasa berdosa, saya bersalah, ini ya soal pertanggungjawaban akuntabilitas ke masyarakat,” ujar Zainal.

Merespons refleksi yang berimplikasi pada pertanyaan itu, Sugiarto mewedarkan, “Sebagai organisasi pembelajar, kita jatuh-bangun, bukan merasa kita dosa, dan forum ini menjadi sarana belajar kita. Agar pemberdayaan masyarakat jalan terus, walau donor telah selesai, sebaiknya kita bikin modelling jangka panjang dan berkelanjutan,” tandasnya.

Pemodelan berjangka panjang ini mengindahkan prinsip visi-misi organisasi. Ia tak hanya mengaraskan pada proyek organisasi yang barangkali temporal. “Karena kalau kita bicara visi dan misi organisasi, OMS kan badan publik. Jadi, itu haknya publik. Kita perlu sampaikan ini ke masyarakat. Sehingga masyarakat tahu bahwa dampak sosialnya ke mereka bukan sebatas proyek semata,” pungkas Sugiarto. (RKP).

Praktik Baik Swakelola Tipe III dari Kediri

By Artikel

Jakarta (17/1/2024). Kesiapan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan Swakelola Tipe III secara umum masih rendah, meskipun sudah ada praktik baik yang telah dilakukan. Ini menjadi PR kita bersama selaku OPD dan OMS.

Jejaring Lokadaya dan Konsil LSM Indonesia telah mengadakan lima pertemuan pelatihan daring mengenai Swakelola Tipe III. Nah, pada pertemuan ke-6 (sesi terakhir) ini mengambil tema tentang tantangan lapangan dan praktik baik dalam pelaksanaan Swakelola Tipe III.

Sanusi mewakili SuaR Indonesia membagikan pengalaman beserta tantangannya dalam mengerjakan Swakelola Tipe III. SuaR Indonesia telah 17 tahun lebih membangun gerakan advokasi dan aksi kemanusiaan yang berkantor di Kediri. Dalam hal Swakelola Tipe III ini, SuaR sudah tiga kali bekerjasama dengan OPD Pemkab Kediri. Bagi Sanusi, walaupun persiapan sudah beres dan Swakelola Tipe III telah dilakukan berturut-turut tetapi dalam setiap kerjasama tetap muncul tantangannya.

Ada beberapa tantangan yang terjadi ketika SuaR menjadi rekanan OPD Pemkab Kediri, contohnya  ketika OPD tersebut baru pertama kali bekerjasama dengan SuaR dengan Swakelola Tipe III. Hampir semua terkesan bingung dalam melaksanakan program tersebut.  Selain itu, tantangan yang tak kalah penting adalah pembayaran yang dilakukan dengan sistem reimburse (pengembalian dana di akhir pengadaan). Hal ini tentu saja menyita perhatian OMS, karena belum tentu OMS secara kelembagaan memiliki dana tunai sebesar paket pengadaan tersebut.

Oleh karena itu, tidak semua OMS tertarik mengakses Swakelola Tipe III karena syaratnya dianggap berat dan rumit. “OMS selalu membandingkan dengan dana hibah dua tahun sekali dan menurut mereka proses dana hibah jauh lebih mudah”, tambah Sanusi.

Untuk itu, selaku OMS ada baiknya memetakan OPD mana yang memungkinkan memiliki anggaran dan ketertarikan dengan Swakelola Tipe III. Hal ini perlu dilakukan karena kenyataan di lapangan, OPD memiliki kekhawatiran bila akan melakukan kerjasama dengan OMS. Entah karena takut ada temuan, ada kesalahan administrasi, bahkan beberapa OPD takut kehilangan rekanan lama mereka.

Tantangan selanjutnya, apabila ada oknum OPD meminta bagian sekian persen atau potong anggaran. OMS harus menjelaskan kontribusi OMS tersebut untuk masyarakat. Jadi walaupun ada yang berkata, persenan itu budaya pegadaan, tetapi OMS tidak perlu mengikutinya. Hal ini juga dilakukan guna berkontribusi dalam pembentukan budaya bersih dalam masyarakat kita.

Saran dari Sanusi suaR Indonesia, OMS harus melakukan penguatan secara internal untuk tata kelola kelembagaan karena ini menjadi prasyarat akses dana dari mana saja. Selain itu, OMS wajib memahami siklus anggaran APBD yang ada di pemerintahan melalui prosedur perencanaan.

Rekaman seri webminar dan diskusi ini dapat anda simak secara lengkap di kanal Youtube https://youtube.com/@LOKADAYA atau di bagian lain dari website ini. (*ari)

Ini Syarat untuk Mengakses Swakelola Tipe III

By Artikel

Jakarta (16/1/2024).  Sejauh ini prosentase penggunaan Swakelola Tipe I oleh Pemerintah masih lebih besar daripada Swakelola Tipe III. Padahal seperti kita tahu, Swakelola Tipe III adalah sebuah inovasi yang baik. Ada kecurigaan bahwa komponen Pemerintah masih ada yang belum paham betul mengenai mekanisme dan eligibilitas Swakelola Tipe III. Padahal secara organisasi, Pemerintah  sudah mengatur tentang PA (Pengguna Anggaran) dan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) yang idealnya otomatis paham dan sudah bersertifikasi dalam pengadaan barang dan jasa. Oleh karena itu, pemahaman seputar Swakelola Tipe III ini sebaiknya segera diperdalam oleh OPD maupun OMS itu sendiri.

Pembahasan menarik ini muncul dalam rangkaian pelatihan daring bertajuk Mobilisasi Sumber Daya Lokal Melalui Skema Swakelola Tipe III, seri ke-5. Tema pada pertemuan Selasa (16/1) mengusung tema “Eligibilitas OMS untuk mengakses Swakelola Tipe III”. Seri pelatihan ini terselenggara atas kerjasama Lokadaya dan LSM Konsil Indonesia yang didukung oleh Canada Fund for Local Initiatives (CFLI).

Eligibilitas adalah prasyarat yang harus selalu dicek ulang kesesuaian dan validitas, terlebih mengenai badan hukum OMS itu sendiri (yayasan/perkumpulan) serta bidang keahliannya. Hukum kita mengatur OMS untuk selalu memperbaharui AHU (Admisnistrasi Hukum Umum) lima tahun sekali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah AHU-nya sudah kadaluarsa dan juga dinamika perubahan yang terjadi dalam organisasi. Ketika ada perubahan berarti ada perubahan di badan hukum AHU tersebut.

Eligibilitas Swakelola Tipe III terdiri dari 8 poin, yaitu;

  • memiliki badan hukum
  • memiliki status valid keterangan wajib pajak
  • memiliki kepengurusan
  • memiliki AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga)
  • mempunyai bidang kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan OPD
  • mempunyai personel tetap sesuai keilmuannya
  • memiliki dokumen sewa kantor atau sertifikat hak milik.

Lalu, poin terakhir ini dikhususkan untuk Swakelola yang melakukan kemitraan, yang mana OMS harus mempunyai perjanjian kerja sama yang memuat tanggung jawab dari masing-masing OMS.

Konsil LSM Indonesia via Sarwitri mengatakan ketaatan OMS dalam pelaporan pajak sangat perlu dilakukan guna melengkapi eligibilitas Swakelola Tipe III. Seperti diketahui, indikator  valid tidaknya keterangan wajib pajak yang dikeluarkan oleh kantor pajak, yaitu jika OMS tersebut melaporkan pajak dua tahun terakhir berturut-turut dan tidak boleh ada yang bolong dalam pelaporannya.

Hal yang penting lain yang perlu diperhatikan guna mengakses Swakelola Tipe III adalah kita harus pastikan persyaratan eligibilitas yang harus dipenuhi sudah tersedia dan dipersiapkan dengan baik. Eligibilitas ini sifatnya mandatory karena persyaratan yang ada sudah termaktub dalam Perpres.

Seri ke-5 ini terdokumentasi di kanal youtube @LOKADAYA, Anda bisa mengakses kanal tersebut untuk mengetahui secara lengkap dan detail pokok pembahasan tentang eligibilitas OMS untuk mengakses Swakelola Tipe III. (*ari)

OMS Penyambung Lidah Kesejahteraan Masyarakat

By Artikel

Jakarta (29/11) – Jejaring Lokadaya dan Menjadi Indonesia menyelenggarakan seri diskusi bertajuk Pilar Akuntabilitas, Visibilitas, dan Keberlanjutan OMS Indonesia. Sugiarto Arif Santoso, Direktur CSRO Penabulu, mengawali sesi pertama dengan Peran Strategis OMS dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat pada Selasa (16/021) di Zoom Meeting.

Dihadiri oleh OMS tingkat SR, SSR, dan IU yang tengah mengerjakan isu Eliminasi TBC. Eko Komara, Direktur Eksekutif Penabulu, memberikan pengantar dengan mendudukkan kembali posisi komunitas sebagai entitas dari elemen masyarakat sipil. Ia menegaskan betapa masyarakat sipil hendaknya menjadi penyeimbang bagi pembangunan di Indonesia.

“Tentu saja di satu sisi ada elemen pemerintah dan swasta yang punya tendensi untuk bersama-sama dalam dinamika pembangunan. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan swasta di wilayah pemegang modal. Begitu pun civil society, yakni harus menjadi penyeimbang atas nama masyarakat,” ucap Eko.

Authorized Signatory (AS) PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI ini menaruh harapan pada pundak audiens agar mereka tak hanya mengurusi Eliminasi TBC. Ia menggadang agar SR, SSR, dan IU juga turut menjaga dari ihwal demokrasi hingga pemenuhan hak warga. “Semoga diskusi ini bermanfaat dan feel free buat teman-teman untuk mendiskusikan apa saja,” harapnya.

Selama tiga puluh menit Sugiarto membentangkan masalah OMS dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ia membuka paparannya dengan membidik sejarah OMS. Menurutnya, sebelum istilah OMS mengarus utama, muncul istilah Ornop (Organisasi Non-Pemerintah), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan LPSDM (Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia). Sebagai istilah, ia menyejarah bersamaan dengan dinamika pengorganisasian masyarakat di Indonesia.

Masyarakat sipil, hemat Sugiarto, merupakan sebuah arena di luar keluarga, negara, dan pasar. Kata “arena” ini menandai sejumlah orang untuk berkelompok. Mereka sama-sama tergerak atas atau melalui kepentingan bersama. “Penekanannya pada orang-orang yang berkelompok dalam memperluas ruang publik. Dan, di sini poinnya, berbagai nilai sosial dan kepentingan masyarakat bertemu,” ungkapnya lebih lanjut.

OMS punya peran strategis. Menurut Sugiarto, setidaknya ada empat hal. Pertama, pemberdayaan masyarakat. Cakupan ini meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dalam mengatasi problem sosial. Kedua, inovasi dan kolaborasi yang bertujuan untuk mendorong ide baru serta kerja sama dengan berbagai pihak demi tujuan kolektif.

“Yang ketiga itu advokasi dan pemantauan. Ini mendukung perubahan kebijakan dan mengawasi pelaksanaan program pemerintah. Dan keempat, ini kaitannya dengan pengembangan pengetahuan. Misalnya, mendukung perubahan kebijakan dan mengawasi pelaksanaan program pemerintah,” tutur Sugiarto.

Selepas paparan narasumber, beberapa pertanyaan mengemuka. Audiens gayung bersambut dengan mengajukan refleksi dan pertanyaan. Antara lain pertanyaan dari Merly Yuanda (Manajer SR Provinsi Bengkulu). Ia bertanya seberapa jauh posisi aktivis OMS di tengah kerja advokasi. “Yang saya tangkap advokasi ini memiliki prinsip-prinsip oposisi,” tandasnya.

Sugiarto merespons pertanyaan itu dengan menyodorkan kata kunci “critical engagement” dalam kinerja advokasi. “Kalau dalam bahasa projeknya itu Penta Helix. Cuma bahasa kita adalah advokasi kebijakan,” ujarnya. Ia mengajukan konsep kemitraan. Sebab, kerja advokasi dan pengorganisasian masyarakat memiliki perbedaan strategi. “Ya strategi kita adalah berkolaborasi dengan organisasi lain yang terbiasa advokasi,” kata Sugiarto.

Penguatan serta pengembangan jaringan ini menjadi salah satu rekomendasi peningkatan peran dan dampak OMS, di samping penguatan kapasitas, advokasi dan perubahan kebijakan, maupun kerelawanan dan kepedulian sosial.

Acara berlangsung selama dua jam. Dipungkasi pada pukul 11.00 WIB dengan berfoto bersama. (RKP).

Strategi Advokasi, Kunci Keberhasilan OMS di Swakelola Tipe III

By Artikel

Jakarta (15/1/2024). Advokasi yang dilakukan dalam kemitraan (contoh: aliansi) hampir selalu lebih berhasil dibandingkan dilakukan sendiri. Hal ini disebabkan masing-masing organisasi memiliki kekuatan yang berbeda-beda, latar belakang isu berbeda, dan luas jangkauan program berbeda, sehingga keberagaman tersebut yang dapat memperkuat advokasi. Untuk itu penting kiranya OMS mengidentifikasi kemitraan sebagai langkah strategi advokasi.

Pemaparan menarik tentang strategi advokasi untuk akses Swakelola Tipe III ini muncul dalam seri pertemuan ke-4 dalam pelatihan yang diadakan oleh Lokadaya dan Konsil LSM Indonesia.

Mewakili Konsil LSM Indonesia, Anick HT menyampaikan apapun isu advokasi yang didorong harus dilandasi prinsip dan nilai yang biasanya diwujudkan dalam visi misi OMS. Sebelum melakukan advokasi, sebagai OMS harus melihat modal yang mereka punyai, meliputi sumber daya, kapasitas dan visibilitas, eligibilitas, kebijakan pendukung, dokumen pendukung.

Alur advokasi selanjutnya adalah menentukan isu strategis dan tujuan. Perlu digarisbawahi, isu strategis dirumuskan dari penggalian akar masalah dan rumusan tujuan. Satu isu strategis dapat dibagi menjadi beberapa sub isu dan kemudian setiap isu tersebut diturunkan dalam workplan.

Setelah menentukan tujuan, kita akan tahu mitra dan jaringan mana saja yang bisa diajak bekerjasama, dalam hal ini bisa anggota dewan, mitra aliansi dan dinas terkait. Alur advokasi ini juga dilakukan untuk mengidentifikasi kepentingan decision maker, sebab ini merupakan pintu masuk dalam melakukan advokasi. Decision maker dalam Swakelola Tipe III diberi istilah PA (Pengguna Anggaran) diduduki oleh Kepala Dinas, Sedangkan pada dinas besar Kepala Bidang menduduki KPA (Kuasa Pengguna Anggaran). Dalam advokasi menentukan kepentingan sasaran menjadi penting, karena OMS akan tahu sejauh mana dan apa yang kurang dari sasaran tersebut.

Seperti diketahui, lobi juga bagian dari advokasi. Lobi merupakan bentuk khusus dari advokasi, cara strategis, terencana dan cenderung informal dalam mempengaruhi pengambil keputusan. komunikasi bersifat terbuka dua arah, menghubungkan kepentingan, menciptakan kondisi yang sama-sama menguntungkan serta membangun hubungan jangka panjang.

Pertanyaan yang muncul, mengapa lobi dan advokasi ini wajib dilakukan? Jawabannya adalah karena kebijakan Swakelola Tipe III ini relatif baru. Tingkat pemahaman stakeholder relatif rendah dan tidak seragam. Kalaupun mereka paham hanya setengah-setengah, sehingga tidak berani mengeksekusi Swakelola Tipe III. Selain itu Swakelola Tipe III bukan mandatory spending (pengeluaran daerah yang diatur undang-undang). OPD tidak berkewajiban menggunakan Swakelola Tipe III dalam pengadaan paket paket anggarannya dan tidak mendapat sanksi atas itu. Alasan lain adalah tingkat kepercayaan OPD terhadap OMS rendah.

Anick HT mengatakan seringkali OMS melupakan langkah advokasi seperti mengirim surat ataupun policy brief (dokumen ringkas berisi temuan dari sebuah permasalahan) ke OPD terkait. Padahal ini tahap yang penting dan harus dilakukan agar OPD lebih mengenal dan percaya terhadap OMS tersebut. Di jaman sekarang masih banyak yang merasa sia-sia dengan mengirim surat karena sangsi, dokumen tersebut akan dibaca oleh OPD terkait. Langkah advokasi ini perlu OMS lakukan selain untuk menampilkan kinerja OMS, juga sebagai langkah kontribusi pada pembangunan negeri.

Seri ke-4 ini terdokumentasi di kanal youtube @LOKADAYA, silakan anda mengakses kanal tersebut untuk mengetahui secara lengkap dan detil pokok pembahasan tentang advokasi pada Swakelola Tipe III. (*ari)

Relawan, Wujud Integritas pada Kemanusiaan

By Artikel

Jakarta (12/1/2024). Anggapan bahwa relawan sebagai kasta terendah dari sebuah manajemen kemanusiaan merupakan sebuah kesesatan berpikir yang menancap di masyarakat kita. Relawan yang bekerja secara sukarela digaji murah atau bahkan tidak digaji, bahkan kemudian tidak dihargai jerih payahnya. Hal ini terkadang mengakibatkan perlakuan tidak manusiawi terhadap relawan. Pemaparan menarik ini muncul dari Eko Teguh Paripurno saat menjadi pembicara dalam kegiatan seminar dalam jaringan (semidaring) dengan tema “Mobilisasi Sumber Daya Lokal, Kerelawanan dalam Respons Kemanusiaan”. Kegiatan ini diadakan oleh Lokadaya dan Pujiono Centre serta didukung oleh CLFI (The Canada Fund for Local Initiatives), Jumat (12/1) mulai pukul 13.00 WIB.

Tajuk seri pertama semidaring ini adalah “Identifikasi Potensi Kerelawanan OMS untuk Penanggulangan Bencana”. Menurut Aliansi Pembangunan Kemanusiaan Indonesia (APKI), hanya ada sekitar 2,5%-5% OMS di Indonesia yang fokus pada isu tanggap darurat.  Haris Oematan, punggawa CIS Timoer, memaparkan bahwa mayoritas OMS hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur dan hal tersebut menjadi tantangan OMS non-kebencanaan dalam memobilisasi sumber daya saat terjadi bencana. Tantangan yang biasa muncul dan harus dihadapi adalah pengetahuan yang tidak sama atau beragam, terbatasnya sumber daya manusia yang bersedia bergabung, serta komitmen kelembagaan.

Relawan dalam bawah sadarnya pasti memiliki integritas, etos kerja dan gotong royong. Berbeda dengan pekerja kemanusiaan yang mungkin mementingkan upah, bisa saja mereka tidak memiliki integritas, etos kerja dan gotong royong, sehingga berkegiatan secara asal-asalan hingga lupa inti kemanusiaan tersebut. Ironisnya hal semacam itu semakin banyak terjadi pada pekerja kemanusiaan.

Dalam pertemuan hangat itu, juga dibahas mengenai aturan main dan kompetensi relawan yang telah termaktub dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana.

Definisi Kerelawanan itu sendiri dalam modul manajemen relawan adalah semua aksi gotong royong yang menyatukan Indonesia, tidak memiliki keberpihakan serta merangkul keberagaman antar golongan baik sebagai relawan maupun penerima manfaatnya, serta tidak didorong oleh alasan keuangan.

Beberapa poin penting OMS bekerjasama dengan relawan:

– Tim inti akan lebih fokus pada tugas utama

– Relawan sebagai solusi terbatasnya dana dan sumber daya manusia

– Relawan sebagai pemberi perspekstif baru di organisasi

– Relawan sebagai duta organisasi

– Relawan sebagai ujung tombak regenerasi

Siklus dalam pengelolaan relawan ada enam (6R). Tahap yang pertama sebelum perekrutan relawan adalah tahap refleksi. Proses refleksi ini mengevaluasi pengalaman bekerjasama dengan relawan. Setelah refleksi penting membuat tata cara pengelolaan relawan (regulasi). Menurut Utami Dwi Kania dari Human Initiative Volunteer Energy (HIVE), dalam pembuatan regulasi memang membutuhkan waktu yang lama, tetapi jangan sampai menunggu sempurna hingga proses selanjutnya (Rekrutmen) terganggu. Proses rekrutmen dapat memanfaatkan media sosial dan menggandeng media partner yang lain.

Tahapan selanjutnya adalah Rock the Job (bekerja). Tahapan ini meliputi briefing, monitoring, motivasi dan mengevaluasi. Tahap kelima yaitu apresiasi sebagai ucapan terimakasih, selaku OMS dapat memberikan apresiasi bukan berupa uang (sertifikat, merchandise, pengalaman dan lain-lain). Lalu proses yang terakhir dalam pengelolaan relawan adalah retention atau menjaga relasi dengan relawan agar selalu berkomunikasi di kegiatan selanjutnya.

Eko Teguh Paripurno dari Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta menyampaikan bahwa kerelawanan akan hadir ketika seseorang sudah selesai dengan dirinya sendiri meskipun sebagian. Untuk itu kita wajib menghargai karena mereka secara suka dan rela melakukan kegiatan, tentunya jangan dibalik yaitu memposisikan seorang relawan ke tempat yang paling rendah.

Diskusi menarik ini tentunya dapat diakses di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Penting! Advokasi di Swakelola Tipe III

By Artikel

Jakarta (10/1/2024). Advokasi menjadi bagian yang sangat penting ketika para OMS sudah mengawal dari bawah (musrenbang desa), tetapi tiba-tiba DPA (Daftar Pelaksanaan Anggaran) tersebut hilang di tingkat yang lebih tinggi. Ini biasanya terjadi karena kalah prioritas di musrenbang tingkat atas. Maka dari itu penting kiranya melakukan advokasi dengan OPD terkait.

Perbincangan hangat mengenai advokasi tersebut menjadi topik utama pada pertemuan ketiga dalam pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Melalui Skema Swakelola Tipe III. Pertemuan ini merupakan kerjasama Lokadaya dan Konsil LSM Indonesia serta didukung oleh Canada Fund for Local Initiatives (CFLI).

Perlu dipahami dalam advokasi harus diawali dengan pemahaman mengenai pendekatan perencanaan pembangunan daerah. Pendekatan tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu secara politik, teknokratik dan partisipatif. Pendekatan politik menyangkut visi misi kepala daerah di dalam dokumen perencanaan anggaran daerah. Lalu secara teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Pendekatan terakhir adalah partisipatif,yang mana pendekatan ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan (musrenbang).

Dalam melakukan advokasi, penting kiranya OMS memahami alur rencana kerja RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah), karena banyak OMS hanya mengandalkan musrenbang tetapi tidak mengawal atau melakukan advokasi sampai tingkat atas. Oleh karena itu, OMS biasanya kehilangan jejak di tahap tersebut. Untuk merancang RKPD ini, OPD biasa melakukan kompromi dengan mempertimbangkan kebijakan strategis dan pokir (pokok pikiran) anggota DPRD.

Advokasi yang bisa OMS lakukan adalah pemilahan kriteria barang jasa yang bisa efektif ditempatkan dalam Swakelola Tipe III. Banyak sekali ditemukan miss tagging atau salah penandaan Swakelola Tipe III tetapi isi paketnya tidak sesuai bila dikerjakan oleh OMS, seperti bidang konstruksi pembangunan jembatan, jalan dan lain-lain. Begitu juga sebaliknya, banyak yang seharusnya bisa dijadikan Swakelola Tipe III tetapi dalam SIRUP (sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) tertulis sebagai Swakelola Tipe I. Oleh sebab itu, paket yang ditandai sebagai Swakelola Tipe I, harus kita advokasi agar dijadikan Swakelola Tipe III yang lebih irit, efisien dan efektif. Jadi OMS harus memantau SIRUP dan juga memahami alur tahapan Swakelola untuk melakukan lobi dan advokasi terhadap akses Swakelola Tipe III tersebut.

Anick HT selaku Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia menyampaikan porsi Swakelola Tipe III memang sangat kecil dalam APBD, dimana banyak pula OPD yang tidak menampilkan Swakelola Tipe III. Di tahun 2022 saja ada sebanyak 119 kabupaten/kota tidak menggunakan Swakelola Tipe III dalam pengadaannya (Data dari SIRUP)

Menurut Anick, OMS akan memiliki posisi yang setara dengan OPD dalam Swakelola Tipe III. “Mungkin selama ini ada yang merasa dianggap seperti pengemis bila mendatangi OPD”, terangnya.

Dalam Swakelola Tipe III ini kedudukan OMS adalah sebagai penyedia. Berbeda dengan hibah, yang mana OPD berkedudukan sebagai pemberi dana dan OMS dianggap sebagai organisasi yang membutuhkan dana. Dalam Swakelola Tipe III anggapan seperti itu tidak berlaku. Jadi OMS bisa lebih percaya diri dalam melakukan advokasi dengan OPD.

Dalam hal ini, advokasi menjadi penting agar OPD menyadari bahwa OMS dibutuhkan sebagai penyedia, sekaligus berguna bagi OMS untuk memperkenalkan diri sebagai patner yang dibutuhkan.

Rekaman seri webminar dan diskusi ini dapat anda simak secara lengkap di kanal Youtube https://youtube.com/@LOKADAYA atau di bagian lain dari website ini. (*ari)

Begini Tahapan Swakelola Tipe III

By Artikel

Jakarta (9/1/2024). Tujuan mulia swakelola bagi OMS (organisasi masyarakat sipil) adalah meningkatkan partisipasi kelompok masyarakat, efektivitas dan efisiensi program. Oleh karenanya, pelaksanaan swakelola harus disesuaikan dengan tujuan pendirian OMS (visi dan misi) serta kompetensi dari OMS tersebut.

Diskusi hangat tersebut muncul dalam rangkaian seri pelatihan bertajuk mobilisasi sumber daya lokal melalui skema swakelola tipe III pertemuan kedua yang bertema “Alur/tahap pelaksanaan swakelola tipe III”.

Poin hangat lainnya muncul saat ada fenomena masuknya perguruan tinggi dan lembaga profesi penyelenggara penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelatihan, lokakarya atau penyuluhan, dalam kompetisi meraih proyek swakelola tipe III. Banyak terjadi OMS yang tidak mampu menandingi mereka. Namun, kesempatan itu masih terbuka lebar dengan adanya kriteria PBJ (pengadaan Barang/Jasa) poin tiga yang dikhususkan untuk OMS yaitu pengadaan barang/jasa yang dihasilkan oleh ormas, kelompok masyarakat atau masyarakat.

Untuk itu meraih kesempatan itu, OMS selayaknya mempersiapkan diri dengan sistem kerja yang telah diatur oleh LKPP. Adapun tahapan swakelola tipe III meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan serah terima.

OMS bisa mengawal advokasi pengadaan pada bulan Januari, dimulai dari Musrenbang tingkat desa, kecamatan dan siklus selanjutnya. Proses ini tentu untuk RAPBD tahun selanjutnya. Perlu kita ingat bersama, hasil dari Musrenbang masih bergantung pada keputusan kepala daerah masing-masing. Lalu, penyusunan RAPBD dilakukan di bulan Juli-September dan akan tampil di sirup (sistem informasi rencana umum pengadaan) paling lambat tanggal 31 Maret tahun selanjutnya.

Sarwitri mewakili Konsil LSM Indonesia mengatakan, OPD biasanya menyalin nomenklatur yang sudah ada dan sebenarnya OPD membutuhkan teman untuk bisa menajamkan kembali perencanaannya atau memperkuat capaian dalam pembangunan nasional. Peran ini layak untuk dilakoni OMS dengan melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah.

Dokumen persiapan swakelola tipe III dapat diakses secara daring pada website SIPraja LKPP (https://sipraja.lkpp.go.id dan pada keputusan Deputi bidang pengembangan strategi dan kebijakan LKPP No.2 Tahun 2022 tentang model dokumen Swakelola.

Dalam seri ini, Sarwitri juga mewanti-wanti pentingnya visibilitas OMS di Indonesia dalam rangka membangun kolaborasi dengan OPD. Kita pasti menyadari, selama ini dokumen hasil kinerja OMS hanya dapat diakses oleh OMS dan pemberi donor, sehingga OPD tidak mengetahui apa potensi dan kompetensi OMS tersebut.

Selain itu, tambah Sarwitri, masih banyak OPD yang hanya menggunakan Swakeloka tipe I untuk mencari titik aman, bisa jadi karena kurang percaya atau tidak mengetahui portofolio OMS yang melamar. Ditambah lagi, memang tidak ada kewajiban dari pusat untuk OPD menggunakan swakelola tipe III sehingga para OPD pilih-pilih menggunakan swakelola yang mana.

Oleh karena itu penting kiranya meningkatkan akuntabilitas kinerja OMS agar diketahui OPD dan publik, dan hal ini dapat dilakukan dengan optimalisasi media, baik secara daring (sosmed/website) maupun luring.

Seri kedua ini penting untuk diikuti secara lengkap, silakan anda menuju https://youtube.com/@LOKADAYA untuk menikmati keseluruhan materi dan diskusi. (*ari)

OMS Berdaya via Swakelola Tipe III

By Artikel

Jakarta (8/1/2024) – Kemajuan demokrasi dan ekonomi telah membuat lembaga donor, khususnya donor Internasional, pelan-pelan menggeser pendanaannya ke negara lain yang lebih membutuhkan. Hal ini menjadi tantangan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia untuk mempertahankan keberlanjutannya. Swakelola tipe III menjadi salah satu terobosan untuk mengatasi hal tersebut.

Swakelola tipe III adalah ruang penting, peluang yang sangat baik bagi OMS untuk mengakses pendanaan dari pemerintah.

Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia, Anick HT, mengatakan 80% pendanaan OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) masih bergantung pada lembaga donor. Oleh karena itu, melalui Swakelola tipe III ini, OMS diharapkan dapat mengakses dana pemerintah, dalam berkontribusi untuk bangsa melalui program-program dan karya-karyanya.

Mewakili LKPP RI (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), Seno Haryowibowo menjelaskan pedoman pelaksanaan Swakelola tipe III sesuai peraturan LKPP No.3 Tahun 2021. Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri, direncanakan dan diawasi oleh kementerian/lembaga/perangkat daerah penanggungjawab anggaran dan dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan. Pada sesi tanya jawab, Seno mengatakan dalam persyaratan Swakelola memang tidak ada ketentuan lama berdirinya sebuah OMS. Namun PPK akan memproses dan memverifikasi portofolio serta klarifikasi guna membuktikan kebenaran data tentang OMS tersebut.

Untuk mengakses swakelola tipe III, OMS bisa membuka aplikasi sirup (Sistem Informasi Rencana umum pengadaan). Pada awal tahun (Januari-Maret) aplikasi ini akan menampilkan semua pengadaan selama satu tahun dengan berbagai tipe swakelola (tipe I-IV). Namun untuk OMS sila berfokus pada swakelola tipe III. Penggunaan aplikasi sirup ini dibuat dalam rangka mendorong transparansi anggaran Pemerintah. Seno mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada database yang memuat semua OMS beserta bidangnya agar membantu pemerintah dalam mengakses semua OMS di Indonesia. Sama halnya seperti SIKaP (Sistem Informasi Kinerja Penyedia), database untuk OMS diharapkan ada.

Begitulah kiranya penyampaian materi, diskusi, tanya-jawab pada rangkaian seri pelatihan daring pertama yang bertajuk “Pengantar Swakelola Tipe III” pada Senin (8/1).

Jejaring Lokadaya bekerjasama dengan Konsil LSM Indonesia mengadakan seri pelatihan daring bertema Mobilisasi Sumber Daya lokal melalui skema Swakelola Tipe III. Pelatihan ini didukung oleh Canada Fund for Local Initiatives (CFLI). Kegiatan ini adalah bentuk dukungan lokadaya dan Konsil LSM Indonesia guna memperkuat jaringannya agar terus berkembang di tengah krisis pendanaan di Indonesia. Seri Pelatihan ini terdiri dari enam kali pertemuan, yang mana pada pertemuan pertama membahas mengenai pengantar swakelola tipe III. (*ari).

Stigma Masih Jadi Tantangan Penanggulangan TB

By Artikel

Jakarta (15/12) — Jejaring Lokadaya dan Tim Accelerate Penabulu Foundation mengadakan seri webinar Jaringan Solidaritas TB Nasional secara daring. Webinar 3 berjudul Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja ini diadakan pada Kamis (14/12) melalui Zoom Meeting.

Penanggulangan TB di tempat kerja masih perlu dan segera dioptimalkan, mengingat berdasarkan data TB menyerang kelompok usia produktif. Epidemiolog Kesehatan, Penanggung Jawab Program TBC Dinas Kesehatan Kota Tangerang Tristi Dwi Veronita memaparkan data situasi TB di Kota Tangerang, bahwa pekerja buruh menempati posisi pertama penderita TB, kemudian disusul oleh kelompok yang tidak bekerja dan pegawai swasta.

TBC pun menjadi beban yang membawa dampak kerugian terhadap ekonomi. Deputy Director Yayasan Kusuma Buana menyampaikan sebanyak 26% penderita TB dan 53% TB MDR kehilangan pekerjaan, sedangkan 38% penderita TB dan 70% penderita TB MDR kehilangan pendapatan.

“Data ini disampaikan karena bisa dijadikan sebagai awal untuk kita melakukan pendekatan ke perusahaan. Kita harus memberikan gambaran-gambaran dan kerugian-kerugian yang disebabkan oleh TBC, karena kalau kita bicara di perusahaan, orientasi mereka adalah bisnis dan produktivitas. Sehingga kita perlu memperlihatkan dampak yang akan terjadi ke pekerjanya,” kata Mundi.

Stigma menjadi tantangan utama dalam penanggulangan tuberkulosis di tempat kerja. “Adanya stigma membuat orang bukannya akan berobat tapi akan takut untuk berobat karena mereka mau menyembunyikan sakitnya. Itu merugikan,” Ungkap Ketua Komite K3 DPN APINDO dr. Rima M.

Lebih lanjut, stigma negatif terhadap penderita TB disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan luasnya mitos tentang TB di kalangan pekerja. Masih banyak orang yang belum mengetahui kalau TB bisa disembuhkan. Hal ini menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran bagi penderita TB akan pemecatan.

Maka edukasi tentang TBC menjadi penting. Dinas Kesehatan Kota Tangerang, misalnya, mengundang 30 perusahaan untuk mengikuti edukasi tentang TBC hingga mengadakan pelatihan International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) bagi dokter/tenaga kesehatan di klinik perusahaan. “Harapannya dokter atau tenaga kesehatan mampu melakukan deteksi dini sampai dengan pengobatan TB di klinik perusahaan.” Ucap Tristi.*

Peran CSO dapat Tanggulangi TB

By Artikel

Jakarta (1/12) — Jejaring Lokadaya dan Tim Accelerate Penabulu Foundation mengadakan seri webinar Jaringan Solidaritas TB Nasonal secara daring. Webinar 2 berjudul Pentingnya Mengenali Tuberkulosis oleh CSO dalam Upaya Meningkatkan Perlindungan Masyarakat Dampingan ini diadakan pada Kamis (30/11) melalui Zoom Meeting.

Masyarakat perlu memahami terlebih dahulu bahwa Tuberkulosis (TB) yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis bisa menular ke siapa saja. Penyakit ini tidak mengenal status sosial, jenis kelamin, agama, dan suku.

“TB bisa menimpa siapapun, baik di perkotaan maupun pedesaan dan semua partisipan program CSO,” terang National Program Director Penabulu STPI Heny Akhmad.

Heny menekankan bahwa masih banyak masyarakat yang belum paham tentang TB. Bahkan tidak sedikit yang belum tahu bahwa TB bisa disembuhkan. “TB paru dan ekstra paru sangat bisa disembuhkan asal disiplin,” katanya.

Penanggulan TB di Indonesia sudah didukung oleh Global Fund selama kurang lebih 14 tahun. Pemerintah, baik daerah maupun nasional, juga telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait penanggulan tuberkulosis yang mendukung upaya eliminasi TB. Ironisnya peringkat penderita TB di Indonesia semakin lama semakin buruk, dari peringkat kelima kini menempati peringkat kedua di dunia.

Menurut Heny ada banyak faktor yang mempengaruhi capaian program TB di Indonesia. Lebih lanjut, dirinya menilai peran CSO bisa menjadi peluang bagi pekerja CSO terlibat dalam penanggulangan TB. “CSO berperan mengelola implementasi, bekerja bersama kelompok pendukung pasien, dan menyelenggarakan pelatihan,” jelas Heny.

Heny memperkenalkan pendekatan Pentahelix dalam eliminasi TB. Pentahelix merupakan konsep multi-pihak dimana unsur pemerintah, akademisi, badan dan/ pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media massa berkolaborasi serta berkomitmen untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu tercapainya eliminasi TB di tahun 2030.

“Kalau isu TB jadi gerakan, ada kesadaran bersama mulai dari komunitas, tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat partisipan program bisa tercapai. Kita sehat, masyarakat partisipan sehat, goal pekerjaan kita tercapai.” Tutupnya.*

Galang Inisiatif Lokal dengan Berjejaring

By Artikel

Jakarta (29/11) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Lokakarya Menggalang Inisiatif Lokal di Sektor Pengelolaan Risiko Bencana ini diadakan pada Selasa (28/11) melalui Zoom Meeting. Sesi ini menjadi kegiatan penutup dari rangkaian pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana.

Peserta mengaku mendapat pengetahuan dan wawasan baru seputar isu pengelolaan risiko bencana—termasuk regulasi-regulasi yang mengatur isu tersebut. Pengetahuan dan wawasan yang didapat menjadi bekal untuk bekerja di lapangan.

“Diskusi ini membantu kami di lapangan—terutama kami juga bekerja bersama komunitas di desa yang masih banyak yang belum peduli terhadap isu bencana. Padahal desa-desa di sini dekat dengan ancaman bencana alam,” kata Ahmad Rifa’i.

Menurutnya, berjejaring menjadi penting untuk dilakukan, baik pada masa prabencana, tanggap bencana, maupun pascabencana untuk memobilisasi pengetahuan dan sumber daya lokal. Peserta lainnya, Didiek, menilai peningkatan kapasitas tenaga kerja melalui profesi masing-masing juga bisa dilakukan, “Tenaga kesehatan bisa menjadi mentor atau pendamping bagi relawan kesehatan di wilayah kecamatan,” tambahnya.

Ada beberapa strategi yang mungkin dipakai untuk mobilisasi sumber daya di tiga aspek kebencanaan, seperti pendataan sumber daya lokal, pendokumentasian pengetahuan lokal, multi-stakeholder partnership, penguatan kapasitas kelembagaan lokal, hingga optimalisasi peran dan fungsi klaster kesehatan. Strategi-strategi di atas bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga berjejaring.

“Salah satu sumber daya luar biasa yang dimiliki oleh organisasi itu sebenarnya jaringan dan relawan. Kadang-kadang kalau organisasi sedang keterbatasan dana, kita bisa minta bantuan kepada teman yang memiliki keahlian di bidang masing-masing. Karena naluri dasar kita berbagi, berbagi apapun.” Imbuh Koordinator Sekretariat Jejaring Lokadaya Tino Yosepyn.

70 Persen Sekolah di Daerah Rawan Bencana, SPAB Jadi Penting

By Artikel

Jakarta (25/11) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik VI tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) ini diadakan pada Jum’at (14/11) melalui Zoom Meeting.

Berdasarkan pemetaan oleh BNPB, menunjukkan rata-rata hampir 70 persen sekolah di Indonesia terletak di daerah rawan bencana alam dengan ancaman yang berbeda, diantaranya rawan gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.

Safe School Project Manager Yayasan Plan International Indonesia Enos Ndapareda menjelaskan bencana berdampak besar ke satuan pendidikan. Bencana yang terjadi juga berulang. Pola tersebut membawa kemungkinan dampak yang ditimbulkan juga berulang. Sehingga seharusnya masyarakat sudah bisa belajar dari pengalaman sebelumnya supaya dapat mengurangi dampak bencana.

Maka SPAB diperlukan. Sekolah perlu menerapkan standar sarana dan prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana. “SPAB berkontribusi pada pengurangan risiko bencana, mempersiapkan warga sekolah menghadapi situasi darurat, dan membantu satuan pendidikan untuk pulih dari bencana,” ujar Enos.

Lebih lanjut, Enos menjelaskan bahwa SPAB sebagai salah satu bentuk dari pemenuhan hak setiap anak di Indonesia untuk memperoleh kehidupan yang aman dari bencana selama menempuh pendidikan di sekolah. Selain itu SPAB juga memastikan guru-guru dan pegawai juga aman dan nyaman di sekolah.

Lokus SPAB tidak hanya di sekolah-sekolah negeri saja. Pada konteks satuan pendidikan, ada 3 komponen penting, yaitu sekolah formal, nonformal, dan informal. “SPAB bisa diterapkan juga di madrasah, pesantren, PKBN, kelompok-kelompok PAUD. Hanya perlu penyesuaian metode dan pelaksanaannya antara sekolah formal, nonformal, dan informal.” Katanya.

Mitigasi Kerawanan Sosial dan Ekonomi Perlu Perencanaan yang Tepat

By Artikel

Jakarta (18/11) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik V tentang Mitigasi Kerawanan Sosial dan Ekonomi ini diadakan pada Jum’at (17/11) melalui Zoom Meeting.

Penjarahan kerap terjadi pada saat bencana atau kondisi krisis—salah satunya pada bencana alam gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah, 2018 silam. Muncul berita bahwa Menteri Dalam Negeri saat itu sempat menyatakan memberi izin kepada masyarakat untuk melakukan pengambilan kebutuhan dasar di beberapa supermarket yang nantinya akan ditanggung negara. Meski pada akhirnya Kementerian Dalam Negeri meralat pernyataan tersebut, situasi lapangan sudah kacau.

Penjarahan yang terjadi seperti di Palu saat itu disebabkan oleh kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi karena terjadi bencana atau konflik. Menurut Fransiskus Asisi Sukoeksi Widanto dari Pujiono Centre situasi tersebut mengakibatkan kerawanan sosial dan kerawanan ekonomi.

“Paradigma penanggulangan bencana kita lebih kuat di dimensi tanggap daruratnya. Sehingga kita tidak terlalu peduli dengan upaya-upaya penanganan bencana alam. Pada waktu itu ada kejadian, orang baru melakukan tindakan. Sehingga seperti tambal sulam, setiap ada masalah diperbaiki tapi secara komprehensif tidak tersistematisasikan,” kata Asisi.

Maka merencanakan respon kemanusiaan dari hulu ke hilir menjadi penting. Hulu adalah para pihak yang memiliki kepedulian, empati, solidaritas untuk memberikan bantuan, baik material dan nonmaterial. Sementara itu hilir merujuk kepada penerima manfaat.

Pada praktek respon kemanusiaan, pihak hulu perlu menerapkan prinsip-prinsip yang ada. Lebih lanjut, Asisi menjabarkan enam prinsip tersebut, antara lain penggiat kemanusiaan, bahan yang dibawa, alat yang digunakan, dan cara, waktu, dan lokasi menyampaikan. Asisi menekankan praktek ini harus sesuai dengan keadaan atau bisa diterima oleh penerima manfaat.

“Misalnya kita punya bantuan yang tepat sesuai dengan kebutuhan tapi kalau caranya nggak pas juga nggak akan diterima. Kita punya bahan yang bisa diberikan tapi nggak punya alat untuk membawanya itu juga masalah,” ujarnya.

Individu atau lembaga pelaku respon kemanusiaan perlu melakukan asesmen dan kajian awal sebelumnya untuk mendapat gambaran kondisi lapangan dan bantuan apa yang bisa disampaikan dengan tepat. Kemudian kajian risiko dalam pemberian bantuan juga menjadi penting untuk menentukan strategi dalam antisipasi keadaan darurat dan merencanakan pemulihan pasca kegagalan atau masalah respon kemanusiaan.

“Evaluasi dan pembelajaran dari praktek respon kemanusiaan digunakan untuk merencanakan respon kemanusiaan yang lebih baik di masa depan.”

Isu TB Masih Perlu Perhatian Banyak Pihak

By Artikel

Jakarta (17/11) — Jejaring Lokadaya dan Tim Accelerate Penabulu Foundation mengadakan seri webinar Jaringan Solidaritas TB Nasonal secara daring. Webinar 1 berjudul Peningkatan Peran CSO dalam Upaya Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia ini diadakan pada Kamis (16/11) melalui Zoom Meeting.

Webinar ini berusaha mendorong dan menyadartahukan bersama tentang upaya eliminasi TB yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak, baik CSO, pemerintah, akademisi, maupun lainnya di Indonesia. Mengingat Indonesia menempati urutan kedua di dunia dengan estimasi kasus TB 1060 jiwa, maka peran CSO diperlukan.

“Kita melihat keterkaitan isu TB dengan berbagai sektor itu sebenarnya cukup banyak. Hanya saja berbagai kegiatan dan program yang dilakukan masih sebatas klinis. Sementara upaya untuk mendorong keterlibatan multipihak masih perlu ditingkatkan,” kata Setyo Dwi Nugroho dari Penabulu Foundation.

Lebih lanjut, Senior Institutional Strengthening Advisor BEBAS TB Dini Andriani menjelaskan ada eksklusivitas penanganan TB masih condong ke arah medis. “Bukan berarti (permasalahan) sosialnya tidak diperhatikan tapi sekarang itu (penanganan) lebih berat untuk urusan medis,” terangnya.

Dini menilai masih banyak CSO yang menganggap bahwa TB bukan ranah atau isunya. Padahal faktor penyebab TB tidak hanya dari medis, tetapi juga nonmedis yang meliputi akses dan kualitas pendidikan, kualitas pelayanan kesehatan, konteks sosial dan masyarakat, dan stabilitas ekonomi—yang mungkin menjadi salah satu isu “ranah” CSO tertentu.

Dirinya memperkenalkan pendekatan Community, Right, Gender (CRG) yang dikeluarkan oleh Stop TB Partnership International. Pendekatan CRG dianggap efektif karena melibatkan komunitas melalui people approach. Pendekatan ini membawa hak kesehatan sebagai hak asasi yang harus dipenuhi dalam ruang TB karena kesehatan adalah hak hidup. Perspektif gender juga harus ada di setiap layanan, program, dan kebijakan dimana equity dan equality gender perlu diterapkan.

“CSO adalah salah satu mitra penting pembangunan, penghubung antara pemerintah dan warga, pendorong dan penjaga demokrasi, pendorong partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan dan pengembangan program untuk menangani isu-isu yang belum mendapat perhatian, dan melengkapi untuk memenuhi kebutuhan warga dalam penyediaan layanan publik.” Kata Dini.

Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana Masih Rentan

By Artikel

Jakarta (11/10) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik IV tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana ini diadakan pada Jum’at (10/11) melalui Zoom Meeting.

Direktur INAATA Mutiara Maluku Lusi Peilouw menjelaskan ada beberapa kerentanan perempuan dan anak dalam situasi bencana, yaitu posisi subordinasi perempuan dan anak, beban domestik berlebihan pada perempuan, dan akses serta kontrol pada sumber daya yang lemah.

“Ketiganya menimbulkan tensi-tensi sosial antar warga dan menjadi kerentanan bagi perempuan dan anak dalam situasi bencana. Selain itu menciptakan diskriminasi, posisi perempuan dan anak termarjinalkan, eksploitasi. Perempuan dan anak juga rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan,” kata Lusi.

Lebih lanjut Direktur SKP-HAM Nurlaela Lamasitudju mengatakan penanganan bencana berbeda antara bencana alam, nonalam, dan sosial. “Luka akibat bencana sosial panjang sehingga penyembuhannya memerlukan waktu yang lama. Pada situasi bencana alam, traumanya lebih cepat pulih. Namun pada bencana alam seperti Covid-19 kemarin trauma hampir tidak ada tapi ada ancaman fisik yang membawa dampak berbeda,” terang Nurlaela.

Maka penanganan bencana harus secara inklusif menjadi penting—dari prabencana hingga pascabencana. Salah satu contohnya melalui ruang-ruang belajar bagi perempuan dengan berbagai organisasi humanitarian dan internasional yang dilakukan oleh SKP-HAM melalui Arisan Ilmu Padagimo. Kegiatan ini menjadi ruang belajar masing-masing organisasi tentang ketahanan lokal dan mitigasi bencana secara kultural bisa saling berkolaborasi dengan pengetahuan baru yang organisasi humanitarian bawa tentang penanganan bencana.

“Kami sedang mempersiapkan perempuan-perempuan menjadi kuat dan anak-anak bersiap ketika bencana datang lagi. Rumah-rumah belajar membuat berbagai kelas bencana dan membangun ruang diskusi. Perempuan juga perlu disiapkan menjadi berdaya secara ekonomi di situasi bencana. Banyak bantuan modal tapi hanya sedikit bantuan pendampingan untuk memberdayakan perempuan. Kami membantu memperkuat kapasitas dan memberikan modal pengetahuan.” Ujar Nurlaela.

Mengelola Risiko Bencana dengan Teknologi Berbasis Open Source

By Artikel

Jakarta (04/11) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik III tentang Pemanfaatan Teknologi dalam Pengelolaan Risiko Bencana ini diadakan pada Jum’at (03/11) melalui Zoom Meeting.

Pada konteks pengelolaan risiko bencana, diperlukan sajian informasi sebagai alat pengambilan keputusan. Menurut Petrasa Wacana dari AksiKomunitas, open source bisa menjadi solusi untuk menjawab kebutuhan tersebut.

Open source menjadi salah satu indikator dalam keberlanjutan platform digital untuk kegiatan humanitarian. Metode ini memungkinkan untuk menyediakan data spasial secara partisipatif pada konteks pengelolaan risiko bencana.

“Tidak adanya strategi percepatan penyediaan walidata sebagai yang memiliki kewenangan mengumpulkan data memunculkan gerakan-gerakan opensource dimana orang-orang bisa saling berkontribusi. Dulunya sempat tidak diakui tapi sekarang lembaga seperti Badan Informasi Geospasial menggunakan data-data dari Open Street Map yang dikontribusikan oleh masyarakat yang dianggap tidak tersertifikasi,” terang Petrasa.

Salah satu platform berbasis open-source yang ada adalah KatalogKesiapsiagaan. Platform ini memiliki beberapa fitur utama: Peta Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK), Penilaian Ketangguhan Desa, Fasilitator untuk mengetahui sebaran dan pengelolaan fasilitator serta kolom Praktik untuk membagikan penyebarluasan pengetahuan dan praktik baik PRBBK. Semua pihak dapat berpartisipasi, berkontribusi, dan memanfaatkan informasi dalam platform KatalogKesiagaan.

“Kebutuhan seseorang atau daerah dari penggunaan teknologi adalah ketika menginput tidak perlu menunggu lama untuk melihat hasilnya yang digunakan sebagai alat pengambilan keputusan,” katanya.

Pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan risiko bencana secara open source mampu membantu masyarakat terdampak pada bencana banjir di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Pemerintah Kabupaten Bantaeng merangkul Balang Insitute sebagai Organisasi Masyarakat Sipil mengumpulkan data-data masyarakat terdampak melalui aplikasi sederhana yang bisa diakses melalui ponsel. Langkah ini mampu menjadi basis pemerintah dalam menurunkan bantuan.

“Pendataan dengan memanfaatkan teknologi dapat merespon cepat. Tinggal menunggu kolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten untuk menginisiasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat terdampak seperti pemberian bantuan.” Ujar Awal Nur Afdal dari Balang Institute.