Skip to main content

Keberadaan OMS menjadi satu ukuran kesehatan demokrasi di suatu negara. Demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak berada di tangan rakyat dan keberlanjutan OMS sebagai salah satu pilar demokrasi menjadi hal yang sangat penting. Dalam menjaga dan memelihara eksistensi OMS di Indonesia tentunya diperlukan strategi-strategi jitu. Gagasan ini dipaparkan oleh Misran Lubis dalam diskusi Seri IV Pilar Akuntabilotas, Visibilitas, dan Keberlanjutan OMS Indonesia pada Selasa pagi (06/02).

Beliau yang juga salah satu senior di bidang OMS ini menyambut opini peserta diskusi dengan pancingan pertanyaan. Di antara dua pertanyaan berikut, pertanyaan mana yang Anda pilih: berapa lama kami bisa melanjutkan dan berapa lama kami ingin melanjutkan. Kata “bisa” dan “ingin” menandai pintu masuk beragam jawaban dari peserta.

Tak tanggung-tanggung, pertanyaan itu pun memiliki ekor. “Menurut Anda, isu keberlanjutan OMS ini apakah soal isu keberlanjutan di sektor keuangan? Silakan berikan tanggapan Anda. Benar, tidak sepenuhnya benar, atau salah,” tanya Misran kepada peserta. Ibarat bersepakat, peserta diskusi pun cenderung memilih opsi kedua. Keberlanjutan, menurut benang merah jawaban peserta, tak melulu urusan keuanga namun merupakan isu lintas-disiplin.

Menurut Misran, selama satu dasawarsa belakangan ini OMS tengah menghadapi masalah keberlanjutan. “Adapun beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain tata kelola organisasi, keterbatasan sumber daya, dan kebijakan yang kurang mendukung,” ucapnya. Pandemi COVID-19 silam mempertegas kenyataan bahwa OMS mengalami krisis keberlanjutan. “Jadi, keberlanjutan OMS ini bukan hanya urusan isu finansial, melainkan juga urusan banyak aspek,” imbuh Misran. Di antara dua aspeknya adalah perkara internal dan eksternal organisasi.

Dengan menganalogikan seperti pohon, keberlanjutan itu menunjukkan batang, ranting, dan dedaunan. Yang kelihatan ini kalau dalam organisasi terdiri atas kantor, proyek, dokumen, administrasi, dan kapasitas orang. Sebaliknya, anggota “badan” pohon yang di akar cenderung tertutup. “Yang tidak terlihat ini seperti aspek kelembagaan organisasi, visi, nilai, dan motivasi,” terang Misran.

Mengutip riset CSO-SI (2021), Misran merinci tujuh dimensi untuk mengukur keberlanjutan OMS. Pertama, lingkungan hukum yang mendukung OMS. Kedua, kapasitas organisasi. Ketiga, kemampuan keuangan. Keempat, advokasi. Kelima, penyediaan layanan. Keenam, infrastruktur pendukung. Ketujuh, citra publik. Sejumlah indikator keberlanjutan ini menjadi cerminan bersama agar OMS tak terperangkap pada situasi hidup segan mati pun tak mau.

“Agar punya daya keberlanjutan, OMS mesti punya resiliensi,” tutur Misran. Ketahanan OMS diwakili oleh seberapa jauh ia beradaptasi secara cepat dan terarah terhadap gejolak internal dan eksternal organisasi. Misran berpendapat, hendaknya masing-masing OMS mengidentifikasi tujuh hal dari kesadaran situasi, ketahanan, kelincahan, hingga penggunaan komunikasi kreatif-inovatif.

“Kalau di Lokadaya sendiri ada strateginya.  Kuncinya ada pada berjejaring. Sebab, keterhubungan itu merupakan salah satu syarat tumbuhnya ekosistem dukungan sumber daya domestik,” ungkap Misran. Keterhubungan ini menegaskan bagaimana OMS dapat mengambil posisi di tengah sektor pemerintah dan swasta.