“Diskusi virtual ‘Gerak Gesit Raih Benefit’ mengungkap strategi baru bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk bertahan dan berkembang di tengah tantangan yang terus berubah”
Di tengah ketergantungan terhadap donor, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) harus menguasai seni mengelola aset dan kapasitasnya untuk tetap berdaya dan relevan. Pada Jumat (08/11), Jejaring Lokadaya Nusantara kembali menggelar diskusi Seri IV bertajuk “Gerak Gesit Raih Benefit” melalui platform Zoom. Acara ini menghadirkan dua narasumber utama: Kangsure Suroto dari Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) dan Frans Toegimin dari Yayasan SPEAK Indonesia. Diskusi ini diikuti oleh sekitar 50 peserta dari berbagai OMS di Indonesia. Para peserta antusias mendengarkan berbagai strategi dan praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya organisasi yang dibahas oleh para pakar.
Kangsure Suroto membuka diskusi dengan memaparkan materi berjudul “Praktik Pengelolaan Sumber Daya Organisasi”. Ia menyoroti data terkini yang menunjukkan jumlah OMS di Indonesia mencapai 560.510 per Oktober 2023. “Ini menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dengan rata-rata bertambah 50 hingga 100 organisasi baru setiap harinya,” ungkap Kangsure. Dari jumlah tersebut, 1.821 terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, 46 organisasi asing di Kementerian Luar Negeri, dan 558.643 berbadan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 219.149 perkumpulan dan 339.494 yayasan.
Hasil penilaian CSOSI yang diuraikan Kangsure menunjukkan evaluasi Indeks Keberlanjutan OMS di Indonesia. Skor Lingkungan Hukum mencapai 4,8, menunjukkan keberlanjutan yang berkembang. “Hal ini menunjukkan adanya kemajuan, meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi,” tambahnya. Kapasitas Organisasi memiliki skor 3,7, sementara Kemampuan Finansial memperoleh 4,5. Dengan skor rata-rata 3,9, Kangsure menekankan pentingnya strategi pengelolaan sumber daya yang efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
Dalam paparannya, Kangsure menjelaskan strategi bagaimana Yayasan Satu Karsa Karya mengelola sumber daya; khususnya memfokuskan pada rana “dana” dan “sumber daya manusia”. “Yang ini saya fokuskan adalah dua fungsi utama: mobilisasi sumber dana dan pengelolaan dana,” jelasnya. YSKK menggalang dana melalui kegiatan konvensional, pemberian jasa layanan konsultansi, dan mengintegrasikan kewirausahaan sosial dalam program-programnya. Selain itu, YSKK menerapkan peraturan dan SOP terkait sistem penggajian serta akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.
Pengelolaan sumber daya manusia di YSKK melibatkan aspek kerelawanan, aktivisme, dan profesionalisme. “Kami memperhatikan kesejahteraan karyawan dengan memberikan penghargaan masa kerja, jaminan kesehatan, dan dana pensiun,” kata Kangsure. Keterbukaan informasi, termasuk keuangan organisasi, menjadi cara untuk membangun kepercayaan antara staf dan organisasi.
Frans Toegimin memberikan perspektifnya dengan menekankan pentingnya SOP dalam mengatur kontribusi staf dan transparansi keuangan. “Jika kita transparan dalam aspek keuangan, baik pihak dalam maupun luar akan lebih percaya,” ujar Frans. Ia juga memuji dedikasi Kangsure di YSKK, yang telah berperan penting sejak awal berdirinya organisasi tersebut.
Selama sesi tanya jawab, Joni Aswira dari SIEJ menyoroti pentingnya kemitraan strategis antara OMS dan media. Ia mengungkapkan bahwa “media sosial kini memegang peran penting dalam agenda setting, menggantikan media konvensional”. Menanggapi hal ini, Kangsure menekankan pentingnya konsensus agenda bersama dalam forum, yang mencakup berbagi pengetahuan, sumber daya, dan agenda advokasi. “Agenda bersama harus diperjelas agar anggota merasa mendapatkan manfaat,” jelasnya.
Deni dari Yayasan Koppesda mengangkat tantangan kemandirian organisasi di daerah terpencil. Ia menyatakan bahwa “tantangan utama adalah kerelawanan dan penggunaan sumber daya secara transparan”. Kangsure menanggapi dengan menekankan perlunya lembaga besar yang akan menjalankan program di daerah untuk bermitra dengan lembaga lokal. “Harusnya ada konsorsium dengan lembaga lokal,” ujar Kangsure.
Frans menambahkan bahwa mendirikan perusahaan sebagai bagian dari upaya keberlanjutan organisasi bukanlah masalah selama dikelola dengan baik. “Namun, perlu diingat bahwa perusahaan dan CSO memiliki budaya yang berbeda, dan hal ini harus dianalisis terlebih dahulu,” tambahnya.
Pertanyaan terakhir dari Eros Speaker Kampung mengenai akses CSO terhadap CSR perusahaan tambang dijawab Frans dengan menekankan pentingnya mematuhi prinsip dan kode etik CSO. “Kemitraan harus disesuaikan dengan kode etik kita,” tegas Frans.
Diskusi yang berlangsung selama beberapa jam ini menjadi wadah penting bagi para peserta untuk saling berbagi strategi dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya organisasi. Dengan berbagai masukan dari narasumber dan peserta, diharapkan OMS dapat lebih gesit dalam meraih benefit dan mencapai keberlanjutan di masa depan. Diskusi ini juga menandaskan pentingnya kolaborasi dan inovasi dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, terutama di era ketidakpastian yang semakin kompleks.
Melalui sesi ini, para peserta mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana organisasi mereka dapat beradaptasi dan berkembang meskipun dihadapkan pada berbagai kendala. Jejaring Lokadaya Nusantara berkomitmen untuk terus menyelenggarakan diskusi-diskusi semacam ini sebagai bagian dari upaya mendukung OMS di seluruh Indonesia.