Skip to main content

Jakarta (15/1/2024). Advokasi yang dilakukan dalam kemitraan (contoh: aliansi) hampir selalu lebih berhasil dibandingkan dilakukan sendiri. Hal ini disebabkan masing-masing organisasi memiliki kekuatan yang berbeda-beda, latar belakang isu berbeda, dan luas jangkauan program berbeda, sehingga keberagaman tersebut yang dapat memperkuat advokasi. Untuk itu penting kiranya OMS mengidentifikasi kemitraan sebagai langkah strategi advokasi.

Pemaparan menarik tentang strategi advokasi untuk akses Swakelola Tipe III ini muncul dalam seri pertemuan ke-4 dalam pelatihan yang diadakan oleh Lokadaya dan Konsil LSM Indonesia.

Mewakili Konsil LSM Indonesia, Anick HT menyampaikan apapun isu advokasi yang didorong harus dilandasi prinsip dan nilai yang biasanya diwujudkan dalam visi misi OMS. Sebelum melakukan advokasi, sebagai OMS harus melihat modal yang mereka punyai, meliputi sumber daya, kapasitas dan visibilitas, eligibilitas, kebijakan pendukung, dokumen pendukung.

Alur advokasi selanjutnya adalah menentukan isu strategis dan tujuan. Perlu digarisbawahi, isu strategis dirumuskan dari penggalian akar masalah dan rumusan tujuan. Satu isu strategis dapat dibagi menjadi beberapa sub isu dan kemudian setiap isu tersebut diturunkan dalam workplan.

Setelah menentukan tujuan, kita akan tahu mitra dan jaringan mana saja yang bisa diajak bekerjasama, dalam hal ini bisa anggota dewan, mitra aliansi dan dinas terkait. Alur advokasi ini juga dilakukan untuk mengidentifikasi kepentingan decision maker, sebab ini merupakan pintu masuk dalam melakukan advokasi. Decision maker dalam Swakelola Tipe III diberi istilah PA (Pengguna Anggaran) diduduki oleh Kepala Dinas, Sedangkan pada dinas besar Kepala Bidang menduduki KPA (Kuasa Pengguna Anggaran). Dalam advokasi menentukan kepentingan sasaran menjadi penting, karena OMS akan tahu sejauh mana dan apa yang kurang dari sasaran tersebut.

Seperti diketahui, lobi juga bagian dari advokasi. Lobi merupakan bentuk khusus dari advokasi, cara strategis, terencana dan cenderung informal dalam mempengaruhi pengambil keputusan. komunikasi bersifat terbuka dua arah, menghubungkan kepentingan, menciptakan kondisi yang sama-sama menguntungkan serta membangun hubungan jangka panjang.

Pertanyaan yang muncul, mengapa lobi dan advokasi ini wajib dilakukan? Jawabannya adalah karena kebijakan Swakelola Tipe III ini relatif baru. Tingkat pemahaman stakeholder relatif rendah dan tidak seragam. Kalaupun mereka paham hanya setengah-setengah, sehingga tidak berani mengeksekusi Swakelola Tipe III. Selain itu Swakelola Tipe III bukan mandatory spending (pengeluaran daerah yang diatur undang-undang). OPD tidak berkewajiban menggunakan Swakelola Tipe III dalam pengadaan paket paket anggarannya dan tidak mendapat sanksi atas itu. Alasan lain adalah tingkat kepercayaan OPD terhadap OMS rendah.

Anick HT mengatakan seringkali OMS melupakan langkah advokasi seperti mengirim surat ataupun policy brief (dokumen ringkas berisi temuan dari sebuah permasalahan) ke OPD terkait. Padahal ini tahap yang penting dan harus dilakukan agar OPD lebih mengenal dan percaya terhadap OMS tersebut. Di jaman sekarang masih banyak yang merasa sia-sia dengan mengirim surat karena sangsi, dokumen tersebut akan dibaca oleh OPD terkait. Langkah advokasi ini perlu OMS lakukan selain untuk menampilkan kinerja OMS, juga sebagai langkah kontribusi pada pembangunan negeri.

Seri ke-4 ini terdokumentasi di kanal youtube @LOKADAYA, silakan anda mengakses kanal tersebut untuk mengetahui secara lengkap dan detil pokok pembahasan tentang advokasi pada Swakelola Tipe III. (*ari)