Skip to main content
Category

Artikel

Setelah Mengikat Lalu Mengelola Pengetahuan

By Artikel, Kyutri

Di tengah pusaran informasi tiada henti, pengetahuan bagaikan harta karun yang menanti untuk digali. Bagi organisasi, mengelola pengetahuan secara efektif menjadi kunci untuk membuka gerbang pertumbuhan dan keberlanjutan. Dalam diskusi Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, Eko Komara, menutup Seri IV (11/06) ini dengan pemahaman secara mendalam tentang esensi dan praktik pengelolaan pengetahuan dalam organisasi.

“Pengelolaan pengetahuan ibarat radar sensitivitas organisasi,” ungkapnya. “Dengan mengelola pengetahuan secara baik, organisasi dapat lebih sigap menangkap perubahan dan memanfaatkan sumber dayanya dengan optimal.”

Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa pengelolaan pengetahuan tidak hanya terbatas pada ranah informasi, tetapi juga mencakup pengalaman dan budaya organisasi. “Pengetahuan organisasi terbangun dari dua arus utama: arus pengalaman dan arus informasi,” tuturnya. “Kedua arus ini perlu dikelola dengan pendekatan yang berbeda, yaitu budaya organisasi untuk arus pengalaman dan sistemik untuk arus informasi.”

Eko menuturkan bahwa pengelolaan pengetahuan secara efektif membutuhkan transformasi pengetahuan menjadi bentuk yang lebih tinggi, seperti inovasi dan kreasi. Hal ini dapat dicapai melalui proses spiralisasi dan konversi pengetahuan—paparan ini telah diwedarkannya pada Sesi III. “Spiralisasi dan konversi ini ibarat proses daur ulang pengetahuan,” terangnya. “Pengetahuan yang telah diperoleh diolah dan diubah menjadi sesuatu yang baru dan lebih bermanfaat.”

Namun, pengelolaan pengetahuan takkan optimal tanpa adanya organisasi pembelajar. “Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus belajar dan beradaptasi,” kata Eko. “Untuk menjadi organisasi pembelajar, diperlukan empat prasyarat: fondasi, keterampilan, kondisi pemungkin, dan habitat belajar.”

Eko tak luput menekankan bahwa teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), menjadi elemen penting dalam menciptakan kondisi pemungkin pengelolaan pengetahuan. Ia berpendapat, teknologi dapat membantu organisasi dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan pengetahuan.

Di sela paparan, Eko mengingatkan organisasi masyarakat sipil: pengetahuan organisasi lahir dari interpretasi dan makna yang diberikan terhadap data dan informasi. “Data adalah hasil pengamatan, informasi adalah hasil pengolahan data, dan pengetahuan adalah informasi yang telah dimaknai,” terangnya. “Dengan mengelola pengetahuannya secara efektif, organisasi dapat meningkatkan kepekaan terhadap perubahan, memanfaatkan sumber daya dengan optimal, dan pada akhirnya mencapai tujuannya.”

Bukan Mas Eko, begitu aktivis sipil sosial kemasyarakatan memanggilnya, kalau tak melemparkan pertanyaan reflektif. “Nah, jika demikian, kapan, di mana, dan bagaimana pengetahuan organisasi lahir,” demikian ia melemparkan pertanyaan kepada audiens. Pertanyaan ini mengundang sejumlah komentar.

Holan Tobing (Batam) bilang kalau pengetahuan lahir saat organisasi berdiri. Sementara, bagi Lien (Medan), pengetahuan organisasi lahir tatkala ia dibagikan atau diimplementasikan melalui program. Hampir segendang dan sepenarian dengan pernyataan demikian, Pajung Institute Lutra (Sulawesi Selatan) berujar: “Pengetahuan itu lahir dari saat kita berinteraksi dengan fakta di lapangan.”

Sementara itu, Kusworo Bayu Aji (Yogyakarta) mendefinisikan proses penciptaan pengetahuan sebagai perenungan dan transformasi pengalaman dan data menjadi bentuk yang mudah diakses. Baginya, pengetahuan baru tercipta ketika ia dibagikan dan dimanfaatkan oleh orang lain.

Aji memaparkan dua jenis format pengetahuan yang ia praktikkan: tulisan dan non-tulisan. Ia pun menekankan bahwa pengetahuan organisasi tak harus terpaku pada dokumen resmi dan lembaga, melainkan pada nilai yang tertransformasi dan dapat diakses secara luas. Pandangan Aji ini membuka wawasan baru tentang pengetahuan, yakni kolaborasi dan aksesibilitas menjadi kunci utama dalam memajukan organisasi dan individu.

Eko gayung bersambut dengan paparan Aji. Ia menyatakan, “Pengetahuan adalah sesuatu yang ditransformasi dalam bentuk lain yang dapat diakses,” menekankan esensi dari pengetahuan sebagai ikatan makna. Bagi Eko, mengelola pengetahuan bukanlah sekadar tugas teknis, melainkan sebuah proses yang melibatkan aspek esensial seperti menangkap, mengikat, memaknai, memberi nama, dan mendistribusikan pengetahuan. Ia menyoroti bahwa pada tahap ini, kemampuan untuk memproduksi pengetahuan menjadi mungkin.

“Materi ini [Seri I-IV] untuk ‘mengganggu’ teman-teman apakah ketika kembali ke organisasi kita menyadari soal ini [produksi pengetahuan]. Kalau organisasi ini sudah mampu memproduksi pengetahuan, ya kita akan mendapatkan efek ‘arus balik’ dari situ,” pungkas Eko.

Paparan Eko Komara—bila disimak dari seri pertama sampai keempat—bagaikan peta jalan yang menuntun aktivis organisasi masyarakat sipil dalam memahami pengelolaan pengetahuan. Seperti kerap ia utarakan: pengetahuan adalah ikatan makna, maka ia perlu diikat, dinamai, dan didistribusi.

Dari Konversi ke Spiralisasi Pengetahuan

By Artikel, Kyutri

Satu tarikan napas masuk jantung diskusi, Eko Komara mengajak audiens mengendapkan petikan pemahaman dua diskusi sebelumnya. Bila seri pertama bicara soal bagaimana OMS harus melakukan pengelolaan pengetahuan, seri kedua cenderung menukik pada persoalan cara.

Sedangkan, katanya lebih lanjut, seri ketiga (04/06) menguraikan bagaimana pengelolaan pengetahuan dapat mendorong mobilisasi sumber daya. Dorongan ini mengedepankan potensi manusia yang tiada lain dan tiada bukan merupakan sumber daya penting bagi organisasi.

Di awal presentasi, Eko sejurus kemudian mengutip Eric Hoffer, pria bertopi ala Newsboy filsuf konservatif moral paman sam. Nukilannya: “Di dunia yang tak henti berubah, para pembelajar akan mewarisi bumi, sementara yang berhenti belajar akan berpuas diri, merasa layak mendapat seisi dunia—dunia yang sejatinya sudah tiada: berubah!”

Kutipan ini menjadi pintu masuk bagi pembacaan Eko atas situasi organisasi masyarakat sipil (OMS) di tengah abad informasi. Gempuran informasi yang tak berkesudahan mendorong derasnya isu bermunculan. Umpamanya, menengok situasi distribusi informasi melalui teks dan fail di WhatsApp. Belum selesai membaca sudah kedatangan tulisan lain. Kondisi derasnya informasi ini menyeruak menjadi peluang, khususnya bagi OMS untuk terus merumuskan bangunan pengetahuan.

“Seberapa jauh teman-teman melihat, misalnya, perjuangan perempuan dan kelapa sawit,” ucap Eko menyodorkan gambaran agar OMS memiliki sensitivitas untuk mengoneksikan titik simpul suatu isu. Sesungguhnya ajakan Eko kepada OMS agar lantip mendaras situasi itu merupakan penajaman dari mata puitik—melihat yang tak terlihat, memaknai relasi dari yang tak terkait, serta memikirkan yang belum terpikir.

Dalam paparannya, Eko menyentil dua lokus, yakni spiralisasi dan konversi pengetahuan.

Spiralisasi pengetahuan merupakan proses akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan. Ia bekerja pada tiga dimensi: pengelolaan arus pengalaman melalui pendekatan budaya organisasi, serta pengelolaan arus informasi melalui pendekatan sistemik berbasis sistem manajemen data dan informasi. Masing-masing arus pengetahuan membutuhkan pendekatan khusus untuk mencapai spiralisasi yang efektif, efisien, dan komprehensif.

Sementara itu, Eko melanjutkan, bagaikan konversi energi, proses konversi pengetahuan senantiasa berlangsung dalam organisasi. Penguasaan pengetahuan membuka peluang bagi organisasi untuk mengembangkan inovasi dan kreasi, seirama dengan pemahaman terhadap dinamika lingkungan eksternal.

Tujuan utama konversi pengetahuan adalah menemukan ruang relevansi baru yang paling strategis bagi organisasi. Keberlanjutan bergantung pada kemampuan organisasi untuk terus-menerus menemukan titik relevansi baru, seiring dengan tatanan yang selalu berubah dan berkembang secara dinamis.

“Kalau teman-teman mau mengembangkan sebuah produk, inovasi, atau hasil kreasi pengelolaan pengetahuan organisasi maka berilah nama. Kalau punya nama dan logo maka dia akan hidup. Mungkin dia akan hidup lebih panjang dari organisasi,” ucap Eko. Paparan ini mempertegas arah diskusi seri ketiga, yaitu mengajak audiens untuk menyodorkan produk apa yang organisasi tawarkan.

Sejumlah OMS yang hadir gayung bersambut. Mereka melemparkan ide, deskripsi produk, dan sedikit mengutarakan narasi di balik peneluran gagasan. Jatmiko Wiwoho dari Yayasan Penyu Indonesia, misalnya, menyebut Mafal (Mameduli Fenu Along). Ia ingin bikin semacam website konservasi penyu. Harapannya, ada pendaftaran pengunjung, penjadwalan kegiatan pelancong, hingga term in condition.

Perumusan nama dan penganyaman logo menjadi langkah sedepa memanifestasikan ide. “Jalan saja. Rasakan pengetahuan yang kita miliki akan terserap di situ. Dan dia akan berkembang jadi pengetahuan-pengetahuan baru,” pungkas Eko memberi penegasan atas pentingnya pengeksekusian gagasan menjadi sebuah produk inovasi.

Reka Arus Cipta Alur Pengetahuan OMS

By Artikel, Kyutri

Nirwan Dessibali asal Makassar sesekali mengernyitkan dahi ketika diminta merefleksikan diskusi Seri I tempo hari. Di balik jumpalitan pertanyaan di benaknya, Nirwan merasakan bahwa paparan Eko Komara sebelumnya membuat dirinya ngeh. Betapa tidak? Nirwan menyadari pengelolaan pengetahuan memang makanan sehari-harinya di organisasi.

Namun, selepas paparan Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu lalu, dirinya makin tergerak untuk membikin peta pengelolaan pengetahuan secara lebih serius. Di internal organisasinya, Nirwan mengaku, “Kami selalu harap diskusi ini [ihwal pengelolaan pengetahuan] tidak membuat kening kami berkerut. Diskusi boleh panjang tapi semoga membuat bahagia.”

Memang tanda pengetahuan telah mengejawantah menjadi pemahaman tatkala seseorang tengah dirundung tanda tanya. Bingung itu pasti. Tapi di balik kebingungan senantiasa disusul dengan gerak nyata. Tindakan nyata itu Nirwan ingin gali terus melalui keikutsertaannya dalam Sesi II: Pemetaan Arus dan Alur Pengetahuan dalam OMS pada Selasa (28/05) di Zoom Meeting.

Bila pertemuan pertama cenderung memprovokasi mengapa OMS harus mengelola pengetahuan, sesi kedua lebih pada kedudukan sirkulasi pengetahuan dalam lapisan konseptual dan praksis. Eko mengawali diskusi dengan menyodorkan anggapan umum yang kerap dilakoni OMS.

“Siklus kita kan gagasan yang dituliskan dalam bentuk proposal, bahkan sebelum gagasan kita ambil peluang pendanaan (call). Apakah kita punya gagasan karena call atau kita punya gagasan sebelum itu,” tanyanya mengundang refleksi. Pertanyaan Eko ini mengimplikasikan kecenderungan—kalau tidak dikatakan sebagai pola umum—organisasi sipil yang mendapatkan asupan energi karena peluang pendanaan. Problemnya, ide itu mendahului atau melampaui peluang pendanaan?

Seri II ini jamak menggarisbawahi bahwa pengelolaan pengetahuan bukan sekadar inti dari mobilisasi sumber daya, melainkan juga suatu bentuk pengelolaan organisasi. Eko menyodorkan premis umum pengelolaan pengetahuan OMS. Antara lain: pengetahuan akan membantu organisasi menjamin pertumbuhan dan keberlanjutan pada tiga dimensi, yakni objek, agen, dan konteks. Meski demikian, apa gerangan pengetahuan itu?

Eko memaparkan, pengetahuan merupakan informasi yang telah diinterpretasikan, sedangkan informasi merupakan hasil pengolahan data. “Dan data itu sendiri ialah hasil pengamatan fakta atau kejadian tertentu,” ungkapnya. Sementara itu, pengetahuan dapat berupa tacit dan eksplisit. Pengetahuan tacit, atau pengetahuan yang tersimpan dalam diri individu, akan terbangun terlebih dahulu. Namun, proses pematangan pengetahuan semacam ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Lebih lanjut, perubahan dari pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit, dan kemudian kembali menjadi pengetahuan tacit, memerlukan model intervensi khusus untuk memfasilitasinya. “Pengelolaan pengetahuan memiliki siklus yang tersambung. Dan, kesinambungannya mensyaratkan organisasi menjadi organisasi pembelajar,” terang Eko.

Pada OMS terdapat dua arus pengetahuan utama yang saling berkaitan. Pertama, arus pengalaman yang harus dikelola selaras dengan budaya organisasi. Kedua, arus informasi yang bermula dari data dan membutuhkan pengelolaan sistemik.

Kendati memiliki karakteristik berbeda, kedua arus pengetahuan ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya berpangkal dari titik awal yang sama dan akan membentuk satu muara bersama, membentuk sinergi pengetahuan yang kuat di dalam organisasi.

Pada penghujung diskusi, terdapat refleksi bersama yang diutarakan Eko Komara. Acap kali masalah sistemik organisasi sipil hari ini adalah ketiadaan staf organisasi. Sebab, menurut hasil pencermatannya, adanya “struktur kepanitiaan dalam organisasi kita.” Fenomena ini mengunggah seraya melecut audiens OMS dari berbagai daerah di Indonesia. Marwah organisasi mesti disadarkan sangkan dan paran-nya.

Menyunting yang Mengasyikkan

By Artikel, Kyutri

Jakarta (17/5/2024). Banyak orang melakukan swasunting lalu kesulitan menemukan kelemahan tulisannya. Kemudian mereka meminta bantuan orang lain untuk membaca kembali tulisan mereka. Tentunya ini adalah cara yang efektif untuk mendapat pandangan yang obyektif guna perbaikan tulisan kita. Idealnya mengorekasi dilakukan minimal dua kali baca guna didapat hasil yang terbaik.

Pemahaman menarik ini muncul di 3 Jam Kelas Berbagi; Kyutri yang dihelat Jejaring Lokadaya dan Lingkar Madani. Pelatihan ini merupakan sesi kedua dari rangkaian tema besar menulis dengan kalimat efektif. Uu Suhardi masih membersamai sebagai narasumber pada topik penyuntingan kali ini.

Penyuntingan adalah proses atau perbuatan menyunting. Adapun menyunting adalah memeriksa dan memperbaiki naskah dengan memperhatikan isi dan bahasanya (menyangkut kaidah/ejaan dan struktur kalimat). Kita dapat menyunting sendiri tulisan kita (melakukan swasunting), meminta bantuan orang lain, atau meminta bantuan dari penyunting profesional.

Seorang penyunting atau orang yang pekerjaannya melakukan penyuntingan, dipastikan termasuk dalam kategori orang yang teliti, fokus dan tidak terburu-buru. Dalam penyuntingan, tentunya mereka membutuhkan pegangan agar tulisan mereka lebih sempurna dan efektif.

Pegangan utama dalam melakukan penyuntingan, meliputi:

– Tata bahasa baku bahasa indonesia

– Ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan (EYD)

– Kamus besar bahasa indonesia, kamus bahasa asing dan tesaurus.

Pada sesi tanya jawab muncul pertanyaan dari Heri Oktavianus mengenai penggunaan ChatGPT AI dalam penyuntingan. Uu Suhardi menjawab bahwa boleh-boleh saja dipergunakan, tetapi sebatas digunakan sebagai alat bantu saja. Untuk saat ini hasil ChatGPT tidak sepenuhnya benar, terutama bahasa Indonesia. Bila menggunakannya, kita harus tetap melakukan penyuntingan ulang. “Dari pengalaman saya, penggunaan ChatGPT hanya sebagai alat bantu karena tetap harus diperbaiki ulang. Terkadang dia tidak mengerti apa yang kita maksud, namanya juga mesin, iya terbantu tapi tidak sepenuhnya benar”, ujar Uu Suhardi.

Pada pertemuan kedua ini semua peserta antusias melatih kemampuan menyunting, lebih aktif  dalam berbicara, bertanya, dan menjawab pertanyaan secara berkelompok. Moderator dan Narasumber memberikan beberapa paragraf sebagai bahan latihan para peserta, lalu mereka saling mengoreksi apa yang salah dari kalimat-kalimatnya. Sementara  moderator juga sibuk menilai peserta layaknya kuis. Seru sekali tentunya sesi ini.

Keseruan-keseruan lain dalam pelatihan penyuntingan ini dapat diikuti secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Kekuatan Ajaib Sebuah Kalimat Efektif

By Artikel, Kyutri

Jakarta (15/5/2024). Dalam sebuah tulisan, struktur kalimat yang teratur tidak harus melulu tersusun dari SPOK yang  lengkap. Boleh saja di dalam tulisan menggunakan satu atau dua kalimat yang berantakan sebagai teknik variasi agar pembaca tidak merasa bosan untuk membacanya. Namun bila tulisan menggunakan struktur kalimat yang berantakan semua, tentu akan melelahkan pembaca dan pesan menjadi kurang tersampaikan karena pembaca susah untuk memahami tulisan tersebut.

Lokadaya bekerjasama dengan Lingkar Madani mengadakan Tig Jam Kelas Berbagi; Kyutri dengan tema kali ini adalah “Menulis dengan Kalimat Efektif bersama Uu  Suhardi, Ia merupakan redaktur senior dan pengajar di Tempo Institute.

Di awal pemaparannya , Uu menjelaskan mengenai ragam bahasa yang secara garis besar dibagi menjadi tiga ;

– Formal (bahasa yang tertib secara gramatikal, kata baku, dan imbuhan lengkap)

– Nonformal (bahasa percakapan sehari-hari, menggunakan kata nonbaku dan imbuhannya ada yang tidak lengkap)

– Semi formal (bahasa jurnalistik, ringkas dan imbuhannya lengkap kecuali judul)

Seorang penulis tentunya ingin semua hal yang akan disampaikannya benar-benar dipahami oleh pembaca dan kalimat efektif diperlukan untuk itu. Semua jenis tulisan membutuhkan keterampilan menulis dengan kalimat efektif.

Kalimat yang sempurna sekurang-kurangnya harus memiliki subyek dan predikat. Kalimat tersebut dapat juga diberi pelengkap dan penjelasan. Biasanya kalimat sempurna itu efektif dan sederhana. Kalimat efektif adalah kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap dan cermat, yaitu

  • Singkat: hanya menggunakan unsur yang diperlukan
  • Padat: tidak berisi pengulangan kata
  • Jelas: strukturnya teratur
  • Lengkap: mengandung semua unsur pembentuk kalimat
  • Cermat: memakai tanda baca dan pilihan kata yang tepat serta tidak menyimpang kaidah

Uu Suhardi juga menyampaikan bahwa dalam penulisan kalimat efektif, ada baiknya menghindari kata-kata yang mubazir. Kata mubazir adalah kata yang tidak mengganggu kelancaran komunikasi bila tidak digunakan. Sifatnya yang berlebihan bahkan dapat menghasilkan kalimat rancu.

Penjelasan selanjutnya ialah mengenai kaidah. Semua bahasa modern memiliki kaidah, hal ini didasari bahasa yang selalu berpola. Dari pola tersebut maka lahirlah kaidah atau aturan yang pasti. Kaidah ini harus dipatuhi dan diikuti banyak orang. “Jika kita menerapkan kaidah, niscaya tulisan kita akan mudah dipahami. Namun sebaliknya jika tulisan kita menyimpang dari kaidah maka tulisan yang kita tampilkan akan sulit dipahami”, terang Uu Suhardi.

Dengan demikian, agar lebih mudah dipahami, tulisan harus menggunakan kalimat yang mematuhi kaidah. Kaidah dalam hal ini mencakup penggunaan tanda baca, pemakaian huruf dan penulisan kata.

Pemaparan lengkap  materi kalimat efektif ini dapat diakses secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Menyulam Masa Depan, Benang Pengetahuan Organisasi Masyarakat Sipil

By Artikel, Kyutri

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berada di titik persimpangan jalan. Ia tengah menghadapi desakan sejarah untuk berkelanjutan tanpa memupuk laba. Sebagai entitas nirlaba, OMS berorientasi memberikan layanan dan jasa demi kemaslahatan khalayak. Nuansa filantropi, solidaritas, dan semangat perubahan yang menggerakkan OMS sehingga menjadikannya khas.

OMS berada di tengah zaman yang makin bertunggang-langgang. Perubahan yang teramat cepat itu mengondisikan OMS untuk punya daya ungkit dan radar sensitivitas sumber daya organisasi. Pada aras ini pengelolaan pengetahuan OMS bukan saja penting, melainkan juga merupakan kebutuhan imperatif. Begitulah Eko Komara, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, mengawali diskusi Kenapa OMS Harus Mengelola pengetahuan? pada Selasa (14/05) di Zoom Meeting.

Diskusi seri pertama bertemakan Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan ini membabar tantangan dan peluang OMS untuk merefleksikan situasi “melihat ke luar, menengok ke dalam” tubuh organisasinya. Eko menuturkan, mobilisasi sumber daya adalah upaya yang memastikan tercukupinya sumber daya organisasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan keberlanjutan pencapaian visi dan misi organisasi.

“Mobilisasi sumber daya berarti perluasan sumber-sumber daya, dan peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki organisasi,” ujarnya. Sumber daya pengetahuan, lanjut Eko, melengkapi sumber daya manusia, pendanaan, dan teknologi.

Sumber daya pengetahuan acap kali terabaikan karena OMS kerap bekerja berbasis proyek. Sandra Tjan, salah satu peserta dari Morotai, Maluku Utara, menyatakan kecenderungan OMS yang timbul-tenggelam. Sebab, hematnya, OMS sering muncul karena suatu isu. Bila isu telah didanai sekaligus dikerjakan, maka setelah pembagian “hasil” OMS berpotensi hilang. Hilangnya OMS ini diakibatkan karena tak memiliki daya ungkit yang sesungguhnya dapat ditopang dari kegiatan pengelolaan pengetahuan.

Seirama dengan kondisi “OMS musiman” itu, Subhan dari Pandeglang berpendapat, “Biasanya lembaga sosial yang sedang lead dalam project akan eksis sepanjang project-nya belum berakhir. Namun, setelah project-nya selesai, lembaga tersebut nyaris tidak ada.” Kegelisahan Sandra dan Subhan ini cukup beralasan karena OMS jamak terjebak pada kerja sosial berbalut kegiatan proyek yang sifatnya temporal.

Terdapat satu celetukan Febrilia dari Bandar lampung atas hasil menyimaknya dari paparan Eko Komara: “Logika tanpa logistik akan sulit untuk jalan. Logistik ada tapi nggak pakai logika itu jalannya kesasar.” Sementara, ia melanjutkan, pengelolaan pengetahuan memang berada di ranah logika, selain dimungkinkan karena ketelatenan, kerja kolektif, dan panjang usus.

Kendati demikian, pengelolaan pengetahuan juga seyogianya dibarengi dengan kesadaran bersama. Jika tidak, Sandra Tjan mengingatkan, OMS akan terus menebalkan persaingan seperti halnya problem organisasi sipil belakangan. “Persaingan antar-OMS juga cukup kuat. Saling menahan pengetahuan daripada berbagi pengetahuan dan kerja sama. Karena takut disaingi, masing-masing mempertahankan positioning dan branding dirinya,” kritik Sandra.

Keringkihan OMS pun berpeluang mengancam keberlanjutan organisasi. Dennis dari Yogya melihat keberlanjutan organisasi akan di ujung tanduk jika tak mengindahkan aspek resiliensi. “Tren tiga sampai lima tahun belakangan, kan kelokalan jadi konteks yang didorong oleh donor. Dan OMS tak mampu mengelola pengetahuannya,” ungkapnya. Dennis melihat benang merah antara pengelolaan pengetahuan dan keinginan donor. Jadi, menurutnya, OMS harus tetap relevan.

Forum diskusi yang diikuti oleh sekitar 100 peserta dari OMS di Sabang sampai Merauke ini berjalan ciamik, sebagaimana dibahasakan oleh Eko Komara: mampu reflektif dan seberapa jauh organisasi sipil berposisi dan menjalin-kelindan pendekatan serta intervensi baru. Di tengah titik persimpangan yang dirasakan, keberlanjutan OMS hendaknya bertumpu di atas pengelolaan pengetahuan. Bila tak disadari sedemikian, alih-alih berkelanjutan, OMS akan berkubang dalam situasi dilematis: hidup segan mati tak mau.

Optimalisasi Potensi Relawan TB

By Artikel

Jakarta (1/4/2024). Relawan biasanya tidak memiliki ikatan formal dengan sebuah lembaga dan juga mereka tidak memiliki SK dari pihak yang berwenang. Hal ini yang mendasari keberlanjutan relawan dalam sebuah program menjadi ironi, termasuk dalam program TB. Mereka dapat melakukan ghosting atau datang pergi selama berjalannya program. Tentu ini menjadi PR bersama mengenai pengelolaan atau manajemen relawan TB.

Penyampaian menarik ini terdapat dalam program Ngabuburit Ngobrol TBC.yang diadakan oleh jejaring Lokadaya. Pada pertemuan keempat ini, Lokadaya mengambil tema “Potensi dan Opsi Manajemen Relawan TB” dengan  Anggoro Budi Prasetyo, peneliti dan Direktur eksekutif Pujiono Centre, sebagai narasumber.

Mayoritas OMS yang mau tergabung menjadi relawan biasanya dalam tahap mengerjakan dan bersinggungan langsung dengan isu TB. Jadi bukan hanya didasari sebagai individu yang peduli, tetapi juga sebagai lembaga yang sedang menggarap program TB.

Program TB itu tidak serta merta membicarakan tentang kesehatan, tetapi juga ada isu pendidikan, serta isu sosial did alamnya. Nah ini merupakan bagian dari peran relawan dalam mendukung program TB. Oleh karena itu, relawan tidak harus mengerti tentang kesehatan pada kasus TB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pujiono Centre, cukup banyak pihak yang potensial menjadi relawan TB. Pihak tersebut tidak hanya berperan di dalam penanganan pasien secara langsung, tetapi dapat berperan di ranah influencer, fundraiser, edukator dan administrator.

Pihak yang berpotensi menjadi relawan terbagi menjadi dua yaitu kategori perorangan dan kategori lembaga. Dalam kategori perorangan meliputi:

– Perorangan non-struktur

– Perorangan dari organisasi

– Perangkat desa

– Petugas kesehatan

– Anggota organisasi kemasyarakatan

– Warga umum

Sementara untuk kategori lembaga/pemerintah, meliputi:

– Lembaga kemasyarakatan

– Lembaga sosial

– Lembaga khusus TB

– Lembaga pendidikan

– Lembaga pemberdayaan wanita

– Lembaga kemanusiaan

– Organisasi profesi

– Lembaga Pramuka

Anggoro menyampaikan sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang relawan TB. Selain itu, masih terdapat kerancuan konsep kader dan relawan TB. Rekomendasi yang Ia berikan adalah kita perlu mempertegas fungsi dan peran relawan dalam upaya eliminasi TB dan mengadvokasi kebijakan payung di tingkat nasional tentang peran dan fungsi relawan TB.

Pada sesi tanya jawab, terdapat pertanyaan menarik terkait fenomena hilang timbulnya relawan dalam proses berjalannya program TB. Sepertinya permasalahan ini diamini oleh banyak pelaksana program TB di Indonesia. Menurut Anggoro, dalam hal pengelolaan relawan sebaiknya kita gunakan kontrak kerja yang harus didiskusikan sejak awal. Kontrak ini bukan hanya terkait durasi kerja, tetapi juga jobdesc apa saja yang dapat dilakukan sesuai passion mereka.

Ngabuburit dengan obrolan berkualitas ini dapat kita simak secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Memanfaatkan Sosmed dengan Optimal

By Artikel

Jakarta (28/3/2024). Memang berat untuk meningkatkan pengikut (Follower) dalam sebuah akun lembaga (OMS). Masalah ini tentunya banyak dialami oleh OMS lainnya. Untuk itu kita perlu konsisten memperkenalkan diri ke publik. Selain itu, OMS dapat mencoba untuk berkolaborasi dengan orang yang terkenal (influencer) yang memiliki kesamaan visi misi terkait isu yang sedang digarap.

Kyutri Sosmed yang dihelat Jejaring Lokadaya dan Co-Evolve 2 ini mencoba mengurai permasalahan-permasalahan OMS yang berkaitan dengan sosial media. Kyutri kali ini mengambil tajuk “Kenalkan diri Anda di Dunia Maya”. Narasumber pada pertemuan kali ini ialah Tika Pamungkas seorang praktisi komunikasi pemasaran.

Di Indonesia, sekitar 60,4% populasinya merupakan pengguna aktif media sosial. Data dari We Are Social menggambarkan platform media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah Whatsapp, Instagram, Facebook, Tiktok, dan Telegram.  Data ini pun berbicara bahwa media sosial merupakan media yang cukup efektif untuk memperkenalkan diri ataupun organisasi (branding).

Seperti dalam membangun brand, kita mengawali tahapan perkenalan dari pemahaman kondisi produk. Kita wajib memahami siapa kita serta apa saja yang kita miliki. Kemudian kita ceritakan keahlian dan pengalaman kita di media sosial. Setelah itu, dengan cerita tersebut akan cocok bila didistribuksikan ke media sosial yang cocok. Hal ini dilakukan agar konten kita lebih matching dengan keinginan pasar (target audience)

Tika menyampaikan bahwa konten haruskita perlakukan seperti gift atau isinya. Saat kita membuat konten, ada beberapa bagian yang perlu diperhatikan, yaitu:

  • bagian awal berisi hook, pancingan sebagai penarik perhatian
  • bagian tengah mencakup isi pesan (pesan utama)
  • bagian akhir berisi ajakan untuk bertindak

Poin terpenting dalam membuat konten adalah penentuan problem target audience kita itu apa. Hal ini harus dipikirkan agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Poin ini tentunya juga akan meningkatkan viewers pada konten yang kita tayangkan.

Pada sesi diskusi, seorang partisipan bernama Billy bertanya mengenai asal inspirasi konten. Menurut Tika, langkah yang dilakukan untuk mendapatkan ide konten, meliputi:

  • perbanyak membaca buku
  • riset dan mengikuti trend saat ini
  • meningkatkan kapasitas diri dengan join online courses
  • sharing/diskusi dengan orang-orang yang sesuai dengan target konten kita

Diskusi selanjutnya muncul dari Heri, wakil OMS di Langkat Sumatera Utara. Heri bercerita bahwa ia membuat konten pada momen yang pas dan sesuai dengan isu yang sedang digarap OMS-nya. Contohnya, kasus yang sedang meningkat saat ini di Langkat adalah kekerasan seksual. Maka dari itu, Heri selalu membuat konten dan memberikan edukasi dan ditambah materi-materi tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).

Pada dasarnya Media Sosial berguna menciptakan seseorang atau organisasi agar lebih dikenal publik. Tak dipungkiri akan ada kendala di lapangan, seperti sedikitnya viewers dan followers serta kendala algoritma, namun kita harus tetap konsisten dalam membuat konten yang berkualitas (bukan seadanya).

Selain itu, kita dapat memasang strategi dalam membangun konten yang akan kita tayangkan. Strategi lain yang tak kalah penting adalah bagaimana kita mengatasi komentar negatif ataupun protes terkait konten sensitif. Jadi bila strategi telah dipersiapkan dengan matang, maka konten tentunya akan berjalan lebih baik. Dampak langsung yang akan dirasakan bila konten kita berkualitas adalah engagement positif dari netizen dan berujung pada banyak oendengar, penonton, dan follower pada akun kita.

Diskusi ini dapat anda simak dan teliti secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

 

Mempertegas Posisi dan Peran Kader TB

By Artikel

Jakarta (27/3/2024) Belum ada pedoman khusus yang mengatur posisi kader TB, tak seperti kader program pendahulunya, yaitu kader Posyandu di tahun 1984, kader Malaria dalam Permenkes 41/2018 dan kader stunting tahun 2018, kata Basilica Dyah dan Amin Nurrohmah (Peneliti di Pujiono Centre) saat menjadi narasumber  program Ngabuburit ngobrol TBC (Menjadi Indonesia) yang dihelat oleh jejaring Lokadaya. Pertemuan ini merupakan seri ketiga yang bertajuk  “Jejaring dan Opsi Pelembagaan Kader TBC di Indonesia.”

Dalam RPJM 2020-2024, terdapat gerakan TOSS TB yang sampai saat ini sudah berjalan cukup baik. program ini merupakan program percepatan penanggulangan TBC dengan skema pendanaan Global Fund. Walaupun demikian, ada ketakutan dari para kader yang mana program Global Fund ini akan segera berakhir. Mereka mengkhawatirkan kelanjutan program Global fund (eliminasi TB) di tahun-tahun selanjutnya.

Menjadi kader TB selain perlu jiwa sukarelawan yang tinggi, juga perlu kesadaran yang sempurna akan pentingnya eliminasi TB di Indonesia. Terlepas dari risiko terpapar yang tinggi, ada beberapa tantangan teknis yang dihadapi para kader di lapangan.  Temuan Pujiono Centre saat melakukan survey pada para kader TB, beberapa kendala di lapangan itu seperti tidak digunakannya perangkat digital saat mengisi data TB. Padahal data Global Fund yang harus diisi itu berbentuk kolom kecil, yang mana mereka merasa kesusahan. Kendala lain saat menjadi kader TB adalah adanya penolakan dari pasien TB karena stigma negatif yang melekat. Selain itu ketidakberlanjutan insentif untuk kader TB juga mengundang kekhawatiran.

Menurut Amin, secara strata pendidikan para kader dapat dibilang cukup rendah. Hal ini dikarenakan sebagian besar kader lulus dari bangku SMP dan SMA, hanya sedikit yang lulusan sarjana. Walaupun demikian, kader telah diberikan pelatihan khusus untuk melayani masyarakat dan juga diberikan insentif walaupun terbatas. “Di Indonesia, dari pengertian kader saja sudah rancu, siapa yang disebut kader, siapa yang disebut relawan itu tidak jelas, karena basisnya sama-sama kerelawanan”, tambah Basilica dyah.

Di balik kerancuan tersebut, para kader memberikan rekomendasi untuk mempertegas fungsi dan peran kader serta relawan dalam upaya eliminasi TB. Selain itu penting untuk mengadvokasi kebijakan payung di tingkat nasional (Kemenkes) yang mengatur tentang peran dan fungsi kader TB.

Selain kerancuan di atas, terdapat dualisme posisi Kader TB di sistem kesehatan masyarakat Indonesia yang cukup membingungkan. Di pemerintahan, jejaring TB berada di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan program penanggulangan TBC melalui Direktorat pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung (P2PML). Mereka melibatkan kader kesehatan terlatih yang bekerja di Puskesmas.

Sedangkan posisi kader TB Non pemerintah berada di bawah koodinasi konsorsium komunitas Penabulu-STPI. Pada  tahun 2022 tercatat sekitar 1900 kader TBC di bawah konsorsium STPI-Penabulu. Mereka melibatkan kader posyandu dan kader TB Aisyiyah serta Muhammadiyah. Kader TB dari organisasi keagamaan ini telah terlebih dahulu melakukan pendampingan sebelum Global Fund turun tangan.

Berdasarkan data penelitian Pujiono Centre, dari total responden 1891, ada 1689 responden yang bukan penyintas TB (belum pernah terinfeksi TB). Artinya ini kabar baik, mayoritas kader sudah memiliki kesadaran bahwa ketika menjadi kader TB belum tentu kita dengan mudah tertular TB. Fakta ini dapat dijadikan senjata pada saat perekrutan kader baru, agar mereka tidak ragu-ragu dan semakin yakin untuk bergabung dalam jejaring kader TB.

Pemaparan menarik ini dapat dilihat menyeluruh di kanal youtube Lokadaya.(*ari)

Peran CSO Dalam Penanganan TB di Tempat Kerja

By Artikel

Jakarta (25/3/2024) Tidak dipungkiri memang  advokasi, sosialisasi, dan edukasi tentang ketenagakerjaan membutuhkan perjuangan. Baru soal aturan main dan etika perundangan saja, sudah banyak perkara yang kita hadapi, apalagi bila ditambah soal-soal kasuistik seperti TB yang diidap tenaga kerja.

“Menggagas pelibatan Civil Society Organization (CSO) dan Korporasi untuk Penanggulangan TBC di tempat Kerja” tema kedua Ngabuburit Ngobrol TBC menjadi relevan untuk diperbincangkan dan didiskusikan bersama. Program ini sendiri merupakan program Menjadi Indonesia yang dimotori oleh jejaring Lokadaya

Dari perspektif hukum kesehatan, CSO harus berkonsentrasi pada hak pekerja, buruh/pekerja adalah populasi kunci yang beresiko terpapar TB. Menurut Anom surya Putra dari jarkom Desa, hal ini dipicu oleh banyak tempat kerja yang tidak layak.

Pada tahun 2022 penanggulangan TB di tempat kerja telah dilegitimasi Kementerian Tenaga Kerja Indonesia. Terdapat satu aturan spesifik yang berusaha menyatukan hal-hal yang perlu ditangani korporasi, Dinas Kesehatan maupun aparat pemerintah lainnya. Aturan tersebut telah tertuang dalam Permenaker No. 13 Tahun 2022 tentang penanggulangan TB di tempat kerja. Terdapat sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi Permenaker, yaitu mendapatkan teguran tertulis, dibatasi kegiatan usahanya, bahkan dicabut ijin usahanya.

Secara global, WHO dan ILO (organisasi ketenagakerjaan Internasional) ditahun 2010 telah mengembangkan strategi penanggulangan TB di tempat kerja. Uji coba dilakukan secara luar biasa di daerah epidemi HIV-AIDS dan TB di negara miskin dan berkembang. Selain itu, ILO telah mengeluarkan panduan untuk berbagai tindakan pengendalian TB di tempat kerja (Guidelines for workplace control activities). Perlu diketahui bahwa epidemi HIV AIDS telah memicu peningkatan TB karena orang dengan sistem kekebalan lemah sangat rentan terinfeksi TB.

“Jika kita membaca dokumen Kemenkes, disitu ada suatu komitmen kolaborasi antar Dinkes kabupaten/kota dengan perusahaan multinasional untuk tatalaksana TBC sesuai standar”, ujar Anom. Untuk itu, teman-teman CSO dapat masuk dibagian tersebut. Hal ini dilakukan agar CSO dapat berdiskusi dengan korporasi dan juga Dinkes tentang komitmen penyusunan aturan tertulis secara spesifik mengenai penanganan TB di tempat kerja.

Pada pembahasan sebelumnya, kita mengidentifikasi cara penemuan kasus TB di tempat kerja, yaitu:

  • melakukan pemeriksaan kesehatan di awal penerimaan pekerja dan wajib dilakukan berkala.
  • pengurus perusahaan melakukan tes sukarela dan dilakukan melalui proses konseling terlebih dahulu melalui VCT (Voluntary Counseling and Testing).
  • melakukan investigasi dan pemeriksaan kasus kontak erat. Ini dapat dilakukan dengan pengadaan Tes Cepat Molekuler (TCM) yang dapat dilaksanakan bersama kegiatan donor darah.

Penanganan kasus TB di tempat kerja meliputi pemberian istirahat sakit, pemantauan kepatuhan minum obat, dan pantauan tentang kemajuan kesehatan pekerja TB tersebut. Selain itu, rehabilitasi juga penting dilakukan perusahan seperti menyediakan fasilitas olahraga dan dukungan konseling. Selanjutnya adalah penilaian kelaikan kerja, yang mana perusahaan melakukan penilaian return to work .Penilaian ini akan lebih baik bila manajemen berkolaborasi dengan dokter spesialis.

Salah satu praktik baik yang dapat dicontoh adalah dari salah satu perusahaan air minum di Sukabumi. Pada Maret 2023 perusahaan ini mengundang Dinkes untuk memberikan sosialisasi tentang TB dan HIV AIDS. Acara ini juga ditayangkan secara live streaming dan juga diikuti oleh seluruh pekerja di semua cabang perusahaan tersebut.

Diskusi berbobot ini dapat disimak secara lengkap dikanal youtube Lokadaya. (*ari)

Praktik Baik Kader TB Dalam Eliminasi Tingkat Desa

By Artikel

Jakarta (18/3/2024) TIdak banyak yang menyadari, sebenarnya wabah TB masih dab sedang mengintai warga kita baik di desa maupun di kota. Kita perlu melakukan tindakan nyata untuk mengeliminasi TB, baik mulai dari diri sendiri maupun ke skala yang lebih besar.

Dewasa ini, Puskesmas selalu diundang dan dilibatkan saat pelaksanaan Musrenbang Desa. Tindakan selanjutnya yang perlu dilakukan ialah sinkronisasi data puskesmas dengan data TB di lapangan. Selain itu, puskesmas juga harus memprioritaskan TB dalam program kerjanya, tidak hanya melulu soal Stunting dan sanitasi saja. Diskusi menarik muncul saat Jejaring Lokadaya mengadakan program “Ngabuburit Ngobrol TBC”. Program ini bernaung di bawah Menjadi Indonesia yang diadakan pada pukul 15.30 WIB sembari menunggu buka puasa. Pada sesi pertama ini, Ngabuburit Ngobrol TBC mengambil tema “Bagaimana Desa Menjadi Faktor Eliminasi TB. Narasumber kali ini ialah Iskandar Eks Direktur Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang.

Desa memiliki peran penting dalam upaya membangun transformasi sosial di Indonesia. Fakta ini terjadi sejak jaman Mataram sampai dengan Indonesia modern saat ini, baik dalam resistensi maupun revitalisasi. Peran utama desa di sektor kesehatan adalah dengan ikut dalam faktor determinan percepatan eliminasi penyakit menular, khususnya TBC. Desa harus menjadi garda terdepan dalam eliminasi TB sehingga target eliminasi TB akan segera tercapai.

Sebelum ada peraturan dari Kementerian Desa, para periset dan kader mengadvokasi serta mendorong suatu kebijakan nyata dalam penanggulangan TB di tingkat desa. Akhirnya, munculah Permendes prioritas penggunaan Dana Desa 2023 guna penanggulangan TB. Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi masyarakat desa agar segera terbebas dari TB.

Menurut Iskandar, tantangan terbesar adalah menjaga proses pembiayaan eliminasi TB ini tetap berkelanjutan setiap tahun. Untuk itu, kita perlu selalu mengawal dan mengadvokasi anggaran tersebut. Kita selaku OMS/LSM, perlu mempertajam kemampuan dalam melobi dan bernegosisasi melawan banyak kepentingan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperjuangkan anggaran eliminasi TB tersebut.

Seorang peserta, Amri Jaya dari  Rejang Lebong Bengkulu menceritakan tentang penanggulangan TB di Desanya. Pada saat memberikan pendampingan ke masyarakat, ternyata di lapangan sudah ada program TBC di dalam SID (Sistem Informasi Desa). Akan tetapi tidak berjalan lancar karena regulasi yang ada. “Para Kades ini tidak berani dan bingung mau menganggarkan ke mana”. Ujar Amri

Akhirnya kader berinisiatif melakukan pembagian PMT (Pemberian Makanan Tambahan) dan melakukan penyuluhan di setiap kegiatan desa. Praktik baik lain yang dapat ditiru adalah apabila ditemukan kasus TB di Rejang lebong, maka satu rumah harus melakukan cek TB semua, lalu kader membantu dan mengusahakan para pasien mendapatkan Bansos ataupun BLT Desa.

Salah satu peserta lain, Ajat, menyayangkan adanya disparitas yang cukup tinggi antara pedesaan dan perkotaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025. Hal ini dapat dilihat perbedaan jumlah kemiskinan, sarana prasarana, dan permasalahan sosialnya. Bagi Ajat, membentuk kemandirian Desa dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia itu lebih realistis. Pada tahun 2015, Ajat dan teman-teman Kader membentuk satu kelompok peduli TB di dua kecamatan Cirebon, tanpa bantuan dan dukungan dari APBD sama sekali. Ia mengklaim bahwa kelompok ini dapat dijadikan role model. Hal ini mereka lakukan dalam rangka berkonsentrasi pada kemandirian masyarakat khususnya pasien TB. Kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan membuat kue dan pemanfataan barang bekas menjadi lebih berguna.

Sharing praktik baik dari beberapa desa dan keseluruhan diskursus ini dapat ditonton secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Pentingnya Siklus Manajemen Relawan

By Artikel

Jakarta (14/3/2024). Perlu disepakati bahwa program relawan adalah program tanggung jawab bersama (seluruh personel organisasi). Dari bagian programming, keuangan bahkan direktur pun harus mengetahui program relawan ini. Semua harus paham dan menghargai relawan tentunya. Jangan sampai tercipta kondisi emosional yang acuh tak acuh terhadap relawan. Hal ini akan berdampak pada rasa ketidaknyamanan dan akhirnya relawan tersebut enggan membantu lagi.

Begitulah isu pembuka yang dikemukakan M Suhud Ridwan (Penabulu) pada di seri 3 jam kelas berbagi, Kyutri. Mengelola Relawan sebagai sumber daya organisasi merupakan tajuk program Kyutri pada pertemuan kedua kali ini.

Kerelawanan itu berarti sikap, bukan sebuah profesi, dan bukan sebuah pelarian. Perlu dipahami bersama bahwa siapapun dapat menjadi seorang relawan. Pada dasarnya setiap orang mempunyai potensi, kapasitas dan kemampuan. Potensi ini yang akan digunakan untuk mendukung kelancaran sebuah program.

“Kalau kita berbicara mengenai konteks mengelola relawan, itu berarti seni mengelola orang-orang di dalamnya. Bisa jadi fenomena keluar masuknya relawan itu karena ndak ada yang ngopeni (merawat dan memerhatikan), relawan tidak dianggap sebagai mitra tapi dianggap seperti pesuruh,” kata Bang Suhud.

Dalam pengalaman Bang Suhud, yang mengikat relawan dengan organisasi adalah sebuah isu, kasus atau fenomena yang sedang dihadapi. Selain itu, adanya visi misi yang sama, akan membuat relawan tergerak untuk bergabung suka-rela membantu program OMS yang sedang ditangani. Setelahnya OMS sebaiknya tidak menyianyiakan potensi-potensi yang dimiliki relawan, dan mulai menaruh perhatian khusus untuk merawat dan mengoptimalkan keberadaan relawan. Tentu hal ini harus dimulai dengan manajemen relawan.

Siklus manajemen relawan terbagi menjadi lima, yaitu: Job design atau planning, rekrutmen dan seleksi, orientasi dan training, monitoring dan recognition. Bagian yang pertama adalah job design (planning). Tahap ini meliputi pertanyaan mengapa kita memerlukan relawan, kapasitas relawan yang dibutuhkan, dan masih banyak lagi. OMS harus paham betul tentang kenapa organisasinya memerlukan relawan. Hal ini akan dijadikan sebagai landasan sebuah organisasi dalam mengelola relawan.

Sebelum melakukan perekrutan relawan, OMS harus memastikan

  • adanya dukungan dari dewan pengurus dan pimpinan
  • situasi organisasi (keuangan, ruangan untuk relawan, emosi organisasi)
  • harus ada koordinator relawan
  • deskripsi jobdesc relawan

Setelah memastikan hal tersebut, kita bisa berlanjut ke tahap rekrutmen dan seleksi. Tahapan ini meliputi publikasi atau promosi, pendaftaran dan wawancara. Proses wawancara harus mencakup persoalan motivasi seseorang menjadi relawan, ketersediaan waktu untuk bekerja dan keahlian yang dimiliki.

Orientasi dan training merupakan tahapan ketiga pada siklus manajemen relawan. Ditahap ini OMS akan memperkenalkan kinerja dan visi misi organisasinya. Selain itu, tahap ini menjadi peluang untuk mendorong rasa memliki dan bertanggung jawab terhadap isu yang diusung OMS tersebut.

Lalu, tahap monitoring adalah tahapan yang meliputi pemantauan tugas relawan. Selain itu di proses ini harus ada penguatan dan motivasi terhadap relawan. Ditambah lagi, perlu dilakukan pemantauan beban kerja relawan. “Jangan sampai tugas (tupoksi) staff dikerjakan oleh relawan. Ini jelas akan menyebabkan gesekan dan ketidaknyamanan” ujar Bang Suhud.

selanjutnya, ucapan terimakasih adalah sebuah bentuk pengakuan yang paling dinantikan. Pengakuan atau recognition ini merupakan tahan terakhir dalam siklus manajemen relawan. Selain itu pada tahap recognition ini OMS perlu memastikan relawan mendapatkan peningkatan kapasitas diri.

Kunjungi  kanal Youtube Lokadaya untuk mengikuti dokumentasi Kyutri ini secara lengkap.(*ari)

 

Business Model Canvas Tingkatkan Peluang Kesuksesan

By Artikel

Jakarta (7/3/2024). Aneh bin ajaib  bila OMS/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) itu berbisnis. Namun itu adalah paradigma kedaluarsa yang harus kita ubah bersama, berbisnis bersama masyarakat adalah hal yang lazim dilakukan, malah cenderung menjadi tren yang berkembang pada konteks kekinian. Bermitra bisnis dengan masyarakat (atau dengan siapa saja) menjadi penting karena menjadi salah satu kunci keberlanjutan OMS/LSM. Hal yang harus kita pegang teguh adalah kita tidak boleh melenceng dari visi misi yang baik untuk menjaga alam dan mengurangi pengangguran.

Paparan menarik ini telah terungkap dalam Kelas Berbagi Tiga Jam (Kyutri) yang diadakan oleh Lokadaya dan Penabulu. Pelatihan Kyutri sesi kedua ini adalah kelanjutan dari tema Menggali Ide Bisnis dan Membuat Business Model Canvas. Noor Intan selaku narasumber dari Penabulu mengawali pelatihan dengan memantik peserta dalam menjabarkan visi dan misi usaha yang sudah disiapkan selepas sesi pertama. Hal ini dilakukan untuk menentukan arah usaha yang akan dijalani.

Noor Intan mengatakan bahwa tahun 2020 sekitar 705 juta jiwa hidup di dunia kemiskinan dan hal tersebut membuat tren bisnis juga mulai berubah. Pada diagram model bisnis yang Ia sampaikan, bisnis jaman dulu digambarkan dalam pertautan sektor ekonomi, lingkungan, sosial dan keberlanjutan di tengah-tengahnya. Keberlanjutan (sustainability) Namun diagram model bisnis yang terbaru digambarkan berbeda, di mana goals berbisnis yang akan dicapai adalah sektor ekonomi sebagai inti kecil yang dibalut sektor sosial dan dipungkasi sektor lingkungan berada di porsi yang lebih besar. Dengan kata lain, goal bisnis yang paling besar porsinya adalah keberlanjutan sektor lingkungan. Menjadi masuk akal karena sektor ekonomi dan sosial sesukses apapun tidak akan berarti bila lingkungan alam rusak berat.

Dalam perkembangannya muncul pula istilah wirausaha sosial yaitu wirausaha yang memiliki ide desar berupa solusi masalah sosial. Konsep wirausaha sosial yang dapat ditawarkan itu mencakup proses pemberdayaan untuk mengimplementasikan solusi yang ada,  biasanya fokus pada penyelesaian masalah seperti manajemen lingkungan, pelayanan kesehatan, pendidikan, keterampilan untuk masyarakat kurang mampu, peningkatan ekonomi pasca pandemi dan kesempatan kerja bagi komunitas marginal (narapidana, penyandang disabilitas, orang dengan HIV/AIDS, TB, kusta dan sebagainya).

Bagi Noor Intan, ada potensi besar bagi teman-teman OMS/LSM yang memberikan pendampingan di bidang kehutanan perkebunan, atau Ecopreneur. Sekarang, Pemerintah Indonesia ingin menjaga alam dengan mempertahankan dan menambah target area hutan sekitar 12,7 juta HA yang hasilnya juga akan dirasakan masyarakat. Tetapi nyatanya, berdasarkan data BPS 2022, penduduk desa yang berada disekitar kawasan hutan sekitar 25.853 desa atau sekitar 36,7% masih dalam keadaan miskin. Hal ini juga dikarenakan jangkauan LSM yang menggarap di bidang kehutanan sosial masih sedikit.

Kita bisa belajar dari ecopreneur kampung yang sukses yaitu minyak kelapa kampung Niu Kencana oleh Kelompok Usaha Perhutanan sosial (KUPS) desa Sindoan Selatan, Sulawesi Tengah. Selain itu, ada juga Kelompok Usaha Perhutanan Sosial Madu Sialang dari Gapoktanhut Sungai Telisak.

Di akhir sesi pelatihan ini, satu peserta mencoba mengisi kolom dan berdiskusi tentang BMC ini, dan memperlihatkan dampak baik dari pelatihan sesi pertama. Sri Amanah dari Yapemmas (Yayasan Peduli Kemandirian Masyarakat) mencoba mengembangkan usaha galeri Ijoayu Ecoprint. Sri telah mengisi kolom BMC dan memaparkannya dengan baik, hingga potensi keberhasilannya tergolong besar. Segmentasi pelanggan dari Ecoprint adalah pegawai kantoran, yang mana memiliki seragam batik yang khas. Mereka biasanya juga menginginkan batik yang unik, lain daripada yang lain (limited edition). Hal ini tentu menjadi nilai tawar lebih bagi Ecoprint. Sri telah menekuni Ecoprint sekitar 8 bulan lamanya. Namun beliau pernah mencoba untuk membuat BMC tetapi selalu gagal. Beliau bingung dalam memetakan kolom dan membahasakan isi kolom BMC ini. Setelah mengikuti pelatihan ini, Sri telah sukses memrepresentasikan bisnis Ecoprint ke dalam BMC.

Tentu, dengan pelatihan BMC inikita akan dapat memetakan potensi hingga penyelesaian masalah yang mungkin akan dihadapi. Dengan ini tak hanya memperbesar peluang untuk sukses namun juga akan meningkatkan mental dan daya juang para pelaku bisnis, terutama bagi OMS.

Sesi kedua “Menggali Ide Bisnis dan membuat Business Model Canvas” ini, dapat anda ikuti secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Bisnis Tangguh dengan BMC

By Artikel

Jakarta (5/3/2024). Business Model Canvas (BMC) itu seperti kita melihat menggunakan helicopter view, atau perspektif yang luas dan holistik karena BMC harus bersifat komprehensif, sederhana dan mudah dipahami. BMC merupakan alat bantu bagi pelaku usaha (atau calon pelaku usaha) untuk merancang, memvisualisasikan, mengevaluasi model bisnis yang akan, sedang, maupun sudah dibangun.

Dalam kerangka program Co-evolve, Lokadaya bekerjasama dengan Penabulu mengadakan Kyutri; Pelatihan Tiga Jam dengan tema “Menggali Ide bisnis dan Membuat Business model Canvas (BMC)”. Tampil cantik sebagai narasumber pada pelatihan ini adalah Noor Intan, seorang punggawa di Penabulu. Tujuan diadakan pelatihan adalah mengenal pengertian wirausaha, menggali ide usaha, memahami pengertian dan ruang lingkup masing-masing blok BMC, serta mempraktekkan pembuatan BMC untuk usaha pribadi, usaha komunitas dampingan atau keberlanjutan lembaga.

Pertemuan hangat siang itu diawali Noor Intan dengan memantik peserta untuk menggali ide bisnis yang bisa didapat dengan memanfaatkan internet dan media sosial serta membaca buku dan referensi bisnis. Menurut Noor Intan, penting sekali kita membaca hasil riset pemasaran agar dapat mengamati tren yang ada saat ini. Sebagai contoh adalah tren produk halal yang bisa dijadikan peluang. Berdasarkan data dari Bappenas, estimasi besar pasar halal products dapat mencapai USD2.3 trilliun atau sekitar 35 kuadriliun rupiah. Selain itu, bergabung dengan komunitas bisnis serta mengikuti berbagai pelatihan bisnis adalah cara menggali ide bisnis yang efektif. Dengan bergabung dengan komunitas UMKM kita bisa sharing best practice dan mendapat akses untuk mengikuti pameran yang diadakan Pemkab ataupun swasta.

Dalam bagan BMC harus mencakup mitra utama, aktivitas utama, sumber daya utama, nilai penawaran, hubungan pelanggan, segmentasi pelanggan, saluran distribusi, struktur biaya, dan arus pendapatan. Pada bagian segmentasi pelanggan, kita perlu menentukan target pelanggan atau kepada siapa kita akan menjual produk atau jasa kita. Dalam fase ini, profiling pelanggan juga wajib diidentifikasi. Selanjutnya kita perlu menciptakan nilai penawaran. Bagian nilai penawaran ini mencakup kebaruan, produk custom, memudahkan pekerjaan, keterkaitan brand, harga, kinerja, pengurangan resiko, accessibility, dan masih banyak lagi.

Bagian BMC selanjutnya adalah saluran distribusi pelanggan dimana distribusi atau penjualan bisa dijabarkan dengan door to door, membuka toko sendiri, marketplace, titip jual dan memanfaatkan media sosial. Noor Intan menyarankan untuk fokus pada satu-dua produk unggulan UMKM, yang mana bisa diawali dengan mengubah instagram dan facebook for business.

Kemudian untuk bagian Hubungan pelanggan digambarkan bagaimana upaya seorang pelaku usaha dalam menarik konsumen baru, menjaga pelanggan agar tetap loyal dan melakukan repeat order.

Selanjutnya, bagian arus pendapatan di dalam BMC menjelaskan bagaimana pelaku usaha menghasilkan uang atau sumber pendapatan. Terkait bagan berikutnya adalah sumber daya utama, bagian ini sangat dibutuhkan agar model bisnis dapat berjalan lancar. Sumber daya utama meliputi fisik (misal alat kerja, mesin, kendaraan), manusia, intelektual dan keuangan.

Bagan BMC yang tak kalah penting adalah aktivitas utama guna mengidentifikasi aktivitas yang dibutuhkan untuk memperlancar bisnis kita. Aktivitas ini berupa aktivitas produksi barang, aktivitas pemecahan masalah bagi sektor jasa, dan aktivitas membangun jejaring. Lalu bagian mitra utama diisi dengan mitra penting yang menopang bisnis agar berjalan lancar, seperti pemasok bisnis utama kita.

Bagian terakhir adalah struktur biaya yang merupakan identifikasi segala biaya yang dikeluarkan agar bisnis tetap berjalan. Struktur biaya meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap.

Pemaparan menarik ini dapat diakses secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Praktik Baik Relawan dari DMC Dompet Dhuafa Saat Bencana

By Artikel

Jakarta (23/2/2024). Bagian yang sering terlewat dari kebanyakan relawan adalah kesiapsiagaan, mitigasi, dan adaptasi resiko kebencanaan yang mungkin terjadi lagi. “Padahal bagian pasca bencana ini paling krusial”, jelas Arif Haryono, punggawa Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa.

Lokadaya dan Pujiono Centre didukung oleh The Canada Fund for Local Initiative (CFLI) mengadakan kegiatan semi daring bertajuk Mobilisasi Sumber Daya Lokal Kerelawanan dalam Respons Kemanusiaan. Nah, pada pertemuan ketiga ini merupakan sesi terakhir dan mengangkat tema praktik baik mobilisasi relawan di masa pra bencana, bencana dan pasca bencana. Narasumber yang dihadirkan adalah perwakilan dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

DMC Dompet Dhuafa sejak 2012 telah memiliki sekitar 23 ribu relawan yang tersebar di 24 provinsi, yang mana mereka juga rutin mengadakan rakernas volunteer mengenai aktivitas mengelola kebencanaan. Tentunya hal ini dilakukan untuk merawat simpul kerelawanan juga. Seperti yang diketahui bersama, relawan harus dihargai serta diberikan haknya. DMC Dompet Dhuafa menerapkan poin-poin terkait hak relawan, seperti:

– Jaminan kecelakaan kerja dan kematian yang diakomodir BPJS TK BPU

– Mendapatkan waktu istirahat setelah berkegiatan lebih dari 14 hari

– Mendapatkan pengganti transport / uang apresiasi

– Meningkatkan kompetensi sesuai dengan minat yang dimiliki relawan

Dalam tahap Pra bencana, DMC Dompet Dhuafa memiliki skema skenario guna penguatan kerelawanan saat terjadinya bencana. Sebagai contoh penguatan relawan lokal pada karhutla, DMC telah memetakan provinsi-provinsi yang rawan kebakaran hutan. Walaupun masih ada relawan yang tergopoh-gopoh saat terjadi bencana, tetapi setidaknya para relawan sudah memiliki rencana yang lebih baik.

DMC Dompet dhuafa juga memiliki tim relawan yang sigap saat terjadinya bencana. Mereka telah memiliki SOP kaji cepat, yaitu maksimal 8 jam relawan harus sudah berada di lokasi, tetapi bisa 12 jam bila daerah tersebut terisolir. Hal itu dilakukan guna memberikan respons bantuan cepat dan mengobservasi tingkat kerusakan, infrastruktur apa saja yang rusak dalam klasifikasi kecil, sedang, atau parah.

Tahapan selanjutnya adalah masa pemulihan setelah terjadi bencana. Arif Haryono mengatakan bahwa biasanya jumlah relawan menjadi lebih sedikit di tahap ini. Tidak sebanyak pada saat bencana itu terjadi. Kemudian untuk jenis relawan yang baling banyak dibutuhkan saat masa tanggap darurat selesai (masa pemulihan) adalah relawan-relawan profesi seperti ahli medis, psikolog, guru, arsitek, pekerja bangunan dan lain sebagainya.

Iis Yulianti dari Direktorat kesiapsiagaan kedeputian bidang pencegahan BNPB menyampaikan mengenai spesifikasi keahlian relawan dari sudut pandang BNPB. Spesifikasi tersebut telah diatur dalam Perka BNPB No 17 Tahun 2011 Tentang pedoman relawan penanggulangan Bencana. Penting kiranya mengetahui keahlian atau kecakapan relawan agar bisa dipetakan bersama relawan yang lain. “Jangan sampai pada saat terjadi bencana, relawan yang tidak terpetakan keahliannya ini justru malah ditolong bukan menolong,” imbuh Iis Yulianti.

Diskusi menarik dapat diakses secara lengkap dikanal youtube Lokadaya. (*ari)

Gayung Bersambut Swakelola Tipe III

By Artikel

Pendanaan menandai pilar keberlanjutan suatu Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Studi Cardno (2020) menunjukkan sebesar 85%-90% sumber pendanaan OMS berasal dari lembaga donor. Sementara itu, perubahan ekonomi Indonesia dalam perdagangan global menjadi Negara dengan status middle income country telah mempengaruhi arah dan lanskap pendanaan OMS.

Situasi demikian mendesak OMS untuk bernegosiasi terhadap tantangan baru. Yakni peluang untuk melakukan diversifikasi berbagai sumber pendanaan, termasuk menjajaki skema pendanaan Swakelola Tipe III.

Diskusi Tahapan, Ruang Lingkup, dan Strategi Swakelola Tipe III pada Selasa (20/02) ini menandai rangkaian seri kelima atau penutup Pilar Akuntabilitas, Visibilitas, dan Keberlanjutan OMS Indonesia. Bertempat di ruang studio Penabulu “Cipete kecil”, dua narasumber—Sugiarto Arif Santoso dan Misran Lubis—yang sebelumnya membabar materi serial secara terpisah, kini satu meja.

Sugi mewedarkan materi Mengenal Kerangka Regulasi Swakelola Tipe III dan Misran mempresentasikan Strategi, Lobi, dan Advokasi Swakelola Tipe III. Dua materi ini memperkaya pengetahuan sekaligus pengalaman praktik baik bagi peserta yang semuanya berada di ruang virtual Zoom.

Mengawali paparan soal regulasi, Sugi menjelaskan landasan hukum Swakelola Tipe III. Menurutnya, Swakelola Tipe III antara lain berpayung hukum pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021, dan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 1 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

“Cara pengadaan itu ada dua hal. Pertama, melalui swakelola. Kedua, melalui penyedia,” ucap Sugi. Dua hal ini memiliki perbedaan. Pengadaan pertama dikerjakan sendiri oleh Ormas atau kelompok masyarakat, sedangkan kedua dilakukan oleh pengusaha. “Penguasa ini menyediakan barang atau jasa berdasarkan kontrak,” imbuhnya.

Hemat Sugi, Swakelola Tipe III merupakan suatu peluang pendanaan bagi OMS. Namun, ia menerangkan lebih lanjut, pendanaan Swakelola Tipe III bukan merupakan dana hibah. “Tapi yang jelas dia jadi paradigma bagi OMS atau Ormas untuk terlibat sebagai vendor dalam tender atau lelang pengadaan barang atau jasa yang dilakukan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah,” jelasnya.

Jika Sugi menguraikan materi dalam kerangka regulasi, Misran cenderung menuturkan kiat-kiat menembus Swakelola Tipe III. Menurutnya, selain aspek administratif, membidik Swakelola Tipe III hendaknya mengindahkan dimensi advokasi dan lobi agar menghasilkan win-win solution.

Pasalnya, Swakelola Tipe III ini melibatkan kerja sama antara pemerintah dan OMS. Ditilik dari proses lobi, Misran menekankan pada seberapa jauh OMS menjahit relasi dengan sejumlah organisasi lain. Maka menggandeng mitra dengan pertemuan informal dipandang penting.

Misran tak luput memberikan kiat OMS untuk mengakses Swakelola Tipe III. Ia membagi tiga peta jalan. Pertama, kesiapan kebijakan dan pemangku kebijakan, pemantapan kedudukan OMS, dan penilaian kebutuhan atas suatu isu. Kedua, keterlibatan OMS dalam proses Musrembang berjenjang dan advokasi isu ke dalam perencanaan.

Dua jalan ini harus dikawal proses perencanaan hingga penetapan APBD. Ketiga, sebagai ujung jalan, perlunya pemetaan paket Swakelola Tipe III melalui Sirup (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan), proposal dan RAB, kelengkapan dokumen lembaga, dan kontrak.

Paparan dua materi ini mengundang sejumlah pertanyaan audiens. Garis pertanyaan mereka bersifat teknis. Namun, terdapat pertanyaan non-teknis yang menitikberatkan pada strategi posisi tawar (bargaining position) OMS terhadap pemerintah.

Tayangan seri I sampai V diskusi Tahapan, Ruang Lingkup, dan Strategi Swakelola Tipe III ini dapat ditengok di Youtube LOKADAYA.

Kunci Sukses Fundraising Eliminasi TB

By Artikel

Jakarta (7/2/2024). Komunitas daerah atau OMS lokal lebih berpotensi dalam mendapatkan dukungan pendanaan terutama dari perusahaan multinasional. Mereka justru memilih OMS/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) lokal karena dianggap lebih dekat, lebih menguasai medan, dan lebih memahami masalah daerah tersebut. Pernyataan menarik ini terkuak dalam diskusi rangkaian program Accelerate (Advancing Community Consortium Efforts to Leverage and Advocate TB Elimination). Dalam webinar ke-6 yang diadakan oleh Lokadaya dan Penabulu Foundation didukung oleh UNOPS ini mengangkat tema “Penggalangan dana publik dalam eliminasi TB”.

Ahmad Faqih General Manager Resources Mobilization Dompet Dhuafa, menjelaskan mengenai strategi penggalangan dana publik. Sedangkan, Amin Sudarsono dari Qalamul Umran Indonesia memaparkan tentang dukungan publik untuk eliminasi TB.

Berdasarkan laporan World Giving Index 2023, Indonesia adalah negara paling dermawan di dunia. Selama 6 kali berturut-turut Indonesia menempati predikat tersebut. “Mudah-mudahan ini peluang untuk kita dan bisa mengoptimalisasi penggalangan dana dalam penanganan TB”, ujar Faqih.

Seperti diketahui bersama, bahwa para pasien TBC memiliki beban finansial yang juga harus dihadapi karena produktivitas mereka yang jelas berkurang. Selain itu, beban pasien TB menjadi bertambah karena keterbatasan anggaran pemerintah dalam penanganan TB. Hal ini tentu menjadi dasar para OMS/LSM dan komunitas lokal untuk tergerak membantu sesama dengan mencari donasi guna meringankan beban mereka.

Menurut Ahmad Faqih, kunci sukses fundraising meliputi:

  • Penguatan program (edukasi, dukungan nutrisi, rumah singgah dan pemberdayaan ekonomi)
  • Layanan kemudahan (pemberian fasilitas, semakin mudah akses masyarakat dalam berdonasi maka semakin besar pula keberhasilan fundraising tersebut)
  • Sosialisasi kepada publik (dapat dioptimalisasi melalui media sosial)
  • Layanan donatur (semakin erat hubungan dengan donatur, maka semakin loyal pula para donatur tersebut)

Perlu diketahui bersama, alasan orang mau berdonasi ke suatu lembaga, selain karena perintah agama (internal), tetapi juga ada faktor eksternal yang mempengaruhi yaitu network effect dan story effect. Hal ini tentu mewajibkan OMS/LSM untuk mengoptimalisasi kemampuan (aset) mereka. Sedangkan, aset fundraising yang harus dikuatkan meliputi brand value, portofolio program, flagship program (penguatan program yang paling diminati) dan tagline campaign.

Di Dompet Dhuafa, tidak ada campaign yang secara spesifik menangani eliminasi TB. Mereka sadar bahwa program ini kurang diminati masyarakat.  Oleh karena itu, Dompet Dhuafa memasukkan TB dalam intervensi kesehatan secara umum (program kesehatan). “Program TB kurang dilirik masyarakat, mereka mungkin lebih mengikuti kasus kebencanaan seperti pasca gempa Cianjur, penanganan Covid, dan lain-lain”, tambah Faqih

Saking dermawannya orang Indonesia, mereka selalu menyisihkan recehan di dompet kecil ataupun dasbor mobil. Menurut Amin Sudarsono, hal ini menandakan bahwa masyarakat kita selalu siap sedia untuk memberikan sumbangan. Amin juga menjabarkan sumber penggalangan dana di dalam yayasan Qalamul Umran. Empat sumber fundraising mereka yaitu melalui zakat, infak, wakaf dan responsif kemanusiaan.

Diskusi menarik ini dapat diakses secara menyeluruh di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Keberlanjutan OMS Menjaga Kesehatan Demokrasi

By Artikel

Keberadaan OMS menjadi satu ukuran kesehatan demokrasi di suatu negara. Demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak berada di tangan rakyat dan keberlanjutan OMS sebagai salah satu pilar demokrasi menjadi hal yang sangat penting. Dalam menjaga dan memelihara eksistensi OMS di Indonesia tentunya diperlukan strategi-strategi jitu. Gagasan ini dipaparkan oleh Misran Lubis dalam diskusi Seri IV Pilar Akuntabilotas, Visibilitas, dan Keberlanjutan OMS Indonesia pada Selasa pagi (06/02).

Beliau yang juga salah satu senior di bidang OMS ini menyambut opini peserta diskusi dengan pancingan pertanyaan. Di antara dua pertanyaan berikut, pertanyaan mana yang Anda pilih: berapa lama kami bisa melanjutkan dan berapa lama kami ingin melanjutkan. Kata “bisa” dan “ingin” menandai pintu masuk beragam jawaban dari peserta.

Tak tanggung-tanggung, pertanyaan itu pun memiliki ekor. “Menurut Anda, isu keberlanjutan OMS ini apakah soal isu keberlanjutan di sektor keuangan? Silakan berikan tanggapan Anda. Benar, tidak sepenuhnya benar, atau salah,” tanya Misran kepada peserta. Ibarat bersepakat, peserta diskusi pun cenderung memilih opsi kedua. Keberlanjutan, menurut benang merah jawaban peserta, tak melulu urusan keuanga namun merupakan isu lintas-disiplin.

Menurut Misran, selama satu dasawarsa belakangan ini OMS tengah menghadapi masalah keberlanjutan. “Adapun beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain tata kelola organisasi, keterbatasan sumber daya, dan kebijakan yang kurang mendukung,” ucapnya. Pandemi COVID-19 silam mempertegas kenyataan bahwa OMS mengalami krisis keberlanjutan. “Jadi, keberlanjutan OMS ini bukan hanya urusan isu finansial, melainkan juga urusan banyak aspek,” imbuh Misran. Di antara dua aspeknya adalah perkara internal dan eksternal organisasi.

Dengan menganalogikan seperti pohon, keberlanjutan itu menunjukkan batang, ranting, dan dedaunan. Yang kelihatan ini kalau dalam organisasi terdiri atas kantor, proyek, dokumen, administrasi, dan kapasitas orang. Sebaliknya, anggota “badan” pohon yang di akar cenderung tertutup. “Yang tidak terlihat ini seperti aspek kelembagaan organisasi, visi, nilai, dan motivasi,” terang Misran.

Mengutip riset CSO-SI (2021), Misran merinci tujuh dimensi untuk mengukur keberlanjutan OMS. Pertama, lingkungan hukum yang mendukung OMS. Kedua, kapasitas organisasi. Ketiga, kemampuan keuangan. Keempat, advokasi. Kelima, penyediaan layanan. Keenam, infrastruktur pendukung. Ketujuh, citra publik. Sejumlah indikator keberlanjutan ini menjadi cerminan bersama agar OMS tak terperangkap pada situasi hidup segan mati pun tak mau.

“Agar punya daya keberlanjutan, OMS mesti punya resiliensi,” tutur Misran. Ketahanan OMS diwakili oleh seberapa jauh ia beradaptasi secara cepat dan terarah terhadap gejolak internal dan eksternal organisasi. Misran berpendapat, hendaknya masing-masing OMS mengidentifikasi tujuh hal dari kesadaran situasi, ketahanan, kelincahan, hingga penggunaan komunikasi kreatif-inovatif.

“Kalau di Lokadaya sendiri ada strateginya.  Kuncinya ada pada berjejaring. Sebab, keterhubungan itu merupakan salah satu syarat tumbuhnya ekosistem dukungan sumber daya domestik,” ungkap Misran. Keterhubungan ini menegaskan bagaimana OMS dapat mengambil posisi di tengah sektor pemerintah dan swasta.

Visibilitas Sokoguru Eksistensi OMS

By Artikel

Publish or perish. Publikasi atau binasa. Ungkapan yang telah mengarusutama ini menggambarkan pentingnya eksistensi. Tentu eksistensi di sini bukan sekadar absen, unjuk muka di hadapan jamak orang. Ia mencakup tindakan untuk memertahankan visibilitas, suatu proyeksi meninggalkan jejak karya.

“Kalau Anda ingat logo-logo ini,” terang Misran Lubis sembari menunjuk pada layar sejumlah gambar Nike, Apple, McDonald, dan Uni Eropa, “lantas, apa yang Anda ingat?” Bang Misran, panggilan akrabnya, tengah menjelaskan temali antara logo dan konsep di pikiran.

Sejumlah logo yang dipertanyakannya kemudian disahut peserta diskusi. Interaktivitas ini cukup membangun suasana segar serial diskusi ketiga Optimalisasi Visibilitas Organisasi Masyarakat Sipil di Zoom pada pagi pukul 09.00-11.00 WIB (30/01). Bang Misran mengajak audiens berimajinasi. Bila logo dan kalimat tertentu seperti isu anak, perempuan, lingkungan, HAM, dan TBC itu terasosiasi pada Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) apa? Kebanyakan audiens menjawab: KontraS, Walhi, STPI, Aisyiyah, dan lain-lain.

Visibilitas adalah sokoguru eksistensi OMS. Visibilitas bukan semata mempertontonkan rekam jejak. Melainkan juga memupuk kepercayaan publik terhadap OMS. Bang Misran menuturkan, visibilitas ibarat sebuah alat yang mampu membangun pengaruh dan dampak. Di tengah era serba media seperti sekarang, visibilitas identik dengan pemanfaatan aneka kanal media sosial. “Jadi, manfaatkanlah dan optimalkanlah semua media sosial yang ada agar visibilitas OMS kita menguat,” ucapnya.

Di hadapan OMS tingkat SR, SSR, dan IU dari Sabang sampai Merauke, Bang Misran menyodorkan delapan strategi penguatan visibilitas organisasi. Pertama, pemahaman target sasaran. Siapa audiens organisasi menentukan pengerahan brand visibility. Kedua, konsistensi identitas jenama (brand).

“Pastikan organisasi memiliki identitas yang konsisten di semua saluran dan platform, mencakup logo, warna, gaya visual, dan tone of voice,” ungkap tim Lokadaya Nusantara itu. Selanjutnya, aspek kehadiran organisasi di ruang maya atau digital. Situs laman menjadi penanda atas cerminan nilai-nilai keorganisasian. Nilai ini terhidang lewat sepak terjang rekam jejak digital.

Tak kalah menjadi bagian strategi, imbuh Bang Misran, perlunya optimalisasi SEO, kolaborasi dengan pemengaruh (influencer), menjalin kemitraan, brand advocacy, dan produksi konten secara ciamik serta relevan. “Media apa yang sudah organisasi Anda miliki?” celetuk Bang Misran kepada peserta. Beberapa audiens berefleksi karena ternyata selama ini kurang memperkuat strategi komunikasi medianya.

Pada pertengahan diskusi, Martin, salah seorang peserta, bertanya. Branding suatu organisasi selama ini kadang kalah dengan branding personal dari pendiri organisasi itu. Apa pasal?

“Ada tiga hal. Nama lembaga, core isu, atau individu. Memang branding bisa berangkat dari apa saja. Setidaknya tiga hal ini. Kembali pada proses pendirian organisasi. Ketika kita bikin lembaga, kita bikin gerakan seperti apa. Perlu kita seimbangkan bila kasusnya ditanyakan tadi. Yang jelas kalau kita membangun branding organisasi, kita menerapkan akuntabilitas organisasi,” tandas Bang Misran.

Diskusi tak terasa melewati pukul 11.00. Meski dipisahkan oleh sang kala, diskusi yang diselenggarakan oleh Lokadaya dan Menjadi Indonesia ini begitu membekas. Setidaknya pertanyaan, jawaban, dan keingintahuan makin tumbuh subur. Pekan berikutnya masih dijadwalkan diskusi serupa dengan memasuki seri keempat di hari dan waktu sama. (RKP).

Optimalisasi Penguatan Kapasitas Relawan

By Artikel

Optimalisasi penguatan kapasitas relawan penanggulangan bencana masih menjadi isu yang hangat di kalangan OMS baik yang bergerak dalam sektor kebencanaan maupun sektor lainnya. Lokadaya dan Pujiono Centre pun melihat pentingnya penguatan kapasitas relawan kebencanaan sebagai hal yang harus terus dibahas dan dikembangkan, mengingat wilayah negara kita yang rawan bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam.

Dalam seminar daring yang bertajuk “Mobilisasi Sumber Daya Lokal, Kerelawanan dalam Respons Kemanusiaan”, seri kedua, Lokadaya dan Pujiono Centre menghadirkan Adam Kurniawan (Walhi) dan Ridwan RC (PMI Pusat) sebagai pembicara.

Adam Kurniawan mengawali pemaparannya dengan menjelaskan bahwa saat ini Walhi memiliki 504 lembaga yang tersebar di seluruh Indonesia, yang bertugas mengadvokasi sumber daya alam dengan menitikberatkan pada peran masyarakat lokal sebagai subyek dalam pengolahan sumber daya alam secara arif. Keterlibatan masyarakat lokal dipercaya dapat meminimalisir resiko bencana dan menaikkan jaminan keselamatan warga.

Dalam kaitannya dengan penguatan kapasitas relawan, Adam selaku Kepala Divisi Keterlibatan Publik Walhi mengatakan bahwa Konferensi Daerah Lingkungan Hidup adalah salah satu cara yang dilakukan Walhi guna merawat jejaring relawan. Acara ini dilaksanakan secara reguler di tingkat provinsi. Selain itu, dalam struktur organisasi Walhi, juga ada Divisi Penguatan Kelembagaan (DPK) khusus yang bertanggungjawab dalam penguatan kapasitas, pembangunan jejaring termasuk relawan mapala yang perannya sangat krusial saat dibutuhkan di lapangan.

Di Walhi, tulang punggung mobilisasi relawan dan penguatan kapasitas relawan dijadikan satu dalam akademi ekologi. Dalam sistem pendidikan akademi ekologi ini diharapkan banyak warga dapat terlibat dan tergerak menjadi relawan.

Pada sesi selanjutnya, Ridwan SC, kepala divisi penanggulangan bencana PMI Pusat memaparkan tentang pengelolaan Pusdiklat untuk penguatan kapasitas Relawan bencana. Tujuan dari Pusdiklat PMI yang paling menarik dan sesuai dengan tema kali ini adalah meningkatkan pemberdayaan bagi masyarakat dalam menghadapi konflik bersenjata, bencana, krisis kesehatan dan tugas-tugas kepalangmerahan lainnya.

PMI menyediakan platform pembelajaran digital humanis PMI (humanispmi.online) yang telah diujicobakan sejak Juli 2022. Media belajar digital ini dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh relawan untuk belajar secara mandiri. Sampai saat ini platform tersebut telah memiliki peserta aktif lebih dari 1800 orang. Dengan demikian, media ini dirasa sangat efektif dalam menjangkau relawan secara luas.

Pelatihan daring yang disediakan Humanis PMI meliputi kompetensi dasar (gerakan kepalangmerahan dan karakter kemanusiaan), kompetensi teknis manajemen dan kompetensi teknis spesialisasi. “Platform berbasis digital berguna untuk mendokumentasikan berbagai praktik baik terkait organisasi, program, kerelawanan, dan layanan kemanusiaan”, imbuh Ridwan SC.

Seminar daring ini dapat diakses di kanal youtube Lokadaya. (ari)