Skip to main content

Jakarta (27/3/2024) Belum ada pedoman khusus yang mengatur posisi kader TB, tak seperti kader program pendahulunya, yaitu kader Posyandu di tahun 1984, kader Malaria dalam Permenkes 41/2018 dan kader stunting tahun 2018, kata Basilica Dyah dan Amin Nurrohmah (Peneliti di Pujiono Centre) saat menjadi narasumber  program Ngabuburit ngobrol TBC (Menjadi Indonesia) yang dihelat oleh jejaring Lokadaya. Pertemuan ini merupakan seri ketiga yang bertajuk  “Jejaring dan Opsi Pelembagaan Kader TBC di Indonesia.”

Dalam RPJM 2020-2024, terdapat gerakan TOSS TB yang sampai saat ini sudah berjalan cukup baik. program ini merupakan program percepatan penanggulangan TBC dengan skema pendanaan Global Fund. Walaupun demikian, ada ketakutan dari para kader yang mana program Global Fund ini akan segera berakhir. Mereka mengkhawatirkan kelanjutan program Global fund (eliminasi TB) di tahun-tahun selanjutnya.

Menjadi kader TB selain perlu jiwa sukarelawan yang tinggi, juga perlu kesadaran yang sempurna akan pentingnya eliminasi TB di Indonesia. Terlepas dari risiko terpapar yang tinggi, ada beberapa tantangan teknis yang dihadapi para kader di lapangan.  Temuan Pujiono Centre saat melakukan survey pada para kader TB, beberapa kendala di lapangan itu seperti tidak digunakannya perangkat digital saat mengisi data TB. Padahal data Global Fund yang harus diisi itu berbentuk kolom kecil, yang mana mereka merasa kesusahan. Kendala lain saat menjadi kader TB adalah adanya penolakan dari pasien TB karena stigma negatif yang melekat. Selain itu ketidakberlanjutan insentif untuk kader TB juga mengundang kekhawatiran.

Menurut Amin, secara strata pendidikan para kader dapat dibilang cukup rendah. Hal ini dikarenakan sebagian besar kader lulus dari bangku SMP dan SMA, hanya sedikit yang lulusan sarjana. Walaupun demikian, kader telah diberikan pelatihan khusus untuk melayani masyarakat dan juga diberikan insentif walaupun terbatas. “Di Indonesia, dari pengertian kader saja sudah rancu, siapa yang disebut kader, siapa yang disebut relawan itu tidak jelas, karena basisnya sama-sama kerelawanan”, tambah Basilica dyah.

Di balik kerancuan tersebut, para kader memberikan rekomendasi untuk mempertegas fungsi dan peran kader serta relawan dalam upaya eliminasi TB. Selain itu penting untuk mengadvokasi kebijakan payung di tingkat nasional (Kemenkes) yang mengatur tentang peran dan fungsi kader TB.

Selain kerancuan di atas, terdapat dualisme posisi Kader TB di sistem kesehatan masyarakat Indonesia yang cukup membingungkan. Di pemerintahan, jejaring TB berada di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan program penanggulangan TBC melalui Direktorat pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung (P2PML). Mereka melibatkan kader kesehatan terlatih yang bekerja di Puskesmas.

Sedangkan posisi kader TB Non pemerintah berada di bawah koodinasi konsorsium komunitas Penabulu-STPI. Pada  tahun 2022 tercatat sekitar 1900 kader TBC di bawah konsorsium STPI-Penabulu. Mereka melibatkan kader posyandu dan kader TB Aisyiyah serta Muhammadiyah. Kader TB dari organisasi keagamaan ini telah terlebih dahulu melakukan pendampingan sebelum Global Fund turun tangan.

Berdasarkan data penelitian Pujiono Centre, dari total responden 1891, ada 1689 responden yang bukan penyintas TB (belum pernah terinfeksi TB). Artinya ini kabar baik, mayoritas kader sudah memiliki kesadaran bahwa ketika menjadi kader TB belum tentu kita dengan mudah tertular TB. Fakta ini dapat dijadikan senjata pada saat perekrutan kader baru, agar mereka tidak ragu-ragu dan semakin yakin untuk bergabung dalam jejaring kader TB.

Pemaparan menarik ini dapat dilihat menyeluruh di kanal youtube Lokadaya.(*ari)