Skip to main content

Publish or perish. Publikasi atau binasa. Ungkapan yang telah mengarusutama ini menggambarkan pentingnya eksistensi. Tentu eksistensi di sini bukan sekadar absen, unjuk muka di hadapan jamak orang. Ia mencakup tindakan untuk memertahankan visibilitas, suatu proyeksi meninggalkan jejak karya.

“Kalau Anda ingat logo-logo ini,” terang Misran Lubis sembari menunjuk pada layar sejumlah gambar Nike, Apple, McDonald, dan Uni Eropa, “lantas, apa yang Anda ingat?” Bang Misran, panggilan akrabnya, tengah menjelaskan temali antara logo dan konsep di pikiran.

Sejumlah logo yang dipertanyakannya kemudian disahut peserta diskusi. Interaktivitas ini cukup membangun suasana segar serial diskusi ketiga Optimalisasi Visibilitas Organisasi Masyarakat Sipil di Zoom pada pagi pukul 09.00-11.00 WIB (30/01). Bang Misran mengajak audiens berimajinasi. Bila logo dan kalimat tertentu seperti isu anak, perempuan, lingkungan, HAM, dan TBC itu terasosiasi pada Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) apa? Kebanyakan audiens menjawab: KontraS, Walhi, STPI, Aisyiyah, dan lain-lain.

Visibilitas adalah sokoguru eksistensi OMS. Visibilitas bukan semata mempertontonkan rekam jejak. Melainkan juga memupuk kepercayaan publik terhadap OMS. Bang Misran menuturkan, visibilitas ibarat sebuah alat yang mampu membangun pengaruh dan dampak. Di tengah era serba media seperti sekarang, visibilitas identik dengan pemanfaatan aneka kanal media sosial. “Jadi, manfaatkanlah dan optimalkanlah semua media sosial yang ada agar visibilitas OMS kita menguat,” ucapnya.

Di hadapan OMS tingkat SR, SSR, dan IU dari Sabang sampai Merauke, Bang Misran menyodorkan delapan strategi penguatan visibilitas organisasi. Pertama, pemahaman target sasaran. Siapa audiens organisasi menentukan pengerahan brand visibility. Kedua, konsistensi identitas jenama (brand).

“Pastikan organisasi memiliki identitas yang konsisten di semua saluran dan platform, mencakup logo, warna, gaya visual, dan tone of voice,” ungkap tim Lokadaya Nusantara itu. Selanjutnya, aspek kehadiran organisasi di ruang maya atau digital. Situs laman menjadi penanda atas cerminan nilai-nilai keorganisasian. Nilai ini terhidang lewat sepak terjang rekam jejak digital.

Tak kalah menjadi bagian strategi, imbuh Bang Misran, perlunya optimalisasi SEO, kolaborasi dengan pemengaruh (influencer), menjalin kemitraan, brand advocacy, dan produksi konten secara ciamik serta relevan. “Media apa yang sudah organisasi Anda miliki?” celetuk Bang Misran kepada peserta. Beberapa audiens berefleksi karena ternyata selama ini kurang memperkuat strategi komunikasi medianya.

Pada pertengahan diskusi, Martin, salah seorang peserta, bertanya. Branding suatu organisasi selama ini kadang kalah dengan branding personal dari pendiri organisasi itu. Apa pasal?

“Ada tiga hal. Nama lembaga, core isu, atau individu. Memang branding bisa berangkat dari apa saja. Setidaknya tiga hal ini. Kembali pada proses pendirian organisasi. Ketika kita bikin lembaga, kita bikin gerakan seperti apa. Perlu kita seimbangkan bila kasusnya ditanyakan tadi. Yang jelas kalau kita membangun branding organisasi, kita menerapkan akuntabilitas organisasi,” tandas Bang Misran.

Diskusi tak terasa melewati pukul 11.00. Meski dipisahkan oleh sang kala, diskusi yang diselenggarakan oleh Lokadaya dan Menjadi Indonesia ini begitu membekas. Setidaknya pertanyaan, jawaban, dan keingintahuan makin tumbuh subur. Pekan berikutnya masih dijadwalkan diskusi serupa dengan memasuki seri keempat di hari dan waktu sama. (RKP).