Skip to main content

Jakarta (18/3/2024) TIdak banyak yang menyadari, sebenarnya wabah TB masih dab sedang mengintai warga kita baik di desa maupun di kota. Kita perlu melakukan tindakan nyata untuk mengeliminasi TB, baik mulai dari diri sendiri maupun ke skala yang lebih besar.

Dewasa ini, Puskesmas selalu diundang dan dilibatkan saat pelaksanaan Musrenbang Desa. Tindakan selanjutnya yang perlu dilakukan ialah sinkronisasi data puskesmas dengan data TB di lapangan. Selain itu, puskesmas juga harus memprioritaskan TB dalam program kerjanya, tidak hanya melulu soal Stunting dan sanitasi saja. Diskusi menarik muncul saat Jejaring Lokadaya mengadakan program “Ngabuburit Ngobrol TBC”. Program ini bernaung di bawah Menjadi Indonesia yang diadakan pada pukul 15.30 WIB sembari menunggu buka puasa. Pada sesi pertama ini, Ngabuburit Ngobrol TBC mengambil tema “Bagaimana Desa Menjadi Faktor Eliminasi TB. Narasumber kali ini ialah Iskandar Eks Direktur Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang.

Desa memiliki peran penting dalam upaya membangun transformasi sosial di Indonesia. Fakta ini terjadi sejak jaman Mataram sampai dengan Indonesia modern saat ini, baik dalam resistensi maupun revitalisasi. Peran utama desa di sektor kesehatan adalah dengan ikut dalam faktor determinan percepatan eliminasi penyakit menular, khususnya TBC. Desa harus menjadi garda terdepan dalam eliminasi TB sehingga target eliminasi TB akan segera tercapai.

Sebelum ada peraturan dari Kementerian Desa, para periset dan kader mengadvokasi serta mendorong suatu kebijakan nyata dalam penanggulangan TB di tingkat desa. Akhirnya, munculah Permendes prioritas penggunaan Dana Desa 2023 guna penanggulangan TB. Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi masyarakat desa agar segera terbebas dari TB.

Menurut Iskandar, tantangan terbesar adalah menjaga proses pembiayaan eliminasi TB ini tetap berkelanjutan setiap tahun. Untuk itu, kita perlu selalu mengawal dan mengadvokasi anggaran tersebut. Kita selaku OMS/LSM, perlu mempertajam kemampuan dalam melobi dan bernegosisasi melawan banyak kepentingan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperjuangkan anggaran eliminasi TB tersebut.

Seorang peserta, Amri Jaya dari  Rejang Lebong Bengkulu menceritakan tentang penanggulangan TB di Desanya. Pada saat memberikan pendampingan ke masyarakat, ternyata di lapangan sudah ada program TBC di dalam SID (Sistem Informasi Desa). Akan tetapi tidak berjalan lancar karena regulasi yang ada. “Para Kades ini tidak berani dan bingung mau menganggarkan ke mana”. Ujar Amri

Akhirnya kader berinisiatif melakukan pembagian PMT (Pemberian Makanan Tambahan) dan melakukan penyuluhan di setiap kegiatan desa. Praktik baik lain yang dapat ditiru adalah apabila ditemukan kasus TB di Rejang lebong, maka satu rumah harus melakukan cek TB semua, lalu kader membantu dan mengusahakan para pasien mendapatkan Bansos ataupun BLT Desa.

Salah satu peserta lain, Ajat, menyayangkan adanya disparitas yang cukup tinggi antara pedesaan dan perkotaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025. Hal ini dapat dilihat perbedaan jumlah kemiskinan, sarana prasarana, dan permasalahan sosialnya. Bagi Ajat, membentuk kemandirian Desa dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia itu lebih realistis. Pada tahun 2015, Ajat dan teman-teman Kader membentuk satu kelompok peduli TB di dua kecamatan Cirebon, tanpa bantuan dan dukungan dari APBD sama sekali. Ia mengklaim bahwa kelompok ini dapat dijadikan role model. Hal ini mereka lakukan dalam rangka berkonsentrasi pada kemandirian masyarakat khususnya pasien TB. Kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan membuat kue dan pemanfataan barang bekas menjadi lebih berguna.

Sharing praktik baik dari beberapa desa dan keseluruhan diskursus ini dapat ditonton secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)