Skip to main content

Pendanaan menandai pilar keberlanjutan suatu Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Studi Cardno (2020) menunjukkan sebesar 85%-90% sumber pendanaan OMS berasal dari lembaga donor. Sementara itu, perubahan ekonomi Indonesia dalam perdagangan global menjadi Negara dengan status middle income country telah mempengaruhi arah dan lanskap pendanaan OMS.

Situasi demikian mendesak OMS untuk bernegosiasi terhadap tantangan baru. Yakni peluang untuk melakukan diversifikasi berbagai sumber pendanaan, termasuk menjajaki skema pendanaan Swakelola Tipe III.

Diskusi Tahapan, Ruang Lingkup, dan Strategi Swakelola Tipe III pada Selasa (20/02) ini menandai rangkaian seri kelima atau penutup Pilar Akuntabilitas, Visibilitas, dan Keberlanjutan OMS Indonesia. Bertempat di ruang studio Penabulu “Cipete kecil”, dua narasumber—Sugiarto Arif Santoso dan Misran Lubis—yang sebelumnya membabar materi serial secara terpisah, kini satu meja.

Sugi mewedarkan materi Mengenal Kerangka Regulasi Swakelola Tipe III dan Misran mempresentasikan Strategi, Lobi, dan Advokasi Swakelola Tipe III. Dua materi ini memperkaya pengetahuan sekaligus pengalaman praktik baik bagi peserta yang semuanya berada di ruang virtual Zoom.

Mengawali paparan soal regulasi, Sugi menjelaskan landasan hukum Swakelola Tipe III. Menurutnya, Swakelola Tipe III antara lain berpayung hukum pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021, dan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 1 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

“Cara pengadaan itu ada dua hal. Pertama, melalui swakelola. Kedua, melalui penyedia,” ucap Sugi. Dua hal ini memiliki perbedaan. Pengadaan pertama dikerjakan sendiri oleh Ormas atau kelompok masyarakat, sedangkan kedua dilakukan oleh pengusaha. “Penguasa ini menyediakan barang atau jasa berdasarkan kontrak,” imbuhnya.

Hemat Sugi, Swakelola Tipe III merupakan suatu peluang pendanaan bagi OMS. Namun, ia menerangkan lebih lanjut, pendanaan Swakelola Tipe III bukan merupakan dana hibah. “Tapi yang jelas dia jadi paradigma bagi OMS atau Ormas untuk terlibat sebagai vendor dalam tender atau lelang pengadaan barang atau jasa yang dilakukan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah,” jelasnya.

Jika Sugi menguraikan materi dalam kerangka regulasi, Misran cenderung menuturkan kiat-kiat menembus Swakelola Tipe III. Menurutnya, selain aspek administratif, membidik Swakelola Tipe III hendaknya mengindahkan dimensi advokasi dan lobi agar menghasilkan win-win solution.

Pasalnya, Swakelola Tipe III ini melibatkan kerja sama antara pemerintah dan OMS. Ditilik dari proses lobi, Misran menekankan pada seberapa jauh OMS menjahit relasi dengan sejumlah organisasi lain. Maka menggandeng mitra dengan pertemuan informal dipandang penting.

Misran tak luput memberikan kiat OMS untuk mengakses Swakelola Tipe III. Ia membagi tiga peta jalan. Pertama, kesiapan kebijakan dan pemangku kebijakan, pemantapan kedudukan OMS, dan penilaian kebutuhan atas suatu isu. Kedua, keterlibatan OMS dalam proses Musrembang berjenjang dan advokasi isu ke dalam perencanaan.

Dua jalan ini harus dikawal proses perencanaan hingga penetapan APBD. Ketiga, sebagai ujung jalan, perlunya pemetaan paket Swakelola Tipe III melalui Sirup (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan), proposal dan RAB, kelengkapan dokumen lembaga, dan kontrak.

Paparan dua materi ini mengundang sejumlah pertanyaan audiens. Garis pertanyaan mereka bersifat teknis. Namun, terdapat pertanyaan non-teknis yang menitikberatkan pada strategi posisi tawar (bargaining position) OMS terhadap pemerintah.

Tayangan seri I sampai V diskusi Tahapan, Ruang Lingkup, dan Strategi Swakelola Tipe III ini dapat ditengok di Youtube LOKADAYA.