Skip to main content

Jakarta (10/1/2024). Advokasi menjadi bagian yang sangat penting ketika para OMS sudah mengawal dari bawah (musrenbang desa), tetapi tiba-tiba DPA (Daftar Pelaksanaan Anggaran) tersebut hilang di tingkat yang lebih tinggi. Ini biasanya terjadi karena kalah prioritas di musrenbang tingkat atas. Maka dari itu penting kiranya melakukan advokasi dengan OPD terkait.

Perbincangan hangat mengenai advokasi tersebut menjadi topik utama pada pertemuan ketiga dalam pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Melalui Skema Swakelola Tipe III. Pertemuan ini merupakan kerjasama Lokadaya dan Konsil LSM Indonesia serta didukung oleh Canada Fund for Local Initiatives (CFLI).

Perlu dipahami dalam advokasi harus diawali dengan pemahaman mengenai pendekatan perencanaan pembangunan daerah. Pendekatan tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu secara politik, teknokratik dan partisipatif. Pendekatan politik menyangkut visi misi kepala daerah di dalam dokumen perencanaan anggaran daerah. Lalu secara teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Pendekatan terakhir adalah partisipatif,yang mana pendekatan ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan (musrenbang).

Dalam melakukan advokasi, penting kiranya OMS memahami alur rencana kerja RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah), karena banyak OMS hanya mengandalkan musrenbang tetapi tidak mengawal atau melakukan advokasi sampai tingkat atas. Oleh karena itu, OMS biasanya kehilangan jejak di tahap tersebut. Untuk merancang RKPD ini, OPD biasa melakukan kompromi dengan mempertimbangkan kebijakan strategis dan pokir (pokok pikiran) anggota DPRD.

Advokasi yang bisa OMS lakukan adalah pemilahan kriteria barang jasa yang bisa efektif ditempatkan dalam Swakelola Tipe III. Banyak sekali ditemukan miss tagging atau salah penandaan Swakelola Tipe III tetapi isi paketnya tidak sesuai bila dikerjakan oleh OMS, seperti bidang konstruksi pembangunan jembatan, jalan dan lain-lain. Begitu juga sebaliknya, banyak yang seharusnya bisa dijadikan Swakelola Tipe III tetapi dalam SIRUP (sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) tertulis sebagai Swakelola Tipe I. Oleh sebab itu, paket yang ditandai sebagai Swakelola Tipe I, harus kita advokasi agar dijadikan Swakelola Tipe III yang lebih irit, efisien dan efektif. Jadi OMS harus memantau SIRUP dan juga memahami alur tahapan Swakelola untuk melakukan lobi dan advokasi terhadap akses Swakelola Tipe III tersebut.

Anick HT selaku Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia menyampaikan porsi Swakelola Tipe III memang sangat kecil dalam APBD, dimana banyak pula OPD yang tidak menampilkan Swakelola Tipe III. Di tahun 2022 saja ada sebanyak 119 kabupaten/kota tidak menggunakan Swakelola Tipe III dalam pengadaannya (Data dari SIRUP)

Menurut Anick, OMS akan memiliki posisi yang setara dengan OPD dalam Swakelola Tipe III. “Mungkin selama ini ada yang merasa dianggap seperti pengemis bila mendatangi OPD”, terangnya.

Dalam Swakelola Tipe III ini kedudukan OMS adalah sebagai penyedia. Berbeda dengan hibah, yang mana OPD berkedudukan sebagai pemberi dana dan OMS dianggap sebagai organisasi yang membutuhkan dana. Dalam Swakelola Tipe III anggapan seperti itu tidak berlaku. Jadi OMS bisa lebih percaya diri dalam melakukan advokasi dengan OPD.

Dalam hal ini, advokasi menjadi penting agar OPD menyadari bahwa OMS dibutuhkan sebagai penyedia, sekaligus berguna bagi OMS untuk memperkenalkan diri sebagai patner yang dibutuhkan.

Rekaman seri webminar dan diskusi ini dapat anda simak secara lengkap di kanal Youtube https://youtube.com/@LOKADAYA atau di bagian lain dari website ini. (*ari)