Skip to main content

Jakarta (11/1/2024). Kondisi berat dialami orang saat terdiagnosis TB positif, dan kehidupan mereka bertambah berat lagi saat mendapat stigma dari lingkungan sosialnya. Dampak terjadinya stigma pada pasien TB yang sangat berbahaya adalah hasil pengobatan yang buruk (Resisten Obat). Hal ini jelas berimbas pada meningkatnya angka penularan Tuberkulosis, bahkan angka kesakitan serta kematian juga meningkat.

Diskusi menarik ini muncul dalam seminar daring Program accelerate (Advancing Community Consortium Efforts to Leverage and Advocate TB Elimination). Kegiatan ini merupakan kerjasama Penabulu dan Lokadaya serta didukung oleh UNOPS. Meretas Stigma dan Diskriminasi Orang dengan Tuberkulosis merupakan tema pada pertemuan keempat ini. Narasumber yang dihadirkan adalah Sofyan selaku wakil ketua Sebaya (organisasi penyintas TB) dan Ria Ningsih (TA Provider for Human Rights The Global Fund).

Stigma dapat disebabkan oleh ketidaktahuan akan penyakit, kondisi pandemi, kurangnya dukungan psikososial, dan respons otoritas yang kurang konsisten. “Untuk itu mari sama-sama melihat kembali apa saja yang perlu kita update pengetahuannya, supaya kita bisa menghilangkan stigma diskriminasi tehadap pasien TB”, ajak Ria Ningsih pada para peserta zoom meeting siang itu.

Ria Ningsih juga menjelaskan tentang TB Costed Action Plan yang mana banyak sekali manifestasi stigma terhadap pasien TB. Penghindaran, pelecehan verbal, diskriminasi dari tenaga kesehatan, dibiarkan, dikeluarkan dari sekolah atau lingkungan kerja merupakan dampak dari stigma pasien TB. Alhasil, biasanya pasien menutupi status TB-nya, mengisolasi diri, psikologisnya terganggu, perasaan bersalah, menunda pengobatan, dan kepatuhan pengobatan yang rendah.

Di sisi lain, self stigma biasanya masih kental dialami oleh pasien TB dan HIV. Mereka selalu menyalahkan dan menempatkan diri sendiri di posisi yang buruk. Memang susah bila seorang pasien sudah mengalami self stigma, mereka pasti butuh figur yang pernah mengalami TB juga. Pasien tersebut membutuhkan contoh riil yang dapat menjelaskan bahwa TB dapat sembuh dengan pengobatan teratur.

Empati adalah basic yang wajib kita miliki agar dapat berkomunikasi dengan pasien TB. Kita berpikir bagaimana jika kita berada di posisi mereka. Jikalau sudah berempati, setidaknya kita akan dapat menempatkan diri dan berkomunikasi dengan mereka. “Namun bila kita sudah tidak didengarkan oleh mereka, maka mari dicoba sebaliknya, kita dengarkan keinginan dan perasaan mereka seperti apa”, ungkap Ria Ningsih.

Intervensi yang dapat dilakukan untuk menurunkan stigma pada pasien TB adalah edukasi, homevisit, TB patients support dan peningkatan kualitas tenaga kesehatan.

Narasumber selanjutnya adalah Sofyan yang merupakan salah satu penyintas TB di tahun 2018. Setelah menjalani pengobatan setahun beliau dinyatakan sembuh. “Dulu sebelum terdiagnosa TB, teman-teman selalu mengatakan istilah gak ada loe gak rame, sebaliknya saat terkena TB, ada saya jadi gak rame“, ungkap Sofyan. Perlakuan tidak baik terus saja Ia dapatkan, padahal orang lain tidak mengetahui bahwa pasien TB telah berjuang keras melalui pengobatan yang cukup panjang serta efek samping obat yang luar biasa.

Untuk itu Sofyan menyadari tentang pentingnya berjejaring. “Dengan bergabung dalam komunitas, kita bisa saling memotivasi sehingga tidak ada lagi stigma buruk kepada pasien TB”, tambah Sofyan.

Diskusi lengkap tentang menangani stigma TB ini dapat diakses di kanal youtube Lokadaya. (*ari)