Skip to main content
Category

Liputan Kegiatan

Sains dan Berjejaring, Solusi Jitu Masalah Stigma

By Liputan Kegiatan

Jakarta (11/1/2024). Kondisi berat dialami orang saat terdiagnosis TB positif, dan kehidupan mereka bertambah berat lagi saat mendapat stigma dari lingkungan sosialnya. Dampak terjadinya stigma pada pasien TB yang sangat berbahaya adalah hasil pengobatan yang buruk (Resisten Obat). Hal ini jelas berimbas pada meningkatnya angka penularan Tuberkulosis, bahkan angka kesakitan serta kematian juga meningkat.

Diskusi menarik ini muncul dalam seminar daring Program accelerate (Advancing Community Consortium Efforts to Leverage and Advocate TB Elimination). Kegiatan ini merupakan kerjasama Penabulu dan Lokadaya serta didukung oleh UNOPS. Meretas Stigma dan Diskriminasi Orang dengan Tuberkulosis merupakan tema pada pertemuan keempat ini. Narasumber yang dihadirkan adalah Sofyan selaku wakil ketua Sebaya (organisasi penyintas TB) dan Ria Ningsih (TA Provider for Human Rights The Global Fund).

Stigma dapat disebabkan oleh ketidaktahuan akan penyakit, kondisi pandemi, kurangnya dukungan psikososial, dan respons otoritas yang kurang konsisten. “Untuk itu mari sama-sama melihat kembali apa saja yang perlu kita update pengetahuannya, supaya kita bisa menghilangkan stigma diskriminasi tehadap pasien TB”, ajak Ria Ningsih pada para peserta zoom meeting siang itu.

Ria Ningsih juga menjelaskan tentang TB Costed Action Plan yang mana banyak sekali manifestasi stigma terhadap pasien TB. Penghindaran, pelecehan verbal, diskriminasi dari tenaga kesehatan, dibiarkan, dikeluarkan dari sekolah atau lingkungan kerja merupakan dampak dari stigma pasien TB. Alhasil, biasanya pasien menutupi status TB-nya, mengisolasi diri, psikologisnya terganggu, perasaan bersalah, menunda pengobatan, dan kepatuhan pengobatan yang rendah.

Di sisi lain, self stigma biasanya masih kental dialami oleh pasien TB dan HIV. Mereka selalu menyalahkan dan menempatkan diri sendiri di posisi yang buruk. Memang susah bila seorang pasien sudah mengalami self stigma, mereka pasti butuh figur yang pernah mengalami TB juga. Pasien tersebut membutuhkan contoh riil yang dapat menjelaskan bahwa TB dapat sembuh dengan pengobatan teratur.

Empati adalah basic yang wajib kita miliki agar dapat berkomunikasi dengan pasien TB. Kita berpikir bagaimana jika kita berada di posisi mereka. Jikalau sudah berempati, setidaknya kita akan dapat menempatkan diri dan berkomunikasi dengan mereka. “Namun bila kita sudah tidak didengarkan oleh mereka, maka mari dicoba sebaliknya, kita dengarkan keinginan dan perasaan mereka seperti apa”, ungkap Ria Ningsih.

Intervensi yang dapat dilakukan untuk menurunkan stigma pada pasien TB adalah edukasi, homevisit, TB patients support dan peningkatan kualitas tenaga kesehatan.

Narasumber selanjutnya adalah Sofyan yang merupakan salah satu penyintas TB di tahun 2018. Setelah menjalani pengobatan setahun beliau dinyatakan sembuh. “Dulu sebelum terdiagnosa TB, teman-teman selalu mengatakan istilah gak ada loe gak rame, sebaliknya saat terkena TB, ada saya jadi gak rame“, ungkap Sofyan. Perlakuan tidak baik terus saja Ia dapatkan, padahal orang lain tidak mengetahui bahwa pasien TB telah berjuang keras melalui pengobatan yang cukup panjang serta efek samping obat yang luar biasa.

Untuk itu Sofyan menyadari tentang pentingnya berjejaring. “Dengan bergabung dalam komunitas, kita bisa saling memotivasi sehingga tidak ada lagi stigma buruk kepada pasien TB”, tambah Sofyan.

Diskusi lengkap tentang menangani stigma TB ini dapat diakses di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Penting! Advokasi di Swakelola Tipe III

By Liputan Kegiatan

Jakarta (10/1/2024). Advokasi menjadi bagian yang sangat penting ketika para OMS sudah mengawal dari bawah (musrenbang desa), tetapi tiba-tiba DPA (Daftar Pelaksanaan Anggaran) tersebut hilang di tingkat yang lebih tinggi. Ini biasanya terjadi karena kalah prioritas di musrenbang tingkat atas. Maka dari itu penting kiranya melakukan advokasi dengan OPD terkait.

Perbincangan hangat mengenai advokasi tersebut menjadi topik utama pada pertemuan ketiga dalam pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Melalui Skema Swakelola Tipe III. Pertemuan ini merupakan kerjasama Lokadaya dan Konsil LSM Indonesia serta didukung oleh Canada Fund for Local Initiatives (CFLI).

Perlu dipahami dalam advokasi harus diawali dengan pemahaman mengenai pendekatan perencanaan pembangunan daerah. Pendekatan tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu secara politik, teknokratik dan partisipatif. Pendekatan politik menyangkut visi misi kepala daerah di dalam dokumen perencanaan anggaran daerah. Lalu secara teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Pendekatan terakhir adalah partisipatif,yang mana pendekatan ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan (musrenbang).

Dalam melakukan advokasi, penting kiranya OMS memahami alur rencana kerja RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah), karena banyak OMS hanya mengandalkan musrenbang tetapi tidak mengawal atau melakukan advokasi sampai tingkat atas. Oleh karena itu, OMS biasanya kehilangan jejak di tahap tersebut. Untuk merancang RKPD ini, OPD biasa melakukan kompromi dengan mempertimbangkan kebijakan strategis dan pokir (pokok pikiran) anggota DPRD.

Advokasi yang bisa OMS lakukan adalah pemilahan kriteria barang jasa yang bisa efektif ditempatkan dalam Swakelola Tipe III. Banyak sekali ditemukan miss tagging atau salah penandaan Swakelola Tipe III tetapi isi paketnya tidak sesuai bila dikerjakan oleh OMS, seperti bidang konstruksi pembangunan jembatan, jalan dan lain-lain. Begitu juga sebaliknya, banyak yang seharusnya bisa dijadikan Swakelola Tipe III tetapi dalam SIRUP (sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) tertulis sebagai Swakelola Tipe I. Oleh sebab itu, paket yang ditandai sebagai Swakelola Tipe I, harus kita advokasi agar dijadikan Swakelola Tipe III yang lebih irit, efisien dan efektif. Jadi OMS harus memantau SIRUP dan juga memahami alur tahapan Swakelola untuk melakukan lobi dan advokasi terhadap akses Swakelola Tipe III tersebut.

Anick HT selaku Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia menyampaikan porsi Swakelola Tipe III memang sangat kecil dalam APBD, dimana banyak pula OPD yang tidak menampilkan Swakelola Tipe III. Di tahun 2022 saja ada sebanyak 119 kabupaten/kota tidak menggunakan Swakelola Tipe III dalam pengadaannya (Data dari SIRUP)

Menurut Anick, OMS akan memiliki posisi yang setara dengan OPD dalam Swakelola Tipe III. “Mungkin selama ini ada yang merasa dianggap seperti pengemis bila mendatangi OPD”, terangnya.

Dalam Swakelola Tipe III ini kedudukan OMS adalah sebagai penyedia. Berbeda dengan hibah, yang mana OPD berkedudukan sebagai pemberi dana dan OMS dianggap sebagai organisasi yang membutuhkan dana. Dalam Swakelola Tipe III anggapan seperti itu tidak berlaku. Jadi OMS bisa lebih percaya diri dalam melakukan advokasi dengan OPD.

Dalam hal ini, advokasi menjadi penting agar OPD menyadari bahwa OMS dibutuhkan sebagai penyedia, sekaligus berguna bagi OMS untuk memperkenalkan diri sebagai patner yang dibutuhkan.

Rekaman seri webminar dan diskusi ini dapat anda simak secara lengkap di kanal Youtube https://youtube.com/@LOKADAYA atau di bagian lain dari website ini. (*ari)

Begini Tahapan Swakelola Tipe III

By Liputan Kegiatan

Jakarta (9/1/2024). Tujuan mulia swakelola bagi OMS (organisasi masyarakat sipil) adalah meningkatkan partisipasi kelompok masyarakat, efektivitas dan efisiensi program. Oleh karenanya, pelaksanaan swakelola harus disesuaikan dengan tujuan pendirian OMS (visi dan misi) serta kompetensi dari OMS tersebut.

Diskusi hangat tersebut muncul dalam rangkaian seri pelatihan bertajuk mobilisasi sumber daya lokal melalui skema swakelola tipe III pertemuan kedua yang bertema “Alur/tahap pelaksanaan swakelola tipe III”.

Poin hangat lainnya muncul saat ada fenomena masuknya perguruan tinggi dan lembaga profesi penyelenggara penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelatihan, lokakarya atau penyuluhan, dalam kompetisi meraih proyek swakelola tipe III. Banyak terjadi OMS yang tidak mampu menandingi mereka. Namun, kesempatan itu masih terbuka lebar dengan adanya kriteria PBJ (pengadaan Barang/Jasa) poin tiga yang dikhususkan untuk OMS yaitu pengadaan barang/jasa yang dihasilkan oleh ormas, kelompok masyarakat atau masyarakat.

Untuk itu meraih kesempatan itu, OMS selayaknya mempersiapkan diri dengan sistem kerja yang telah diatur oleh LKPP. Adapun tahapan swakelola tipe III meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan serah terima.

OMS bisa mengawal advokasi pengadaan pada bulan Januari, dimulai dari Musrenbang tingkat desa, kecamatan dan siklus selanjutnya. Proses ini tentu untuk RAPBD tahun selanjutnya. Perlu kita ingat bersama, hasil dari Musrenbang masih bergantung pada keputusan kepala daerah masing-masing. Lalu, penyusunan RAPBD dilakukan di bulan Juli-September dan akan tampil di sirup (sistem informasi rencana umum pengadaan) paling lambat tanggal 31 Maret tahun selanjutnya.

Sarwitri mewakili Konsil LSM Indonesia mengatakan, OPD biasanya menyalin nomenklatur yang sudah ada dan sebenarnya OPD membutuhkan teman untuk bisa menajamkan kembali perencanaannya atau memperkuat capaian dalam pembangunan nasional. Peran ini layak untuk dilakoni OMS dengan melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah.

Dokumen persiapan swakelola tipe III dapat diakses secara daring pada website SIPraja LKPP (https://sipraja.lkpp.go.id dan pada keputusan Deputi bidang pengembangan strategi dan kebijakan LKPP No.2 Tahun 2022 tentang model dokumen Swakelola.

Dalam seri ini, Sarwitri juga mewanti-wanti pentingnya visibilitas OMS di Indonesia dalam rangka membangun kolaborasi dengan OPD. Kita pasti menyadari, selama ini dokumen hasil kinerja OMS hanya dapat diakses oleh OMS dan pemberi donor, sehingga OPD tidak mengetahui apa potensi dan kompetensi OMS tersebut.

Selain itu, tambah Sarwitri, masih banyak OPD yang hanya menggunakan Swakeloka tipe I untuk mencari titik aman, bisa jadi karena kurang percaya atau tidak mengetahui portofolio OMS yang melamar. Ditambah lagi, memang tidak ada kewajiban dari pusat untuk OPD menggunakan swakelola tipe III sehingga para OPD pilih-pilih menggunakan swakelola yang mana.

Oleh karena itu penting kiranya meningkatkan akuntabilitas kinerja OMS agar diketahui OPD dan publik, dan hal ini dapat dilakukan dengan optimalisasi media, baik secara daring (sosmed/website) maupun luring.

Seri kedua ini penting untuk diikuti secara lengkap, silakan anda menuju https://youtube.com/@LOKADAYA untuk menikmati keseluruhan materi dan diskusi. (*ari)

OMS Berdaya via Swakelola Tipe III

By Liputan Kegiatan

Jakarta (8/1/2024) – Kemajuan demokrasi dan ekonomi telah membuat lembaga donor, khususnya donor Internasional, pelan-pelan menggeser pendanaannya ke negara lain yang lebih membutuhkan. Hal ini menjadi tantangan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia untuk mempertahankan keberlanjutannya. Swakelola tipe III menjadi salah satu terobosan untuk mengatasi hal tersebut.

Swakelola tipe III adalah ruang penting, peluang yang sangat baik bagi OMS untuk mengakses pendanaan dari pemerintah.

Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia, Anick HT, mengatakan 80% pendanaan OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) masih bergantung pada lembaga donor. Oleh karena itu, melalui Swakelola tipe III ini, OMS diharapkan dapat mengakses dana pemerintah, dalam berkontribusi untuk bangsa melalui program-program dan karya-karyanya.

Mewakili LKPP RI (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), Seno Haryowibowo menjelaskan pedoman pelaksanaan Swakelola tipe III sesuai peraturan LKPP No.3 Tahun 2021. Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri, direncanakan dan diawasi oleh kementerian/lembaga/perangkat daerah penanggungjawab anggaran dan dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan. Pada sesi tanya jawab, Seno mengatakan dalam persyaratan Swakelola memang tidak ada ketentuan lama berdirinya sebuah OMS. Namun PPK akan memproses dan memverifikasi portofolio serta klarifikasi guna membuktikan kebenaran data tentang OMS tersebut.

Untuk mengakses swakelola tipe III, OMS bisa membuka aplikasi sirup (Sistem Informasi Rencana umum pengadaan). Pada awal tahun (Januari-Maret) aplikasi ini akan menampilkan semua pengadaan selama satu tahun dengan berbagai tipe swakelola (tipe I-IV). Namun untuk OMS sila berfokus pada swakelola tipe III. Penggunaan aplikasi sirup ini dibuat dalam rangka mendorong transparansi anggaran Pemerintah. Seno mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada database yang memuat semua OMS beserta bidangnya agar membantu pemerintah dalam mengakses semua OMS di Indonesia. Sama halnya seperti SIKaP (Sistem Informasi Kinerja Penyedia), database untuk OMS diharapkan ada.

Begitulah kiranya penyampaian materi, diskusi, tanya-jawab pada rangkaian seri pelatihan daring pertama yang bertajuk “Pengantar Swakelola Tipe III” pada Senin (8/1).

Jejaring Lokadaya bekerjasama dengan Konsil LSM Indonesia mengadakan seri pelatihan daring bertema Mobilisasi Sumber Daya lokal melalui skema Swakelola Tipe III. Pelatihan ini didukung oleh Canada Fund for Local Initiatives (CFLI). Kegiatan ini adalah bentuk dukungan lokadaya dan Konsil LSM Indonesia guna memperkuat jaringannya agar terus berkembang di tengah krisis pendanaan di Indonesia. Seri Pelatihan ini terdiri dari enam kali pertemuan, yang mana pada pertemuan pertama membahas mengenai pengantar swakelola tipe III. (*ari).

Stigma Masih Jadi Tantangan Penanggulangan TB

By Liputan Kegiatan

Jakarta (15/12) — Jejaring Lokadaya dan Tim Accelerate Penabulu Foundation mengadakan seri webinar Jaringan Solidaritas TB Nasional secara daring. Webinar 3 berjudul Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja ini diadakan pada Kamis (14/12) melalui Zoom Meeting.

Penanggulangan TB di tempat kerja masih perlu dan segera dioptimalkan, mengingat berdasarkan data TB menyerang kelompok usia produktif. Epidemiolog Kesehatan, Penanggung Jawab Program TBC Dinas Kesehatan Kota Tangerang Tristi Dwi Veronita memaparkan data situasi TB di Kota Tangerang, bahwa pekerja buruh menempati posisi pertama penderita TB, kemudian disusul oleh kelompok yang tidak bekerja dan pegawai swasta.

TBC pun menjadi beban yang membawa dampak kerugian terhadap ekonomi. Deputy Director Yayasan Kusuma Buana menyampaikan sebanyak 26% penderita TB dan 53% TB MDR kehilangan pekerjaan, sedangkan 38% penderita TB dan 70% penderita TB MDR kehilangan pendapatan.

“Data ini disampaikan karena bisa dijadikan sebagai awal untuk kita melakukan pendekatan ke perusahaan. Kita harus memberikan gambaran-gambaran dan kerugian-kerugian yang disebabkan oleh TBC, karena kalau kita bicara di perusahaan, orientasi mereka adalah bisnis dan produktivitas. Sehingga kita perlu memperlihatkan dampak yang akan terjadi ke pekerjanya,” kata Mundi.

Stigma menjadi tantangan utama dalam penanggulangan tuberkulosis di tempat kerja. “Adanya stigma membuat orang bukannya akan berobat tapi akan takut untuk berobat karena mereka mau menyembunyikan sakitnya. Itu merugikan,” Ungkap Ketua Komite K3 DPN APINDO dr. Rima M.

Lebih lanjut, stigma negatif terhadap penderita TB disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan luasnya mitos tentang TB di kalangan pekerja. Masih banyak orang yang belum mengetahui kalau TB bisa disembuhkan. Hal ini menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran bagi penderita TB akan pemecatan.

Maka edukasi tentang TBC menjadi penting. Dinas Kesehatan Kota Tangerang, misalnya, mengundang 30 perusahaan untuk mengikuti edukasi tentang TBC hingga mengadakan pelatihan International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) bagi dokter/tenaga kesehatan di klinik perusahaan. “Harapannya dokter atau tenaga kesehatan mampu melakukan deteksi dini sampai dengan pengobatan TB di klinik perusahaan.” Ucap Tristi.*

Peran CSO dapat Tanggulangi TB

By Liputan Kegiatan

Jakarta (1/12) — Jejaring Lokadaya dan Tim Accelerate Penabulu Foundation mengadakan seri webinar Jaringan Solidaritas TB Nasonal secara daring. Webinar 2 berjudul Pentingnya Mengenali Tuberkulosis oleh CSO dalam Upaya Meningkatkan Perlindungan Masyarakat Dampingan ini diadakan pada Kamis (30/11) melalui Zoom Meeting.

Masyarakat perlu memahami terlebih dahulu bahwa Tuberkulosis (TB) yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis bisa menular ke siapa saja. Penyakit ini tidak mengenal status sosial, jenis kelamin, agama, dan suku.

“TB bisa menimpa siapapun, baik di perkotaan maupun pedesaan dan semua partisipan program CSO,” terang National Program Director Penabulu STPI Heny Akhmad.

Heny menekankan bahwa masih banyak masyarakat yang belum paham tentang TB. Bahkan tidak sedikit yang belum tahu bahwa TB bisa disembuhkan. “TB paru dan ekstra paru sangat bisa disembuhkan asal disiplin,” katanya.

Penanggulan TB di Indonesia sudah didukung oleh Global Fund selama kurang lebih 14 tahun. Pemerintah, baik daerah maupun nasional, juga telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait penanggulan tuberkulosis yang mendukung upaya eliminasi TB. Ironisnya peringkat penderita TB di Indonesia semakin lama semakin buruk, dari peringkat kelima kini menempati peringkat kedua di dunia.

Menurut Heny ada banyak faktor yang mempengaruhi capaian program TB di Indonesia. Lebih lanjut, dirinya menilai peran CSO bisa menjadi peluang bagi pekerja CSO terlibat dalam penanggulangan TB. “CSO berperan mengelola implementasi, bekerja bersama kelompok pendukung pasien, dan menyelenggarakan pelatihan,” jelas Heny.

Heny memperkenalkan pendekatan Pentahelix dalam eliminasi TB. Pentahelix merupakan konsep multi-pihak dimana unsur pemerintah, akademisi, badan dan/ pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media massa berkolaborasi serta berkomitmen untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu tercapainya eliminasi TB di tahun 2030.

“Kalau isu TB jadi gerakan, ada kesadaran bersama mulai dari komunitas, tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat partisipan program bisa tercapai. Kita sehat, masyarakat partisipan sehat, goal pekerjaan kita tercapai.” Tutupnya.*

Galang Inisiatif Lokal dengan Berjejaring

By Liputan Kegiatan

Jakarta (29/11) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Lokakarya Menggalang Inisiatif Lokal di Sektor Pengelolaan Risiko Bencana ini diadakan pada Selasa (28/11) melalui Zoom Meeting. Sesi ini menjadi kegiatan penutup dari rangkaian pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana.

Peserta mengaku mendapat pengetahuan dan wawasan baru seputar isu pengelolaan risiko bencana—termasuk regulasi-regulasi yang mengatur isu tersebut. Pengetahuan dan wawasan yang didapat menjadi bekal untuk bekerja di lapangan.

“Diskusi ini membantu kami di lapangan—terutama kami juga bekerja bersama komunitas di desa yang masih banyak yang belum peduli terhadap isu bencana. Padahal desa-desa di sini dekat dengan ancaman bencana alam,” kata Ahmad Rifa’i.

Menurutnya, berjejaring menjadi penting untuk dilakukan, baik pada masa prabencana, tanggap bencana, maupun pascabencana untuk memobilisasi pengetahuan dan sumber daya lokal. Peserta lainnya, Didiek, menilai peningkatan kapasitas tenaga kerja melalui profesi masing-masing juga bisa dilakukan, “Tenaga kesehatan bisa menjadi mentor atau pendamping bagi relawan kesehatan di wilayah kecamatan,” tambahnya.

Ada beberapa strategi yang mungkin dipakai untuk mobilisasi sumber daya di tiga aspek kebencanaan, seperti pendataan sumber daya lokal, pendokumentasian pengetahuan lokal, multi-stakeholder partnership, penguatan kapasitas kelembagaan lokal, hingga optimalisasi peran dan fungsi klaster kesehatan. Strategi-strategi di atas bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga berjejaring.

“Salah satu sumber daya luar biasa yang dimiliki oleh organisasi itu sebenarnya jaringan dan relawan. Kadang-kadang kalau organisasi sedang keterbatasan dana, kita bisa minta bantuan kepada teman yang memiliki keahlian di bidang masing-masing. Karena naluri dasar kita berbagi, berbagi apapun.” Imbuh Koordinator Sekretariat Jejaring Lokadaya Tino Yosepyn.

70 Persen Sekolah di Daerah Rawan Bencana, SPAB Jadi Penting

By Liputan Kegiatan

Jakarta (25/11) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik VI tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) ini diadakan pada Jum’at (14/11) melalui Zoom Meeting.

Berdasarkan pemetaan oleh BNPB, menunjukkan rata-rata hampir 70 persen sekolah di Indonesia terletak di daerah rawan bencana alam dengan ancaman yang berbeda, diantaranya rawan gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.

Safe School Project Manager Yayasan Plan International Indonesia Enos Ndapareda menjelaskan bencana berdampak besar ke satuan pendidikan. Bencana yang terjadi juga berulang. Pola tersebut membawa kemungkinan dampak yang ditimbulkan juga berulang. Sehingga seharusnya masyarakat sudah bisa belajar dari pengalaman sebelumnya supaya dapat mengurangi dampak bencana.

Maka SPAB diperlukan. Sekolah perlu menerapkan standar sarana dan prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana. “SPAB berkontribusi pada pengurangan risiko bencana, mempersiapkan warga sekolah menghadapi situasi darurat, dan membantu satuan pendidikan untuk pulih dari bencana,” ujar Enos.

Lebih lanjut, Enos menjelaskan bahwa SPAB sebagai salah satu bentuk dari pemenuhan hak setiap anak di Indonesia untuk memperoleh kehidupan yang aman dari bencana selama menempuh pendidikan di sekolah. Selain itu SPAB juga memastikan guru-guru dan pegawai juga aman dan nyaman di sekolah.

Lokus SPAB tidak hanya di sekolah-sekolah negeri saja. Pada konteks satuan pendidikan, ada 3 komponen penting, yaitu sekolah formal, nonformal, dan informal. “SPAB bisa diterapkan juga di madrasah, pesantren, PKBN, kelompok-kelompok PAUD. Hanya perlu penyesuaian metode dan pelaksanaannya antara sekolah formal, nonformal, dan informal.” Katanya.

Mitigasi Kerawanan Sosial dan Ekonomi Perlu Perencanaan yang Tepat

By Liputan Kegiatan

Jakarta (18/11) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik V tentang Mitigasi Kerawanan Sosial dan Ekonomi ini diadakan pada Jum’at (17/11) melalui Zoom Meeting.

Penjarahan kerap terjadi pada saat bencana atau kondisi krisis—salah satunya pada bencana alam gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah, 2018 silam. Muncul berita bahwa Menteri Dalam Negeri saat itu sempat menyatakan memberi izin kepada masyarakat untuk melakukan pengambilan kebutuhan dasar di beberapa supermarket yang nantinya akan ditanggung negara. Meski pada akhirnya Kementerian Dalam Negeri meralat pernyataan tersebut, situasi lapangan sudah kacau.

Penjarahan yang terjadi seperti di Palu saat itu disebabkan oleh kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi karena terjadi bencana atau konflik. Menurut Fransiskus Asisi Sukoeksi Widanto dari Pujiono Centre situasi tersebut mengakibatkan kerawanan sosial dan kerawanan ekonomi.

“Paradigma penanggulangan bencana kita lebih kuat di dimensi tanggap daruratnya. Sehingga kita tidak terlalu peduli dengan upaya-upaya penanganan bencana alam. Pada waktu itu ada kejadian, orang baru melakukan tindakan. Sehingga seperti tambal sulam, setiap ada masalah diperbaiki tapi secara komprehensif tidak tersistematisasikan,” kata Asisi.

Maka merencanakan respon kemanusiaan dari hulu ke hilir menjadi penting. Hulu adalah para pihak yang memiliki kepedulian, empati, solidaritas untuk memberikan bantuan, baik material dan nonmaterial. Sementara itu hilir merujuk kepada penerima manfaat.

Pada praktek respon kemanusiaan, pihak hulu perlu menerapkan prinsip-prinsip yang ada. Lebih lanjut, Asisi menjabarkan enam prinsip tersebut, antara lain penggiat kemanusiaan, bahan yang dibawa, alat yang digunakan, dan cara, waktu, dan lokasi menyampaikan. Asisi menekankan praktek ini harus sesuai dengan keadaan atau bisa diterima oleh penerima manfaat.

“Misalnya kita punya bantuan yang tepat sesuai dengan kebutuhan tapi kalau caranya nggak pas juga nggak akan diterima. Kita punya bahan yang bisa diberikan tapi nggak punya alat untuk membawanya itu juga masalah,” ujarnya.

Individu atau lembaga pelaku respon kemanusiaan perlu melakukan asesmen dan kajian awal sebelumnya untuk mendapat gambaran kondisi lapangan dan bantuan apa yang bisa disampaikan dengan tepat. Kemudian kajian risiko dalam pemberian bantuan juga menjadi penting untuk menentukan strategi dalam antisipasi keadaan darurat dan merencanakan pemulihan pasca kegagalan atau masalah respon kemanusiaan.

“Evaluasi dan pembelajaran dari praktek respon kemanusiaan digunakan untuk merencanakan respon kemanusiaan yang lebih baik di masa depan.”

Isu TB Masih Perlu Perhatian Banyak Pihak

By Liputan Kegiatan

Jakarta (17/11) — Jejaring Lokadaya dan Tim Accelerate Penabulu Foundation mengadakan seri webinar Jaringan Solidaritas TB Nasonal secara daring. Webinar 1 berjudul Peningkatan Peran CSO dalam Upaya Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia ini diadakan pada Kamis (16/11) melalui Zoom Meeting.

Webinar ini berusaha mendorong dan menyadartahukan bersama tentang upaya eliminasi TB yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak, baik CSO, pemerintah, akademisi, maupun lainnya di Indonesia. Mengingat Indonesia menempati urutan kedua di dunia dengan estimasi kasus TB 1060 jiwa, maka peran CSO diperlukan.

“Kita melihat keterkaitan isu TB dengan berbagai sektor itu sebenarnya cukup banyak. Hanya saja berbagai kegiatan dan program yang dilakukan masih sebatas klinis. Sementara upaya untuk mendorong keterlibatan multipihak masih perlu ditingkatkan,” kata Setyo Dwi Nugroho dari Penabulu Foundation.

Lebih lanjut, Senior Institutional Strengthening Advisor BEBAS TB Dini Andriani menjelaskan ada eksklusivitas penanganan TB masih condong ke arah medis. “Bukan berarti (permasalahan) sosialnya tidak diperhatikan tapi sekarang itu (penanganan) lebih berat untuk urusan medis,” terangnya.

Dini menilai masih banyak CSO yang menganggap bahwa TB bukan ranah atau isunya. Padahal faktor penyebab TB tidak hanya dari medis, tetapi juga nonmedis yang meliputi akses dan kualitas pendidikan, kualitas pelayanan kesehatan, konteks sosial dan masyarakat, dan stabilitas ekonomi—yang mungkin menjadi salah satu isu “ranah” CSO tertentu.

Dirinya memperkenalkan pendekatan Community, Right, Gender (CRG) yang dikeluarkan oleh Stop TB Partnership International. Pendekatan CRG dianggap efektif karena melibatkan komunitas melalui people approach. Pendekatan ini membawa hak kesehatan sebagai hak asasi yang harus dipenuhi dalam ruang TB karena kesehatan adalah hak hidup. Perspektif gender juga harus ada di setiap layanan, program, dan kebijakan dimana equity dan equality gender perlu diterapkan.

“CSO adalah salah satu mitra penting pembangunan, penghubung antara pemerintah dan warga, pendorong dan penjaga demokrasi, pendorong partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan dan pengembangan program untuk menangani isu-isu yang belum mendapat perhatian, dan melengkapi untuk memenuhi kebutuhan warga dalam penyediaan layanan publik.” Kata Dini.

Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana Masih Rentan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (11/10) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik IV tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana ini diadakan pada Jum’at (10/11) melalui Zoom Meeting.

Direktur INAATA Mutiara Maluku Lusi Peilouw menjelaskan ada beberapa kerentanan perempuan dan anak dalam situasi bencana, yaitu posisi subordinasi perempuan dan anak, beban domestik berlebihan pada perempuan, dan akses serta kontrol pada sumber daya yang lemah.

“Ketiganya menimbulkan tensi-tensi sosial antar warga dan menjadi kerentanan bagi perempuan dan anak dalam situasi bencana. Selain itu menciptakan diskriminasi, posisi perempuan dan anak termarjinalkan, eksploitasi. Perempuan dan anak juga rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan,” kata Lusi.

Lebih lanjut Direktur SKP-HAM Nurlaela Lamasitudju mengatakan penanganan bencana berbeda antara bencana alam, nonalam, dan sosial. “Luka akibat bencana sosial panjang sehingga penyembuhannya memerlukan waktu yang lama. Pada situasi bencana alam, traumanya lebih cepat pulih. Namun pada bencana alam seperti Covid-19 kemarin trauma hampir tidak ada tapi ada ancaman fisik yang membawa dampak berbeda,” terang Nurlaela.

Maka penanganan bencana harus secara inklusif menjadi penting—dari prabencana hingga pascabencana. Salah satu contohnya melalui ruang-ruang belajar bagi perempuan dengan berbagai organisasi humanitarian dan internasional yang dilakukan oleh SKP-HAM melalui Arisan Ilmu Padagimo. Kegiatan ini menjadi ruang belajar masing-masing organisasi tentang ketahanan lokal dan mitigasi bencana secara kultural bisa saling berkolaborasi dengan pengetahuan baru yang organisasi humanitarian bawa tentang penanganan bencana.

“Kami sedang mempersiapkan perempuan-perempuan menjadi kuat dan anak-anak bersiap ketika bencana datang lagi. Rumah-rumah belajar membuat berbagai kelas bencana dan membangun ruang diskusi. Perempuan juga perlu disiapkan menjadi berdaya secara ekonomi di situasi bencana. Banyak bantuan modal tapi hanya sedikit bantuan pendampingan untuk memberdayakan perempuan. Kami membantu memperkuat kapasitas dan memberikan modal pengetahuan.” Ujar Nurlaela.

Mengelola Risiko Bencana dengan Teknologi Berbasis Open Source

By Liputan Kegiatan

Jakarta (04/11) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik III tentang Pemanfaatan Teknologi dalam Pengelolaan Risiko Bencana ini diadakan pada Jum’at (03/11) melalui Zoom Meeting.

Pada konteks pengelolaan risiko bencana, diperlukan sajian informasi sebagai alat pengambilan keputusan. Menurut Petrasa Wacana dari AksiKomunitas, open source bisa menjadi solusi untuk menjawab kebutuhan tersebut.

Open source menjadi salah satu indikator dalam keberlanjutan platform digital untuk kegiatan humanitarian. Metode ini memungkinkan untuk menyediakan data spasial secara partisipatif pada konteks pengelolaan risiko bencana.

“Tidak adanya strategi percepatan penyediaan walidata sebagai yang memiliki kewenangan mengumpulkan data memunculkan gerakan-gerakan opensource dimana orang-orang bisa saling berkontribusi. Dulunya sempat tidak diakui tapi sekarang lembaga seperti Badan Informasi Geospasial menggunakan data-data dari Open Street Map yang dikontribusikan oleh masyarakat yang dianggap tidak tersertifikasi,” terang Petrasa.

Salah satu platform berbasis open-source yang ada adalah KatalogKesiapsiagaan. Platform ini memiliki beberapa fitur utama: Peta Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK), Penilaian Ketangguhan Desa, Fasilitator untuk mengetahui sebaran dan pengelolaan fasilitator serta kolom Praktik untuk membagikan penyebarluasan pengetahuan dan praktik baik PRBBK. Semua pihak dapat berpartisipasi, berkontribusi, dan memanfaatkan informasi dalam platform KatalogKesiagaan.

“Kebutuhan seseorang atau daerah dari penggunaan teknologi adalah ketika menginput tidak perlu menunggu lama untuk melihat hasilnya yang digunakan sebagai alat pengambilan keputusan,” katanya.

Pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan risiko bencana secara open source mampu membantu masyarakat terdampak pada bencana banjir di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Pemerintah Kabupaten Bantaeng merangkul Balang Insitute sebagai Organisasi Masyarakat Sipil mengumpulkan data-data masyarakat terdampak melalui aplikasi sederhana yang bisa diakses melalui ponsel. Langkah ini mampu menjadi basis pemerintah dalam menurunkan bantuan.

“Pendataan dengan memanfaatkan teknologi dapat merespon cepat. Tinggal menunggu kolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten untuk menginisiasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat terdampak seperti pemberian bantuan.” Ujar Awal Nur Afdal dari Balang Institute.

Optimalisasi Akses Layanan Kesehatan Penyintas Penyakit Menular di Masa Bencana Masih Perlu Sinergi Banyak Pihak

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik II tentang Akses Layanan Kesehatan bagi ODHA, TB, dan Penyakit Menular di Masa Bencana ini diadakan pada Jum’at (27/10) melalui Zoom Meeting.

Wakil Program Kesehatan Primer dan Terapan UPM CD Bethesda Sukendri Siswanto mengatakan situasi bencana berpengaruh terhadap bagaimana penanganan penyakit menular. Kondisi lingkungan yang padat di penampungan meningkatkan risiko infeksi, penyediaan dan distribusi obat-obatan terganggu, pelaksanaan dan keberlanjutan program pengendalian penyakit menular terganggu, dan pola konsumsi obat oleh pasien menjadi tidak tepat.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Wakil Direktur YAKKUM Emergency Unit dr. Sri Mutia Timur. Keterbatasan alat dan bahan untuk pencegahan infeksi sangat bisa terjadi pada masa bencana. Salah satunya karena fasilitas kesehatan rusak sehingga layanan kesehatan tidak tersedia. Otomatis obat-obatan sudah kotor akibat dampak bencana.

“Penyintas ODHA, TB, dan penyakit menular lainnya beresiko mengalami putus obat. Hal ini menimbulkan risiko penularan yang tinggi,” katanya.

Maka akses dukungan dan perawatan bagi ODHA, TB, dan penyakit menular lainnya perlu dibangun pada masa bencana. Menanggapi hal tersebut, PJ Pusat Krisis Kesehatan Regional Jawa Timur Didiek Rachmadi menyatakan secara administrasi sudah ada buffer untuk logistik kesehatan sebesar 30 persen atau stok selama 3 bulan. Sehingga logistik kesehatan sudah siap apabila sewaktu-waktu bencana terjadi. “Tinggal memastikan distribusinya karena terkadang antara pasien dengan fasilitas kesehatan dengan support system terkendala akses. Di saat inilah fungsi utama komunikasi dan koordinasi diperlukan,” jelas Didiek.

Pemenuhan kebutuhan bagi penyintas tidak bisa dilakukan sendiri, mulai dari pengobatan, dukungan psikosial, hingga perawatan ketika sakit, “Kita harus bergandeng tangan untuk menyelesaikan permasalahan yang banyak.” Ucap Humas Jogja AIDS Coalition Magdalena Diah Utami.

Menyoroti Pentingnya GEDSI dalam Pengelolaan Risiko Bencana

By Liputan Kegiatan

Jakarta (21/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik I tentang Pengarusutamaan GEDSI dalam Pengelolaan Risiko Bencana ini diadakan pada Jum’at (20/10) melalui Zoom Meeting.

GEDSI adalah kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Wasingatu Zakiyah sebagai narasumber menyatakan bahwa GEDSI merupakan hal penting yang tidak boleh diabaikan. Tidak semua kelompok rentan beruntung terpapar upaya-upaya pembangunan—terlebih tiap kelompok rentan memiliki lapisan-lapisan kerentanan masing-masing sehingga memperkecil keterlibatan atau partisipasi mereka dalam pembangunan.

Pada konteks pengelolaan risiko bencana, peran GEDSI sangat diperlukan. “GEDSI dan pengelolaan risiko bencana bersenyawa menjadi satu kebijakan baru dan menciptakan satu kondisi yang baru. Itu yang penting, sehingga tidak ada lagi upaya-upaya pada pengurangan risiko yang hanya fokus pada kelompok rentan tertentu,” kata wanita yang akrab disapa Zaki.

Lebih lanjut, Zaki menerangkan bahwa GEDSI harus dilibatkan pada semua indikator pada daur pengelolaan risiko bencana. Pada prakteknya penerapan pengarusutamaan GEDSI mengadopsi konsep APKM (akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat) pada daur pengelolaan risiko bencana.

“Pembangunan yang responsif gender (dalam GEDSI) itu harapannya bisa mengurangi risiko. Kalau tidak responsif maka semakin banyak kelompok yang berisiko,” ujarnya.

Zaki menekankan GEDSI dalam pengelolaan risiko bencana untuk memahami perbedaan kebutuhan, kepentingan, kerentanan, kapasitas, dan perlu strategi untuk membuat program agar tercapai target imparsial dan proporsional, memastikan adanya intervensi humanitarian yang akan didorong hak yang sama, dan meningkatkan perlindungan kelompok tertentu.

“Kalau tidak maka terjadi diskriminasi berlapis,” tegas Zaki. Setiap kelompok rentan memiliki lapis diskriminasi yang berbeda dari kelompok rentan lainnya. Semakin banyak lapisannya, semakin besar risiko yang dihadapi oleh individu yang termasuk dalam kelompok rentan. Maka menjadi penting untuk mendorong pembangunan yang inklusif pada konteks pengelolaan risiko bencana.

Perubahan Iklim Semakin Cepat, Sofyan: Pengelolaan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim adalah Keharusan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (14/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Pengantar IV tentang Pengelolaan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim yang Inklusif ini diadakan pada Jum’at (13/10) melalui Zoom Meeting.

Berbagai peristiwa atau kejadian akibat perubahan iklim sudah banyak terjadi di Indonesia. Diramalkan tahun 2050 akan terjadi perubahan suhu ekstrem sehingga mengakibatkan kekeringan dan kebakaran hutan yang lebih meluas. Kemudian permukaan laut naik, menenggelamkan kota-kota di pesisir, dan padat penduduk.

Koordinator Perhimpunan Sanggabuana Sofyan sebagai narasumber turut menyebutkan siklus El Nino pun juga berubah akibat perubahan iklim. Semula, saat kondisi atmosfer masih baik, El Nino bisa terjadi setiap 8-12 tahun sekali. Namun saat ini siklusnya lebih pendek sehingga manusia di Bumi mengalami dampak El Nino setiap 4 tahun.

“Tanda-tanda dampak perubahan iklim ekstrem bisa saja terjadi sebelum tahun 2050 kalau upaya-upaya mitigasi dan adaptasi tidak dilakukan,” jelasnya.

Sofyan melanjutkan keterkaitan perubahan iklim dengan bencana ada pada variabel pembentuk risiko bencana, antara lain bahaya (hazard), kerentanan (vulnerable), paparan (exposure), dan kapasitas. Faktor bahaya pada geologis, misalnya, Sofyan menyampaikan hasil penelitian oleh para ahli geologi di Inggris bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi percepatan atau tumbuhnya gempa bumi.

Maka pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim yang inklusif menjadi penting. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Perhimpunan Sanggabuana tentang wilayah rawan bencana di Indonesia pada tahun 2007, hasilnya menunjukkan bahwa 98 persen daerah di Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Pada konteks ini, Sofyan menekankan pengelolaan risiko bencana wajib dilakukan dan menjadi suatu keharusan.

Perubahan iklim familiar dengan respon mitigasi dan adaptasi dalam menyikapi hal tersebut. Banyak upaya yang seolah-olah adalah respon mitigasi atau adaptasi pada pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim tapi ternyata memiliki dampak negatif terhadap tujuan besarnya, yaitu mengelola risiko bencana atau merespon dampak perubahan iklim.

Kerja pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim perlu memperhatikan inklusifitas. Tidak boleh ada kelompok masyarakat yang termarjinalkan. “Jangan sampai kita fokus pada kelompok marjinal sampai mengabaikan kelompok yang tidak rentan,” kata Sofyan.

Menilik Lebih Dekat Sumber Daya Lokal untuk Kurangi Risiko Bencana

By Liputan Kegiatan

Jakarta (7/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Pengantar III tentang Identifikasi Sumber Daya Lokal dan Identifikasi Risiko ini diadakan pada Jum’at (06/10) melalui Zoom Meeting.

“Bencana alam adalah keniscayaan yang berada di luar kendali. Yang bisa kita kendalikan adalah sikap dan tindakan menghadapi bencana,” kata Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sekaligus Direktur Operasional Karsa Institute Saiful Taslim selaku narasumber, mengawali sesi pengantar. Manusia menjadi subjek dari bencana, baik bencana alam maupun nonalam. Jika diturunkan, manusia menjadi pihak yang terdampak.

Lebih lanjut, Saiful menjelaskan tentang sumber daya lokal. Sumber daya lokal yang dimaksud adalah sumber daya lokal yang berkaitan dengan mobilisasi pada saat kejadian bencana. “Sumber daya lokal merupakan kemampuan atau kekuatan atau daya yang dimiliki oleh suatu daerah yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan manfaat positif,” papar Saiful.

Ada tiga jenis sumber daya lokal, antara lain sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial. Ketiga sumber daya lokal itu sangat penting bagi pencegahan, mitigasi, dan pemulihan suatu daerah yang terdampak bencana atau krisis.

Pada konteks sumber daya manusia dalam pengelolaan risiko bencana, peran organisasi masyarakat sipil penting meletakkan tanggung jawab moral di dalamnya. “Pekerja OMS tidak hanya bekerja saja tapi juga punya tanggung jawab kemanusiaan dan solidaritas atas situasi krisis atau darurat,” katanya.

Menurut Saiful, pekerja OMS bisa memulai upaya tersebut dari lingkup yang kecil. Jika kondisi sumber daya manusia dalam organisasi sudah cukup aman, maka baru bisa memulai menyusun rencana untuk melakukan aksi-aksi kecil dalam rangka menangani situasi darurat atau krisis yang terjadi. Saiful juga mengingatkan dalam prakteknya, pekerja OMS juga perlu memperhatikan sumber daya sosial berupa kearifan lokal dan nilai-nilai masyarakat setempat.

Selanjutnya sesi pengantar ini memberikan kesempatan lebih banyak untuk berdiskusi seputar mobilisasi sumber daya lokal di daerah terdampak bencana atau krisis. Beberapa peserta aktif bertanya mulai dari kerja Karsa Institut sebelum bencana terjadi hingga cara membangun komunikasi dengan sumber daya lokal terkait mitigasi bencana.

 

Meningkatkan Kualitas Layanan Kemanusiaan dengan CHS

By Liputan Kegiatan

Jakarta (30/09) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Pengantar II tentang Standar Kemanusiaan Inti ini diadakan pada Jum’at (29/09) melalui Zoom Meeting.

Pada sesi ini, peserta belajar tentang apa Standar Kemanusiaan Inti (Core Humanitarian Standard/CHS) dan bagaimana implementasi standar-standar kemanusiaan ini pada kerja-kerja kemanusiaan dan tantangan yang mungkin dihadapi.

“Masyarakat terdampak krisis mempunyai hak untuk pemenuhan atas kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, papan. Kita selaku pekerja kemanusiaan harus punya standar-standar yang harus dipenuhi,” kata Putu Hendra Wijaya sebagai moderator.

Selanjutnya narasumber Dear Sinandang menjelaskan tentang CHS, adalah satu standar sukarela (karena belum ada sanksinya) dengan indikator terukur yang memfasilitasi akuntabilitas yang lebih besar kepada masyarakat dan orang-orang yang terkena dampak krisis, staf, donor, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya.

“CHS sudah dipublikasikan sejak Desember 2014 dan menjadi rujukan utama bagi pelaku kemanusiaan, baik individu maupun kelompok untuk merefleksikan kemampuan dan basis komitmen dari visi-misi lembaga, kerangka kerja,” jelas Dear.

Dear memaparkan bahwa CHS berlaku untuk seluruh siklus program di semua fase respons kemanusiaan. Maka, semakin proposal program terpapar CHS, maka perencanaan program organisasi akan merujuk pada standar-standar kualitas dan akuntabilitas yang lebih baik. Sehingga organisasi kemanusiaan dalam merencanakan program kemanusiaan dapat lebih terarah.

Ada sembilan komitmen CHS yang perlu dikenali organisasi untuk diterapkan dalam program kerja kemanusiaan: respons kemanusiaan harus sesuai dan relevan; harus efektif dan tepat waktu; harus mendorong peningkatan kapasitas lokal dan tidak menimbulkan akibat buruk; berdasarkan pada komunikasi, partisipasi, dan umpan balik; pengaduan disambut baik dan ditangani; respon kemanusiaan harus terkoordinasi dan saling melengkapi; pekerja kemanusiaan senantiasa belajar dan meningkatkan diri; staf didukung dalam melaksanakan pekerjaannya dengan efektif dan diperlakukan dengan adil dan setara; dan sumber-sumber daya dikelola dan digunakan dengan bertanggungjawab sesuai peruntukannya.

Semua komitmen saling berkaitan dan hanya berpusat pada masyarakat. Artinya sembilan komitmen tersebut berfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat terdampak. Tujuan CHS sendiri adalah mendorong terciptanya akuntabilitas yang lebih besar terhadap komunitas dan warga terdampak krisis dan meningkatkan kualitas layanan yang diberikan kepada mereka.

Terakhir, Dear menekankan jangan sampai kerja kemanusiaan justru memperburuk keadaan. “Pelaku atau organisasi perlu memastikan intervensi tidak memperburuk konflik, melainkan memberikan kontribusi untuk memperbaiki situasi,” katanya.

Selain pemaparan materi, sesi pelatihan ini juga memberikan kesempatan berlatih mengindetifikasi komitmen dan kriteria kualitas serta diskusi tanya-jawab seputar praktek kerja kemanusiaan dan tantangannya di lapangan.

 

Mengenal Risiko Bencana, Eko Teguh: Risiko Itu Subyektif

By Liputan Kegiatan

Jakarta (23/09) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan ini masuk ke Sesi Pengantar I tentang Pengenalan dan Konteks Pengelolaan Risiko Bencana yang dilaksanakan pada Jum’at (22/09) melalui Zoom Meeting.

Sesi ini diisi oleh Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN “Veteran” Yogyakarta Eko Teguh Paripurno sebagai narasumber. Pada kesempatan ini, Eko menjelaskan perbedaan antara bencana dengan bahaya. Menurut Eko, suatu kejadian disebut bencana kalau ada kerusakan yang tidak bisa dikelola. Sebaliknya, bahaya adalah kejadian yang mengakibatkan kerusakan tetapi masih bisa dikelola.

“Perlu argumen yang baik untuk siapa dan bagi siapa. Kuncinya adalah apakah masyarakat bisa memulihkan diri atau tidak? Kalau tidak bisa memulihkan diri, baru bisa dikatakan bencana,” terang Eko. Dirinya menekankan untuk tidak mencampuradukan antara fenomena bahaya dan bencana.

Menurut Eko, baik bencana maupun bahaya masing-masing membawa risiko. Menurut Pasal 1 Ayat 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, risiko bencana merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu, yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancan, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat

“Risiko itu subyektif. Nilai aset berisiko itu subyektif dan subyektivitas harus berpihak ke kelompok rentan. yang berpengaruh di sana kan bagaimana bahayanya, perantaranya, kemampuannya. Tingkat risiko dipengaruhi oleh cara pengelolaannya. Kalau pengelolaannya baik, tingkat resiko rendah sampai sedang. Tapi kalau pengelolaannya buruk, resiko bisa tinggi,” papar Eko.

Pada konteks mobilisasi sumber daya lokal di daerah dengan berbagai jenis Organisasi Masyarakat Sipil yang bekerja di beragam isu dalam pengelolaan risiko bencana, menurut Eko tumbuhnya organisasi-organisasi lokal dan relawan-relawan lokal itu jadi penting. “Adanya gerakan relawan oleh pelaku lokal perlu didukung dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia dan mendorong partisipasi.” Katanya.

Tidak hanya memberikan fasilitasi untuk penguatan saja, partisipasi sumber daya manusia juga perlu didorong dengan beberapa cara, diantaranya manipulatif, terapi/dekrasi, mengiformasikan, konsulatatif, konsesus pasif, kemitraan, delegasi wewenang, kontrol warga.

Pentingnya Lokalitas pada Kerja Kemanusiaan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (20/09) – Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan ini diawali dengan webinar bertema Kemanusiaan: Basis Sejati Kerja Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia pada Selasa (19/09) melalui Zoom Meeting.

Webinar ini memberikan pengantar kemanusiaan supaya peserta bisa menjelajahi dan memahami tentang sejarah kerja kemanusiaan, baik global maupun nasional, dasar-dasar kerja kemanusiaan, cluster, agar sumber daya lokal berdaya dan bersinergi pada saat respon bencana.

“Kerja kemanusiaan adalah satu hal yang sangat penting, baik di fase normal maupun fase krisis darurat,” ujar Program Manager Yayasan Pujiono Centre Indonesia Dimas Panji sebagai moderator.

Senior Advisor Pujiono Centre Pujiono mengawali bahwa sejatinya pekerjaan kemanusiaan adalah pemenuhan penjagaan hak martabat kesejahteraan dan keselamatan setiap orang. “Pekerjaan kemanusiaan ada dua, yaitu pemenuhan hak pada saat normal melalui pembangunan dan hukum humaniter atau kemanusiaan,” jelas Pujiono.

Pujiono menekankan pada penanganan kondisi krisis atau bencana perlu ada rancang bangun koordinasi global dan nasional tentang penanganan keadaan krisis untuk memastikan pemenuhan hak perlindungan, dan martabat terhadap korban.

Maka lahir Grand Bargain, yang didalamnya tercantum pelokalan. Pelokalan lahir dari pemahaman bahwa respon kemanusiaan paling baik jika dilakukan oleh pelaku-pelaku lokal, salah satunya pelaku LSM lokal. Pujiono menilai pelokalan paling efektif karena biaya murah, pelaku lokal lebih mengenal masyarakat terdampak bencana atau krisis, dan tidak membedakan antara respon dengan pembangunan.

“Pelokalan berusaha mendorong pelaku-pelaku lokal berfungsi dan berkontribusi seluas-luasnya supaya respon kemanusiaan bisa menjadi lebih efisien,” katanya.

Koordinator Sekretariat Jejaring Lokadaya Tino Yosepyn berharap kegiatan ini bisa menambah wawasan bagaimana mengembangkan gerakan inovasi berbasis lokalitas dan nilai-nilai kemanusiaan jadi basis dalam isu apapun.