Skip to main content
Category

Liputan Kegiatan

Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana Masih Rentan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (11/10) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik IV tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana ini diadakan pada Jum’at (10/11) melalui Zoom Meeting.

Direktur INAATA Mutiara Maluku Lusi Peilouw menjelaskan ada beberapa kerentanan perempuan dan anak dalam situasi bencana, yaitu posisi subordinasi perempuan dan anak, beban domestik berlebihan pada perempuan, dan akses serta kontrol pada sumber daya yang lemah.

“Ketiganya menimbulkan tensi-tensi sosial antar warga dan menjadi kerentanan bagi perempuan dan anak dalam situasi bencana. Selain itu menciptakan diskriminasi, posisi perempuan dan anak termarjinalkan, eksploitasi. Perempuan dan anak juga rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan,” kata Lusi.

Lebih lanjut Direktur SKP-HAM Nurlaela Lamasitudju mengatakan penanganan bencana berbeda antara bencana alam, nonalam, dan sosial. “Luka akibat bencana sosial panjang sehingga penyembuhannya memerlukan waktu yang lama. Pada situasi bencana alam, traumanya lebih cepat pulih. Namun pada bencana alam seperti Covid-19 kemarin trauma hampir tidak ada tapi ada ancaman fisik yang membawa dampak berbeda,” terang Nurlaela.

Maka penanganan bencana harus secara inklusif menjadi penting—dari prabencana hingga pascabencana. Salah satu contohnya melalui ruang-ruang belajar bagi perempuan dengan berbagai organisasi humanitarian dan internasional yang dilakukan oleh SKP-HAM melalui Arisan Ilmu Padagimo. Kegiatan ini menjadi ruang belajar masing-masing organisasi tentang ketahanan lokal dan mitigasi bencana secara kultural bisa saling berkolaborasi dengan pengetahuan baru yang organisasi humanitarian bawa tentang penanganan bencana.

“Kami sedang mempersiapkan perempuan-perempuan menjadi kuat dan anak-anak bersiap ketika bencana datang lagi. Rumah-rumah belajar membuat berbagai kelas bencana dan membangun ruang diskusi. Perempuan juga perlu disiapkan menjadi berdaya secara ekonomi di situasi bencana. Banyak bantuan modal tapi hanya sedikit bantuan pendampingan untuk memberdayakan perempuan. Kami membantu memperkuat kapasitas dan memberikan modal pengetahuan.” Ujar Nurlaela.

Mengelola Risiko Bencana dengan Teknologi Berbasis Open Source

By Liputan Kegiatan

Jakarta (04/11) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik III tentang Pemanfaatan Teknologi dalam Pengelolaan Risiko Bencana ini diadakan pada Jum’at (03/11) melalui Zoom Meeting.

Pada konteks pengelolaan risiko bencana, diperlukan sajian informasi sebagai alat pengambilan keputusan. Menurut Petrasa Wacana dari AksiKomunitas, open source bisa menjadi solusi untuk menjawab kebutuhan tersebut.

Open source menjadi salah satu indikator dalam keberlanjutan platform digital untuk kegiatan humanitarian. Metode ini memungkinkan untuk menyediakan data spasial secara partisipatif pada konteks pengelolaan risiko bencana.

“Tidak adanya strategi percepatan penyediaan walidata sebagai yang memiliki kewenangan mengumpulkan data memunculkan gerakan-gerakan opensource dimana orang-orang bisa saling berkontribusi. Dulunya sempat tidak diakui tapi sekarang lembaga seperti Badan Informasi Geospasial menggunakan data-data dari Open Street Map yang dikontribusikan oleh masyarakat yang dianggap tidak tersertifikasi,” terang Petrasa.

Salah satu platform berbasis open-source yang ada adalah KatalogKesiapsiagaan. Platform ini memiliki beberapa fitur utama: Peta Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK), Penilaian Ketangguhan Desa, Fasilitator untuk mengetahui sebaran dan pengelolaan fasilitator serta kolom Praktik untuk membagikan penyebarluasan pengetahuan dan praktik baik PRBBK. Semua pihak dapat berpartisipasi, berkontribusi, dan memanfaatkan informasi dalam platform KatalogKesiagaan.

“Kebutuhan seseorang atau daerah dari penggunaan teknologi adalah ketika menginput tidak perlu menunggu lama untuk melihat hasilnya yang digunakan sebagai alat pengambilan keputusan,” katanya.

Pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan risiko bencana secara open source mampu membantu masyarakat terdampak pada bencana banjir di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Pemerintah Kabupaten Bantaeng merangkul Balang Insitute sebagai Organisasi Masyarakat Sipil mengumpulkan data-data masyarakat terdampak melalui aplikasi sederhana yang bisa diakses melalui ponsel. Langkah ini mampu menjadi basis pemerintah dalam menurunkan bantuan.

“Pendataan dengan memanfaatkan teknologi dapat merespon cepat. Tinggal menunggu kolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten untuk menginisiasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat terdampak seperti pemberian bantuan.” Ujar Awal Nur Afdal dari Balang Institute.

Optimalisasi Akses Layanan Kesehatan Penyintas Penyakit Menular di Masa Bencana Masih Perlu Sinergi Banyak Pihak

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik II tentang Akses Layanan Kesehatan bagi ODHA, TB, dan Penyakit Menular di Masa Bencana ini diadakan pada Jum’at (27/10) melalui Zoom Meeting.

Wakil Program Kesehatan Primer dan Terapan UPM CD Bethesda Sukendri Siswanto mengatakan situasi bencana berpengaruh terhadap bagaimana penanganan penyakit menular. Kondisi lingkungan yang padat di penampungan meningkatkan risiko infeksi, penyediaan dan distribusi obat-obatan terganggu, pelaksanaan dan keberlanjutan program pengendalian penyakit menular terganggu, dan pola konsumsi obat oleh pasien menjadi tidak tepat.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Wakil Direktur YAKKUM Emergency Unit dr. Sri Mutia Timur. Keterbatasan alat dan bahan untuk pencegahan infeksi sangat bisa terjadi pada masa bencana. Salah satunya karena fasilitas kesehatan rusak sehingga layanan kesehatan tidak tersedia. Otomatis obat-obatan sudah kotor akibat dampak bencana.

“Penyintas ODHA, TB, dan penyakit menular lainnya beresiko mengalami putus obat. Hal ini menimbulkan risiko penularan yang tinggi,” katanya.

Maka akses dukungan dan perawatan bagi ODHA, TB, dan penyakit menular lainnya perlu dibangun pada masa bencana. Menanggapi hal tersebut, PJ Pusat Krisis Kesehatan Regional Jawa Timur Didiek Rachmadi menyatakan secara administrasi sudah ada buffer untuk logistik kesehatan sebesar 30 persen atau stok selama 3 bulan. Sehingga logistik kesehatan sudah siap apabila sewaktu-waktu bencana terjadi. “Tinggal memastikan distribusinya karena terkadang antara pasien dengan fasilitas kesehatan dengan support system terkendala akses. Di saat inilah fungsi utama komunikasi dan koordinasi diperlukan,” jelas Didiek.

Pemenuhan kebutuhan bagi penyintas tidak bisa dilakukan sendiri, mulai dari pengobatan, dukungan psikosial, hingga perawatan ketika sakit, “Kita harus bergandeng tangan untuk menyelesaikan permasalahan yang banyak.” Ucap Humas Jogja AIDS Coalition Magdalena Diah Utami.

Menyoroti Pentingnya GEDSI dalam Pengelolaan Risiko Bencana

By Liputan Kegiatan

Jakarta (21/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik I tentang Pengarusutamaan GEDSI dalam Pengelolaan Risiko Bencana ini diadakan pada Jum’at (20/10) melalui Zoom Meeting.

GEDSI adalah kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Wasingatu Zakiyah sebagai narasumber menyatakan bahwa GEDSI merupakan hal penting yang tidak boleh diabaikan. Tidak semua kelompok rentan beruntung terpapar upaya-upaya pembangunan—terlebih tiap kelompok rentan memiliki lapisan-lapisan kerentanan masing-masing sehingga memperkecil keterlibatan atau partisipasi mereka dalam pembangunan.

Pada konteks pengelolaan risiko bencana, peran GEDSI sangat diperlukan. “GEDSI dan pengelolaan risiko bencana bersenyawa menjadi satu kebijakan baru dan menciptakan satu kondisi yang baru. Itu yang penting, sehingga tidak ada lagi upaya-upaya pada pengurangan risiko yang hanya fokus pada kelompok rentan tertentu,” kata wanita yang akrab disapa Zaki.

Lebih lanjut, Zaki menerangkan bahwa GEDSI harus dilibatkan pada semua indikator pada daur pengelolaan risiko bencana. Pada prakteknya penerapan pengarusutamaan GEDSI mengadopsi konsep APKM (akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat) pada daur pengelolaan risiko bencana.

“Pembangunan yang responsif gender (dalam GEDSI) itu harapannya bisa mengurangi risiko. Kalau tidak responsif maka semakin banyak kelompok yang berisiko,” ujarnya.

Zaki menekankan GEDSI dalam pengelolaan risiko bencana untuk memahami perbedaan kebutuhan, kepentingan, kerentanan, kapasitas, dan perlu strategi untuk membuat program agar tercapai target imparsial dan proporsional, memastikan adanya intervensi humanitarian yang akan didorong hak yang sama, dan meningkatkan perlindungan kelompok tertentu.

“Kalau tidak maka terjadi diskriminasi berlapis,” tegas Zaki. Setiap kelompok rentan memiliki lapis diskriminasi yang berbeda dari kelompok rentan lainnya. Semakin banyak lapisannya, semakin besar risiko yang dihadapi oleh individu yang termasuk dalam kelompok rentan. Maka menjadi penting untuk mendorong pembangunan yang inklusif pada konteks pengelolaan risiko bencana.

Perubahan Iklim Semakin Cepat, Sofyan: Pengelolaan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim adalah Keharusan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (14/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Pengantar IV tentang Pengelolaan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim yang Inklusif ini diadakan pada Jum’at (13/10) melalui Zoom Meeting.

Berbagai peristiwa atau kejadian akibat perubahan iklim sudah banyak terjadi di Indonesia. Diramalkan tahun 2050 akan terjadi perubahan suhu ekstrem sehingga mengakibatkan kekeringan dan kebakaran hutan yang lebih meluas. Kemudian permukaan laut naik, menenggelamkan kota-kota di pesisir, dan padat penduduk.

Koordinator Perhimpunan Sanggabuana Sofyan sebagai narasumber turut menyebutkan siklus El Nino pun juga berubah akibat perubahan iklim. Semula, saat kondisi atmosfer masih baik, El Nino bisa terjadi setiap 8-12 tahun sekali. Namun saat ini siklusnya lebih pendek sehingga manusia di Bumi mengalami dampak El Nino setiap 4 tahun.

“Tanda-tanda dampak perubahan iklim ekstrem bisa saja terjadi sebelum tahun 2050 kalau upaya-upaya mitigasi dan adaptasi tidak dilakukan,” jelasnya.

Sofyan melanjutkan keterkaitan perubahan iklim dengan bencana ada pada variabel pembentuk risiko bencana, antara lain bahaya (hazard), kerentanan (vulnerable), paparan (exposure), dan kapasitas. Faktor bahaya pada geologis, misalnya, Sofyan menyampaikan hasil penelitian oleh para ahli geologi di Inggris bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi percepatan atau tumbuhnya gempa bumi.

Maka pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim yang inklusif menjadi penting. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Perhimpunan Sanggabuana tentang wilayah rawan bencana di Indonesia pada tahun 2007, hasilnya menunjukkan bahwa 98 persen daerah di Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Pada konteks ini, Sofyan menekankan pengelolaan risiko bencana wajib dilakukan dan menjadi suatu keharusan.

Perubahan iklim familiar dengan respon mitigasi dan adaptasi dalam menyikapi hal tersebut. Banyak upaya yang seolah-olah adalah respon mitigasi atau adaptasi pada pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim tapi ternyata memiliki dampak negatif terhadap tujuan besarnya, yaitu mengelola risiko bencana atau merespon dampak perubahan iklim.

Kerja pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim perlu memperhatikan inklusifitas. Tidak boleh ada kelompok masyarakat yang termarjinalkan. “Jangan sampai kita fokus pada kelompok marjinal sampai mengabaikan kelompok yang tidak rentan,” kata Sofyan.

Menilik Lebih Dekat Sumber Daya Lokal untuk Kurangi Risiko Bencana

By Liputan Kegiatan

Jakarta (7/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Pengantar III tentang Identifikasi Sumber Daya Lokal dan Identifikasi Risiko ini diadakan pada Jum’at (06/10) melalui Zoom Meeting.

“Bencana alam adalah keniscayaan yang berada di luar kendali. Yang bisa kita kendalikan adalah sikap dan tindakan menghadapi bencana,” kata Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sekaligus Direktur Operasional Karsa Institute Saiful Taslim selaku narasumber, mengawali sesi pengantar. Manusia menjadi subjek dari bencana, baik bencana alam maupun nonalam. Jika diturunkan, manusia menjadi pihak yang terdampak.

Lebih lanjut, Saiful menjelaskan tentang sumber daya lokal. Sumber daya lokal yang dimaksud adalah sumber daya lokal yang berkaitan dengan mobilisasi pada saat kejadian bencana. “Sumber daya lokal merupakan kemampuan atau kekuatan atau daya yang dimiliki oleh suatu daerah yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan manfaat positif,” papar Saiful.

Ada tiga jenis sumber daya lokal, antara lain sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial. Ketiga sumber daya lokal itu sangat penting bagi pencegahan, mitigasi, dan pemulihan suatu daerah yang terdampak bencana atau krisis.

Pada konteks sumber daya manusia dalam pengelolaan risiko bencana, peran organisasi masyarakat sipil penting meletakkan tanggung jawab moral di dalamnya. “Pekerja OMS tidak hanya bekerja saja tapi juga punya tanggung jawab kemanusiaan dan solidaritas atas situasi krisis atau darurat,” katanya.

Menurut Saiful, pekerja OMS bisa memulai upaya tersebut dari lingkup yang kecil. Jika kondisi sumber daya manusia dalam organisasi sudah cukup aman, maka baru bisa memulai menyusun rencana untuk melakukan aksi-aksi kecil dalam rangka menangani situasi darurat atau krisis yang terjadi. Saiful juga mengingatkan dalam prakteknya, pekerja OMS juga perlu memperhatikan sumber daya sosial berupa kearifan lokal dan nilai-nilai masyarakat setempat.

Selanjutnya sesi pengantar ini memberikan kesempatan lebih banyak untuk berdiskusi seputar mobilisasi sumber daya lokal di daerah terdampak bencana atau krisis. Beberapa peserta aktif bertanya mulai dari kerja Karsa Institut sebelum bencana terjadi hingga cara membangun komunikasi dengan sumber daya lokal terkait mitigasi bencana.

 

Meningkatkan Kualitas Layanan Kemanusiaan dengan CHS

By Liputan Kegiatan

Jakarta (30/09) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Pengantar II tentang Standar Kemanusiaan Inti ini diadakan pada Jum’at (29/09) melalui Zoom Meeting.

Pada sesi ini, peserta belajar tentang apa Standar Kemanusiaan Inti (Core Humanitarian Standard/CHS) dan bagaimana implementasi standar-standar kemanusiaan ini pada kerja-kerja kemanusiaan dan tantangan yang mungkin dihadapi.

“Masyarakat terdampak krisis mempunyai hak untuk pemenuhan atas kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, papan. Kita selaku pekerja kemanusiaan harus punya standar-standar yang harus dipenuhi,” kata Putu Hendra Wijaya sebagai moderator.

Selanjutnya narasumber Dear Sinandang menjelaskan tentang CHS, adalah satu standar sukarela (karena belum ada sanksinya) dengan indikator terukur yang memfasilitasi akuntabilitas yang lebih besar kepada masyarakat dan orang-orang yang terkena dampak krisis, staf, donor, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya.

“CHS sudah dipublikasikan sejak Desember 2014 dan menjadi rujukan utama bagi pelaku kemanusiaan, baik individu maupun kelompok untuk merefleksikan kemampuan dan basis komitmen dari visi-misi lembaga, kerangka kerja,” jelas Dear.

Dear memaparkan bahwa CHS berlaku untuk seluruh siklus program di semua fase respons kemanusiaan. Maka, semakin proposal program terpapar CHS, maka perencanaan program organisasi akan merujuk pada standar-standar kualitas dan akuntabilitas yang lebih baik. Sehingga organisasi kemanusiaan dalam merencanakan program kemanusiaan dapat lebih terarah.

Ada sembilan komitmen CHS yang perlu dikenali organisasi untuk diterapkan dalam program kerja kemanusiaan: respons kemanusiaan harus sesuai dan relevan; harus efektif dan tepat waktu; harus mendorong peningkatan kapasitas lokal dan tidak menimbulkan akibat buruk; berdasarkan pada komunikasi, partisipasi, dan umpan balik; pengaduan disambut baik dan ditangani; respon kemanusiaan harus terkoordinasi dan saling melengkapi; pekerja kemanusiaan senantiasa belajar dan meningkatkan diri; staf didukung dalam melaksanakan pekerjaannya dengan efektif dan diperlakukan dengan adil dan setara; dan sumber-sumber daya dikelola dan digunakan dengan bertanggungjawab sesuai peruntukannya.

Semua komitmen saling berkaitan dan hanya berpusat pada masyarakat. Artinya sembilan komitmen tersebut berfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat terdampak. Tujuan CHS sendiri adalah mendorong terciptanya akuntabilitas yang lebih besar terhadap komunitas dan warga terdampak krisis dan meningkatkan kualitas layanan yang diberikan kepada mereka.

Terakhir, Dear menekankan jangan sampai kerja kemanusiaan justru memperburuk keadaan. “Pelaku atau organisasi perlu memastikan intervensi tidak memperburuk konflik, melainkan memberikan kontribusi untuk memperbaiki situasi,” katanya.

Selain pemaparan materi, sesi pelatihan ini juga memberikan kesempatan berlatih mengindetifikasi komitmen dan kriteria kualitas serta diskusi tanya-jawab seputar praktek kerja kemanusiaan dan tantangannya di lapangan.

 

Mengenal Risiko Bencana, Eko Teguh: Risiko Itu Subyektif

By Liputan Kegiatan

Jakarta (23/09) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan ini masuk ke Sesi Pengantar I tentang Pengenalan dan Konteks Pengelolaan Risiko Bencana yang dilaksanakan pada Jum’at (22/09) melalui Zoom Meeting.

Sesi ini diisi oleh Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN “Veteran” Yogyakarta Eko Teguh Paripurno sebagai narasumber. Pada kesempatan ini, Eko menjelaskan perbedaan antara bencana dengan bahaya. Menurut Eko, suatu kejadian disebut bencana kalau ada kerusakan yang tidak bisa dikelola. Sebaliknya, bahaya adalah kejadian yang mengakibatkan kerusakan tetapi masih bisa dikelola.

“Perlu argumen yang baik untuk siapa dan bagi siapa. Kuncinya adalah apakah masyarakat bisa memulihkan diri atau tidak? Kalau tidak bisa memulihkan diri, baru bisa dikatakan bencana,” terang Eko. Dirinya menekankan untuk tidak mencampuradukan antara fenomena bahaya dan bencana.

Menurut Eko, baik bencana maupun bahaya masing-masing membawa risiko. Menurut Pasal 1 Ayat 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, risiko bencana merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu, yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancan, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat

“Risiko itu subyektif. Nilai aset berisiko itu subyektif dan subyektivitas harus berpihak ke kelompok rentan. yang berpengaruh di sana kan bagaimana bahayanya, perantaranya, kemampuannya. Tingkat risiko dipengaruhi oleh cara pengelolaannya. Kalau pengelolaannya baik, tingkat resiko rendah sampai sedang. Tapi kalau pengelolaannya buruk, resiko bisa tinggi,” papar Eko.

Pada konteks mobilisasi sumber daya lokal di daerah dengan berbagai jenis Organisasi Masyarakat Sipil yang bekerja di beragam isu dalam pengelolaan risiko bencana, menurut Eko tumbuhnya organisasi-organisasi lokal dan relawan-relawan lokal itu jadi penting. “Adanya gerakan relawan oleh pelaku lokal perlu didukung dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia dan mendorong partisipasi.” Katanya.

Tidak hanya memberikan fasilitasi untuk penguatan saja, partisipasi sumber daya manusia juga perlu didorong dengan beberapa cara, diantaranya manipulatif, terapi/dekrasi, mengiformasikan, konsulatatif, konsesus pasif, kemitraan, delegasi wewenang, kontrol warga.

Pentingnya Lokalitas pada Kerja Kemanusiaan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (20/09) – Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan ini diawali dengan webinar bertema Kemanusiaan: Basis Sejati Kerja Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia pada Selasa (19/09) melalui Zoom Meeting.

Webinar ini memberikan pengantar kemanusiaan supaya peserta bisa menjelajahi dan memahami tentang sejarah kerja kemanusiaan, baik global maupun nasional, dasar-dasar kerja kemanusiaan, cluster, agar sumber daya lokal berdaya dan bersinergi pada saat respon bencana.

“Kerja kemanusiaan adalah satu hal yang sangat penting, baik di fase normal maupun fase krisis darurat,” ujar Program Manager Yayasan Pujiono Centre Indonesia Dimas Panji sebagai moderator.

Senior Advisor Pujiono Centre Pujiono mengawali bahwa sejatinya pekerjaan kemanusiaan adalah pemenuhan penjagaan hak martabat kesejahteraan dan keselamatan setiap orang. “Pekerjaan kemanusiaan ada dua, yaitu pemenuhan hak pada saat normal melalui pembangunan dan hukum humaniter atau kemanusiaan,” jelas Pujiono.

Pujiono menekankan pada penanganan kondisi krisis atau bencana perlu ada rancang bangun koordinasi global dan nasional tentang penanganan keadaan krisis untuk memastikan pemenuhan hak perlindungan, dan martabat terhadap korban.

Maka lahir Grand Bargain, yang didalamnya tercantum pelokalan. Pelokalan lahir dari pemahaman bahwa respon kemanusiaan paling baik jika dilakukan oleh pelaku-pelaku lokal, salah satunya pelaku LSM lokal. Pujiono menilai pelokalan paling efektif karena biaya murah, pelaku lokal lebih mengenal masyarakat terdampak bencana atau krisis, dan tidak membedakan antara respon dengan pembangunan.

“Pelokalan berusaha mendorong pelaku-pelaku lokal berfungsi dan berkontribusi seluas-luasnya supaya respon kemanusiaan bisa menjadi lebih efisien,” katanya.

Koordinator Sekretariat Jejaring Lokadaya Tino Yosepyn berharap kegiatan ini bisa menambah wawasan bagaimana mengembangkan gerakan inovasi berbasis lokalitas dan nilai-nilai kemanusiaan jadi basis dalam isu apapun.