Skip to main content
All Posts By

anton

Rencana, Eksekusi, Solusi

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Akuntabilitas dalam pengelolaan program merupakan komitmen untuk bertindak transparan dan bertanggung jawab, serta memastikan setiap tindakan berkontribusi nyata pada hasil yang diharapkan.

Bergabunglah bersama kami dalam sesi ketiga Serial Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil dengan tajuk Rencana, Eksekusi, Solusi yang akan diselenggarakan pada:

Hari : Rabu, 02 Oktober 2024
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-PengelolaanProgram

Sampai bertemu!

Narasumber

Sarwitri

Konsil LSM Indonesia

Akuntabilitas Tak Bisa Ditawar dalam Tata Kelola Organisasi

By Liputan Kegiatan

“Diskusi seri kedua ini menyoroti pentingnya akuntabilitas sebagai inti dari tata kelola organisasi. Narasumber mendedah berbagai tantangan dan praktik terbaik dalam memastikan organisasi berjalan efektif, efisien, dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan”

Pada Selasa (24/09), Jejaring Lokadaya Nusantara sukses menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “Kyutri” Seri II dengan tema “Akuntabilitas dalam Tata Kelola Organisasi: Tak Bisa Ditawar.” Acara ini dihadiri oleh sekitar 60 peserta yang sebagian besar merupakan anggota dari Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia. Diskusi ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan praktik akuntabilitas dalam tata kelola organisasi, dengan mengundang dua narasumber: Sarwitri (Konsil LSM Indonesia) dan Sugiarto Arif Santoso (Yayasan Penabulu).

Sarwitri membuka diskusi dengan menguraikan makna akuntabilitas yang erat kaitannya dengan pertanggungjawaban organisasi kepada seluruh stakeholder, termasuk publik. Ia menekankan pentingnya nilai-nilai transparansi, partisipasi, evaluasi, dan mekanisme umpan balik dalam mewujudkan akuntabilitas. “Akuntabilitas tidak hanya tentang tanggung jawab pribadi, tetapi juga komitmen kepada orang lain,” tegasnya.

Menurut Sarwitri, tata kelola organisasi memainkan peran vital dalam mengarahkan dan mengendalikan organisasi agar mencapai tujuannya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Ia menyoroti pentingnya penyusunan struktur, tanggung jawab, dan proses organisasi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip ISO 37000, yaitu standar internasional untuk tata kelola organisasi. Standar ini mencakup keterlibatan pemangku kepentingan, pengelolaan risiko, kepemimpinan yang efektif, serta etika dan integritas.

Sarwitri menggambarkan hubungan antara akuntabilitas dan tata kelola sebagai dua lingkaran yang saling berkaitan, di mana akuntabilitas menjadi lingkaran kecil di dalam lingkaran besar tata kelola. “Transparansi, partisipasi, evaluasi, dan mekanisme umpan balik adalah inti dari akuntabilitas yang mendukung tata kelola yang baik,” ujarnya.

Sementara itu, ibarat tumbu ketemu tutup, paparan Sugiarto Arif Santoso lebih jamak membagikan pengalaman praktisnya dalam mengimplementasikan tata kelola organisasi. Ia menjelaskan bahwa akuntabilitas berhubungan dengan kemampuan organisasi untuk menyampaikan dan melaksanakan visi dan misi. Menurutnya, salah satu tantangan terbesar adalah merumuskan perencanaan bersama yang efektif.

Sugiarto membedakan antara tata kelola dan tata laksana organisasi. Tata kelola mencakup tata kepengurusan, pembagian wewenang, tugas, dan fungsi, serta mekanisme pengambilan keputusan. Sedangkan tata laksana lebih fokus pada pelaksanaan, seperti prosedur program, keuangan, administrasi, dan komunikasi publik.

Ia menekankan pentingnya monitoring, evaluasi, dan pembelajaran (monitoring-evaluasi-learning) dalam memastikan bahwa organisasi berjalan sesuai dengan tujuan. “Tata kelola yang baik harus diimbangi dengan tata laksana yang efektif agar organisasi dapat mencapai tujuannya secara berkelanjutan,” tambahnya.

Diskusi ini semakin hidup dengan berbagai pertanyaan dari audiens. Waklim dari Yapekat menanyakan tentang keterlibatan masyarakat dampingan dalam penyusunan program, sementara Bang Amel dari Masyarakat Transparansi Aceh mengangkat tantangan dalam menyamakan persepsi akuntabilitas di antara mitra kerja.

Perkumpulan Wallacea menyoroti tentang perumusan SOP terkait perlindungan anak dan harassmen, serta peran monitoring dan evaluasi dalam struktur organisasi mereka. Sementara itu, pertanyaan dari Para Mitra terkait penerapan umpan balik yang efektif menunjukkan kebutuhan untuk meningkatkan komunikasi antara organisasi dan pemangku kepentingan.

Bang Amel juga mengungkapkan dinamika yang terjadi ketika prinsip-prinsip tata kelola dan akuntabilitas yang diterapkan di organisasi non-profit harus diadaptasi dalam konteks pemerintahan atau instansi lain. Hal ini menimbulkan diskusi tentang bagaimana strategi adaptasi yang tepat tanpa mengaburkan nilai-nilai akuntabilitas.

Diskusi “Kyutri” Seri II berhasil memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya akuntabilitas dalam tata kelola organisasi. Kedua narasumber berhasil memantik diskusi yang konstruktif, membantu peserta memahami tantangan dan praktik terbaik dalam membangun organisasi yang akuntabel dan berkelanjutan. Acara ini menegaskan bahwa akuntabilitas bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan dalam tata kelola organisasi secara efektif.

Akuntabilitas Tata Kelola Organisasi: Tak Bisa Ditawar

By Kyutri

Akuntabilitas adalah jantung tata kelola yang efektif, di mana setiap keputusan organisasi harus dapat dipertanggungjawabkan untuk membangun kepercayaan dan integritas.

Bergabunglah bersama kami dalam sesi kedua Serial Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil dengan tajuk Tak Bisa Ditawar yang akan diselenggarakan pada:

Hari : Selasa, 24 September 2024
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-Akuntabilitas-TataKelolaOMS

Sampai bertemu!

Narasumber

Sarwitri

Konsil LSM Indonesia

Menguak Akuntabilitas, Reformasi atau Sekadar Formalitas

By Liputan Kegiatan

Diskusi berfokus pada bagaimana akuntabilitas diterapkan dalam organisasi masyarakat sipil. Perbedaan antara akuntabilitas dan tanggung jawab menjadi sorotan utama. Peserta aktif berbagi pandangan dan tantangan dalam praktik sehari-hari

Pada hari Selasa (18/09), Jejaring Lokadaya Nusantara menggelar diskusi perdana dari rangkaian Seri “Kyutri” tentang Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dengan topik “Akuntabilitas: Reformasi atau Sekadar Formalitas?” Acara tersebut berlangsung dari pukul 13.30 hingga 15.30 WIB dan menghadirkan Sarwitri dari Konsil LSM Indonesia sebagai pembicara utama. Diskusi ini bertujuan untuk memperjelas peran akuntabilitas dalam OMS dan bagaimana implementasinya dapat ditingkatkan.

Sarwitri membuka diskusi dengan menekankan perbedaan antara accountability dan responsibility, dua istilah yang acap kali dianggap sinonim tetapi sebenarnya memiliki makna berbeda. “Akuntabilitas dan tanggung jawab memang saling terkait, tetapi tidak bisa saling menggantikan,” jelas Sarwitri.

Menurutnya, tanggung jawab melibatkan kewenangan untuk bertindak, kemampuan untuk membuat keputusan yang rasional, serta kebebasan untuk memutuskan. “Orang yang bertanggung jawab harus dapat diandalkan dan konsisten dalam menjalankan penilaian internal,” tambahnya. Di sisi lain, akuntabilitas lebih menekankan pada kewajiban untuk melaporkan dan menjelaskan tindakan kepada pihak eksternal, serta menanggung konsekuensi dari tindakan tersebut.

Sarwitri juga menjelaskan istilah lain seperti liability, justification, dan accounting yang sering disamakan dengan akuntabilitas. Ia menekankan bahwa akuntabilitas melibatkan hubungan relasional di mana individu atau organisasi harus menjawab kepada pihak lain. “Dalam perspektif pemerintah, akuntabilitas sering hanya dilihat sebagai legalitas tindakan administrasi. Padahal, berakuntabilitas berarti harus memberikan jawaban bagi tindakan atau ketidakbertindakan seseorang,” katanya.

Setelah paparan materi, diskusi berlanjut dengan sesi tanya jawab secara interaktif. Salah satu peserta, Awal, mempertanyakan perlunya pihak ketiga untuk mempublikasikan akuntabilitas OMS. “Meskipun lembaga sudah mempublikasikan kegiatan mereka melalui media internal, seperti website atau media sosial, masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan,” ujarnya. Awal menyarankan pembentukan kelompok kecil untuk merangkum dan menangkap hubungan akuntabilitas ini.

Ramlin Bunga, peserta lainnya, meminta Sarwitri untuk memilih satu kata yang bersinonim dengan akuntabilitas. “Kalau bisa, pilih satu kata yang lebih aplikatif dan operasional,” pinta Ramlin. Menanggapi hal ini, Sarwitri menegaskan pentingnya memahami konteks penggunaan istilah tersebut agar dapat diterapkan secara efektif.

Yhonatan (ELSAKA) menyodorkan pertanyaan mengenai apakah klarifikasi termasuk dalam akuntabilitas. “Apakah klarifikasi termasuk dalam akuntabilitas?” tanyanya. Sarwitri menjelaskan bahwa klarifikasi merupakan bagian dari proses akuntabilitas, terutama dalam menjelaskan dan memberikan alasan atas tindakan yang diambil.

Agung Prabowo (Sigab Indonesia) mengangkat isu konektivitas dalam akuntabilitas yang sering kali terfokus hanya pada satu isu. Ia menekankan pentingnya pendekatan holistik agar pengetahuan yang dihasilkan dapat berkolaborasi dengan organisasi pemerintahan dan masyarakat. “Harus holistik, tidak parsial,” tegas Agung.

Sementara itu, Aliyul Hidayat menyoroti orientasi OMS yang terkadang lebih berfokus pada kebutuhan donor daripada kebutuhan masyarakat. “Akuntabilitas harus menjadi inti dari OMS agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” ujarnya. Aliyul menekankan pentingnya pembenahan internal agar akuntabilitas OMS dapat ditingkatkan.

Abdullah Fudail (PPDI Luwu Utara) menegaskan bahwa akuntabilitas tidak hanya kepada donor atau penyedia sokongan, tetapi juga kepada objek dari program atau kegiatan OMS. “Akuntabilitas mestinya bukan hanya kepada donor, tetapi juga kepada masyarakat yang menjadi objek program,” katanya.

Sarwitri menutup sesi dengan mengingatkan bahwa akuntabilitas adalah kewajiban moral dan legal yang harus diemban oleh setiap organisasi. “Kami berharap diskusi ini bisa mendorong reformasi nyata dalam praktik akuntabilitas OMS di Indonesia,” tutup Sarwitri.

Diskusi ini diharapkan dapat membantu OMS lebih memahami dan mengimplementasikan akuntabilitas secara efektif, tidak hanya sebagai formalitas tetapi sebagai bagian integral dari operasional mereka. Dengan berlangsungnya diskusi ini, diharapkan para peserta dapat menerapkan konsep akuntabilitas dalam praktik sehari-hari mereka, sehingga dapat meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap OMS.

Diskusi ini merupakan yang pertama dari empat rangkaian yang direncanakan oleh Jejaring Lokadaya Nusantara. Setiap sesi diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan memfasilitasi pertukaran ide serta praktik terbaik di antara para peserta. Melalui rangkaian diskusi ini, diharapkan akuntabilitas dalam OMS dapat diperkuat dan lebih terstruktur, sehingga dapat berkontribusi lebih efektif dalam pembangunan masyarakat yang lebih transparan dan bertanggung jawab.

Dengan adanya diskusi seperti ini, diharapkan OMS dapat berperan lebih signifikan dalam memecahkan berbagai permasalahan di masyarakat dan membangun hubungan yang lebih erat dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Harapan ke depan adalah agar OMS tidak hanya bertindak sesuai dengan kepentingan donor, tetapi juga benar-benar menyesuaikan program dan kegiatan mereka dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Keseluruhan acara ini menandai langkah awal yang penting dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya akuntabilitas dalam OMS, serta bagaimana hal itu dapat diimplementasikan dalam skala yang lebih luas. Diskusi ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara OMS, pemerintah, dan masyarakat dalam mencapai tujuan bersama untuk kesejahteraan dan kemajuan sosial.

Reformasi atau Sekadar Formalitas

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Di tengah penyempitan ruang sipil yang terjadi di Indonesia saat ini, tuntutan akan akuntabilitas menjadi hal yang paling mendasar dari keberlanjutan organisasi di masa depan.

Bergabunglah bersama kami dalam sesi pertama Serial Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil dengan tajuk Reformasi atau Sekadar Formalitas yang akan diselenggarakan pada:

Hari : Rabu, 18 September 2024
Pukul : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WIT
Tautan Zoom: https://bit.ly/LD-AkuntablitasOMS

Sampai bertemu!

Narasumber

Sarwitri

Konsil LSM Indonesia

Lembaga Konsumen Yogyakarta

By Selasar - Jendela

Lembaga Konsumen Yogyakarta adalah organisasi nirlaba yang dalam UU Perlindungan Konsumen disebut LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat). berdiri sejak tahun 1978 yang berperan dalam upaya pendidikan konsumen, pengorganisasian, pemberdayaan dan advokasi kasus dan kebijakan. LKY mempunyai layanan pengaduan untuk permasalahan sengketa konsumen melalui

Tinjau

Mnukwar Papua

By Selasar - Jendela

Mnukwar Papua adalah organisasi non-pemerintah yang beranggotakan individu-individu dari berbagai organisasi yang mempunyai kepedulian pada berbagai persoalan dalam pembangunan dan sumber daya alam di Tanah Papua. Organisasi ini berbentuk perkumpulan dan bersifat independen. Mnukwar Papua lahir pada tanggal 29 Maret 2007. Mnukwar Papua dibentuk dengan maksud mendorong adanya

Tinjau

Nuraga Bhumi

By Selasar - Jendela

Nuraga Bhumi adalah organisasi orang muda yang dipimpin oleh perempuan yang berfokus pada penyediaan ruang alam bagi anak, perempuan, ragam gender dan masyarakat marginal lainnya untuk belajar dan ikut serta dalam perlindungan lingkungan, hutan dan keadilan iklim.

Tinjau

Lombok Research center (LRC)

By Selasar - Jendela

Lombok Research Center (LRC) merupakan lembaga independen yang dirintis sejak tahun 2009 berdasarkan inisiatif dari Maharani selaku Ketua Yayasan LRC pada saat itu. Lembaga ini berkedudukan di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang telah mendapat pengesahan melalui AKTA Notaris pada 18 Desember 2014 dengan No. 44

Tinjau

Tim Layanan Kehutanan Masyarakat

By Selasar - Jendela

Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM) adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang bergelut pada tata kelola sumber daya alam yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keadilan lingkungan. TLKM bergerak pada pendampingan dan pengorganisasian masyarakat, riset aksi partisipatif, konsultasi perencanaan

Tinjau

Masyarakat Indonesia adalah Dermawan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (20/6/2024). Tantangan fundraising dalam isu strategis adalah tatkala programnya susah dipahami, preferensi menyumbang donatur biasanya masih dalam tahap jangka pendek. Selain itu, adanya regulasi kebijakan undang-undang PUB (Pengumpulan Uang atau Barang) yang mengungkung kita dalam mencari sumbangan.

Ketua Badan Pelaksana Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Hamid Abidin, memunculkan wacana menarik ini dalam rangkaian kyutri Civil Society Resource Mobilization.  Kegiatan ini diinisiasi oleh Lokadaya dan Lingkar Madani, serta didukung oleh Co-Evolve. Empowering Fundraising of Strategic Programs and Initiatives adalah tajuk acara siang yang segar itu.

World Giving Index 2023 mencatat Indonesia menempati peringkat pertama sebagai bangsa paling dermawan. Menjadi masuk akal bila di era sekarang kegiatan donasi telah berkembang pesat. Selain itu, pendayagunaan sumbangannya juga meluas. Bukan hanya terkait penyantunan dan keagamaan, tapi telah berkembang ke isu-isu strategis. Banyak Fundraising LSM yang sudah bergerak ke dalam program untuk penderita HIV AIDS, program perlindungan anak serta perempuan, dan masih banyak lagi.

Faktanya, sekarang ini bentuk dan metode menyumbang lebih beragam, lebih menarik, tidak konvensional seperti dulu. Metode dalam Fundraising terbagi menjadi dua, yaitu direct fundraising (secara langsung melalui uang/barang) dan indirect fundraising (bisa seperti membeli produk dan partisipasi dalam acara amal). “Semakin besar dana yang ingin kita dapatkan, maka pendekatan yang dilakukan harus lebih personal”, ujar Hamid.

Strategi awal yang digunakan dalam fundraising dapat dimulai dari menawarkan program yang mudah dipahami masyarakat. Setelah kita lebih dikenal publik, barulah bisa berkembang ke isu-isu yang lebih strategis.

Fundraising itu meliputi kegiatan membuka mata, pikiran, hati dan dompet para donatur. Hal ini berarti bagaimana cara kita membuka mata para pendonor agar mereka mau memberikan sumbangan serta berpartisipasi dalam program kita. Fundraising itu dikatakan berhasil, saat orang sudah terketuk hatinya untuk menyumbang. Untuk itu penting menggunakan visualisasi dan kampanye yang menyentuh. Cara seperti ini tentunya berperan besar dalam keberhasilan fundraising.

Namun kita juga perlu berhati-hati, biasanya banyak sekali kritik terhadap kampanye penggalangan sumbangan karikatif. Isu karikatif adalah  isu yang menyangkut belas kasih. Tujuan awalnya untuk menyentuh donatur, tetapi justru malah berlebihan (mengeksploitasi penderitaan korbannya). Seharusnya ada etika yang harus kita perhatikan agar seorang subyek tidak merasa lebih dikorbankan.

Pemaparan selanjutnya, Hamid menjelaskan tentang Pilihan strategi dalam fundraising, yang mana meliputi 5 strategi, yaitu; growth, involvement, visibility, eficiency, stability

Biasanya insan OMS yang bergerak dalam isu strategis jangka panjang lebih memilih involvement. Hal ini dikarenakan, fokus mereka tidak hanya mendapatkan sumbangan, tetapi juga melibatkan partisipasi masyarakat. Skema yang biasa ditawarkan seperti program membership dan paket penyambutan. Tentunya selaku LSM bisa memilih salah satu pilihan strategi yang sesuai dengan isu program yang mereka jalankan.

Hamid mengatakan bahwa dirinya pernah melakukan survey mengenai pentingnya transparansi pertanggungjawaban program. Mayoritas dari masyarakat yang diteliti menjawab penting. Akan tetapi, mereka jarang sekali mengecek laporan pertanggungjawaban program tersebut. Namun sebagai fundriser dan pengelola donasi, laporan publik adalah hal yang wajib, demi transparasi dan kredibilitas OMS kita.

Bagaimana? tertarik untuk memperkuat strategi fundraising untuk organisasi anda? yuk ikuti paparan lengkapnya di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Empowering Fundraising of Strategic Programs and Initiatives

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Berkolaborasi dengan LingkarMadani, Jejaring Lokadaya menggelar Webinar dengan tajuk Empowering Fundraising of Strategic Programs and Initiatives bersama Bapak Hamid Abidin, Ketua Badan Pengurus Yayasan PIRAC.

Hari/Tanggal:

Kamis, 20 Juni 2024
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Tautan Pendaftaran:
https://bit.ly/LM-WebinarResourceMobilization

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

Hamid Abidin

Ketua Badan Pengurus Yayasan PIRAC

Setelah Mengikat Lalu Mengelola Pengetahuan

By Liputan Kegiatan

Di tengah pusaran informasi tiada henti, pengetahuan bagaikan harta karun yang menanti untuk digali. Bagi organisasi, mengelola pengetahuan secara efektif menjadi kunci untuk membuka gerbang pertumbuhan dan keberlanjutan. Dalam diskusi Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, Eko Komara, menutup Seri IV (11/06) ini dengan pemahaman secara mendalam tentang esensi dan praktik pengelolaan pengetahuan dalam organisasi.

“Pengelolaan pengetahuan ibarat radar sensitivitas organisasi,” ungkapnya. “Dengan mengelola pengetahuan secara baik, organisasi dapat lebih sigap menangkap perubahan dan memanfaatkan sumber dayanya dengan optimal.”

Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa pengelolaan pengetahuan tidak hanya terbatas pada ranah informasi, tetapi juga mencakup pengalaman dan budaya organisasi. “Pengetahuan organisasi terbangun dari dua arus utama: arus pengalaman dan arus informasi,” tuturnya. “Kedua arus ini perlu dikelola dengan pendekatan yang berbeda, yaitu budaya organisasi untuk arus pengalaman dan sistemik untuk arus informasi.”

Eko menuturkan bahwa pengelolaan pengetahuan secara efektif membutuhkan transformasi pengetahuan menjadi bentuk yang lebih tinggi, seperti inovasi dan kreasi. Hal ini dapat dicapai melalui proses spiralisasi dan konversi pengetahuan—paparan ini telah diwedarkannya pada Sesi III. “Spiralisasi dan konversi ini ibarat proses daur ulang pengetahuan,” terangnya. “Pengetahuan yang telah diperoleh diolah dan diubah menjadi sesuatu yang baru dan lebih bermanfaat.”

Namun, pengelolaan pengetahuan takkan optimal tanpa adanya organisasi pembelajar. “Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus belajar dan beradaptasi,” kata Eko. “Untuk menjadi organisasi pembelajar, diperlukan empat prasyarat: fondasi, keterampilan, kondisi pemungkin, dan habitat belajar.”

Eko tak luput menekankan bahwa teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), menjadi elemen penting dalam menciptakan kondisi pemungkin pengelolaan pengetahuan. Ia berpendapat, teknologi dapat membantu organisasi dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan pengetahuan.

Di sela paparan, Eko mengingatkan organisasi masyarakat sipil: pengetahuan organisasi lahir dari interpretasi dan makna yang diberikan terhadap data dan informasi. “Data adalah hasil pengamatan, informasi adalah hasil pengolahan data, dan pengetahuan adalah informasi yang telah dimaknai,” terangnya. “Dengan mengelola pengetahuannya secara efektif, organisasi dapat meningkatkan kepekaan terhadap perubahan, memanfaatkan sumber daya dengan optimal, dan pada akhirnya mencapai tujuannya.”

Bukan Mas Eko, begitu aktivis sipil sosial kemasyarakatan memanggilnya, kalau tak melemparkan pertanyaan reflektif. “Nah, jika demikian, kapan, di mana, dan bagaimana pengetahuan organisasi lahir,” demikian ia melemparkan pertanyaan kepada audiens. Pertanyaan ini mengundang sejumlah komentar.

Holan Tobing (Batam) bilang kalau pengetahuan lahir saat organisasi berdiri. Sementara, bagi Lien (Medan), pengetahuan organisasi lahir tatkala ia dibagikan atau diimplementasikan melalui program. Hampir segendang dan sepenarian dengan pernyataan demikian, Pajung Institute Lutra (Sulawesi Selatan) berujar: “Pengetahuan itu lahir dari saat kita berinteraksi dengan fakta di lapangan.”

Sementara itu, Kusworo Bayu Aji (Yogyakarta) mendefinisikan proses penciptaan pengetahuan sebagai perenungan dan transformasi pengalaman dan data menjadi bentuk yang mudah diakses. Baginya, pengetahuan baru tercipta ketika ia dibagikan dan dimanfaatkan oleh orang lain.

Aji memaparkan dua jenis format pengetahuan yang ia praktikkan: tulisan dan non-tulisan. Ia pun menekankan bahwa pengetahuan organisasi tak harus terpaku pada dokumen resmi dan lembaga, melainkan pada nilai yang tertransformasi dan dapat diakses secara luas. Pandangan Aji ini membuka wawasan baru tentang pengetahuan, yakni kolaborasi dan aksesibilitas menjadi kunci utama dalam memajukan organisasi dan individu.

Eko gayung bersambut dengan paparan Aji. Ia menyatakan, “Pengetahuan adalah sesuatu yang ditransformasi dalam bentuk lain yang dapat diakses,” menekankan esensi dari pengetahuan sebagai ikatan makna. Bagi Eko, mengelola pengetahuan bukanlah sekadar tugas teknis, melainkan sebuah proses yang melibatkan aspek esensial seperti menangkap, mengikat, memaknai, memberi nama, dan mendistribusikan pengetahuan. Ia menyoroti bahwa pada tahap ini, kemampuan untuk memproduksi pengetahuan menjadi mungkin.

“Materi ini [Seri I-IV] untuk ‘mengganggu’ teman-teman apakah ketika kembali ke organisasi kita menyadari soal ini [produksi pengetahuan]. Kalau organisasi ini sudah mampu memproduksi pengetahuan, ya kita akan mendapatkan efek ‘arus balik’ dari situ,” pungkas Eko.

Paparan Eko Komara—bila disimak dari seri pertama sampai keempat—bagaikan peta jalan yang menuntun aktivis organisasi masyarakat sipil dalam memahami pengelolaan pengetahuan. Seperti kerap ia utarakan: pengetahuan adalah ikatan makna, maka ia perlu diikat, dinamai, dan didistribusi.

Dari Konversi ke Spiralisasi Pengetahuan

By Liputan Kegiatan

Satu tarikan napas masuk jantung diskusi, Eko Komara mengajak audiens mengendapkan petikan pemahaman dua diskusi sebelumnya. Bila seri pertama bicara soal bagaimana OMS harus melakukan pengelolaan pengetahuan, seri kedua cenderung menukik pada persoalan cara.

Sedangkan, katanya lebih lanjut, seri ketiga (04/06) menguraikan bagaimana pengelolaan pengetahuan dapat mendorong mobilisasi sumber daya. Dorongan ini mengedepankan potensi manusia yang tiada lain dan tiada bukan merupakan sumber daya penting bagi organisasi.

Di awal presentasi, Eko sejurus kemudian mengutip Eric Hoffer, pria bertopi ala Newsboy filsuf konservatif moral paman sam. Nukilannya: “Di dunia yang tak henti berubah, para pembelajar akan mewarisi bumi, sementara yang berhenti belajar akan berpuas diri, merasa layak mendapat seisi dunia—dunia yang sejatinya sudah tiada: berubah!”

Kutipan ini menjadi pintu masuk bagi pembacaan Eko atas situasi organisasi masyarakat sipil (OMS) di tengah abad informasi. Gempuran informasi yang tak berkesudahan mendorong derasnya isu bermunculan. Umpamanya, menengok situasi distribusi informasi melalui teks dan fail di WhatsApp. Belum selesai membaca sudah kedatangan tulisan lain. Kondisi derasnya informasi ini menyeruak menjadi peluang, khususnya bagi OMS untuk terus merumuskan bangunan pengetahuan.

“Seberapa jauh teman-teman melihat, misalnya, perjuangan perempuan dan kelapa sawit,” ucap Eko menyodorkan gambaran agar OMS memiliki sensitivitas untuk mengoneksikan titik simpul suatu isu. Sesungguhnya ajakan Eko kepada OMS agar lantip mendaras situasi itu merupakan penajaman dari mata puitik—melihat yang tak terlihat, memaknai relasi dari yang tak terkait, serta memikirkan yang belum terpikir.

Dalam paparannya, Eko menyentil dua lokus, yakni spiralisasi dan konversi pengetahuan.

Spiralisasi pengetahuan merupakan proses akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan. Ia bekerja pada tiga dimensi: pengelolaan arus pengalaman melalui pendekatan budaya organisasi, serta pengelolaan arus informasi melalui pendekatan sistemik berbasis sistem manajemen data dan informasi. Masing-masing arus pengetahuan membutuhkan pendekatan khusus untuk mencapai spiralisasi yang efektif, efisien, dan komprehensif.

Sementara itu, Eko melanjutkan, bagaikan konversi energi, proses konversi pengetahuan senantiasa berlangsung dalam organisasi. Penguasaan pengetahuan membuka peluang bagi organisasi untuk mengembangkan inovasi dan kreasi, seirama dengan pemahaman terhadap dinamika lingkungan eksternal.

Tujuan utama konversi pengetahuan adalah menemukan ruang relevansi baru yang paling strategis bagi organisasi. Keberlanjutan bergantung pada kemampuan organisasi untuk terus-menerus menemukan titik relevansi baru, seiring dengan tatanan yang selalu berubah dan berkembang secara dinamis.

“Kalau teman-teman mau mengembangkan sebuah produk, inovasi, atau hasil kreasi pengelolaan pengetahuan organisasi maka berilah nama. Kalau punya nama dan logo maka dia akan hidup. Mungkin dia akan hidup lebih panjang dari organisasi,” ucap Eko. Paparan ini mempertegas arah diskusi seri ketiga, yaitu mengajak audiens untuk menyodorkan produk apa yang organisasi tawarkan.

Sejumlah OMS yang hadir gayung bersambut. Mereka melemparkan ide, deskripsi produk, dan sedikit mengutarakan narasi di balik peneluran gagasan. Jatmiko Wiwoho dari Yayasan Penyu Indonesia, misalnya, menyebut Mafal (Mameduli Fenu Along). Ia ingin bikin semacam website konservasi penyu. Harapannya, ada pendaftaran pengunjung, penjadwalan kegiatan pelancong, hingga term in condition.

Perumusan nama dan penganyaman logo menjadi langkah sedepa memanifestasikan ide. “Jalan saja. Rasakan pengetahuan yang kita miliki akan terserap di situ. Dan dia akan berkembang jadi pengetahuan-pengetahuan baru,” pungkas Eko memberi penegasan atas pentingnya pengeksekusian gagasan menjadi sebuah produk inovasi.

MUARA dari Dua Arus Pengetahuan OMS

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Sesi keempat dari seri Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan akan diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal: Selasa, 11 Juni 2024
Topik: MUARA dari Dua Arus Pengetahuan OMS
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Registrasi
https://bit.ly/LMxLokadaya-KMforRM

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

Eko Komara

Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu

Reka Arus Cipta Alur Pengetahuan OMS

By Liputan Kegiatan

Nirwan Dessibali asal Makassar sesekali mengernyitkan dahi ketika diminta merefleksikan diskusi Seri I tempo hari. Di balik jumpalitan pertanyaan di benaknya, Nirwan merasakan bahwa paparan Eko Komara sebelumnya membuat dirinya ngeh. Betapa tidak? Nirwan menyadari pengelolaan pengetahuan memang makanan sehari-harinya di organisasi.

Namun, selepas paparan Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu lalu, dirinya makin tergerak untuk membikin peta pengelolaan pengetahuan secara lebih serius. Di internal organisasinya, Nirwan mengaku, “Kami selalu harap diskusi ini [ihwal pengelolaan pengetahuan] tidak membuat kening kami berkerut. Diskusi boleh panjang tapi semoga membuat bahagia.”

Memang tanda pengetahuan telah mengejawantah menjadi pemahaman tatkala seseorang tengah dirundung tanda tanya. Bingung itu pasti. Tapi di balik kebingungan senantiasa disusul dengan gerak nyata. Tindakan nyata itu Nirwan ingin gali terus melalui keikutsertaannya dalam Sesi II: Pemetaan Arus dan Alur Pengetahuan dalam OMS pada Selasa (28/05) di Zoom Meeting.

Bila pertemuan pertama cenderung memprovokasi mengapa OMS harus mengelola pengetahuan, sesi kedua lebih pada kedudukan sirkulasi pengetahuan dalam lapisan konseptual dan praksis. Eko mengawali diskusi dengan menyodorkan anggapan umum yang kerap dilakoni OMS.

“Siklus kita kan gagasan yang dituliskan dalam bentuk proposal, bahkan sebelum gagasan kita ambil peluang pendanaan (call). Apakah kita punya gagasan karena call atau kita punya gagasan sebelum itu,” tanyanya mengundang refleksi. Pertanyaan Eko ini mengimplikasikan kecenderungan—kalau tidak dikatakan sebagai pola umum—organisasi sipil yang mendapatkan asupan energi karena peluang pendanaan. Problemnya, ide itu mendahului atau melampaui peluang pendanaan?

Seri II ini jamak menggarisbawahi bahwa pengelolaan pengetahuan bukan sekadar inti dari mobilisasi sumber daya, melainkan juga suatu bentuk pengelolaan organisasi. Eko menyodorkan premis umum pengelolaan pengetahuan OMS. Antara lain: pengetahuan akan membantu organisasi menjamin pertumbuhan dan keberlanjutan pada tiga dimensi, yakni objek, agen, dan konteks. Meski demikian, apa gerangan pengetahuan itu?

Eko memaparkan, pengetahuan merupakan informasi yang telah diinterpretasikan, sedangkan informasi merupakan hasil pengolahan data. “Dan data itu sendiri ialah hasil pengamatan fakta atau kejadian tertentu,” ungkapnya. Sementara itu, pengetahuan dapat berupa tacit dan eksplisit. Pengetahuan tacit, atau pengetahuan yang tersimpan dalam diri individu, akan terbangun terlebih dahulu. Namun, proses pematangan pengetahuan semacam ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Lebih lanjut, perubahan dari pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit, dan kemudian kembali menjadi pengetahuan tacit, memerlukan model intervensi khusus untuk memfasilitasinya. “Pengelolaan pengetahuan memiliki siklus yang tersambung. Dan, kesinambungannya mensyaratkan organisasi menjadi organisasi pembelajar,” terang Eko.

Pada OMS terdapat dua arus pengetahuan utama yang saling berkaitan. Pertama, arus pengalaman yang harus dikelola selaras dengan budaya organisasi. Kedua, arus informasi yang bermula dari data dan membutuhkan pengelolaan sistemik.

Kendati memiliki karakteristik berbeda, kedua arus pengetahuan ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya berpangkal dari titik awal yang sama dan akan membentuk satu muara bersama, membentuk sinergi pengetahuan yang kuat di dalam organisasi.

Pada penghujung diskusi, terdapat refleksi bersama yang diutarakan Eko Komara. Acap kali masalah sistemik organisasi sipil hari ini adalah ketiadaan staf organisasi. Sebab, menurut hasil pencermatannya, adanya “struktur kepanitiaan dalam organisasi kita.” Fenomena ini mengunggah seraya melecut audiens OMS dari berbagai daerah di Indonesia. Marwah organisasi mesti disadarkan sangkan dan paran-nya.

KONVERSI dan SPIRALISASI Pengetahuan demi Keberlanjutan OMS

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Sesi ketiga dari seri Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan akan diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal: Selasa, 4 Juni 2024
Topik: KONVERSI dan SPIRALISASI Pengetahuan
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Registrasi
https://bit.ly/LMxLokadaya-KMforRM

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

Eko Komara

Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu

Menyunting yang Mengasyikkan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (17/5/2024). Banyak orang melakukan swasunting lalu kesulitan menemukan kelemahan tulisannya. Kemudian mereka meminta bantuan orang lain untuk membaca kembali tulisan mereka. Tentunya ini adalah cara yang efektif untuk mendapat pandangan yang obyektif guna perbaikan tulisan kita. Idealnya mengorekasi dilakukan minimal dua kali baca guna didapat hasil yang terbaik.

Pemahaman menarik ini muncul di 3 Jam Kelas Berbagi; Kyutri yang dihelat Jejaring Lokadaya dan Lingkar Madani. Pelatihan ini merupakan sesi kedua dari rangkaian tema besar menulis dengan kalimat efektif. Uu Suhardi masih membersamai sebagai narasumber pada topik penyuntingan kali ini.

Penyuntingan adalah proses atau perbuatan menyunting. Adapun menyunting adalah memeriksa dan memperbaiki naskah dengan memperhatikan isi dan bahasanya (menyangkut kaidah/ejaan dan struktur kalimat). Kita dapat menyunting sendiri tulisan kita (melakukan swasunting), meminta bantuan orang lain, atau meminta bantuan dari penyunting profesional.

Seorang penyunting atau orang yang pekerjaannya melakukan penyuntingan, dipastikan termasuk dalam kategori orang yang teliti, fokus dan tidak terburu-buru. Dalam penyuntingan, tentunya mereka membutuhkan pegangan agar tulisan mereka lebih sempurna dan efektif.

Pegangan utama dalam melakukan penyuntingan, meliputi:

– Tata bahasa baku bahasa indonesia

– Ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan (EYD)

– Kamus besar bahasa indonesia, kamus bahasa asing dan tesaurus.

Pada sesi tanya jawab muncul pertanyaan dari Heri Oktavianus mengenai penggunaan ChatGPT AI dalam penyuntingan. Uu Suhardi menjawab bahwa boleh-boleh saja dipergunakan, tetapi sebatas digunakan sebagai alat bantu saja. Untuk saat ini hasil ChatGPT tidak sepenuhnya benar, terutama bahasa Indonesia. Bila menggunakannya, kita harus tetap melakukan penyuntingan ulang. “Dari pengalaman saya, penggunaan ChatGPT hanya sebagai alat bantu karena tetap harus diperbaiki ulang. Terkadang dia tidak mengerti apa yang kita maksud, namanya juga mesin, iya terbantu tapi tidak sepenuhnya benar”, ujar Uu Suhardi.

Pada pertemuan kedua ini semua peserta antusias melatih kemampuan menyunting, lebih aktif  dalam berbicara, bertanya, dan menjawab pertanyaan secara berkelompok. Moderator dan Narasumber memberikan beberapa paragraf sebagai bahan latihan para peserta, lalu mereka saling mengoreksi apa yang salah dari kalimat-kalimatnya. Sementara  moderator juga sibuk menilai peserta layaknya kuis. Seru sekali tentunya sesi ini.

Keseruan-keseruan lain dalam pelatihan penyuntingan ini dapat diikuti secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Kekuatan Ajaib Sebuah Kalimat Efektif

By Liputan Kegiatan

Jakarta (15/5/2024). Dalam sebuah tulisan, struktur kalimat yang teratur tidak harus melulu tersusun dari SPOK yang  lengkap. Boleh saja di dalam tulisan menggunakan satu atau dua kalimat yang berantakan sebagai teknik variasi agar pembaca tidak merasa bosan untuk membacanya. Namun bila tulisan menggunakan struktur kalimat yang berantakan semua, tentu akan melelahkan pembaca dan pesan menjadi kurang tersampaikan karena pembaca susah untuk memahami tulisan tersebut.

Lokadaya bekerjasama dengan Lingkar Madani mengadakan Tig Jam Kelas Berbagi; Kyutri dengan tema kali ini adalah “Menulis dengan Kalimat Efektif bersama Uu  Suhardi, Ia merupakan redaktur senior dan pengajar di Tempo Institute.

Di awal pemaparannya , Uu menjelaskan mengenai ragam bahasa yang secara garis besar dibagi menjadi tiga ;

– Formal (bahasa yang tertib secara gramatikal, kata baku, dan imbuhan lengkap)

– Nonformal (bahasa percakapan sehari-hari, menggunakan kata nonbaku dan imbuhannya ada yang tidak lengkap)

– Semi formal (bahasa jurnalistik, ringkas dan imbuhannya lengkap kecuali judul)

Seorang penulis tentunya ingin semua hal yang akan disampaikannya benar-benar dipahami oleh pembaca dan kalimat efektif diperlukan untuk itu. Semua jenis tulisan membutuhkan keterampilan menulis dengan kalimat efektif.

Kalimat yang sempurna sekurang-kurangnya harus memiliki subyek dan predikat. Kalimat tersebut dapat juga diberi pelengkap dan penjelasan. Biasanya kalimat sempurna itu efektif dan sederhana. Kalimat efektif adalah kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap dan cermat, yaitu

  • Singkat: hanya menggunakan unsur yang diperlukan
  • Padat: tidak berisi pengulangan kata
  • Jelas: strukturnya teratur
  • Lengkap: mengandung semua unsur pembentuk kalimat
  • Cermat: memakai tanda baca dan pilihan kata yang tepat serta tidak menyimpang kaidah

Uu Suhardi juga menyampaikan bahwa dalam penulisan kalimat efektif, ada baiknya menghindari kata-kata yang mubazir. Kata mubazir adalah kata yang tidak mengganggu kelancaran komunikasi bila tidak digunakan. Sifatnya yang berlebihan bahkan dapat menghasilkan kalimat rancu.

Penjelasan selanjutnya ialah mengenai kaidah. Semua bahasa modern memiliki kaidah, hal ini didasari bahasa yang selalu berpola. Dari pola tersebut maka lahirlah kaidah atau aturan yang pasti. Kaidah ini harus dipatuhi dan diikuti banyak orang. “Jika kita menerapkan kaidah, niscaya tulisan kita akan mudah dipahami. Namun sebaliknya jika tulisan kita menyimpang dari kaidah maka tulisan yang kita tampilkan akan sulit dipahami”, terang Uu Suhardi.

Dengan demikian, agar lebih mudah dipahami, tulisan harus menggunakan kalimat yang mematuhi kaidah. Kaidah dalam hal ini mencakup penggunaan tanda baca, pemakaian huruf dan penulisan kata.

Pemaparan lengkap  materi kalimat efektif ini dapat diakses secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Menyulam Masa Depan, Benang Pengetahuan Organisasi Masyarakat Sipil

By Liputan Kegiatan

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berada di titik persimpangan jalan. Ia tengah menghadapi desakan sejarah untuk berkelanjutan tanpa memupuk laba. Sebagai entitas nirlaba, OMS berorientasi memberikan layanan dan jasa demi kemaslahatan khalayak. Nuansa filantropi, solidaritas, dan semangat perubahan yang menggerakkan OMS sehingga menjadikannya khas.

OMS berada di tengah zaman yang makin bertunggang-langgang. Perubahan yang teramat cepat itu mengondisikan OMS untuk punya daya ungkit dan radar sensitivitas sumber daya organisasi. Pada aras ini pengelolaan pengetahuan OMS bukan saja penting, melainkan juga merupakan kebutuhan imperatif. Begitulah Eko Komara, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, mengawali diskusi Kenapa OMS Harus Mengelola pengetahuan? pada Selasa (14/05) di Zoom Meeting.

Diskusi seri pertama bertemakan Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan ini membabar tantangan dan peluang OMS untuk merefleksikan situasi “melihat ke luar, menengok ke dalam” tubuh organisasinya. Eko menuturkan, mobilisasi sumber daya adalah upaya yang memastikan tercukupinya sumber daya organisasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan keberlanjutan pencapaian visi dan misi organisasi.

“Mobilisasi sumber daya berarti perluasan sumber-sumber daya, dan peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki organisasi,” ujarnya. Sumber daya pengetahuan, lanjut Eko, melengkapi sumber daya manusia, pendanaan, dan teknologi.

Sumber daya pengetahuan acap kali terabaikan karena OMS kerap bekerja berbasis proyek. Sandra Tjan, salah satu peserta dari Morotai, Maluku Utara, menyatakan kecenderungan OMS yang timbul-tenggelam. Sebab, hematnya, OMS sering muncul karena suatu isu. Bila isu telah didanai sekaligus dikerjakan, maka setelah pembagian “hasil” OMS berpotensi hilang. Hilangnya OMS ini diakibatkan karena tak memiliki daya ungkit yang sesungguhnya dapat ditopang dari kegiatan pengelolaan pengetahuan.

Seirama dengan kondisi “OMS musiman” itu, Subhan dari Pandeglang berpendapat, “Biasanya lembaga sosial yang sedang lead dalam project akan eksis sepanjang project-nya belum berakhir. Namun, setelah project-nya selesai, lembaga tersebut nyaris tidak ada.” Kegelisahan Sandra dan Subhan ini cukup beralasan karena OMS jamak terjebak pada kerja sosial berbalut kegiatan proyek yang sifatnya temporal.

Terdapat satu celetukan Febrilia dari Bandar lampung atas hasil menyimaknya dari paparan Eko Komara: “Logika tanpa logistik akan sulit untuk jalan. Logistik ada tapi nggak pakai logika itu jalannya kesasar.” Sementara, ia melanjutkan, pengelolaan pengetahuan memang berada di ranah logika, selain dimungkinkan karena ketelatenan, kerja kolektif, dan panjang usus.

Kendati demikian, pengelolaan pengetahuan juga seyogianya dibarengi dengan kesadaran bersama. Jika tidak, Sandra Tjan mengingatkan, OMS akan terus menebalkan persaingan seperti halnya problem organisasi sipil belakangan. “Persaingan antar-OMS juga cukup kuat. Saling menahan pengetahuan daripada berbagi pengetahuan dan kerja sama. Karena takut disaingi, masing-masing mempertahankan positioning dan branding dirinya,” kritik Sandra.

Keringkihan OMS pun berpeluang mengancam keberlanjutan organisasi. Dennis dari Yogya melihat keberlanjutan organisasi akan di ujung tanduk jika tak mengindahkan aspek resiliensi. “Tren tiga sampai lima tahun belakangan, kan kelokalan jadi konteks yang didorong oleh donor. Dan OMS tak mampu mengelola pengetahuannya,” ungkapnya. Dennis melihat benang merah antara pengelolaan pengetahuan dan keinginan donor. Jadi, menurutnya, OMS harus tetap relevan.

Forum diskusi yang diikuti oleh sekitar 100 peserta dari OMS di Sabang sampai Merauke ini berjalan ciamik, sebagaimana dibahasakan oleh Eko Komara: mampu reflektif dan seberapa jauh organisasi sipil berposisi dan menjalin-kelindan pendekatan serta intervensi baru. Di tengah titik persimpangan yang dirasakan, keberlanjutan OMS hendaknya bertumpu di atas pengelolaan pengetahuan. Bila tak disadari sedemikian, alih-alih berkelanjutan, OMS akan berkubang dalam situasi dilematis: hidup segan mati tak mau.