Skip to main content
All Posts By

anton

Empowering Fundraising of Strategic Programs and Initiatives

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Berkolaborasi dengan LingkarMadani, Jejaring Lokadaya menggelar Webinar dengan tajuk Empowering Fundraising of Strategic Programs and Initiatives bersama Bapak Hamid Abidin, Ketua Badan Pengurus Yayasan PIRAC.

Hari/Tanggal:

Kamis, 20 Juni 2024
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Tautan Pendaftaran:
https://bit.ly/LM-WebinarResourceMobilization

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

Hamid Abidin

Ketua Badan Pengurus Yayasan PIRAC

Setelah Mengikat Lalu Mengelola Pengetahuan

By Liputan Kegiatan

Di tengah pusaran informasi tiada henti, pengetahuan bagaikan harta karun yang menanti untuk digali. Bagi organisasi, mengelola pengetahuan secara efektif menjadi kunci untuk membuka gerbang pertumbuhan dan keberlanjutan. Dalam diskusi Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, Eko Komara, menutup Seri IV (11/06) ini dengan pemahaman secara mendalam tentang esensi dan praktik pengelolaan pengetahuan dalam organisasi.

“Pengelolaan pengetahuan ibarat radar sensitivitas organisasi,” ungkapnya. “Dengan mengelola pengetahuan secara baik, organisasi dapat lebih sigap menangkap perubahan dan memanfaatkan sumber dayanya dengan optimal.”

Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa pengelolaan pengetahuan tidak hanya terbatas pada ranah informasi, tetapi juga mencakup pengalaman dan budaya organisasi. “Pengetahuan organisasi terbangun dari dua arus utama: arus pengalaman dan arus informasi,” tuturnya. “Kedua arus ini perlu dikelola dengan pendekatan yang berbeda, yaitu budaya organisasi untuk arus pengalaman dan sistemik untuk arus informasi.”

Eko menuturkan bahwa pengelolaan pengetahuan secara efektif membutuhkan transformasi pengetahuan menjadi bentuk yang lebih tinggi, seperti inovasi dan kreasi. Hal ini dapat dicapai melalui proses spiralisasi dan konversi pengetahuan—paparan ini telah diwedarkannya pada Sesi III. “Spiralisasi dan konversi ini ibarat proses daur ulang pengetahuan,” terangnya. “Pengetahuan yang telah diperoleh diolah dan diubah menjadi sesuatu yang baru dan lebih bermanfaat.”

Namun, pengelolaan pengetahuan takkan optimal tanpa adanya organisasi pembelajar. “Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus belajar dan beradaptasi,” kata Eko. “Untuk menjadi organisasi pembelajar, diperlukan empat prasyarat: fondasi, keterampilan, kondisi pemungkin, dan habitat belajar.”

Eko tak luput menekankan bahwa teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), menjadi elemen penting dalam menciptakan kondisi pemungkin pengelolaan pengetahuan. Ia berpendapat, teknologi dapat membantu organisasi dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan pengetahuan.

Di sela paparan, Eko mengingatkan organisasi masyarakat sipil: pengetahuan organisasi lahir dari interpretasi dan makna yang diberikan terhadap data dan informasi. “Data adalah hasil pengamatan, informasi adalah hasil pengolahan data, dan pengetahuan adalah informasi yang telah dimaknai,” terangnya. “Dengan mengelola pengetahuannya secara efektif, organisasi dapat meningkatkan kepekaan terhadap perubahan, memanfaatkan sumber daya dengan optimal, dan pada akhirnya mencapai tujuannya.”

Bukan Mas Eko, begitu aktivis sipil sosial kemasyarakatan memanggilnya, kalau tak melemparkan pertanyaan reflektif. “Nah, jika demikian, kapan, di mana, dan bagaimana pengetahuan organisasi lahir,” demikian ia melemparkan pertanyaan kepada audiens. Pertanyaan ini mengundang sejumlah komentar.

Holan Tobing (Batam) bilang kalau pengetahuan lahir saat organisasi berdiri. Sementara, bagi Lien (Medan), pengetahuan organisasi lahir tatkala ia dibagikan atau diimplementasikan melalui program. Hampir segendang dan sepenarian dengan pernyataan demikian, Pajung Institute Lutra (Sulawesi Selatan) berujar: “Pengetahuan itu lahir dari saat kita berinteraksi dengan fakta di lapangan.”

Sementara itu, Kusworo Bayu Aji (Yogyakarta) mendefinisikan proses penciptaan pengetahuan sebagai perenungan dan transformasi pengalaman dan data menjadi bentuk yang mudah diakses. Baginya, pengetahuan baru tercipta ketika ia dibagikan dan dimanfaatkan oleh orang lain.

Aji memaparkan dua jenis format pengetahuan yang ia praktikkan: tulisan dan non-tulisan. Ia pun menekankan bahwa pengetahuan organisasi tak harus terpaku pada dokumen resmi dan lembaga, melainkan pada nilai yang tertransformasi dan dapat diakses secara luas. Pandangan Aji ini membuka wawasan baru tentang pengetahuan, yakni kolaborasi dan aksesibilitas menjadi kunci utama dalam memajukan organisasi dan individu.

Eko gayung bersambut dengan paparan Aji. Ia menyatakan, “Pengetahuan adalah sesuatu yang ditransformasi dalam bentuk lain yang dapat diakses,” menekankan esensi dari pengetahuan sebagai ikatan makna. Bagi Eko, mengelola pengetahuan bukanlah sekadar tugas teknis, melainkan sebuah proses yang melibatkan aspek esensial seperti menangkap, mengikat, memaknai, memberi nama, dan mendistribusikan pengetahuan. Ia menyoroti bahwa pada tahap ini, kemampuan untuk memproduksi pengetahuan menjadi mungkin.

“Materi ini [Seri I-IV] untuk ‘mengganggu’ teman-teman apakah ketika kembali ke organisasi kita menyadari soal ini [produksi pengetahuan]. Kalau organisasi ini sudah mampu memproduksi pengetahuan, ya kita akan mendapatkan efek ‘arus balik’ dari situ,” pungkas Eko.

Paparan Eko Komara—bila disimak dari seri pertama sampai keempat—bagaikan peta jalan yang menuntun aktivis organisasi masyarakat sipil dalam memahami pengelolaan pengetahuan. Seperti kerap ia utarakan: pengetahuan adalah ikatan makna, maka ia perlu diikat, dinamai, dan didistribusi.

Dari Konversi ke Spiralisasi Pengetahuan

By Liputan Kegiatan

Satu tarikan napas masuk jantung diskusi, Eko Komara mengajak audiens mengendapkan petikan pemahaman dua diskusi sebelumnya. Bila seri pertama bicara soal bagaimana OMS harus melakukan pengelolaan pengetahuan, seri kedua cenderung menukik pada persoalan cara.

Sedangkan, katanya lebih lanjut, seri ketiga (04/06) menguraikan bagaimana pengelolaan pengetahuan dapat mendorong mobilisasi sumber daya. Dorongan ini mengedepankan potensi manusia yang tiada lain dan tiada bukan merupakan sumber daya penting bagi organisasi.

Di awal presentasi, Eko sejurus kemudian mengutip Eric Hoffer, pria bertopi ala Newsboy filsuf konservatif moral paman sam. Nukilannya: “Di dunia yang tak henti berubah, para pembelajar akan mewarisi bumi, sementara yang berhenti belajar akan berpuas diri, merasa layak mendapat seisi dunia—dunia yang sejatinya sudah tiada: berubah!”

Kutipan ini menjadi pintu masuk bagi pembacaan Eko atas situasi organisasi masyarakat sipil (OMS) di tengah abad informasi. Gempuran informasi yang tak berkesudahan mendorong derasnya isu bermunculan. Umpamanya, menengok situasi distribusi informasi melalui teks dan fail di WhatsApp. Belum selesai membaca sudah kedatangan tulisan lain. Kondisi derasnya informasi ini menyeruak menjadi peluang, khususnya bagi OMS untuk terus merumuskan bangunan pengetahuan.

“Seberapa jauh teman-teman melihat, misalnya, perjuangan perempuan dan kelapa sawit,” ucap Eko menyodorkan gambaran agar OMS memiliki sensitivitas untuk mengoneksikan titik simpul suatu isu. Sesungguhnya ajakan Eko kepada OMS agar lantip mendaras situasi itu merupakan penajaman dari mata puitik—melihat yang tak terlihat, memaknai relasi dari yang tak terkait, serta memikirkan yang belum terpikir.

Dalam paparannya, Eko menyentil dua lokus, yakni spiralisasi dan konversi pengetahuan.

Spiralisasi pengetahuan merupakan proses akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan. Ia bekerja pada tiga dimensi: pengelolaan arus pengalaman melalui pendekatan budaya organisasi, serta pengelolaan arus informasi melalui pendekatan sistemik berbasis sistem manajemen data dan informasi. Masing-masing arus pengetahuan membutuhkan pendekatan khusus untuk mencapai spiralisasi yang efektif, efisien, dan komprehensif.

Sementara itu, Eko melanjutkan, bagaikan konversi energi, proses konversi pengetahuan senantiasa berlangsung dalam organisasi. Penguasaan pengetahuan membuka peluang bagi organisasi untuk mengembangkan inovasi dan kreasi, seirama dengan pemahaman terhadap dinamika lingkungan eksternal.

Tujuan utama konversi pengetahuan adalah menemukan ruang relevansi baru yang paling strategis bagi organisasi. Keberlanjutan bergantung pada kemampuan organisasi untuk terus-menerus menemukan titik relevansi baru, seiring dengan tatanan yang selalu berubah dan berkembang secara dinamis.

“Kalau teman-teman mau mengembangkan sebuah produk, inovasi, atau hasil kreasi pengelolaan pengetahuan organisasi maka berilah nama. Kalau punya nama dan logo maka dia akan hidup. Mungkin dia akan hidup lebih panjang dari organisasi,” ucap Eko. Paparan ini mempertegas arah diskusi seri ketiga, yaitu mengajak audiens untuk menyodorkan produk apa yang organisasi tawarkan.

Sejumlah OMS yang hadir gayung bersambut. Mereka melemparkan ide, deskripsi produk, dan sedikit mengutarakan narasi di balik peneluran gagasan. Jatmiko Wiwoho dari Yayasan Penyu Indonesia, misalnya, menyebut Mafal (Mameduli Fenu Along). Ia ingin bikin semacam website konservasi penyu. Harapannya, ada pendaftaran pengunjung, penjadwalan kegiatan pelancong, hingga term in condition.

Perumusan nama dan penganyaman logo menjadi langkah sedepa memanifestasikan ide. “Jalan saja. Rasakan pengetahuan yang kita miliki akan terserap di situ. Dan dia akan berkembang jadi pengetahuan-pengetahuan baru,” pungkas Eko memberi penegasan atas pentingnya pengeksekusian gagasan menjadi sebuah produk inovasi.

MUARA dari Dua Arus Pengetahuan OMS

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Sesi keempat dari seri Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan akan diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal: Selasa, 11 Juni 2024
Topik: MUARA dari Dua Arus Pengetahuan OMS
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Registrasi
https://bit.ly/LMxLokadaya-KMforRM

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

Eko Komara

Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu

Reka Arus Cipta Alur Pengetahuan OMS

By Liputan Kegiatan

Nirwan Dessibali asal Makassar sesekali mengernyitkan dahi ketika diminta merefleksikan diskusi Seri I tempo hari. Di balik jumpalitan pertanyaan di benaknya, Nirwan merasakan bahwa paparan Eko Komara sebelumnya membuat dirinya ngeh. Betapa tidak? Nirwan menyadari pengelolaan pengetahuan memang makanan sehari-harinya di organisasi.

Namun, selepas paparan Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu lalu, dirinya makin tergerak untuk membikin peta pengelolaan pengetahuan secara lebih serius. Di internal organisasinya, Nirwan mengaku, “Kami selalu harap diskusi ini [ihwal pengelolaan pengetahuan] tidak membuat kening kami berkerut. Diskusi boleh panjang tapi semoga membuat bahagia.”

Memang tanda pengetahuan telah mengejawantah menjadi pemahaman tatkala seseorang tengah dirundung tanda tanya. Bingung itu pasti. Tapi di balik kebingungan senantiasa disusul dengan gerak nyata. Tindakan nyata itu Nirwan ingin gali terus melalui keikutsertaannya dalam Sesi II: Pemetaan Arus dan Alur Pengetahuan dalam OMS pada Selasa (28/05) di Zoom Meeting.

Bila pertemuan pertama cenderung memprovokasi mengapa OMS harus mengelola pengetahuan, sesi kedua lebih pada kedudukan sirkulasi pengetahuan dalam lapisan konseptual dan praksis. Eko mengawali diskusi dengan menyodorkan anggapan umum yang kerap dilakoni OMS.

“Siklus kita kan gagasan yang dituliskan dalam bentuk proposal, bahkan sebelum gagasan kita ambil peluang pendanaan (call). Apakah kita punya gagasan karena call atau kita punya gagasan sebelum itu,” tanyanya mengundang refleksi. Pertanyaan Eko ini mengimplikasikan kecenderungan—kalau tidak dikatakan sebagai pola umum—organisasi sipil yang mendapatkan asupan energi karena peluang pendanaan. Problemnya, ide itu mendahului atau melampaui peluang pendanaan?

Seri II ini jamak menggarisbawahi bahwa pengelolaan pengetahuan bukan sekadar inti dari mobilisasi sumber daya, melainkan juga suatu bentuk pengelolaan organisasi. Eko menyodorkan premis umum pengelolaan pengetahuan OMS. Antara lain: pengetahuan akan membantu organisasi menjamin pertumbuhan dan keberlanjutan pada tiga dimensi, yakni objek, agen, dan konteks. Meski demikian, apa gerangan pengetahuan itu?

Eko memaparkan, pengetahuan merupakan informasi yang telah diinterpretasikan, sedangkan informasi merupakan hasil pengolahan data. “Dan data itu sendiri ialah hasil pengamatan fakta atau kejadian tertentu,” ungkapnya. Sementara itu, pengetahuan dapat berupa tacit dan eksplisit. Pengetahuan tacit, atau pengetahuan yang tersimpan dalam diri individu, akan terbangun terlebih dahulu. Namun, proses pematangan pengetahuan semacam ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Lebih lanjut, perubahan dari pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit, dan kemudian kembali menjadi pengetahuan tacit, memerlukan model intervensi khusus untuk memfasilitasinya. “Pengelolaan pengetahuan memiliki siklus yang tersambung. Dan, kesinambungannya mensyaratkan organisasi menjadi organisasi pembelajar,” terang Eko.

Pada OMS terdapat dua arus pengetahuan utama yang saling berkaitan. Pertama, arus pengalaman yang harus dikelola selaras dengan budaya organisasi. Kedua, arus informasi yang bermula dari data dan membutuhkan pengelolaan sistemik.

Kendati memiliki karakteristik berbeda, kedua arus pengetahuan ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya berpangkal dari titik awal yang sama dan akan membentuk satu muara bersama, membentuk sinergi pengetahuan yang kuat di dalam organisasi.

Pada penghujung diskusi, terdapat refleksi bersama yang diutarakan Eko Komara. Acap kali masalah sistemik organisasi sipil hari ini adalah ketiadaan staf organisasi. Sebab, menurut hasil pencermatannya, adanya “struktur kepanitiaan dalam organisasi kita.” Fenomena ini mengunggah seraya melecut audiens OMS dari berbagai daerah di Indonesia. Marwah organisasi mesti disadarkan sangkan dan paran-nya.

KONVERSI dan SPIRALISASI Pengetahuan demi Keberlanjutan OMS

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Sesi ketiga dari seri Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan akan diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal: Selasa, 4 Juni 2024
Topik: KONVERSI dan SPIRALISASI Pengetahuan
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Registrasi
https://bit.ly/LMxLokadaya-KMforRM

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

Eko Komara

Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu

Menyunting yang Mengasyikkan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (17/5/2024). Banyak orang melakukan swasunting lalu kesulitan menemukan kelemahan tulisannya. Kemudian mereka meminta bantuan orang lain untuk membaca kembali tulisan mereka. Tentunya ini adalah cara yang efektif untuk mendapat pandangan yang obyektif guna perbaikan tulisan kita. Idealnya mengorekasi dilakukan minimal dua kali baca guna didapat hasil yang terbaik.

Pemahaman menarik ini muncul di 3 Jam Kelas Berbagi; Kyutri yang dihelat Jejaring Lokadaya dan Lingkar Madani. Pelatihan ini merupakan sesi kedua dari rangkaian tema besar menulis dengan kalimat efektif. Uu Suhardi masih membersamai sebagai narasumber pada topik penyuntingan kali ini.

Penyuntingan adalah proses atau perbuatan menyunting. Adapun menyunting adalah memeriksa dan memperbaiki naskah dengan memperhatikan isi dan bahasanya (menyangkut kaidah/ejaan dan struktur kalimat). Kita dapat menyunting sendiri tulisan kita (melakukan swasunting), meminta bantuan orang lain, atau meminta bantuan dari penyunting profesional.

Seorang penyunting atau orang yang pekerjaannya melakukan penyuntingan, dipastikan termasuk dalam kategori orang yang teliti, fokus dan tidak terburu-buru. Dalam penyuntingan, tentunya mereka membutuhkan pegangan agar tulisan mereka lebih sempurna dan efektif.

Pegangan utama dalam melakukan penyuntingan, meliputi:

– Tata bahasa baku bahasa indonesia

– Ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan (EYD)

– Kamus besar bahasa indonesia, kamus bahasa asing dan tesaurus.

Pada sesi tanya jawab muncul pertanyaan dari Heri Oktavianus mengenai penggunaan ChatGPT AI dalam penyuntingan. Uu Suhardi menjawab bahwa boleh-boleh saja dipergunakan, tetapi sebatas digunakan sebagai alat bantu saja. Untuk saat ini hasil ChatGPT tidak sepenuhnya benar, terutama bahasa Indonesia. Bila menggunakannya, kita harus tetap melakukan penyuntingan ulang. “Dari pengalaman saya, penggunaan ChatGPT hanya sebagai alat bantu karena tetap harus diperbaiki ulang. Terkadang dia tidak mengerti apa yang kita maksud, namanya juga mesin, iya terbantu tapi tidak sepenuhnya benar”, ujar Uu Suhardi.

Pada pertemuan kedua ini semua peserta antusias melatih kemampuan menyunting, lebih aktif  dalam berbicara, bertanya, dan menjawab pertanyaan secara berkelompok. Moderator dan Narasumber memberikan beberapa paragraf sebagai bahan latihan para peserta, lalu mereka saling mengoreksi apa yang salah dari kalimat-kalimatnya. Sementara  moderator juga sibuk menilai peserta layaknya kuis. Seru sekali tentunya sesi ini.

Keseruan-keseruan lain dalam pelatihan penyuntingan ini dapat diikuti secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Kekuatan Ajaib Sebuah Kalimat Efektif

By Liputan Kegiatan

Jakarta (15/5/2024). Dalam sebuah tulisan, struktur kalimat yang teratur tidak harus melulu tersusun dari SPOK yang  lengkap. Boleh saja di dalam tulisan menggunakan satu atau dua kalimat yang berantakan sebagai teknik variasi agar pembaca tidak merasa bosan untuk membacanya. Namun bila tulisan menggunakan struktur kalimat yang berantakan semua, tentu akan melelahkan pembaca dan pesan menjadi kurang tersampaikan karena pembaca susah untuk memahami tulisan tersebut.

Lokadaya bekerjasama dengan Lingkar Madani mengadakan Tig Jam Kelas Berbagi; Kyutri dengan tema kali ini adalah “Menulis dengan Kalimat Efektif bersama Uu  Suhardi, Ia merupakan redaktur senior dan pengajar di Tempo Institute.

Di awal pemaparannya , Uu menjelaskan mengenai ragam bahasa yang secara garis besar dibagi menjadi tiga ;

– Formal (bahasa yang tertib secara gramatikal, kata baku, dan imbuhan lengkap)

– Nonformal (bahasa percakapan sehari-hari, menggunakan kata nonbaku dan imbuhannya ada yang tidak lengkap)

– Semi formal (bahasa jurnalistik, ringkas dan imbuhannya lengkap kecuali judul)

Seorang penulis tentunya ingin semua hal yang akan disampaikannya benar-benar dipahami oleh pembaca dan kalimat efektif diperlukan untuk itu. Semua jenis tulisan membutuhkan keterampilan menulis dengan kalimat efektif.

Kalimat yang sempurna sekurang-kurangnya harus memiliki subyek dan predikat. Kalimat tersebut dapat juga diberi pelengkap dan penjelasan. Biasanya kalimat sempurna itu efektif dan sederhana. Kalimat efektif adalah kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap dan cermat, yaitu

  • Singkat: hanya menggunakan unsur yang diperlukan
  • Padat: tidak berisi pengulangan kata
  • Jelas: strukturnya teratur
  • Lengkap: mengandung semua unsur pembentuk kalimat
  • Cermat: memakai tanda baca dan pilihan kata yang tepat serta tidak menyimpang kaidah

Uu Suhardi juga menyampaikan bahwa dalam penulisan kalimat efektif, ada baiknya menghindari kata-kata yang mubazir. Kata mubazir adalah kata yang tidak mengganggu kelancaran komunikasi bila tidak digunakan. Sifatnya yang berlebihan bahkan dapat menghasilkan kalimat rancu.

Penjelasan selanjutnya ialah mengenai kaidah. Semua bahasa modern memiliki kaidah, hal ini didasari bahasa yang selalu berpola. Dari pola tersebut maka lahirlah kaidah atau aturan yang pasti. Kaidah ini harus dipatuhi dan diikuti banyak orang. “Jika kita menerapkan kaidah, niscaya tulisan kita akan mudah dipahami. Namun sebaliknya jika tulisan kita menyimpang dari kaidah maka tulisan yang kita tampilkan akan sulit dipahami”, terang Uu Suhardi.

Dengan demikian, agar lebih mudah dipahami, tulisan harus menggunakan kalimat yang mematuhi kaidah. Kaidah dalam hal ini mencakup penggunaan tanda baca, pemakaian huruf dan penulisan kata.

Pemaparan lengkap  materi kalimat efektif ini dapat diakses secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Menyulam Masa Depan, Benang Pengetahuan Organisasi Masyarakat Sipil

By Liputan Kegiatan

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berada di titik persimpangan jalan. Ia tengah menghadapi desakan sejarah untuk berkelanjutan tanpa memupuk laba. Sebagai entitas nirlaba, OMS berorientasi memberikan layanan dan jasa demi kemaslahatan khalayak. Nuansa filantropi, solidaritas, dan semangat perubahan yang menggerakkan OMS sehingga menjadikannya khas.

OMS berada di tengah zaman yang makin bertunggang-langgang. Perubahan yang teramat cepat itu mengondisikan OMS untuk punya daya ungkit dan radar sensitivitas sumber daya organisasi. Pada aras ini pengelolaan pengetahuan OMS bukan saja penting, melainkan juga merupakan kebutuhan imperatif. Begitulah Eko Komara, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, mengawali diskusi Kenapa OMS Harus Mengelola pengetahuan? pada Selasa (14/05) di Zoom Meeting.

Diskusi seri pertama bertemakan Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan ini membabar tantangan dan peluang OMS untuk merefleksikan situasi “melihat ke luar, menengok ke dalam” tubuh organisasinya. Eko menuturkan, mobilisasi sumber daya adalah upaya yang memastikan tercukupinya sumber daya organisasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan keberlanjutan pencapaian visi dan misi organisasi.

“Mobilisasi sumber daya berarti perluasan sumber-sumber daya, dan peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki organisasi,” ujarnya. Sumber daya pengetahuan, lanjut Eko, melengkapi sumber daya manusia, pendanaan, dan teknologi.

Sumber daya pengetahuan acap kali terabaikan karena OMS kerap bekerja berbasis proyek. Sandra Tjan, salah satu peserta dari Morotai, Maluku Utara, menyatakan kecenderungan OMS yang timbul-tenggelam. Sebab, hematnya, OMS sering muncul karena suatu isu. Bila isu telah didanai sekaligus dikerjakan, maka setelah pembagian “hasil” OMS berpotensi hilang. Hilangnya OMS ini diakibatkan karena tak memiliki daya ungkit yang sesungguhnya dapat ditopang dari kegiatan pengelolaan pengetahuan.

Seirama dengan kondisi “OMS musiman” itu, Subhan dari Pandeglang berpendapat, “Biasanya lembaga sosial yang sedang lead dalam project akan eksis sepanjang project-nya belum berakhir. Namun, setelah project-nya selesai, lembaga tersebut nyaris tidak ada.” Kegelisahan Sandra dan Subhan ini cukup beralasan karena OMS jamak terjebak pada kerja sosial berbalut kegiatan proyek yang sifatnya temporal.

Terdapat satu celetukan Febrilia dari Bandar lampung atas hasil menyimaknya dari paparan Eko Komara: “Logika tanpa logistik akan sulit untuk jalan. Logistik ada tapi nggak pakai logika itu jalannya kesasar.” Sementara, ia melanjutkan, pengelolaan pengetahuan memang berada di ranah logika, selain dimungkinkan karena ketelatenan, kerja kolektif, dan panjang usus.

Kendati demikian, pengelolaan pengetahuan juga seyogianya dibarengi dengan kesadaran bersama. Jika tidak, Sandra Tjan mengingatkan, OMS akan terus menebalkan persaingan seperti halnya problem organisasi sipil belakangan. “Persaingan antar-OMS juga cukup kuat. Saling menahan pengetahuan daripada berbagi pengetahuan dan kerja sama. Karena takut disaingi, masing-masing mempertahankan positioning dan branding dirinya,” kritik Sandra.

Keringkihan OMS pun berpeluang mengancam keberlanjutan organisasi. Dennis dari Yogya melihat keberlanjutan organisasi akan di ujung tanduk jika tak mengindahkan aspek resiliensi. “Tren tiga sampai lima tahun belakangan, kan kelokalan jadi konteks yang didorong oleh donor. Dan OMS tak mampu mengelola pengetahuannya,” ungkapnya. Dennis melihat benang merah antara pengelolaan pengetahuan dan keinginan donor. Jadi, menurutnya, OMS harus tetap relevan.

Forum diskusi yang diikuti oleh sekitar 100 peserta dari OMS di Sabang sampai Merauke ini berjalan ciamik, sebagaimana dibahasakan oleh Eko Komara: mampu reflektif dan seberapa jauh organisasi sipil berposisi dan menjalin-kelindan pendekatan serta intervensi baru. Di tengah titik persimpangan yang dirasakan, keberlanjutan OMS hendaknya bertumpu di atas pengelolaan pengetahuan. Bila tak disadari sedemikian, alih-alih berkelanjutan, OMS akan berkubang dalam situasi dilematis: hidup segan mati tak mau.

Pemetaan ARUS dan ALUR Pengetahuan dalam Konteks OMS

By Kyutri

Kawan Lokadaya.

Berkolaborasi dengan LingkarMadani, Jejaring Lokadaya menggelar Seri Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan dengan tajuk THINGS ONLY WE KNOW!

Bersama
Eko Komara
Yayasan Penabulu

Sesi 2

Hari/Tanggal: Selasa, 21 Mei 2024
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Registrasi
https://bit.ly/LMxLokadaya-KMforRM

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

Eko Komara

Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu

Menulis dengan Kalimat Efektif

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Berkolaborasi dengan LingkarMadani, Jejaring Lokadaya menggelar Seri Komunikasi melalui Penulisan Efektif, bersama UU Suhardi – Redaktur Senior Tempo.

Hari/Tanggal:

Sesi-1
Rabu, 15 Mei 2024
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Sesi-2
Jum’at, 17 Mei 2024
Waktu: 13.30 WIB / 14.30 WITA / 15.30 WIT

Tautan Pendaftaran:
https://bit.ly/LMxLokadaya-KomunikasiPublikasi

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

UU Suhardi

Redaktur Senior TEMPO

Kenapa OMS Harus Mengelola Pengetahuan?

By Kyutri

Kawan Lokadaya.

Berkolaborasi dengan LingkarMadani, Jejaring Lokadaya menggelar Seri Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan dengan tajuk THINGS ONLY WE KNOW!

Bersama
Eko Komara
Yayasan Penabulu

Sesi 1

Hari/Tanggal: Selasa, 14 Mei 2024
Waktu: 13.30 WIB / 14:30 WITA / 15:30 WIT

Registrasi
https://bit.ly/LMxLokadaya-KMforRM

Informasi dan Narahubung
Sekretariat Jejaring Lokadaya
Surel: secretariat@lokadaya.id
Telp/WA: 0852 1886 3131

Sampai bertemu!

Narasumber

Eko Komara

Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu

Optimalisasi Potensi Relawan TB

By Liputan Kegiatan

Jakarta (1/4/2024). Relawan biasanya tidak memiliki ikatan formal dengan sebuah lembaga dan juga mereka tidak memiliki SK dari pihak yang berwenang. Hal ini yang mendasari keberlanjutan relawan dalam sebuah program menjadi ironi, termasuk dalam program TB. Mereka dapat melakukan ghosting atau datang pergi selama berjalannya program. Tentu ini menjadi PR bersama mengenai pengelolaan atau manajemen relawan TB.

Penyampaian menarik ini terdapat dalam program Ngabuburit Ngobrol TBC.yang diadakan oleh jejaring Lokadaya. Pada pertemuan keempat ini, Lokadaya mengambil tema “Potensi dan Opsi Manajemen Relawan TB” dengan  Anggoro Budi Prasetyo, peneliti dan Direktur eksekutif Pujiono Centre, sebagai narasumber.

Mayoritas OMS yang mau tergabung menjadi relawan biasanya dalam tahap mengerjakan dan bersinggungan langsung dengan isu TB. Jadi bukan hanya didasari sebagai individu yang peduli, tetapi juga sebagai lembaga yang sedang menggarap program TB.

Program TB itu tidak serta merta membicarakan tentang kesehatan, tetapi juga ada isu pendidikan, serta isu sosial did alamnya. Nah ini merupakan bagian dari peran relawan dalam mendukung program TB. Oleh karena itu, relawan tidak harus mengerti tentang kesehatan pada kasus TB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pujiono Centre, cukup banyak pihak yang potensial menjadi relawan TB. Pihak tersebut tidak hanya berperan di dalam penanganan pasien secara langsung, tetapi dapat berperan di ranah influencer, fundraiser, edukator dan administrator.

Pihak yang berpotensi menjadi relawan terbagi menjadi dua yaitu kategori perorangan dan kategori lembaga. Dalam kategori perorangan meliputi:

– Perorangan non-struktur

– Perorangan dari organisasi

– Perangkat desa

– Petugas kesehatan

– Anggota organisasi kemasyarakatan

– Warga umum

Sementara untuk kategori lembaga/pemerintah, meliputi:

– Lembaga kemasyarakatan

– Lembaga sosial

– Lembaga khusus TB

– Lembaga pendidikan

– Lembaga pemberdayaan wanita

– Lembaga kemanusiaan

– Organisasi profesi

– Lembaga Pramuka

Anggoro menyampaikan sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang relawan TB. Selain itu, masih terdapat kerancuan konsep kader dan relawan TB. Rekomendasi yang Ia berikan adalah kita perlu mempertegas fungsi dan peran relawan dalam upaya eliminasi TB dan mengadvokasi kebijakan payung di tingkat nasional tentang peran dan fungsi relawan TB.

Pada sesi tanya jawab, terdapat pertanyaan menarik terkait fenomena hilang timbulnya relawan dalam proses berjalannya program TB. Sepertinya permasalahan ini diamini oleh banyak pelaksana program TB di Indonesia. Menurut Anggoro, dalam hal pengelolaan relawan sebaiknya kita gunakan kontrak kerja yang harus didiskusikan sejak awal. Kontrak ini bukan hanya terkait durasi kerja, tetapi juga jobdesc apa saja yang dapat dilakukan sesuai passion mereka.

Ngabuburit dengan obrolan berkualitas ini dapat kita simak secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Memanfaatkan Sosmed dengan Optimal

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/3/2024). Memang berat untuk meningkatkan pengikut (Follower) dalam sebuah akun lembaga (OMS). Masalah ini tentunya banyak dialami oleh OMS lainnya. Untuk itu kita perlu konsisten memperkenalkan diri ke publik. Selain itu, OMS dapat mencoba untuk berkolaborasi dengan orang yang terkenal (influencer) yang memiliki kesamaan visi misi terkait isu yang sedang digarap.

Kyutri Sosmed yang dihelat Jejaring Lokadaya dan Co-Evolve 2 ini mencoba mengurai permasalahan-permasalahan OMS yang berkaitan dengan sosial media. Kyutri kali ini mengambil tajuk “Kenalkan diri Anda di Dunia Maya”. Narasumber pada pertemuan kali ini ialah Tika Pamungkas seorang praktisi komunikasi pemasaran.

Di Indonesia, sekitar 60,4% populasinya merupakan pengguna aktif media sosial. Data dari We Are Social menggambarkan platform media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah Whatsapp, Instagram, Facebook, Tiktok, dan Telegram.  Data ini pun berbicara bahwa media sosial merupakan media yang cukup efektif untuk memperkenalkan diri ataupun organisasi (branding).

Seperti dalam membangun brand, kita mengawali tahapan perkenalan dari pemahaman kondisi produk. Kita wajib memahami siapa kita serta apa saja yang kita miliki. Kemudian kita ceritakan keahlian dan pengalaman kita di media sosial. Setelah itu, dengan cerita tersebut akan cocok bila didistribuksikan ke media sosial yang cocok. Hal ini dilakukan agar konten kita lebih matching dengan keinginan pasar (target audience)

Tika menyampaikan bahwa konten haruskita perlakukan seperti gift atau isinya. Saat kita membuat konten, ada beberapa bagian yang perlu diperhatikan, yaitu:

  • bagian awal berisi hook, pancingan sebagai penarik perhatian
  • bagian tengah mencakup isi pesan (pesan utama)
  • bagian akhir berisi ajakan untuk bertindak

Poin terpenting dalam membuat konten adalah penentuan problem target audience kita itu apa. Hal ini harus dipikirkan agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Poin ini tentunya juga akan meningkatkan viewers pada konten yang kita tayangkan.

Pada sesi diskusi, seorang partisipan bernama Billy bertanya mengenai asal inspirasi konten. Menurut Tika, langkah yang dilakukan untuk mendapatkan ide konten, meliputi:

  • perbanyak membaca buku
  • riset dan mengikuti trend saat ini
  • meningkatkan kapasitas diri dengan join online courses
  • sharing/diskusi dengan orang-orang yang sesuai dengan target konten kita

Diskusi selanjutnya muncul dari Heri, wakil OMS di Langkat Sumatera Utara. Heri bercerita bahwa ia membuat konten pada momen yang pas dan sesuai dengan isu yang sedang digarap OMS-nya. Contohnya, kasus yang sedang meningkat saat ini di Langkat adalah kekerasan seksual. Maka dari itu, Heri selalu membuat konten dan memberikan edukasi dan ditambah materi-materi tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).

Pada dasarnya Media Sosial berguna menciptakan seseorang atau organisasi agar lebih dikenal publik. Tak dipungkiri akan ada kendala di lapangan, seperti sedikitnya viewers dan followers serta kendala algoritma, namun kita harus tetap konsisten dalam membuat konten yang berkualitas (bukan seadanya).

Selain itu, kita dapat memasang strategi dalam membangun konten yang akan kita tayangkan. Strategi lain yang tak kalah penting adalah bagaimana kita mengatasi komentar negatif ataupun protes terkait konten sensitif. Jadi bila strategi telah dipersiapkan dengan matang, maka konten tentunya akan berjalan lebih baik. Dampak langsung yang akan dirasakan bila konten kita berkualitas adalah engagement positif dari netizen dan berujung pada banyak oendengar, penonton, dan follower pada akun kita.

Diskusi ini dapat anda simak dan teliti secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

 

Mempertegas Posisi dan Peran Kader TB

By Liputan Kegiatan

Jakarta (27/3/2024) Belum ada pedoman khusus yang mengatur posisi kader TB, tak seperti kader program pendahulunya, yaitu kader Posyandu di tahun 1984, kader Malaria dalam Permenkes 41/2018 dan kader stunting tahun 2018, kata Basilica Dyah dan Amin Nurrohmah (Peneliti di Pujiono Centre) saat menjadi narasumber  program Ngabuburit ngobrol TBC (Menjadi Indonesia) yang dihelat oleh jejaring Lokadaya. Pertemuan ini merupakan seri ketiga yang bertajuk  “Jejaring dan Opsi Pelembagaan Kader TBC di Indonesia.”

Dalam RPJM 2020-2024, terdapat gerakan TOSS TB yang sampai saat ini sudah berjalan cukup baik. program ini merupakan program percepatan penanggulangan TBC dengan skema pendanaan Global Fund. Walaupun demikian, ada ketakutan dari para kader yang mana program Global Fund ini akan segera berakhir. Mereka mengkhawatirkan kelanjutan program Global fund (eliminasi TB) di tahun-tahun selanjutnya.

Menjadi kader TB selain perlu jiwa sukarelawan yang tinggi, juga perlu kesadaran yang sempurna akan pentingnya eliminasi TB di Indonesia. Terlepas dari risiko terpapar yang tinggi, ada beberapa tantangan teknis yang dihadapi para kader di lapangan.  Temuan Pujiono Centre saat melakukan survey pada para kader TB, beberapa kendala di lapangan itu seperti tidak digunakannya perangkat digital saat mengisi data TB. Padahal data Global Fund yang harus diisi itu berbentuk kolom kecil, yang mana mereka merasa kesusahan. Kendala lain saat menjadi kader TB adalah adanya penolakan dari pasien TB karena stigma negatif yang melekat. Selain itu ketidakberlanjutan insentif untuk kader TB juga mengundang kekhawatiran.

Menurut Amin, secara strata pendidikan para kader dapat dibilang cukup rendah. Hal ini dikarenakan sebagian besar kader lulus dari bangku SMP dan SMA, hanya sedikit yang lulusan sarjana. Walaupun demikian, kader telah diberikan pelatihan khusus untuk melayani masyarakat dan juga diberikan insentif walaupun terbatas. “Di Indonesia, dari pengertian kader saja sudah rancu, siapa yang disebut kader, siapa yang disebut relawan itu tidak jelas, karena basisnya sama-sama kerelawanan”, tambah Basilica dyah.

Di balik kerancuan tersebut, para kader memberikan rekomendasi untuk mempertegas fungsi dan peran kader serta relawan dalam upaya eliminasi TB. Selain itu penting untuk mengadvokasi kebijakan payung di tingkat nasional (Kemenkes) yang mengatur tentang peran dan fungsi kader TB.

Selain kerancuan di atas, terdapat dualisme posisi Kader TB di sistem kesehatan masyarakat Indonesia yang cukup membingungkan. Di pemerintahan, jejaring TB berada di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan program penanggulangan TBC melalui Direktorat pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung (P2PML). Mereka melibatkan kader kesehatan terlatih yang bekerja di Puskesmas.

Sedangkan posisi kader TB Non pemerintah berada di bawah koodinasi konsorsium komunitas Penabulu-STPI. Pada  tahun 2022 tercatat sekitar 1900 kader TBC di bawah konsorsium STPI-Penabulu. Mereka melibatkan kader posyandu dan kader TB Aisyiyah serta Muhammadiyah. Kader TB dari organisasi keagamaan ini telah terlebih dahulu melakukan pendampingan sebelum Global Fund turun tangan.

Berdasarkan data penelitian Pujiono Centre, dari total responden 1891, ada 1689 responden yang bukan penyintas TB (belum pernah terinfeksi TB). Artinya ini kabar baik, mayoritas kader sudah memiliki kesadaran bahwa ketika menjadi kader TB belum tentu kita dengan mudah tertular TB. Fakta ini dapat dijadikan senjata pada saat perekrutan kader baru, agar mereka tidak ragu-ragu dan semakin yakin untuk bergabung dalam jejaring kader TB.

Pemaparan menarik ini dapat dilihat menyeluruh di kanal youtube Lokadaya.(*ari)

Media Sosial: Kenalkan Diri Anda di Dunia Maya

By Kyutri

Dalam era digital yang terus berkembang, media sosial telah menjadi salah satu aspek yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Di era di mana teknologi informasi merajai, platform-platform media sosial seperti Facebook, Instagram, X, Tiktok, dan berbagai lainnya telah menjadi pusat interaksi, komunikasi, dan pertukaran informasi. Dengan jutaan pengguna yang terhubung secara online setiap hari, media sosial tidak hanya menjadi alat untuk bersosisalisasi, tetapi menjadi wadah bagi individu dan bisnis untuk mengembangkan diri, mempromosikan merek, dan bahkan membangun komunitas.

Meskipun media sosial menawarkan peluang yang luas, keberhasilan dalam memanfaatkannya tidak datang dengan sendirinya. Sebaliknya, diperlukan upaya yang terarah dan strategis untuk mencapai hasil yang diinginkan. Di tengah persaingan yang semakin ketat dan dinamika yang terus berubah, adaptasi dan inovasi menjadi krusial untuk tetap relevan dan berhasil di media sosial.

Sebenarnya apa daya tarik utama yang membuat media sosial masif digunakan? Bagaimana agar sebuah media sosial memberikan manfaat? Bagaimana membangun media sosial agar sesuai dengan tujuan? Bagaimana menciptakan konten yang relevan dan menarik? Apakah cara yang selama ini dilakukan sudah sesuai? Mari cari tahu bersama jawabannya dalam kegiatan KYUTRI, Media Sosial: Kenalkan Diri Anda di Dunia Maya.

Jadwal
Kamis 28 Maret 2024, pukul 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WIT

Narahubung:
Sekretariat Jejaring Lokadaya, email secretariat@lokadaya.id, Telp 0852-1886-3131 (Whatsapp tersedia)

Narasumber

Tika Pamungkas

Brand and Communication Strategist

Peran CSO Dalam Penanganan TB di Tempat Kerja

By Liputan Kegiatan

Jakarta (25/3/2024) Tidak dipungkiri memang  advokasi, sosialisasi, dan edukasi tentang ketenagakerjaan membutuhkan perjuangan. Baru soal aturan main dan etika perundangan saja, sudah banyak perkara yang kita hadapi, apalagi bila ditambah soal-soal kasuistik seperti TB yang diidap tenaga kerja.

“Menggagas pelibatan Civil Society Organization (CSO) dan Korporasi untuk Penanggulangan TBC di tempat Kerja” tema kedua Ngabuburit Ngobrol TBC menjadi relevan untuk diperbincangkan dan didiskusikan bersama. Program ini sendiri merupakan program Menjadi Indonesia yang dimotori oleh jejaring Lokadaya

Dari perspektif hukum kesehatan, CSO harus berkonsentrasi pada hak pekerja, buruh/pekerja adalah populasi kunci yang beresiko terpapar TB. Menurut Anom surya Putra dari jarkom Desa, hal ini dipicu oleh banyak tempat kerja yang tidak layak.

Pada tahun 2022 penanggulangan TB di tempat kerja telah dilegitimasi Kementerian Tenaga Kerja Indonesia. Terdapat satu aturan spesifik yang berusaha menyatukan hal-hal yang perlu ditangani korporasi, Dinas Kesehatan maupun aparat pemerintah lainnya. Aturan tersebut telah tertuang dalam Permenaker No. 13 Tahun 2022 tentang penanggulangan TB di tempat kerja. Terdapat sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi Permenaker, yaitu mendapatkan teguran tertulis, dibatasi kegiatan usahanya, bahkan dicabut ijin usahanya.

Secara global, WHO dan ILO (organisasi ketenagakerjaan Internasional) ditahun 2010 telah mengembangkan strategi penanggulangan TB di tempat kerja. Uji coba dilakukan secara luar biasa di daerah epidemi HIV-AIDS dan TB di negara miskin dan berkembang. Selain itu, ILO telah mengeluarkan panduan untuk berbagai tindakan pengendalian TB di tempat kerja (Guidelines for workplace control activities). Perlu diketahui bahwa epidemi HIV AIDS telah memicu peningkatan TB karena orang dengan sistem kekebalan lemah sangat rentan terinfeksi TB.

“Jika kita membaca dokumen Kemenkes, disitu ada suatu komitmen kolaborasi antar Dinkes kabupaten/kota dengan perusahaan multinasional untuk tatalaksana TBC sesuai standar”, ujar Anom. Untuk itu, teman-teman CSO dapat masuk dibagian tersebut. Hal ini dilakukan agar CSO dapat berdiskusi dengan korporasi dan juga Dinkes tentang komitmen penyusunan aturan tertulis secara spesifik mengenai penanganan TB di tempat kerja.

Pada pembahasan sebelumnya, kita mengidentifikasi cara penemuan kasus TB di tempat kerja, yaitu:

  • melakukan pemeriksaan kesehatan di awal penerimaan pekerja dan wajib dilakukan berkala.
  • pengurus perusahaan melakukan tes sukarela dan dilakukan melalui proses konseling terlebih dahulu melalui VCT (Voluntary Counseling and Testing).
  • melakukan investigasi dan pemeriksaan kasus kontak erat. Ini dapat dilakukan dengan pengadaan Tes Cepat Molekuler (TCM) yang dapat dilaksanakan bersama kegiatan donor darah.

Penanganan kasus TB di tempat kerja meliputi pemberian istirahat sakit, pemantauan kepatuhan minum obat, dan pantauan tentang kemajuan kesehatan pekerja TB tersebut. Selain itu, rehabilitasi juga penting dilakukan perusahan seperti menyediakan fasilitas olahraga dan dukungan konseling. Selanjutnya adalah penilaian kelaikan kerja, yang mana perusahaan melakukan penilaian return to work .Penilaian ini akan lebih baik bila manajemen berkolaborasi dengan dokter spesialis.

Salah satu praktik baik yang dapat dicontoh adalah dari salah satu perusahaan air minum di Sukabumi. Pada Maret 2023 perusahaan ini mengundang Dinkes untuk memberikan sosialisasi tentang TB dan HIV AIDS. Acara ini juga ditayangkan secara live streaming dan juga diikuti oleh seluruh pekerja di semua cabang perusahaan tersebut.

Diskusi berbobot ini dapat disimak secara lengkap dikanal youtube Lokadaya. (*ari)

Praktik Baik Kader TB Dalam Eliminasi Tingkat Desa

By Liputan Kegiatan

Jakarta (18/3/2024) TIdak banyak yang menyadari, sebenarnya wabah TB masih dab sedang mengintai warga kita baik di desa maupun di kota. Kita perlu melakukan tindakan nyata untuk mengeliminasi TB, baik mulai dari diri sendiri maupun ke skala yang lebih besar.

Dewasa ini, Puskesmas selalu diundang dan dilibatkan saat pelaksanaan Musrenbang Desa. Tindakan selanjutnya yang perlu dilakukan ialah sinkronisasi data puskesmas dengan data TB di lapangan. Selain itu, puskesmas juga harus memprioritaskan TB dalam program kerjanya, tidak hanya melulu soal Stunting dan sanitasi saja. Diskusi menarik muncul saat Jejaring Lokadaya mengadakan program “Ngabuburit Ngobrol TBC”. Program ini bernaung di bawah Menjadi Indonesia yang diadakan pada pukul 15.30 WIB sembari menunggu buka puasa. Pada sesi pertama ini, Ngabuburit Ngobrol TBC mengambil tema “Bagaimana Desa Menjadi Faktor Eliminasi TB. Narasumber kali ini ialah Iskandar Eks Direktur Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang.

Desa memiliki peran penting dalam upaya membangun transformasi sosial di Indonesia. Fakta ini terjadi sejak jaman Mataram sampai dengan Indonesia modern saat ini, baik dalam resistensi maupun revitalisasi. Peran utama desa di sektor kesehatan adalah dengan ikut dalam faktor determinan percepatan eliminasi penyakit menular, khususnya TBC. Desa harus menjadi garda terdepan dalam eliminasi TB sehingga target eliminasi TB akan segera tercapai.

Sebelum ada peraturan dari Kementerian Desa, para periset dan kader mengadvokasi serta mendorong suatu kebijakan nyata dalam penanggulangan TB di tingkat desa. Akhirnya, munculah Permendes prioritas penggunaan Dana Desa 2023 guna penanggulangan TB. Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi masyarakat desa agar segera terbebas dari TB.

Menurut Iskandar, tantangan terbesar adalah menjaga proses pembiayaan eliminasi TB ini tetap berkelanjutan setiap tahun. Untuk itu, kita perlu selalu mengawal dan mengadvokasi anggaran tersebut. Kita selaku OMS/LSM, perlu mempertajam kemampuan dalam melobi dan bernegosisasi melawan banyak kepentingan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperjuangkan anggaran eliminasi TB tersebut.

Seorang peserta, Amri Jaya dari  Rejang Lebong Bengkulu menceritakan tentang penanggulangan TB di Desanya. Pada saat memberikan pendampingan ke masyarakat, ternyata di lapangan sudah ada program TBC di dalam SID (Sistem Informasi Desa). Akan tetapi tidak berjalan lancar karena regulasi yang ada. “Para Kades ini tidak berani dan bingung mau menganggarkan ke mana”. Ujar Amri

Akhirnya kader berinisiatif melakukan pembagian PMT (Pemberian Makanan Tambahan) dan melakukan penyuluhan di setiap kegiatan desa. Praktik baik lain yang dapat ditiru adalah apabila ditemukan kasus TB di Rejang lebong, maka satu rumah harus melakukan cek TB semua, lalu kader membantu dan mengusahakan para pasien mendapatkan Bansos ataupun BLT Desa.

Salah satu peserta lain, Ajat, menyayangkan adanya disparitas yang cukup tinggi antara pedesaan dan perkotaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025. Hal ini dapat dilihat perbedaan jumlah kemiskinan, sarana prasarana, dan permasalahan sosialnya. Bagi Ajat, membentuk kemandirian Desa dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia itu lebih realistis. Pada tahun 2015, Ajat dan teman-teman Kader membentuk satu kelompok peduli TB di dua kecamatan Cirebon, tanpa bantuan dan dukungan dari APBD sama sekali. Ia mengklaim bahwa kelompok ini dapat dijadikan role model. Hal ini mereka lakukan dalam rangka berkonsentrasi pada kemandirian masyarakat khususnya pasien TB. Kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan membuat kue dan pemanfataan barang bekas menjadi lebih berguna.

Sharing praktik baik dari beberapa desa dan keseluruhan diskursus ini dapat ditonton secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Pentingnya Siklus Manajemen Relawan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (14/3/2024). Perlu disepakati bahwa program relawan adalah program tanggung jawab bersama (seluruh personel organisasi). Dari bagian programming, keuangan bahkan direktur pun harus mengetahui program relawan ini. Semua harus paham dan menghargai relawan tentunya. Jangan sampai tercipta kondisi emosional yang acuh tak acuh terhadap relawan. Hal ini akan berdampak pada rasa ketidaknyamanan dan akhirnya relawan tersebut enggan membantu lagi.

Begitulah isu pembuka yang dikemukakan M Suhud Ridwan (Penabulu) pada di seri 3 jam kelas berbagi, Kyutri. Mengelola Relawan sebagai sumber daya organisasi merupakan tajuk program Kyutri pada pertemuan kedua kali ini.

Kerelawanan itu berarti sikap, bukan sebuah profesi, dan bukan sebuah pelarian. Perlu dipahami bersama bahwa siapapun dapat menjadi seorang relawan. Pada dasarnya setiap orang mempunyai potensi, kapasitas dan kemampuan. Potensi ini yang akan digunakan untuk mendukung kelancaran sebuah program.

“Kalau kita berbicara mengenai konteks mengelola relawan, itu berarti seni mengelola orang-orang di dalamnya. Bisa jadi fenomena keluar masuknya relawan itu karena ndak ada yang ngopeni (merawat dan memerhatikan), relawan tidak dianggap sebagai mitra tapi dianggap seperti pesuruh,” kata Bang Suhud.

Dalam pengalaman Bang Suhud, yang mengikat relawan dengan organisasi adalah sebuah isu, kasus atau fenomena yang sedang dihadapi. Selain itu, adanya visi misi yang sama, akan membuat relawan tergerak untuk bergabung suka-rela membantu program OMS yang sedang ditangani. Setelahnya OMS sebaiknya tidak menyianyiakan potensi-potensi yang dimiliki relawan, dan mulai menaruh perhatian khusus untuk merawat dan mengoptimalkan keberadaan relawan. Tentu hal ini harus dimulai dengan manajemen relawan.

Siklus manajemen relawan terbagi menjadi lima, yaitu: Job design atau planning, rekrutmen dan seleksi, orientasi dan training, monitoring dan recognition. Bagian yang pertama adalah job design (planning). Tahap ini meliputi pertanyaan mengapa kita memerlukan relawan, kapasitas relawan yang dibutuhkan, dan masih banyak lagi. OMS harus paham betul tentang kenapa organisasinya memerlukan relawan. Hal ini akan dijadikan sebagai landasan sebuah organisasi dalam mengelola relawan.

Sebelum melakukan perekrutan relawan, OMS harus memastikan

  • adanya dukungan dari dewan pengurus dan pimpinan
  • situasi organisasi (keuangan, ruangan untuk relawan, emosi organisasi)
  • harus ada koordinator relawan
  • deskripsi jobdesc relawan

Setelah memastikan hal tersebut, kita bisa berlanjut ke tahap rekrutmen dan seleksi. Tahapan ini meliputi publikasi atau promosi, pendaftaran dan wawancara. Proses wawancara harus mencakup persoalan motivasi seseorang menjadi relawan, ketersediaan waktu untuk bekerja dan keahlian yang dimiliki.

Orientasi dan training merupakan tahapan ketiga pada siklus manajemen relawan. Ditahap ini OMS akan memperkenalkan kinerja dan visi misi organisasinya. Selain itu, tahap ini menjadi peluang untuk mendorong rasa memliki dan bertanggung jawab terhadap isu yang diusung OMS tersebut.

Lalu, tahap monitoring adalah tahapan yang meliputi pemantauan tugas relawan. Selain itu di proses ini harus ada penguatan dan motivasi terhadap relawan. Ditambah lagi, perlu dilakukan pemantauan beban kerja relawan. “Jangan sampai tugas (tupoksi) staff dikerjakan oleh relawan. Ini jelas akan menyebabkan gesekan dan ketidaknyamanan” ujar Bang Suhud.

selanjutnya, ucapan terimakasih adalah sebuah bentuk pengakuan yang paling dinantikan. Pengakuan atau recognition ini merupakan tahan terakhir dalam siklus manajemen relawan. Selain itu pada tahap recognition ini OMS perlu memastikan relawan mendapatkan peningkatan kapasitas diri.

Kunjungi  kanal Youtube Lokadaya untuk mengikuti dokumentasi Kyutri ini secara lengkap.(*ari)

 

Mengelola Relawan sebagai Sumber Daya Organisasi

By Kyutri

Masyarakat sipil yang kuat dapat dipastikan memiliki tingkat kerelawanan yang tinggi. Sebagai contoh Amerika, United Kingdom, Kanada dan Belanda yang secara umum telah dikenal sebagai negara yang sangat mengutamakan kerelawanan dan kerelawanan telah menjadi bagian gaya hidup masyarakat.

Seiring dengan menjamurnya organisasi masyarakat sipil di Indonesia paska-reformasi dan rentetan bencana alam serta kerusuhan yang kuantitasnya lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, semangat kerelawan dan solidaritas di Indonesia nampak semakin menonjol. Prof Mitsua Nakamura, peneliti di Universitas Harvard mengatakan bahwa meningkatnya kerelawanan dan solidaritas kemanusiaan di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan partisipasi aktif masyarakat sipil. Pertumbuhan tersebut harus dipertahankan bahkan diperkuat agar semangat solidaritas kemanusiaan dan kerelawanan di masyarakat Indonesia tidak hilang.

Hampir semua organisasi masyrakat sipil membutuhkan relawan. Sayangnya, banyak organisasi yang hanya melibatkan relawan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat incidental saja, belum mensinergikan relawan dalam struktur organisasi sebagai bagian penting organisasi yang juga memiliki peranan penting untuk mencapai visi dan misi organisasi serta untuk keberlanjutan organisasi itu sendiri.

Potensi kerelawanan masih digunakan sebatas untuk menanggulangi berbagai masalah yang diakibatkan bencana alam dan penyakit, belum disinergikan untuk mengatasi berbagai masalah sosial secara lebih strategis. Relawan yang tidak dikelola dengan baik akan membuat organisasi kehilangan media kampanye yang efektif dan modal sosial yang sangat mahal yang membuat organisasi kehilangan dukungan publik dalam memperluas gerakan sosial.

Oleh karena itu, peranan relawan perlu dipandang sebagai salah satu sumber daya organisasi yang perlu dikelola secara profesional dimana adanya sistem pendekatan manajemen relawan. Dengan adanya sistem manajemen relawan yang baik, maka peran dan fungsi relawan akan dapat menjadi optimal dan akhirnya dapat membantu organisasi dalam mencapai visi dan misinya.

Jadwal
Sesi 1: Kamis 14 Maret 2024, pukul 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WIT

Narahubung:
Sekretariat Jejaring Lokadaya, email secretariat@lokadaya.id, Telp 0852-1886-3131 (Whatsapp tersedia)

Narasumber

M Suhud Ridwan