Skip to main content

Jakarta (18/11) — Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Tematik V tentang Mitigasi Kerawanan Sosial dan Ekonomi ini diadakan pada Jum’at (17/11) melalui Zoom Meeting.

Penjarahan kerap terjadi pada saat bencana atau kondisi krisis—salah satunya pada bencana alam gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah, 2018 silam. Muncul berita bahwa Menteri Dalam Negeri saat itu sempat menyatakan memberi izin kepada masyarakat untuk melakukan pengambilan kebutuhan dasar di beberapa supermarket yang nantinya akan ditanggung negara. Meski pada akhirnya Kementerian Dalam Negeri meralat pernyataan tersebut, situasi lapangan sudah kacau.

Penjarahan yang terjadi seperti di Palu saat itu disebabkan oleh kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi karena terjadi bencana atau konflik. Menurut Fransiskus Asisi Sukoeksi Widanto dari Pujiono Centre situasi tersebut mengakibatkan kerawanan sosial dan kerawanan ekonomi.

“Paradigma penanggulangan bencana kita lebih kuat di dimensi tanggap daruratnya. Sehingga kita tidak terlalu peduli dengan upaya-upaya penanganan bencana alam. Pada waktu itu ada kejadian, orang baru melakukan tindakan. Sehingga seperti tambal sulam, setiap ada masalah diperbaiki tapi secara komprehensif tidak tersistematisasikan,” kata Asisi.

Maka merencanakan respon kemanusiaan dari hulu ke hilir menjadi penting. Hulu adalah para pihak yang memiliki kepedulian, empati, solidaritas untuk memberikan bantuan, baik material dan nonmaterial. Sementara itu hilir merujuk kepada penerima manfaat.

Pada praktek respon kemanusiaan, pihak hulu perlu menerapkan prinsip-prinsip yang ada. Lebih lanjut, Asisi menjabarkan enam prinsip tersebut, antara lain penggiat kemanusiaan, bahan yang dibawa, alat yang digunakan, dan cara, waktu, dan lokasi menyampaikan. Asisi menekankan praktek ini harus sesuai dengan keadaan atau bisa diterima oleh penerima manfaat.

“Misalnya kita punya bantuan yang tepat sesuai dengan kebutuhan tapi kalau caranya nggak pas juga nggak akan diterima. Kita punya bahan yang bisa diberikan tapi nggak punya alat untuk membawanya itu juga masalah,” ujarnya.

Individu atau lembaga pelaku respon kemanusiaan perlu melakukan asesmen dan kajian awal sebelumnya untuk mendapat gambaran kondisi lapangan dan bantuan apa yang bisa disampaikan dengan tepat. Kemudian kajian risiko dalam pemberian bantuan juga menjadi penting untuk menentukan strategi dalam antisipasi keadaan darurat dan merencanakan pemulihan pasca kegagalan atau masalah respon kemanusiaan.

“Evaluasi dan pembelajaran dari praktek respon kemanusiaan digunakan untuk merencanakan respon kemanusiaan yang lebih baik di masa depan.”