Skip to main content
Category

Liputan Kegiatan

PSEA Mengeskalasi Kredibilitas OMS

By Liputan Kegiatan

Jakarta (22/11/2024). Penting bagi OMS untuk terus merawat dan meningkatkan kredibilitasnya, salah satu usaha rasional adalah mencegah dan meminimalisir adanya kasus di lingkungan masing-masing. Termasuk kasus pelecehan dan eksploitasi seksual.

Beberapa kasus pelecehan dan eksploitasi seksual di ekosistem OMS tercatat muncul dalam kerja-kerja kemanusiaan. Potensi terjadinya kasus dapat muncul dari adanya relasi kuasa antara dan pekerja (staf) OMS dan penerima manfaat, terutama wanita dan anak-anak.

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Ahmad Hidayat selaku Direktur Utama PKBI Nusa Tenggara Barat, saat diminta membagikan ilmunya pada program Kyutri dengan tajuk “Menciptakan Ruang Aman Bebas Eksploitasi dan Pelecehan Seksual”. Program 3 jam kelas berbagi ini adalah kerjasama antara Co-Evolve, Lokadaya, dan Lingkar 9.

PBB dan organisasi internasional merespons banyaknya kasus pelecehan dan eksploitasi seksual dengan PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse) sebagai standar etika baru di lingkungan OMS. Hal ini terpantik dari tahun 2002 saat banyak laporan eksploitasi seksual di sektor kemanusiaan, khususnya di Afrika Barat. Berdasarkan investigasi, pelecehan dan eksploitasi justru banyak terjadi di internal pekerja kemanusiaan, juga para penerima manfaat kerja kemanusiaan.

Definisi PSEA sendiri terdiri dari 2 komponen yaitu eksploitasi dan pelecehan seksual. Bahkan di UNICEF ditambahkan satu komponen lagi yaitu perlakuan salah seksual pada anak-anak. Prinsip dasar PSEA adalah akuntabilitas penuh dari semua pihak yang terlibat tidak hanya lembaga atau pihak yang diadukan. Semua tahap harus  jelas mulai dari pelaporan, mekanisme, proses investigasinya, dan masih banyak lagi. Selain itu, OMS harus menjamin keamanan pelapor agar tidak ada tindakan balasan dari yang dilaporkan.

Selain itu, mekanisme pelaporan juga harus diatur. Pertama, OMS wajib menyediakan saluran yang aman untuk pengaduan (hotline, email rahasia). Kedua, jaminan kerahasiaan dan perlindungan terhadap pelapor. Hal yang juga tak kalah penting adalah memastikan semua staff berani lapor jika ada tindakan pelecehan ataupun eksploitasi. Tentu ini wajib, walaupun belum cukup bukti karena ada tim investigasi yang akan mencari bukti tersebut. Dayat khawatir jika tindakan seksual ini didiamkan justru akan berimplikasi buruk pada korban.

Semua staff harus diedukasi secara memadahi tentang kode etik di lingkungannya. Materi pelatihannya meliputi etika kerja dalam organisasi kemanusiaan dan cara menangani laporan PSEA dengan sensitif.

Menurut Dayat, komitmen bersama yang harus ditanamkan pada diri masing-masing meliputi:

  • melindungi penerima manfaat, staff dan komunitas
  • merevisi kebijakan organisasi
  • mengevaluasi mekanisme pelaporan
  • menyerukan untuk bertindak, bahwa PSEA bukan hanya kebijakan , tetapi tanggung jawab moral masing-masing.

Di sesi tanya jawab terdapat pertanyaan mengenai grooming. Isu ini seperti kasus seorang staf yang melakukan grooming terhadap anak penerima manfaat saat menjalankan tugas. Grooming adalah manipulasi psikologis yang tujuannya agar si calon korban percaya kepada pelaku. Grooming ini masuk dalam lingkup PSEA dan masuk kategori perlakuan salah seksual di UNICEF. Dayat menambahkan  bahwa Grooming merupakan siklus eksploitasi seksual karena menjadi langkah awal terjadinya eksploitasi ataupun pelecehan seksual. Grooming masuk dalam hukum positif eksploitasi non fisik, namun  sayangnya untuk membuktikannya pun tidak mudah.

Sebagai pernyataan pamungkas, Dayat menjelaskan alasan mengapa lembaga yang ingin mengajukan hibah kepada donor harus melengkapi SOP PSEA. Persyaratan ini wajib dilakukan walaupun tidak semua lembaga mengangkat isu wanita dan anak. Hal ini karena kelompok penerima manfaat kebanyakan masyarakat rentan yang beresiko mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan terkait pelecehan seksual.

Kyutri seri PSEA ini dapat diakses secara menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya.(*ari)

Indikator Kunci Penilaian PSEA

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/11/2024). Jika ada lembaga terindikasi terjadi pelecehan dan ekploitasi seksual, maka lembaga tersebut harus menangani hal tersebut dengan serius. Hal ini berlaku juga walau pelecehan dan eksploitasi seksual itu hanya sebatas dugaan saja. Lembaga yang abai akan isu ini akan dicap sebagai lembaga yang beresiko tinggi terjadinya SEA (sexual abuse and exploitation). Walaupun pelecehan dan eksploitasi seksualnya dianggap hanya bersifat dugaan atau tidak cukup bukti, tetapi aksi abai ini akan berdampak buruk bagi lembaga dari sisi akuntabilitas organisasi.

Serial Akuntabilitas OMS masuk pada ranah Perangkat penilaian PSEA (adaptasi tools dari UNICEF). Sebelum sesi 2 dimulai, Narasumber Ahmad Hidayat (PKBI Mataram) mengajak meninjau kembali materi pada pertemuan sebelumnya, terkait pentingnya OMS menerapkan kebijakan PSEA, serta tindakan pencegahan bila terjadi eksploitasi dan pelecehan seksual di lingkungan organisasi.

Gambaran umum perangkat penilaian PSEA meliputi zero tolerance, tidak ada toleransi untuk semua bentuk pelecehan, eksploitasi dan tindak salah seksual (UNICEF), akuntabel, transparan, aksesibel, aman tanpa mendapat tindakan balasan, rahasia terjaga, dan aksi korektif (ada proses review dari hal yang telah dilakukan.

Sedangkan inti pembahasan dalam sesi PSEA sesi 2 ini adalah penjabaran ruang lingkup PSEA. Terdapat 8 indikator kunci yang telah dijelaskan Ahmad Hidayat, yaitu meliputi:

  • Komitmen organisasi, hal ini dapat ditunjukan dengan adanya kebijakan prinsip PSEA di sebuah organisasi. Kebijakan ini harus memuat definisi eksploitasi dan pelecehan seksual yang dituangkan dalam kode etik organisasi.
  • Manajemen organisasi, Kewajiban bagi semua staf termasuk volunteer untuk mencegah dan melaporkan terjadinya SEA (sexual exploitation and abuse) harus dituliskan dalam kontrak kerja.
  • Ketenagakerjaan, Indikator ini lebih pada proses bagaimana OMS melakukan seleksi/ recruitment yang aman, perlu check referensi (google history) apakah yang bersangkutan pernah tersangkut kasus SEA.
  • Pelatihan wajib, Bagian ini yang biasa akan dilihat pemberi donor, apakah lembaga tersebut memiliki pelatihan PSEA wajib reguler. Materi pelatihan memuat definisi, larangan, kewajiban lapor, dan kanal aduan. Setelah mengikuti pelatihan ini, para staf dapat diberikan sertifikat pelatihan sebagai bukti telah mendapatkan materi PSEA.
  • Pelaporan, Hal ini terkait mekanisme internal (jalur untuk melapor), mekanisme antar lembaga (lembaga lain dan pemerintah), serta kanal pelaporan. Pelaporan erat kaitannya dengan umpan balik. “Jadi kalau sudah mendapat laporan, jangan diem aja, tindakannya apa? progressnya gimana?” ujar Dayat. Apalagi OMS yang bekerja bersama donor, sebaiknya melaporkan kepada pemberi donor apa yang terjadi apalagi bila membutuhkan asistensi. OMS tidak perlu khawatir akan dicap negatif oleh pemberi donor, justru mereka akan melabeli kita sebagai OMS yang akuntabel karena selalu gercep (gerak cepat) merespons laporan.
  • Bantuan dan rujukan, Perlu dipastikan semua penyintas wajib ditampung oleh lembaga tersebut, untuk itu kita butuh berjejaring agar dapat memetakan siapa saja yang bisa membantu sesuai kebutuhan penyintas. Ketika sudah tertampung, kita butuh daftar layanan kemana rujukan selanjutnya (kesehatan, bantuan hukum, materi dasar dan keamanan). “Hampir tidak bisa semua aspek ini disediakan oleh satu OMS/ lembaga, untuk itu kita butuh berjejaring” imbuh Dayat. Alur rujukan harus memastikan kebutuhan dasar penyintas terlebih dahulu, misalnya kesehatan, setelah itu barulah berlanjut ke bantuan hukum dan sebagainya.
  • Investigasi, OMS perlu melihat lembaga internalnya, apakah mempunyai tenaga investigator. Perlu diperhatikan juga, ada tidaknya konflik kepentingan yang beresiko meperdalam trauma korban. Misalkan terduga pelaku dari lembaga kita, berjenis kelamin laki-laki, investigatornya juga laki-laki dan berasal dari staff lembaga yang sama juga. Hal ini justru akan membuat korban semakin trauma, maka perlu berhati-hati.
  • Aksi korektif, indikator ini merupakan standar inti yang wajib ada di sebuah organisasi. Hal ini berguna untuk mengungkap adanya tuduhan atau laporan dugaan ekploitasi dan pelecehan. Aksi korektif harus dilakukan semua orang termasuk mitra, donor juga penerima manfaat. Koreksi ini mencakup riwayat tuduhan yang pernah terjadi, tindakan yang dilakukan dan upaya perbaikan mekanisme ke depan.

Tentu penerapan indikator kunci ini tak bisa instan dilakukan oleh organisasi dan lembaga, namun sebagai standar baku hal ini harus mulai dikerjakan, hingga nanti bisa menjadi budaya yang baik bagi sebuah organisasi dalam lingkup kecil, dan masyarakat umum dalam lingkup yang lebih besar.

Detail mengenai perangkat penilaian PSEA ini dapat dilihat secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Sekali Terkembang Pantang Surut ke Belakang, Organisasi Masyarakat Sipil Gas Pol Raih Benifit

By Liputan Kegiatan

“Diskusi virtual ‘Gerak Gesit Raih Benefit’ mengungkap strategi baru bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk bertahan dan berkembang di tengah tantangan yang terus berubah”

Di tengah ketergantungan terhadap donor, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) harus menguasai seni mengelola aset dan kapasitasnya untuk tetap berdaya dan relevan. Pada Jumat (08/11), Jejaring Lokadaya Nusantara kembali menggelar diskusi Seri IV bertajuk “Gerak Gesit Raih Benefit” melalui platform Zoom. Acara ini menghadirkan dua narasumber utama: Kangsure Suroto dari Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) dan Frans Toegimin dari Yayasan SPEAK Indonesia. Diskusi ini diikuti oleh sekitar 50 peserta dari berbagai OMS di Indonesia. Para peserta antusias mendengarkan berbagai strategi dan praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya organisasi yang dibahas oleh para pakar.

Kangsure Suroto membuka diskusi dengan memaparkan materi berjudul “Praktik Pengelolaan Sumber Daya Organisasi”. Ia menyoroti data terkini yang menunjukkan jumlah OMS di Indonesia mencapai 560.510 per Oktober 2023. “Ini menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dengan rata-rata bertambah 50 hingga 100 organisasi baru setiap harinya,” ungkap Kangsure. Dari jumlah tersebut, 1.821 terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, 46 organisasi asing di Kementerian Luar Negeri, dan 558.643 berbadan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 219.149 perkumpulan dan 339.494 yayasan.

Hasil penilaian CSOSI yang diuraikan Kangsure menunjukkan evaluasi Indeks Keberlanjutan OMS di Indonesia. Skor Lingkungan Hukum mencapai 4,8, menunjukkan keberlanjutan yang berkembang. “Hal ini menunjukkan adanya kemajuan, meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi,” tambahnya. Kapasitas Organisasi memiliki skor 3,7, sementara Kemampuan Finansial memperoleh 4,5. Dengan skor rata-rata 3,9, Kangsure menekankan pentingnya strategi pengelolaan sumber daya yang efektif untuk mencapai tujuan organisasi.

Dalam paparannya, Kangsure menjelaskan strategi bagaimana Yayasan Satu Karsa Karya mengelola sumber daya; khususnya memfokuskan pada rana “dana” dan “sumber daya manusia”. “Yang ini saya fokuskan adalah dua fungsi utama: mobilisasi sumber dana dan pengelolaan dana,” jelasnya. YSKK menggalang dana melalui kegiatan konvensional, pemberian jasa layanan konsultansi, dan mengintegrasikan kewirausahaan sosial dalam program-programnya. Selain itu, YSKK menerapkan peraturan dan SOP terkait sistem penggajian serta akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.

Pengelolaan sumber daya manusia di YSKK melibatkan aspek kerelawanan, aktivisme, dan profesionalisme. “Kami memperhatikan kesejahteraan karyawan dengan memberikan penghargaan masa kerja, jaminan kesehatan, dan dana pensiun,” kata Kangsure. Keterbukaan informasi, termasuk keuangan organisasi, menjadi cara untuk membangun kepercayaan antara staf dan organisasi.

Frans Toegimin memberikan perspektifnya dengan menekankan pentingnya SOP dalam mengatur kontribusi staf dan transparansi keuangan. “Jika kita transparan dalam aspek keuangan, baik pihak dalam maupun luar akan lebih percaya,” ujar Frans. Ia juga memuji dedikasi Kangsure di YSKK, yang telah berperan penting sejak awal berdirinya organisasi tersebut.

Selama sesi tanya jawab, Joni Aswira dari SIEJ menyoroti pentingnya kemitraan strategis antara OMS dan media. Ia mengungkapkan bahwa “media sosial kini memegang peran penting dalam agenda setting, menggantikan media konvensional”. Menanggapi hal ini, Kangsure menekankan pentingnya konsensus agenda bersama dalam forum, yang mencakup berbagi pengetahuan, sumber daya, dan agenda advokasi. “Agenda bersama harus diperjelas agar anggota merasa mendapatkan manfaat,” jelasnya.

Deni dari Yayasan Koppesda mengangkat tantangan kemandirian organisasi di daerah terpencil. Ia menyatakan bahwa “tantangan utama adalah kerelawanan dan penggunaan sumber daya secara transparan”. Kangsure menanggapi dengan menekankan perlunya lembaga besar yang akan menjalankan program di daerah untuk bermitra dengan lembaga lokal. “Harusnya ada konsorsium dengan lembaga lokal,” ujar Kangsure.

Frans menambahkan bahwa mendirikan perusahaan sebagai bagian dari upaya keberlanjutan organisasi bukanlah masalah selama dikelola dengan baik. “Namun, perlu diingat bahwa perusahaan dan CSO memiliki budaya yang berbeda, dan hal ini harus dianalisis terlebih dahulu,” tambahnya.

Pertanyaan terakhir dari Eros Speaker Kampung mengenai akses CSO terhadap CSR perusahaan tambang dijawab Frans dengan menekankan pentingnya mematuhi prinsip dan kode etik CSO. “Kemitraan harus disesuaikan dengan kode etik kita,” tegas Frans.

Diskusi yang berlangsung selama beberapa jam ini menjadi wadah penting bagi para peserta untuk saling berbagi strategi dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya organisasi. Dengan berbagai masukan dari narasumber dan peserta, diharapkan OMS dapat lebih gesit dalam meraih benefit dan mencapai keberlanjutan di masa depan. Diskusi ini juga menandaskan pentingnya kolaborasi dan inovasi dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, terutama di era ketidakpastian yang semakin kompleks.

Melalui sesi ini, para peserta mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana organisasi mereka dapat beradaptasi dan berkembang meskipun dihadapkan pada berbagai kendala. Jejaring Lokadaya Nusantara berkomitmen untuk terus menyelenggarakan diskusi-diskusi semacam ini sebagai bagian dari upaya mendukung OMS di seluruh Indonesia.

P2KTD, Satu Solusi Kemajuan Desa

By Liputan Kegiatan

Jakarta (19/11/2024). Idealnya, masyarakat desa sadar akan potensi daerah masing-masing. Namun kondisi lapangan terkadang tak seusai dengan kondisi idealnya, hal ini nampak pada cara desa menyerap dana desa. Masih jamak kita temui, alokasi dana desa yang hanya memikirkan pembangunan infrastruktur seperti jalan, gapura dan sebagainya. P2KTD hadir membantu desa untuk memberi gambaran lain, menyediakan pilihan-pilihan yang tak kalah penting dalam memajukan desa, termasuk saat desa harus mengalokasikan dana desa secara bijaksana.

P2KTD (Penyedia Peningkatan Kapasitas Teknis Desa) jadi bahasan menarik, hangat, dan antusias oleh perwakilan NGO dan pendamping desa pada sesi daring bertajuk “Membangun Desa via Berniaga Sumber Daya”. Kegiatan ini dihelat Lokadaya, Penabulu, dan Lingkar 9, pada Selasa (19/11). Narasumber yang dihadirkan merupakan tenaga ahli P2KTD, Hilmy, serta dibuka Nursaid Mustafa selaku Kepala Pusat Pengembangan Masyarakat Desa dan Daerah Tertinggal Kemendes.

P2KTD adalah platform inovasi yang menjaring banyak layanan penyedia, baik SDM maupun infrastruktur. Sebelum platform ini hadir, Kemendes terlebih dulu melakukan riset selama 1 tahun, untuk memastikan platform ini benar-benar diperlukan dan berguna di masyarakat desa. Pada saat riset, sekitar 1800 pendamping telah memberikan masukannya dan mereka menyarankan untuk menambahkan lebih banyak kategori layanan penyedia di berbagai Kabupaten. Sementara ini, P2KTD ini baru saja diluncurkan di Bengkulu utara.

Berikut adalah beberapa prioritas P2KTD:

  • Penguatan potensi desa (untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa),
  • Swasembada energi dan pangan
  • Hilirisasi desa

P2KTD ini menjadi penting, tatkala di lingkup desa banyak kebutuhan yang tidak bisa difasilitasi. Menurut Nursaid, Tenaga Pendamping Profesional (TPP) jumlahnya tak sebanding dengan jumlah desa di Indonesia. Tentu dapat dibayangkan layanan desa yang didapat, jika seorang TPP harus melayani sekitar 4 desa sekaligus. Hal ini pasti menyebabkan APBD desa selalu terlambat.

Selain itu, ada beberapa alasan keterlambatan yaitu pendamping kesulitan menyusun RAB, informasi dari pusat yang terlambat dan masih banyak lagi. Seperti diketahui, tidak semua TPP memiliki background di bidang infrastruktur, ini juga menyebabkan lamanya proses fasilitasi.

“P2KTD bisa beroperasi jika layanan penyedia mau bergabung, tentunya Kades juga enggan bergabung jika penyedianya tidak ada”, ujar Nursaid. Nah, dengan adanya P2KTD tentu kini jadi momen yang tepat bagi OMS untuk meyakinkan bahwa P2KTD ini akan berguna dan berkontribusi bagi desa.

Kondisi teranyar, saat ini Kemendes sedang fokus untuk memperbanyak layanan penyedia yang mau bergabung di platform. Kemendes tidak mengatur harga layanan penyedia, karena ini sudah masuk ke dalam ranah negosiasi antara Pemdes dengan Penyedia. Kemendes hanya meminta laporan hasil kerja dari penyedia yang telah mendapatkan dana desa tersebut. Harga tentunya harus disesuaikan dengan standar kabupaten masing-masing.

Di tengah diskusi, ada peserta yang menyampaikan temuan menarik di lapangan. Banyak lembaga yang nakal untuk mengadakan Bimtek secara berlebihan. Seperti diketahui, Bimtek ini mengundang OPD agar mereka mendapatkan insentif dari dana desa tersebut. Untuk itu, platform P2KTD ini jelas akan dapat memanggulangi hal itu. Pihak Pemdes dapat menolak secara halus bila ada lembaga yang meminta Bimtek tetapi lembaga tersebut tidak tersedia dalam daftar penyedia layanan  P2KTD.

Hilmy berharap platform ini dapat sebagai ajang pembelajaran dalam melakukan perencanaan desa yang lebih profesional. Diharapkan desa bisa lebih mandiri, tidak seperti sepuluh tahun terakhir yang bergantung pada dana desa. Akan tetapi, Pemdes dapat menambah pemasukan dari potensi daerah masing-masing.

Diskusi seru antara tenaga ahli P2KTD, Tenaga pendamping dan perwakilan NGO ini dapat dilihat secara utuh di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Cegah Kanker dengan RIP

By Liputan Kegiatan

Jakarta (14/11/2024). Diakui atau tidak, masyarakat kita minim inisiasi deteksi dini untuk berbagai penyakit, termasuk kanker. Contoh kasus pada pasien kanker yang datang dan berobat sudah bergejala berat dan di atas stadium III. Mayoritas masyarakat belum melek informasi tentang tahapan awal gejala kanker, padahal kasus makin meningkat dan faktor pemicu  yang semakin banyak, serta sulit dihindari. Sebut saja radiasi yang merupakan faktor pemicu yang susah dihindari di era serba digital ini.

Kabar buruknya, berdasarkan Global Burden of Cancer, di tahun 2018 angka kematian akibat kanker sejumlah 9,6 juta jiwa. Hal ini berarti, 1 dari 5 laki-laki serta 1 dari 6 perempuan meninggal akibat kanker.

Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses pertumbuhan sel yang abnormal. Kanker biasa diawali dari tumor jinak.  Faktanya,  tumor jenis ini tidak menyerang jaringan normal sehingga tidak bergejala apalagi menganggu keseharian. Namun bila dibiarkan, jenis tumor ini akan berkembang menjadi tumor ganas (kanker). Sel kanker ini yang akan menyerang dan merusak jaringan normal.

Afina Putri, tenaga medis dari Yayasan Pemerhati Kanker Indonesia (YPKI), memaparkan beberapa faktor pemicu kanker seperti:

  • makanan olahan dan mengandung kasinogen
  • pola hidup tidak sehat
  • faktor kimia (asap)
  • faktor fisika (radiasi)
  • keturunan/ genetik

“Langkah Primer Cegah Kanker” tema pertemuan yang diinisiasi oleh Lokadaya dan YPKI, yang fokus membahas 3 jenis kanker (kanker prostat, kanker rahim dan kanker payudara). Kanker prostat merupakan pembunuh nomor 3 bagi pria. Sedangkan kanker rahim pembunuh nomor 2 dan kanker payudara pembunuh nomor 1 bagi wanita. Kanker rahim terbagi menjadi 3, yaitu kanker ovarium (biasanya akibat pemakaian KB hormonal terlalu lama), Kanker endometrium (akibat seringnya melahirkan) dan kanker serviks (akibat sering berganti pasangan dan nikah muda).

Selama ini YPKI sudah melakukan sosialisasi di berbagai tempat untuk mengurangi kasus kanker khususnya pencegahan sebelum terkena. Cara menurunkan angka penderita kanker menurut YPKI adalah dengan sosialisasi, deteksi dini, tatalaksana/pengobatan dan pencegahan.

Pencegahan dari luar bisa dilakukan dengan memeriksa riwayat keturunan, rutin konsumsi antioksidan, menghindari asap rokok dan bahan karsinogen serta olahraga secara teratur. Sementara untuk pencegahan dari dalam dapat dilakukan dengan vaksin (hal ini akan melindungi seorang wanita dari kanker serviks selama 5 tahun kedepan) dan mengonsumsi tumbuhan alami yang mengandung zat anti kanker atau RIP (Ribosom Inactivating Protein).

RIP ini bertugas memblokir pertumbuhan sel kanker, menonaktifkan sel jahat dan mematikan sel kanker tanpa merusak jaringan sekitar. Tumbuhan yang mengandung RIP adalah daun sirsak (sejumlah 35% RIP), benalu teh (50% RIP), dan temu putih (95%).

Namun, pengobatan medis itu wajib hukumnya bagi pasien kanker. Konsumsi tumbuhan RIP hanya bersifat komplementer jika seseorang sudah didiagnosa kanker.

Perlu dipahami bahwa pemeriksaan deteksi dini bukan merupakan aib. Oleh sebab itu masyarakat tidak perlu malu. Memang butuh pendampingan bersama supaya masyarakat tidak takut terstigma karena menderita kanker, sehingga enggan melakukan deteksi dini. Pendekatan interpersonal dapat dilakukan agar masyarakat mau memeriksakan diri dan sadar sebelum stadium kankernya berlanjut.

Konsultasi dan diskusi hangat dengan Afina Putri dari YKPI ini dapat diakses secara utuh via kanal youtube Lokadaya.(*ari)

Menggiring Bola Keberlanjutan, Tiki-Taka Ahli Sumber Daya dalam Pengelolaan OMS

By Liputan Kegiatan

Diskusi daring Kyutri “Seri III” bertajuk “Tiki Taka Ahli Sumber Daya” menyoroti strategi inovatif dalam pengelolaan sumber daya organisasi masyarakat sipil (OMS). Terinspirasi dari strategi sepak bola “Tiki-Taka,” diskusi ini menekankan pentingnya kolaborasi dan adaptabilitas dalam menghadapi tantangan sosial dan lingkungan

Jejaring Lokadaya Nusantara menyelenggarakan diskusi ini pada Jumat (01/11) melalui platform Zoom, menghadirkan Karel Tuhehay dari Yayasan Satunama dan Frans Toegimin dari Yayasan SPEAK Indonesia sebagai narasumber. Acara ini dihadiri oleh sekitar 50 peserta dari berbagai OMS di Indonesia. Diskusi ini mengangkat pendekatan inovatif dalam pengelolaan sumber daya yang terinspirasi dari strategi sepak bola “Tiki-Taka,” yang menekankan kerja sama tim, umpan-umpan pendek, dan penguasaan strategi.

Dalam sepak bola, Tiki-Taka dikenal dengan umpan-umpan pendek dan pergerakan dinamis. Ketika diterapkan dalam konteks OMS, strategi ini menekankan pentingnya kerja sama tim dan penguasaan strategi untuk mencapai keberlanjutan. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumber daya dalam OMS dengan menekankan pada kolaborasi antar anggota dan pemangku kepentingan. Strategi ini mendorong penggunaan sumber daya yang fleksibel dan adaptif untuk mencapai tujuan organisasi.

Karel Tuhehay menyoroti bahwa pendekatan Tiki-Taka ini berkelindan dengan konsep crowdfunding. Crowdfunding, yang berasal dari istilah crowdsourcing atau urun daya, kini menjadi metode efektif dalam menggalang dana untuk proyek sosial. “Crowdfunding adalah praktik penggalangan dana dari sejumlah besar orang, biasanya melalui internet. Ini adalah cara yang memungkinkan OMS untuk lebih mandiri dari donor internasional,” jelas Karel.

Crowdfunding telah berkembang menjadi praktik penggalangan dana untuk tujuan sosial, seperti membantu korban bencana dan mendanai proyek-proyek sosial. Diskusi ini menekankan bahwa crowdfunding dapat menjadi alat yang kuat untuk keberlanjutan OMS. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang dermawan dan memiliki pengguna internet yang besar.

Diskusi ini juga membahas tantangan yang dihadapi OMS dalam pendanaan. Di banyak negara berkembang, OMS sering kali bergantung pada donor internasional. Namun, dengan strategi yang tepat, seperti kemitraan dan pengelolaan pengetahuan, OMS dapat mengurangi ketergantungan ini. Frans Toegimin menambahkan bahwa crowdfunding dapat menjadi alat yang kuat untuk keberlanjutan OMS, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara yang dermawan dan memiliki pengguna internet yang besar.

Diskusi ini menggarisbawahi elemen-elemen penting dalam crowdfunding, seperti dana, sekelompok orang, tujuan tertentu, dan akuntabilitas. Transparansi dan laporan yang terbuka kepada pemberi donasi juga sangat penting untuk menjaga kepercayaan. Dengan menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi, OMS dapat memastikan bahwa dana yang terkumpul digunakan secara efektif dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Crowdfunding juga dipandang sebagai bentuk pemasaran publik. OMS harus mampu menyampaikan kisah mereka, siapa mereka, dan bagaimana mereka mencapai tujuan. “Kita harus mengenal target donor kita dan menggunakan alat komunikasi yang tepat untuk menjangkau mereka, baik melalui media sosial, email, atau acara khusus,” ujar Karel. Pendekatan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang audiens dan penggunaan strategi komunikasi yang efektif untuk menarik perhatian dan dukungan dari masyarakat luas.

Beberapa kelebihan crowdfunding yang dibahas meliputi biaya yang murah, jangkauan yang luas, dan pencairan dana yang aman melalui sistem perbankan. Namun, ada konsekuensi seperti pemotongan biaya administrasi oleh platform crowdfunding yang berkisar antara 5% hingga 10%. Hal ini berarti bahwa tidak semua dana yang terkumpul akan sepenuhnya diterima oleh OMS, dan penting bagi organisasi untuk mempertimbangkan biaya-biaya ini dalam perencanaan mereka.

Peluang crowdfunding untuk proyek sosial di Indonesia sangat besar, mengingat tingginya tingkat kedermawanan masyarakat. Karel menekankan bahwa OMS harus memanfaatkan media sosial untuk memaksimalkan penggalangan dana. “Indonesia memiliki potensi besar, terutama dengan pengguna media sosial yang sangat aktif,” katanya. Dengan strategi yang tepat, OMS dapat memanfaatkan potensi ini untuk mencapai tujuan penggalangan dana mereka.

Diskusi ini juga menyoroti pentingnya strategi konten dan narasi dalam crowdfunding. Narasi yang kuat dan efektif dapat menarik perhatian donatur. “Kita harus pandai mengemas cerita kita dalam narasi singkat dan padat yang menarik,” tambah Karel. Pertanyaan dari audiens mengenai aspek perizinan, pajak, dan strategi penggalangan dana juga dibahas secara mendalam. Mukhlis dari PATTIROS dan Tri Lestari dari Yabhysa Jatim menanyakan apakah OMS perlu mendapatkan izin khusus dari pihak berwenang. Karel menjelaskan bahwa legalitas sangat penting untuk menghindari masalah hukum di kemudian hari.

Farida menanyakan apakah crowdfunding dikenakan pajak. Frans menjelaskan bahwa hal ini tergantung pada regulasi setempat dan penting bagi OMS untuk memahami implikasi pajak yang mungkin berlaku. Iwan Hamid bertanya tentang strategi untuk OMS yang belum pernah melakukan crowdfunding. Frans memberikan saran untuk memulai dengan membangun kepercayaan melalui transparansi dan akuntabilitas.

Muhammad Yusuf menyoroti tren baru di platform seperti TikTok yang bisa dimanfaatkan untuk penggalangan dana. “Dengan kreativitas dan pendekatan yang tepat, OMS dapat memanfaatkan platform ini untuk menjangkau lebih banyak orang,” ujarnya. Flora Kambuaya menanyakan tentang kasus penyalahgunaan dana dan bagaimana OMS harus merespons. Karel menekankan pentingnya komunikasi yang jelas dan dokumentasi yang baik untuk mencegah penyalahgunaan dana.

Omri dari Kupang berbagi pengalaman tentang tantangan menarik donatur melalui media sosial. Frans memberikan tips untuk meningkatkan engagement, seperti menggunakan narasi yang menarik dan visual yang kuat. Raviq A bertanya tentang cara menentukan target dana yang realistis. Karel menyarankan untuk memulai dengan target yang terukur dan belajar dari pengalaman penggalangan dana sebelumnya.

Diskusi ini menegaskan bahwa dengan strategi yang tepat, OMS dapat meningkatkan keberlanjutan dan dampak sosial mereka. Pendekatan Tiki-Taka, yang menekankan kolaborasi dan adaptabilitas, dapat menjadi kunci keberhasilan dalam mengelola sumber daya dan menghadapi tantangan di masa depan.

Membongkar Kemampatan Keran Sumber Daya OMS

By Liputan Kegiatan

“Sejumlah ahli dan praktisi OMS berkumpul untuk mengurai teka-teki besar: mengapa keran-keran sumber daya bagi organisasi masyarakat sipil di Indonesia seolah tersumbat? Dipandu oleh para narasumber berpengalaman, diskusi ini menggali lebih dalam tantangan yang dihadapi dan strategi inovatif yang dapat membuka aliran sumber daya menuju keberlanjutan finansial”

Pada Jumat (25/10), Jejaring Lokadaya Nusantara menyelenggarakan diskusi bertajuk “Keran-Keran Sumber Daya” melalui platform Zoom. Diskusi Serial II “Kyutri” ini menghadirkan George Corputty (Jejaring Lokadaya Nusantara) dan Frans Toegimin (Yayasan SPEAK Indonesia) sebagai pemantik diskusi. Fokus utama dialog ini adalah menyoroti tantangan yang dihadapi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia dan strategi yang dapat diterapkan untuk mencapai keberlanjutan finansial dan operasional.

George Corputty membuka diskusi dengan memaparkan tentang The Civil Society Organization Sustainability Index (CSOSI). “CSOSI adalah alat penting untuk memahami keberlanjutan OMS,” kata George. Indeks ini mengukur perkembangan OMS melalui tujuh dimensi kunci: lingkungan hukum, kapasitas organisasi, kemampuan finansial, advokasi, penyediaan layanan, infrastruktur sektoral, dan citra publik. CSOSI dikembangkan oleh USAID dan bertujuan menjadi sumber informasi bagi OMS, pemerintah, lembaga donor, dan akademisi untuk memahami dan memantau aspek kunci keberlanjutan OMS.

George menjelaskan bahwa indeks keberlanjutan OMS Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa kapasitas organisasi masih stagnan dengan skor 3.7, sama dengan tahun 2021. “Skor ini menunjukkan kategori keberlanjutan berkembang,” jelasnya. Menurut panel ahli CSOSI 2023, salah satu penyebab stagnasi adalah rendahnya kualitas aktivis dalam gerakan OMS, meski ada fokus pada profesionalisme staf dalam tata kelola organisasi. “Kita perlu mengembangkan kapasitas aktivis, bukan hanya fokus pada administrasi,” tegas George.

Selain kapasitas organisasi, George juga menyoroti indeks kemampuan finansial OMS yang tetap di skor 4.5. “Ini berarti OMS berada dalam situasi berkembang namun cenderung terhambat,” ujarnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi ini antara lain belum optimalnya diversifikasi sumber pendanaan, penurunan dukungan luar negeri, dan belum maksimalnya akses ke sumber pendanaan lokal. “Pandemi COVID-19 memang mendorong kreativitas dalam penggalangan dana, tetapi kemandirian finansial OMS belum berkembang signifikan,” tambahnya.

Diversifikasi pendanaan menjadi salah satu strategi kunci bagi OMS untuk mencapai kemandirian finansial dan menjaga keberlanjutan program-programnya. Dalam survei yang melibatkan 509 OMS, 361 organisasi telah memulai diversifikasi pendanaan, sementara 129 lainnya masih bergantung pada satu sumber dana. Diversifikasi ini melibatkan sektor swasta, seperti konsultasi dan program Corporate Social Responsibility (CSR), serta sektor publik melalui anggaran pemerintah. “Diversifikasi adalah strategi kunci untuk keberlanjutan,” kata George.

Diskusi kemudian beralih ke pentingnya perencanaan strategis dan struktur pengelolaan internal OMS. Tris Dianto, salah satu peserta, menyoroti pentingnya menyusun rencana strategis yang tidak hanya mengidentifikasi kegiatan, tetapi juga dapat terlaksana. Menanggapi hal ini, George menjelaskan bahwa penting untuk memiliki analisis konteks organisasi dan struktur yang sesuai. “Buatlah rencana strategis lima tahunan, dan evaluasi setiap akhir tahun,” sarannya. Frans Toegimin menambahkan, “Visi dan misi itu penting, tapi harus fleksibel. Fokuslah pada analisis kekuatan dan kelemahan institusi serta penerima manfaat.”

Lely Zailani dari HAPSARI mengakui bahwa organisasinya belum memaksimalkan manajemen pengetahuan. “Kami sering mendiskusikan potensi sumber daya, tetapi sering kali hanya bicara soal dana,” katanya. Menanggapi ini, George menyarankan agar OMS mengembangkan fungsi manajemen pengetahuan dengan metode berbasis bukti. “Organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan, tidak ada obat mujarab kecuali kita yang meramunya,” ujarnya. Frans menambahkan bahwa manajemen pengetahuan harus didokumentasikan dan dibagikan. “Kita harus mengembangkan metode pembelajaran yang efektif,” katanya.

Pertanyaan dari audiens lainnya, seperti dari Evie dari YMMA Sumut, menyoroti evaluasi mandiri OMS. George menjelaskan bahwa penilaian sebaiknya dilakukan setiap tahun, dengan kejujuran sebagai kunci dalam penilaian mandiri. “Ini membantu kita mengukur kinerja organisasi,” jelasnya. OMS diharapkan memiliki sistem monitoring dan SOP yang jelas, bukan hanya untuk program tetapi juga administrasi organisasi.

Diskusi ini juga menyoroti tantangan OMS dalam menghadapi generasi milenial. Lilya dari Para Mitra Indonesia dan Ijun Gilang mengangkat isu keberlanjutan tim OMS di era ini. Frans menekankan pentingnya merekrut individu yang memiliki minat dan komitmen. “Materi penting, tetapi bukan tujuan utama,” katanya. George menambahkan bahwa transformasi dan inovasi diperlukan untuk menghindari stagnasi. “Kita harus berani bertransformasi dan tidak meromantisasi masa lalu,” katanya.

Diskusi Kyutri Seri III ini menggarisbawahi bahwa kendatipun OMS Indonesia menghadapi tantangan dalam kapasitas dan finansial, ada banyak peluang untuk memperkuat keberlanjutan melalui diversifikasi pendanaan dan peningkatan kapasitas internal. OMS didorong untuk terus beradaptasi dan berinovasi agar dapat bertahan dan berkembang di tengah perubahan lingkungan. Dengan strategi yang tepat, OMS dapat mencapai kemandirian finansial dan keberlanjutan yang lebih baik di masa depan.

Menolak di Ujung Tanduk, Strategi Organisasi Masyarakat Sipil Bertahan Hidup

By Liputan Kegiatan

“Diskusi ini menguak strategi baru dan tantangan kritis yang tengah dihadapi OMS dalam upaya mobilisasi sumber daya untuk menjaga keberlanjutan organisasi di tengah semakin menyempitnya ruang sipil dan meningkatnya tekanan eksternal”

Jejaring Lokadaya Nusantara menyelenggarakan diskusi bertema “Serial Mobilisasi Sumber Daya dan Keberlanjutan Organisasi” pada Jumat (18/10) melalui platform Zoom. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 70 peserta yang berasal dari berbagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di seluruh Indonesia. Sebagai narasumber utama, Frans Toegimin dari Yayasan SPEAK Indonesia memimpin diskusi yang membahas isu-isu strategis terkait mobilisasi sumber daya dan keberlanjutan organisasi.

Frans Toegimin membuka diskusi dengan pernyataan yang menggugah: “Masa depan tidak diramalkan atau diperkirakan – masa depan perlu dibentuk. Kita perlu membentuk masa depan kita sendiri,” tegasnya. Pernyataan Frans yang disitir dari Yanuar Nugroho ini menekankan pentingnya peran aktif OMS dalam menentukan arah gerak mereka di masa depan.

Diskusi ini mengangkat isu klasik yang masih relevan bagi OMS, yakni mobilisasi sumber daya. Frans menegaskan bahwa setiap pengiat OMS memahami pentingnya mobilisasi sumber daya untuk menjaga keberlangsungan lembaga dan aktivitas mereka. “Organisasi harus menjadi instrumen yang akuntabel dan strategis,” ujarnya, menekankan bahwa meskipun organisasi adalah alat untuk melaksanakan program, mereka harus berfungsi dengan efektif dan bertanggung jawab.

Para peserta juga diajak untuk merefleksikan kondisi OMS saat ini berdasarkan berbagai sumber seperti CSOSI Indeks (Konsil LSM Indonesia), OCPAT Yappika (Action Aid), Indeks Demokrasi Indonesia (Bappenas), dan Hasil Indonesia Civil Society Forum (ICSF) 2024. Temuan dari ICSF Regional mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi OMS, termasuk keterbatasan partisipasi di ruang publik, intimidasi terhadap aktivis, dan dominasi patriarki serta hirarki dalam struktur organisasi.

Frans menyoroti bahwa ruang partisipasi yang ada acap kali tak memberikan kontribusi nyata. Representasi kelompok minoritas dan marginal hanya bersifat simbolis, dan ada kesenjangan yang signifikan antara isu masyarakat dengan perhatian pemerintah. Frans juga mencatat minimnya ruang komunikasi dan sumber pendanaan yang memadai, yang sering kali menghambat operasional OMS.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi OMS adalah rendahnya minat generasi muda untuk bergiat dan bergabung. Frans mengungkapkan bahwa kekosongan figur pemimpin dan keterbatasan akses teknologi, terutama bagi kelompok marginal, menambah kompleksitas situasi ini. “Kita perlu mencari cara untuk menarik minat generasi muda dan meningkatkan partisipasi mereka dalam organisasi,” katanya.

Selain itu, Frans juga menyoroti kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpengalaman, dokumen pendukung yang tak lengkap, dan kesulitan pendanaan yang berkelanjutan sebagai masalah nyata yang dihadapi OMS saat ini. Dia menekankan bahwa OMS kerap kali disalahgunakan untuk isu politik, kendatipun mereka dipandang sebagai mitra penting dalam isu sosial. Namun, penyempitan ruang sipil akibat kecenderungan pemerintah yang anti-kritik menjadi tantangan tersendiri.

Data dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan penurunan skor demokrasi elektoral Indonesia dari 0,67 di akhir pemerintahan SBY (2014) menjadi 0,54 pada 2023 di bawah pemerintahan Joko Widodo. “Penurunan ini adalah tantangan besar bagi OMS,” ujar Frans, “dan kita harus bekerja keras untuk membalikkan tren ini.”

Diskusi ini juga memberikan perhatian khusus pada pentingnya memperluas strategi mobilisasi sumber daya dengan meningkatkan efektivitas keterlibatan masyarakat. Frans menjelaskan bahwa keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam dialog dan kolaborasi dengan pemerintah merupakan kunci keberhasilan. “Partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah cara penting untuk terlibat secara konstruktif,” jelasnya. Dia menggarisbawahi perlunya pengawasan dan akuntabilitas yang kuat untuk memastikan transparansi pemerintah.

Kolaborasi dalam implementasi program dan advokasi kebijakan juga menjadi fokus diskusi. Frans menyarankan strategi komunikasi dan kampanye yang efektif untuk mendorong perubahan kebijakan, serta pentingnya mobilisasi dukungan yang sistematis untuk mempengaruhi berbagai pemangku kepentingan.

Peserta diskusi juga gayung bersambut secaraa aktif dengan mengajukan pertanyaan dan pandangan mereka. Waklim mengangkat isu dana pemerintah yang sulit diakses oleh CSO lokal, menyebutkan bahwa “CSO di daerah biasanya sulit mendapat informasi.” Ijun dari Suar menanyakan peluang kewirausahaan sosial sebagai strategi mobilisasi sumber daya menuju keberlanjutan organisasi. “Bagaimana peluang bagi kita untuk mobilisasi sumber daya?” tanyanya.

Budiman dari Suar Indonesia menyoroti persaingan antara organisasi payung dan lokal, dengan mengatakan, “Organisasi payung saat ini menjadi kompetitor organisasi lokal dalam program di semua isu.” Heri YTT dari Kapuas, Kalteng, berharap adanya forum di setiap provinsi untuk memfasilitasi kolaborasi lebih baik, menambahkan, “Di Kalteng banyak LSM dari luar, kami berharap bisa menjadi mitra di daerah.”

Herwanto dari Eska mengemukakan kekhawatirannya tentang penggunaan Ormas oleh oknum pemerintah untuk melindungi praktik korupsi, yang membatasi ruang gerak OMS. “Hal ini membatasi ruang gerak OMS,” katanya. Trinirmala Ningrum mengangkat isu beberapa LSM yang mendirikan PT untuk mendukung pembiayaan, dengan catatan, “Saya rasa hal ini sah-sah saja, asal tidak mengganggu ideologi LSM.”

Diskusi ini menegaskan bahwa OMS menghadapi tantangan eksternal yang tak semakin ramah. Namun, Frans optimis bahwa dengan strategi secara tepat, OMS dapat terus berkembang dan berkelanjutan. Lokadaya Nusantara berencana mengadakan diskusi lanjutan pada seri-seri berikutnya dengan topik diversifikasi sumber daya dan mitigasi risiko keberlanjutan, serta strategi dan teknik mobilisasi sumber daya yang lebih efektif.

Dengan spirit kolaborasi dan inovasi, para peserta diskusi berkomitmen untuk terus memperjuangkan keberlanjutan organisasi mereka di tengah berbagai tantangan. “Kita harus terus belajar dan beradaptasi,” tegas Frans, “agar OMS dapat terus memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.”

Mengupas Akuntabilitas Informasi Publik: Transparansi sebagai Kunci Good Governance

By Liputan Kegiatan

“Diskusi menyoal pentingnya akuntabilitas informasi publik untuk meningkatkan transparansi dan tata kelola yang baik. Peran OMS dan prinsip-prinsip good governance dalam mendorong keterbukaan informasi menjadi jantung diskusi”

Jejaring Lokadaya Nusantara menggelar diskusi “Kyutri” Seri IV bertajuk “Akuntabilitas Informasi Publik: Etalase Kertas Kerja” pada Jumat, 4 Oktober 2024. Acara yang berlangsung dari pukul 13.30 hingga 15.30 WIB ini menghadirkan narasumber Sarwitri dari Konsil LSM Indonesia dan Edy Anan, dosen Amikom Yogyakarta, yang membahas pentingnya akuntabilitas informasi publik dalam meningkatkan transparansi dan tata kelola yang baik. Seri terakhir ini berarti memungkasi keseluruhan rangkaian diskusi bertajuk akuntabilitas organisasi masyarakat sipil.

Diskusi ini menyoroti beberapa isu krusial terkait akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik. Sarwitri membuka sesi dengan memaparkan peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam menyediakan informasi yang transparan kepada publik. “OMS harus menyampaikan informasi terkait badan organisasi, kegiatan dan kinerja, laporan keuangan, serta informasi lainnya yang telah diatur oleh kebijakan internal organisasi,” ujar Sarwitri.

Menurutnya, langkah ini penting untuk mewujudkan masyarakat informasi, di mana publik memiliki hak dan kewenangan untuk meminta akuntabilitas dari organisasi yang beroperasi di ruang publik. “Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mewajibkan informasi publik disediakan secara terbuka oleh organisasi nonpemerintah,” tambahnya.

Lebih lanjut, Sarwitri menyoroti pentingnya akuntabilitas fiskal atau finansial, yang melibatkan pertanggungjawaban atas pendanaan publik. Ia menjelaskan, “Pihak pendana dapat menuntut laporan dari OMS, dan jika ada penyimpangan yang ditemukan, OMS tersebut dapat dikenakan sanksi. Proses audit menjadi langkah penting untuk memastikan akuntabilitas dan memberikan akses kepada masyarakat untuk mengetahui penggunaan sumber daya anggaran oleh OMS.”

Sarwitri menekankan bahwa akuntabilitas adalah proses administrasi-politik yang menuntut upaya berkelanjutan dan komitmen dari semua pihak. “Akuntabilitas bukan hanya kewajiban melaporkan keuangan kepada mitra kerja, tetapi juga sumber pengetahuan yang terbuka bagi publik,” jelasnya.

Edy Anan kemudian melanjutkan diskusi dengan menjelaskan prinsip-prinsip good governance, merujuk pada standar yang ditetapkan oleh organisasi internasional seperti UNDP, World Bank, IMF, dan OECD. “Prinsip-prinsip ini meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipasi, aturan hukum, efisiensi dan efektivitas, responsivitas, keadilan dan inklusivitas, independensi, serta responsibilitas,” kata Edy.

Edy mengaitkan keterbukaan informasi publik (KIP) dengan good governance. Menurutnya, “Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi adalah elemen kunci dalam mencegah korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik.” Ia menjelaskan regulasi KIP, termasuk Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang KIP dan berbagai peraturan lain yang mendukung prinsip keterbukaan informasi.

Dalam konteks OMS, Edy menyoroti pentingnya tata kelola internal yang baik, transparansi dalam penggunaan dana internasional, serta keterbukaan dalam pengelolaan keuangan, pengambilan keputusan, program dan capaian, pengelolaan sumber daya manusia, dan komunikasi. Ia juga mengakui tantangan dalam mewujudkan keterbukaan informasi di kalangan OMS, seperti kurangnya infrastruktur teknologi, keterbatasan sumber daya manusia, dan resistensi internal terhadap keterbukaan.

Pada sesi tanya jawab, peserta diskusi turut memberikan pandangan. Eros dari Speaker Kampung mempertanyakan relevansi keterbukaan anggaran terhadap publik. Menanggapi hal ini, Sarwitri menegaskan, “Keterbukaan anggaran penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam penggunaan dana publik.” Valentina Wiji menyoroti isu akses informasi bagi penyandang disabilitas dan pentingnya mengakomodasi kebutuhan mereka dalam sistem informasi publik.

Agung Prabowo dari Sigap Indonesia menyarankan penerapan strategi inklusif, khususnya dalam memperkuat posisi masyarakat sipil yang mendukung OMS difabel. Ia berharap agar masyarakat sipil yang mapan dapat menjadi jembatan bagi OMS difabel untuk memperluas gerakan mereka. Sulaiman dari IPDP Aceh menyatakan bahwa diskusi ini sangat bermanfaat dalam menambah pengetahuan terkait akuntabilitas untuk organisasi yang bergerak dalam isu disabilitas.

Diskusi “Kyutri” Seri IV ini diharapkan menjadi titik tolak bagi OMS di Indonesia untuk lebih aktif menerapkan prinsip keterbukaan informasi dan meningkatkan akuntabilitas. Upaya ini tidak hanya memperkuat tata kelola yang baik, tetapi juga membangun kepercayaan publik dan memastikan penggunaan sumber daya yang lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan lebih aktif dalam memantau dan mengawasi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi di tanah air.

Dari Respons ke Aksi, Kupas Tuntas Akuntabilitas Organisasi

By Liputan Kegiatan

Di tengah tuntutan transparansi yang kian mendesak, bagaimana organisasi masyarakat sipil bisa bertahan? Diskusi “Kyutri” Seri III menggali jawabannya, menyoroti akuntabilitas sebagai pilar keberlanjutan organisasi

Dalam langkah strategis untuk memperkuat fondasi tata kelola, Jejaring Lokadaya Nusantara menggelar diskusi “Kyutri” Seri III dengan fokus pada Akuntabilitas Program: Rencana, Eksekusi, Solusi. Acara yang berlangsung secara daring pada Rabu, 2 Oktober 2024 ini mengundang perhatian dengan menghadirkan dua pakar dari Konsil LSM Indonesia, memberikan wawasan berharga tentang bagaimana akuntabilitas dapat menjamin keberhasilan organisasi masyarakat sipil (OMS).

Diskusi ini menawarkan perspektif segar bagi OMS di Indonesia, menyoroti peran vital akuntabilitas sebagai penopang utama keberhasilan program-program mereka. Sarwitri, yang menjabat sebagai Program Manager Konsil LSM Indonesia, dan Lusi Herlina dari Komite Pengarah Nasional Konsil LSM, berbagi pandangan dan strategi untuk menerapkan akuntabilitas secara efektif dalam operasional OMS. Dengan wawasan yang mendalam dan praktis, diskusi ini diharapkan mendorong organisasi masyarakat untuk memperkuat tata kelolanya dan meningkatkan kontribusi mereka dalam pembangunan yang berkelanjutan.

Sarwitri memulai diskusi dengan memaparkan akuntabilitas sebagai sebuah siklus yang dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk distribusi kekuasaan di antara aktor yang terlibat. “Efektivitas akuntabilitas sangat dipengaruhi oleh lingkungan, yang terkait erat dengan distribusi kekuasaan dari aktor-aktor yang terlibat,” ujarnya. Menurut Sarwitri, siklus ini mencakup tiga elemen penting: respons, informasi, dan aksi. Ia menegaskan bahwa akuntabilitas tidak hanya sekadar mencapai tujuan program, tetapi juga mempertimbangkan alternatif program yang dapat memberikan hasil optimal dengan biaya minimal, sebagaimana digariskan oleh Sheila Elwood.

Dalam menjelaskan model-model akuntabilitas, Sarwitri menguraikan beberapa pendekatan yang telah diterapkan secara global, seperti HAP (Humanitarian Accountability Project), GAP (Global Accountability Project), dan UNDP (United Nations Development Program), serta model yang dikembangkan oleh Konsil LSM Indonesia. Ia menekankan prinsip-prinsip akuntabilitas menurut Konsil LSM Indonesia yang meliputi komitmen dari pimpinan dan seluruh staf untuk menjalankan organisasi secara bertanggung jawab, menjamin penggunaan sumber daya secara konsisten dengan peraturan yang berlaku, serta menunjukkan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan.

“Prinsip-prinsip ini juga berorientasi pada visi, misi, hasil, dan manfaat yang diperoleh organisasi, serta memegang teguh nilai kejujuran, transparansi, objektif, dan inovatif,” tambah Sarwitri. Manfaat dari penerapan akuntabilitas ini, menurutnya, antara lain adalah keberlanjutan, posisi tawar yang kuat, sistem organisasi yang efektif, dan dukungan pendanaan baik dari dalam negeri maupun internasional.

Lusi Herlina, yang akrab disapa Uni Lusi, menyoroti pentingnya Standar Minimal Akuntabilitas OMS Konsil LSM Indonesia. Ia menjelaskan bahwa standar ini diperlukan untuk meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap LSM. “Dengan standar minimal akuntabilitas, kita dapat menunjukkan kepada para pemangku kepentingan bahwa LSM adalah organisasi yang memiliki tata kelola yang baik, demokratis, profesional, serta mengelola sumber daya secara efektif dan efisien,” ungkap Lusi.

Lebih lanjut, Lusi menguraikan tujuh standar minimal akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh LSM, yaitu perilaku etis, manajemen keuangan yang terbuka dan terpercaya, manajemen staf yang profesional, partisipasi bermakna masyarakat dalam pengambilan keputusan strategis, mekanisme penanganan pengaduan, transparansi informasi, dan pencegahan konflik kepentingan. “Kredibilitas dan reputasi publik sangat menentukan keberhasilan visi dan agenda OMS, karenanya OMS sangat berkepentingan menjunjung tinggi standar perilaku serta membangun reputasi yang kokoh,” tegasnya.

Diskusi ini juga diwarnai dengan berbagai pertanyaan dari audiens yang menunjukkan antusiasme dan keingintahuan yang tinggi mengenai tema yang dibahas. Frans Toegimin, salah satu sesepuh di jagat per-LSM-an Indonesia, menanyakan tentang hubungan antara dimensi akuntabilitas yang diterapkan oleh UNDP dan dimensi yang ada di Konsil LSM. Pertanyaan ini memicu diskusi lebih dalam mengenai bagaimana berbagai model akuntabilitas dapat saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain.

Arifin Alapan, peserta lain yang telah berkecimpung di dunia LSM sejak 1994, mengkritisi desentralisasi yang membuat LSM daerah hanya berperan sebagai pelaksana proyek, sementara LSM di Jakarta lebih mendominasi. “Apakah ini merupakan potret akuntabilitas? Saya ditawarkan teman-teman LSM Jakarta untuk menjadi pelaksana atas nama jaringan, namun saya menolak karena tidak ingin hanya menjadi pelaksana,” ujarnya. Arifin menekankan pentingnya keberadaan organisasi yang mandiri dan berorientasi pada self-help.

Sugiarto Arif Santoso menambahkan bahwa Standar Minimal Akuntabilitas (SMA) sangat bermanfaat bagi LSM untuk mengevaluasi kemampuan mereka dalam mempertanggungjawabkan mandatnya kepada publik. Selain itu, SMA ini dianggap sebagai salah satu model untuk memperluas ruang sipil, di mana kesadaran akan kebebasan berorganisasi dan berkumpul mendapat pengakuan publik.

Sementara itu, Leonardo, peserta lain, mengangkat isu keadilan dalam akuntabilitas, terutama terkait penggajian yang didasarkan pada UMK/UMP masing-masing provinsi. “Prinsip keadilan terkadang hanya untuk memenuhi kepentingan donor dan bukan berdasarkan kepentingan SDM LSM pelaksana,” katanya. Ia juga menyoroti pentingnya akuntabilitas sebagai arah komunikasi dengan publik.

Diskusi ini bersimpul pada gagasan betapa akuntabilitas merupakan elemen krusial dalam pengelolaan organisasi masyarakat sipil. Tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas tersebut secara konsisten di tengah berbagai dinamika dan tantangan yang ada. Dengan adanya diskusi ini, diharapkan OMS di Indonesia dapat terus meningkatkan tata kelola dan akuntabilitasnya, sehingga dapat berkontribusi lebih besar dalam pembangunan masyarakat yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Akuntabilitas Tak Bisa Ditawar dalam Tata Kelola Organisasi

By Liputan Kegiatan

“Diskusi seri kedua ini menyoroti pentingnya akuntabilitas sebagai inti dari tata kelola organisasi. Narasumber mendedah berbagai tantangan dan praktik terbaik dalam memastikan organisasi berjalan efektif, efisien, dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan”

Pada Selasa (24/09), Jejaring Lokadaya Nusantara sukses menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “Kyutri” Seri II dengan tema “Akuntabilitas dalam Tata Kelola Organisasi: Tak Bisa Ditawar.” Acara ini dihadiri oleh sekitar 60 peserta yang sebagian besar merupakan anggota dari Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia. Diskusi ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan praktik akuntabilitas dalam tata kelola organisasi, dengan mengundang dua narasumber: Sarwitri (Konsil LSM Indonesia) dan Sugiarto Arif Santoso (Yayasan Penabulu).

Sarwitri membuka diskusi dengan menguraikan makna akuntabilitas yang erat kaitannya dengan pertanggungjawaban organisasi kepada seluruh stakeholder, termasuk publik. Ia menekankan pentingnya nilai-nilai transparansi, partisipasi, evaluasi, dan mekanisme umpan balik dalam mewujudkan akuntabilitas. “Akuntabilitas tidak hanya tentang tanggung jawab pribadi, tetapi juga komitmen kepada orang lain,” tegasnya.

Menurut Sarwitri, tata kelola organisasi memainkan peran vital dalam mengarahkan dan mengendalikan organisasi agar mencapai tujuannya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Ia menyoroti pentingnya penyusunan struktur, tanggung jawab, dan proses organisasi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip ISO 37000, yaitu standar internasional untuk tata kelola organisasi. Standar ini mencakup keterlibatan pemangku kepentingan, pengelolaan risiko, kepemimpinan yang efektif, serta etika dan integritas.

Sarwitri menggambarkan hubungan antara akuntabilitas dan tata kelola sebagai dua lingkaran yang saling berkaitan, di mana akuntabilitas menjadi lingkaran kecil di dalam lingkaran besar tata kelola. “Transparansi, partisipasi, evaluasi, dan mekanisme umpan balik adalah inti dari akuntabilitas yang mendukung tata kelola yang baik,” ujarnya.

Sementara itu, ibarat tumbu ketemu tutup, paparan Sugiarto Arif Santoso lebih jamak membagikan pengalaman praktisnya dalam mengimplementasikan tata kelola organisasi. Ia menjelaskan bahwa akuntabilitas berhubungan dengan kemampuan organisasi untuk menyampaikan dan melaksanakan visi dan misi. Menurutnya, salah satu tantangan terbesar adalah merumuskan perencanaan bersama yang efektif.

Sugiarto membedakan antara tata kelola dan tata laksana organisasi. Tata kelola mencakup tata kepengurusan, pembagian wewenang, tugas, dan fungsi, serta mekanisme pengambilan keputusan. Sedangkan tata laksana lebih fokus pada pelaksanaan, seperti prosedur program, keuangan, administrasi, dan komunikasi publik.

Ia menekankan pentingnya monitoring, evaluasi, dan pembelajaran (monitoring-evaluasi-learning) dalam memastikan bahwa organisasi berjalan sesuai dengan tujuan. “Tata kelola yang baik harus diimbangi dengan tata laksana yang efektif agar organisasi dapat mencapai tujuannya secara berkelanjutan,” tambahnya.

Diskusi ini semakin hidup dengan berbagai pertanyaan dari audiens. Waklim dari Yapekat menanyakan tentang keterlibatan masyarakat dampingan dalam penyusunan program, sementara Bang Amel dari Masyarakat Transparansi Aceh mengangkat tantangan dalam menyamakan persepsi akuntabilitas di antara mitra kerja.

Perkumpulan Wallacea menyoroti tentang perumusan SOP terkait perlindungan anak dan harassmen, serta peran monitoring dan evaluasi dalam struktur organisasi mereka. Sementara itu, pertanyaan dari Para Mitra terkait penerapan umpan balik yang efektif menunjukkan kebutuhan untuk meningkatkan komunikasi antara organisasi dan pemangku kepentingan.

Bang Amel juga mengungkapkan dinamika yang terjadi ketika prinsip-prinsip tata kelola dan akuntabilitas yang diterapkan di organisasi non-profit harus diadaptasi dalam konteks pemerintahan atau instansi lain. Hal ini menimbulkan diskusi tentang bagaimana strategi adaptasi yang tepat tanpa mengaburkan nilai-nilai akuntabilitas.

Diskusi “Kyutri” Seri II berhasil memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya akuntabilitas dalam tata kelola organisasi. Kedua narasumber berhasil memantik diskusi yang konstruktif, membantu peserta memahami tantangan dan praktik terbaik dalam membangun organisasi yang akuntabel dan berkelanjutan. Acara ini menegaskan bahwa akuntabilitas bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan dalam tata kelola organisasi secara efektif.

Menguak Akuntabilitas, Reformasi atau Sekadar Formalitas

By Liputan Kegiatan

Diskusi berfokus pada bagaimana akuntabilitas diterapkan dalam organisasi masyarakat sipil. Perbedaan antara akuntabilitas dan tanggung jawab menjadi sorotan utama. Peserta aktif berbagi pandangan dan tantangan dalam praktik sehari-hari

Pada hari Selasa (18/09), Jejaring Lokadaya Nusantara menggelar diskusi perdana dari rangkaian Seri “Kyutri” tentang Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dengan topik “Akuntabilitas: Reformasi atau Sekadar Formalitas?” Acara tersebut berlangsung dari pukul 13.30 hingga 15.30 WIB dan menghadirkan Sarwitri dari Konsil LSM Indonesia sebagai pembicara utama. Diskusi ini bertujuan untuk memperjelas peran akuntabilitas dalam OMS dan bagaimana implementasinya dapat ditingkatkan.

Sarwitri membuka diskusi dengan menekankan perbedaan antara accountability dan responsibility, dua istilah yang acap kali dianggap sinonim tetapi sebenarnya memiliki makna berbeda. “Akuntabilitas dan tanggung jawab memang saling terkait, tetapi tidak bisa saling menggantikan,” jelas Sarwitri.

Menurutnya, tanggung jawab melibatkan kewenangan untuk bertindak, kemampuan untuk membuat keputusan yang rasional, serta kebebasan untuk memutuskan. “Orang yang bertanggung jawab harus dapat diandalkan dan konsisten dalam menjalankan penilaian internal,” tambahnya. Di sisi lain, akuntabilitas lebih menekankan pada kewajiban untuk melaporkan dan menjelaskan tindakan kepada pihak eksternal, serta menanggung konsekuensi dari tindakan tersebut.

Sarwitri juga menjelaskan istilah lain seperti liability, justification, dan accounting yang sering disamakan dengan akuntabilitas. Ia menekankan bahwa akuntabilitas melibatkan hubungan relasional di mana individu atau organisasi harus menjawab kepada pihak lain. “Dalam perspektif pemerintah, akuntabilitas sering hanya dilihat sebagai legalitas tindakan administrasi. Padahal, berakuntabilitas berarti harus memberikan jawaban bagi tindakan atau ketidakbertindakan seseorang,” katanya.

Setelah paparan materi, diskusi berlanjut dengan sesi tanya jawab secara interaktif. Salah satu peserta, Awal, mempertanyakan perlunya pihak ketiga untuk mempublikasikan akuntabilitas OMS. “Meskipun lembaga sudah mempublikasikan kegiatan mereka melalui media internal, seperti website atau media sosial, masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan,” ujarnya. Awal menyarankan pembentukan kelompok kecil untuk merangkum dan menangkap hubungan akuntabilitas ini.

Ramlin Bunga, peserta lainnya, meminta Sarwitri untuk memilih satu kata yang bersinonim dengan akuntabilitas. “Kalau bisa, pilih satu kata yang lebih aplikatif dan operasional,” pinta Ramlin. Menanggapi hal ini, Sarwitri menegaskan pentingnya memahami konteks penggunaan istilah tersebut agar dapat diterapkan secara efektif.

Yhonatan (ELSAKA) menyodorkan pertanyaan mengenai apakah klarifikasi termasuk dalam akuntabilitas. “Apakah klarifikasi termasuk dalam akuntabilitas?” tanyanya. Sarwitri menjelaskan bahwa klarifikasi merupakan bagian dari proses akuntabilitas, terutama dalam menjelaskan dan memberikan alasan atas tindakan yang diambil.

Agung Prabowo (Sigab Indonesia) mengangkat isu konektivitas dalam akuntabilitas yang sering kali terfokus hanya pada satu isu. Ia menekankan pentingnya pendekatan holistik agar pengetahuan yang dihasilkan dapat berkolaborasi dengan organisasi pemerintahan dan masyarakat. “Harus holistik, tidak parsial,” tegas Agung.

Sementara itu, Aliyul Hidayat menyoroti orientasi OMS yang terkadang lebih berfokus pada kebutuhan donor daripada kebutuhan masyarakat. “Akuntabilitas harus menjadi inti dari OMS agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” ujarnya. Aliyul menekankan pentingnya pembenahan internal agar akuntabilitas OMS dapat ditingkatkan.

Abdullah Fudail (PPDI Luwu Utara) menegaskan bahwa akuntabilitas tidak hanya kepada donor atau penyedia sokongan, tetapi juga kepada objek dari program atau kegiatan OMS. “Akuntabilitas mestinya bukan hanya kepada donor, tetapi juga kepada masyarakat yang menjadi objek program,” katanya.

Sarwitri menutup sesi dengan mengingatkan bahwa akuntabilitas adalah kewajiban moral dan legal yang harus diemban oleh setiap organisasi. “Kami berharap diskusi ini bisa mendorong reformasi nyata dalam praktik akuntabilitas OMS di Indonesia,” tutup Sarwitri.

Diskusi ini diharapkan dapat membantu OMS lebih memahami dan mengimplementasikan akuntabilitas secara efektif, tidak hanya sebagai formalitas tetapi sebagai bagian integral dari operasional mereka. Dengan berlangsungnya diskusi ini, diharapkan para peserta dapat menerapkan konsep akuntabilitas dalam praktik sehari-hari mereka, sehingga dapat meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap OMS.

Diskusi ini merupakan yang pertama dari empat rangkaian yang direncanakan oleh Jejaring Lokadaya Nusantara. Setiap sesi diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan memfasilitasi pertukaran ide serta praktik terbaik di antara para peserta. Melalui rangkaian diskusi ini, diharapkan akuntabilitas dalam OMS dapat diperkuat dan lebih terstruktur, sehingga dapat berkontribusi lebih efektif dalam pembangunan masyarakat yang lebih transparan dan bertanggung jawab.

Dengan adanya diskusi seperti ini, diharapkan OMS dapat berperan lebih signifikan dalam memecahkan berbagai permasalahan di masyarakat dan membangun hubungan yang lebih erat dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Harapan ke depan adalah agar OMS tidak hanya bertindak sesuai dengan kepentingan donor, tetapi juga benar-benar menyesuaikan program dan kegiatan mereka dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Keseluruhan acara ini menandai langkah awal yang penting dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya akuntabilitas dalam OMS, serta bagaimana hal itu dapat diimplementasikan dalam skala yang lebih luas. Diskusi ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara OMS, pemerintah, dan masyarakat dalam mencapai tujuan bersama untuk kesejahteraan dan kemajuan sosial.

Masyarakat Indonesia adalah Dermawan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (20/6/2024). Tantangan fundraising dalam isu strategis adalah tatkala programnya susah dipahami, preferensi menyumbang donatur biasanya masih dalam tahap jangka pendek. Selain itu, adanya regulasi kebijakan undang-undang PUB (Pengumpulan Uang atau Barang) yang mengungkung kita dalam mencari sumbangan.

Ketua Badan Pelaksana Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Hamid Abidin, memunculkan wacana menarik ini dalam rangkaian kyutri Civil Society Resource Mobilization.  Kegiatan ini diinisiasi oleh Lokadaya dan Lingkar Madani, serta didukung oleh Co-Evolve. Empowering Fundraising of Strategic Programs and Initiatives adalah tajuk acara siang yang segar itu.

World Giving Index 2023 mencatat Indonesia menempati peringkat pertama sebagai bangsa paling dermawan. Menjadi masuk akal bila di era sekarang kegiatan donasi telah berkembang pesat. Selain itu, pendayagunaan sumbangannya juga meluas. Bukan hanya terkait penyantunan dan keagamaan, tapi telah berkembang ke isu-isu strategis. Banyak Fundraising LSM yang sudah bergerak ke dalam program untuk penderita HIV AIDS, program perlindungan anak serta perempuan, dan masih banyak lagi.

Faktanya, sekarang ini bentuk dan metode menyumbang lebih beragam, lebih menarik, tidak konvensional seperti dulu. Metode dalam Fundraising terbagi menjadi dua, yaitu direct fundraising (secara langsung melalui uang/barang) dan indirect fundraising (bisa seperti membeli produk dan partisipasi dalam acara amal). “Semakin besar dana yang ingin kita dapatkan, maka pendekatan yang dilakukan harus lebih personal”, ujar Hamid.

Strategi awal yang digunakan dalam fundraising dapat dimulai dari menawarkan program yang mudah dipahami masyarakat. Setelah kita lebih dikenal publik, barulah bisa berkembang ke isu-isu yang lebih strategis.

Fundraising itu meliputi kegiatan membuka mata, pikiran, hati dan dompet para donatur. Hal ini berarti bagaimana cara kita membuka mata para pendonor agar mereka mau memberikan sumbangan serta berpartisipasi dalam program kita. Fundraising itu dikatakan berhasil, saat orang sudah terketuk hatinya untuk menyumbang. Untuk itu penting menggunakan visualisasi dan kampanye yang menyentuh. Cara seperti ini tentunya berperan besar dalam keberhasilan fundraising.

Namun kita juga perlu berhati-hati, biasanya banyak sekali kritik terhadap kampanye penggalangan sumbangan karikatif. Isu karikatif adalah  isu yang menyangkut belas kasih. Tujuan awalnya untuk menyentuh donatur, tetapi justru malah berlebihan (mengeksploitasi penderitaan korbannya). Seharusnya ada etika yang harus kita perhatikan agar seorang subyek tidak merasa lebih dikorbankan.

Pemaparan selanjutnya, Hamid menjelaskan tentang Pilihan strategi dalam fundraising, yang mana meliputi 5 strategi, yaitu; growth, involvement, visibility, eficiency, stability

Biasanya insan OMS yang bergerak dalam isu strategis jangka panjang lebih memilih involvement. Hal ini dikarenakan, fokus mereka tidak hanya mendapatkan sumbangan, tetapi juga melibatkan partisipasi masyarakat. Skema yang biasa ditawarkan seperti program membership dan paket penyambutan. Tentunya selaku LSM bisa memilih salah satu pilihan strategi yang sesuai dengan isu program yang mereka jalankan.

Hamid mengatakan bahwa dirinya pernah melakukan survey mengenai pentingnya transparansi pertanggungjawaban program. Mayoritas dari masyarakat yang diteliti menjawab penting. Akan tetapi, mereka jarang sekali mengecek laporan pertanggungjawaban program tersebut. Namun sebagai fundriser dan pengelola donasi, laporan publik adalah hal yang wajib, demi transparasi dan kredibilitas OMS kita.

Bagaimana? tertarik untuk memperkuat strategi fundraising untuk organisasi anda? yuk ikuti paparan lengkapnya di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Setelah Mengikat Lalu Mengelola Pengetahuan

By Liputan Kegiatan

Di tengah pusaran informasi tiada henti, pengetahuan bagaikan harta karun yang menanti untuk digali. Bagi organisasi, mengelola pengetahuan secara efektif menjadi kunci untuk membuka gerbang pertumbuhan dan keberlanjutan. Dalam diskusi Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, Eko Komara, menutup Seri IV (11/06) ini dengan pemahaman secara mendalam tentang esensi dan praktik pengelolaan pengetahuan dalam organisasi.

“Pengelolaan pengetahuan ibarat radar sensitivitas organisasi,” ungkapnya. “Dengan mengelola pengetahuan secara baik, organisasi dapat lebih sigap menangkap perubahan dan memanfaatkan sumber dayanya dengan optimal.”

Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa pengelolaan pengetahuan tidak hanya terbatas pada ranah informasi, tetapi juga mencakup pengalaman dan budaya organisasi. “Pengetahuan organisasi terbangun dari dua arus utama: arus pengalaman dan arus informasi,” tuturnya. “Kedua arus ini perlu dikelola dengan pendekatan yang berbeda, yaitu budaya organisasi untuk arus pengalaman dan sistemik untuk arus informasi.”

Eko menuturkan bahwa pengelolaan pengetahuan secara efektif membutuhkan transformasi pengetahuan menjadi bentuk yang lebih tinggi, seperti inovasi dan kreasi. Hal ini dapat dicapai melalui proses spiralisasi dan konversi pengetahuan—paparan ini telah diwedarkannya pada Sesi III. “Spiralisasi dan konversi ini ibarat proses daur ulang pengetahuan,” terangnya. “Pengetahuan yang telah diperoleh diolah dan diubah menjadi sesuatu yang baru dan lebih bermanfaat.”

Namun, pengelolaan pengetahuan takkan optimal tanpa adanya organisasi pembelajar. “Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus belajar dan beradaptasi,” kata Eko. “Untuk menjadi organisasi pembelajar, diperlukan empat prasyarat: fondasi, keterampilan, kondisi pemungkin, dan habitat belajar.”

Eko tak luput menekankan bahwa teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), menjadi elemen penting dalam menciptakan kondisi pemungkin pengelolaan pengetahuan. Ia berpendapat, teknologi dapat membantu organisasi dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan pengetahuan.

Di sela paparan, Eko mengingatkan organisasi masyarakat sipil: pengetahuan organisasi lahir dari interpretasi dan makna yang diberikan terhadap data dan informasi. “Data adalah hasil pengamatan, informasi adalah hasil pengolahan data, dan pengetahuan adalah informasi yang telah dimaknai,” terangnya. “Dengan mengelola pengetahuannya secara efektif, organisasi dapat meningkatkan kepekaan terhadap perubahan, memanfaatkan sumber daya dengan optimal, dan pada akhirnya mencapai tujuannya.”

Bukan Mas Eko, begitu aktivis sipil sosial kemasyarakatan memanggilnya, kalau tak melemparkan pertanyaan reflektif. “Nah, jika demikian, kapan, di mana, dan bagaimana pengetahuan organisasi lahir,” demikian ia melemparkan pertanyaan kepada audiens. Pertanyaan ini mengundang sejumlah komentar.

Holan Tobing (Batam) bilang kalau pengetahuan lahir saat organisasi berdiri. Sementara, bagi Lien (Medan), pengetahuan organisasi lahir tatkala ia dibagikan atau diimplementasikan melalui program. Hampir segendang dan sepenarian dengan pernyataan demikian, Pajung Institute Lutra (Sulawesi Selatan) berujar: “Pengetahuan itu lahir dari saat kita berinteraksi dengan fakta di lapangan.”

Sementara itu, Kusworo Bayu Aji (Yogyakarta) mendefinisikan proses penciptaan pengetahuan sebagai perenungan dan transformasi pengalaman dan data menjadi bentuk yang mudah diakses. Baginya, pengetahuan baru tercipta ketika ia dibagikan dan dimanfaatkan oleh orang lain.

Aji memaparkan dua jenis format pengetahuan yang ia praktikkan: tulisan dan non-tulisan. Ia pun menekankan bahwa pengetahuan organisasi tak harus terpaku pada dokumen resmi dan lembaga, melainkan pada nilai yang tertransformasi dan dapat diakses secara luas. Pandangan Aji ini membuka wawasan baru tentang pengetahuan, yakni kolaborasi dan aksesibilitas menjadi kunci utama dalam memajukan organisasi dan individu.

Eko gayung bersambut dengan paparan Aji. Ia menyatakan, “Pengetahuan adalah sesuatu yang ditransformasi dalam bentuk lain yang dapat diakses,” menekankan esensi dari pengetahuan sebagai ikatan makna. Bagi Eko, mengelola pengetahuan bukanlah sekadar tugas teknis, melainkan sebuah proses yang melibatkan aspek esensial seperti menangkap, mengikat, memaknai, memberi nama, dan mendistribusikan pengetahuan. Ia menyoroti bahwa pada tahap ini, kemampuan untuk memproduksi pengetahuan menjadi mungkin.

“Materi ini [Seri I-IV] untuk ‘mengganggu’ teman-teman apakah ketika kembali ke organisasi kita menyadari soal ini [produksi pengetahuan]. Kalau organisasi ini sudah mampu memproduksi pengetahuan, ya kita akan mendapatkan efek ‘arus balik’ dari situ,” pungkas Eko.

Paparan Eko Komara—bila disimak dari seri pertama sampai keempat—bagaikan peta jalan yang menuntun aktivis organisasi masyarakat sipil dalam memahami pengelolaan pengetahuan. Seperti kerap ia utarakan: pengetahuan adalah ikatan makna, maka ia perlu diikat, dinamai, dan didistribusi.

Dari Konversi ke Spiralisasi Pengetahuan

By Liputan Kegiatan

Satu tarikan napas masuk jantung diskusi, Eko Komara mengajak audiens mengendapkan petikan pemahaman dua diskusi sebelumnya. Bila seri pertama bicara soal bagaimana OMS harus melakukan pengelolaan pengetahuan, seri kedua cenderung menukik pada persoalan cara.

Sedangkan, katanya lebih lanjut, seri ketiga (04/06) menguraikan bagaimana pengelolaan pengetahuan dapat mendorong mobilisasi sumber daya. Dorongan ini mengedepankan potensi manusia yang tiada lain dan tiada bukan merupakan sumber daya penting bagi organisasi.

Di awal presentasi, Eko sejurus kemudian mengutip Eric Hoffer, pria bertopi ala Newsboy filsuf konservatif moral paman sam. Nukilannya: “Di dunia yang tak henti berubah, para pembelajar akan mewarisi bumi, sementara yang berhenti belajar akan berpuas diri, merasa layak mendapat seisi dunia—dunia yang sejatinya sudah tiada: berubah!”

Kutipan ini menjadi pintu masuk bagi pembacaan Eko atas situasi organisasi masyarakat sipil (OMS) di tengah abad informasi. Gempuran informasi yang tak berkesudahan mendorong derasnya isu bermunculan. Umpamanya, menengok situasi distribusi informasi melalui teks dan fail di WhatsApp. Belum selesai membaca sudah kedatangan tulisan lain. Kondisi derasnya informasi ini menyeruak menjadi peluang, khususnya bagi OMS untuk terus merumuskan bangunan pengetahuan.

“Seberapa jauh teman-teman melihat, misalnya, perjuangan perempuan dan kelapa sawit,” ucap Eko menyodorkan gambaran agar OMS memiliki sensitivitas untuk mengoneksikan titik simpul suatu isu. Sesungguhnya ajakan Eko kepada OMS agar lantip mendaras situasi itu merupakan penajaman dari mata puitik—melihat yang tak terlihat, memaknai relasi dari yang tak terkait, serta memikirkan yang belum terpikir.

Dalam paparannya, Eko menyentil dua lokus, yakni spiralisasi dan konversi pengetahuan.

Spiralisasi pengetahuan merupakan proses akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan. Ia bekerja pada tiga dimensi: pengelolaan arus pengalaman melalui pendekatan budaya organisasi, serta pengelolaan arus informasi melalui pendekatan sistemik berbasis sistem manajemen data dan informasi. Masing-masing arus pengetahuan membutuhkan pendekatan khusus untuk mencapai spiralisasi yang efektif, efisien, dan komprehensif.

Sementara itu, Eko melanjutkan, bagaikan konversi energi, proses konversi pengetahuan senantiasa berlangsung dalam organisasi. Penguasaan pengetahuan membuka peluang bagi organisasi untuk mengembangkan inovasi dan kreasi, seirama dengan pemahaman terhadap dinamika lingkungan eksternal.

Tujuan utama konversi pengetahuan adalah menemukan ruang relevansi baru yang paling strategis bagi organisasi. Keberlanjutan bergantung pada kemampuan organisasi untuk terus-menerus menemukan titik relevansi baru, seiring dengan tatanan yang selalu berubah dan berkembang secara dinamis.

“Kalau teman-teman mau mengembangkan sebuah produk, inovasi, atau hasil kreasi pengelolaan pengetahuan organisasi maka berilah nama. Kalau punya nama dan logo maka dia akan hidup. Mungkin dia akan hidup lebih panjang dari organisasi,” ucap Eko. Paparan ini mempertegas arah diskusi seri ketiga, yaitu mengajak audiens untuk menyodorkan produk apa yang organisasi tawarkan.

Sejumlah OMS yang hadir gayung bersambut. Mereka melemparkan ide, deskripsi produk, dan sedikit mengutarakan narasi di balik peneluran gagasan. Jatmiko Wiwoho dari Yayasan Penyu Indonesia, misalnya, menyebut Mafal (Mameduli Fenu Along). Ia ingin bikin semacam website konservasi penyu. Harapannya, ada pendaftaran pengunjung, penjadwalan kegiatan pelancong, hingga term in condition.

Perumusan nama dan penganyaman logo menjadi langkah sedepa memanifestasikan ide. “Jalan saja. Rasakan pengetahuan yang kita miliki akan terserap di situ. Dan dia akan berkembang jadi pengetahuan-pengetahuan baru,” pungkas Eko memberi penegasan atas pentingnya pengeksekusian gagasan menjadi sebuah produk inovasi.

Reka Arus Cipta Alur Pengetahuan OMS

By Liputan Kegiatan

Nirwan Dessibali asal Makassar sesekali mengernyitkan dahi ketika diminta merefleksikan diskusi Seri I tempo hari. Di balik jumpalitan pertanyaan di benaknya, Nirwan merasakan bahwa paparan Eko Komara sebelumnya membuat dirinya ngeh. Betapa tidak? Nirwan menyadari pengelolaan pengetahuan memang makanan sehari-harinya di organisasi.

Namun, selepas paparan Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu lalu, dirinya makin tergerak untuk membikin peta pengelolaan pengetahuan secara lebih serius. Di internal organisasinya, Nirwan mengaku, “Kami selalu harap diskusi ini [ihwal pengelolaan pengetahuan] tidak membuat kening kami berkerut. Diskusi boleh panjang tapi semoga membuat bahagia.”

Memang tanda pengetahuan telah mengejawantah menjadi pemahaman tatkala seseorang tengah dirundung tanda tanya. Bingung itu pasti. Tapi di balik kebingungan senantiasa disusul dengan gerak nyata. Tindakan nyata itu Nirwan ingin gali terus melalui keikutsertaannya dalam Sesi II: Pemetaan Arus dan Alur Pengetahuan dalam OMS pada Selasa (28/05) di Zoom Meeting.

Bila pertemuan pertama cenderung memprovokasi mengapa OMS harus mengelola pengetahuan, sesi kedua lebih pada kedudukan sirkulasi pengetahuan dalam lapisan konseptual dan praksis. Eko mengawali diskusi dengan menyodorkan anggapan umum yang kerap dilakoni OMS.

“Siklus kita kan gagasan yang dituliskan dalam bentuk proposal, bahkan sebelum gagasan kita ambil peluang pendanaan (call). Apakah kita punya gagasan karena call atau kita punya gagasan sebelum itu,” tanyanya mengundang refleksi. Pertanyaan Eko ini mengimplikasikan kecenderungan—kalau tidak dikatakan sebagai pola umum—organisasi sipil yang mendapatkan asupan energi karena peluang pendanaan. Problemnya, ide itu mendahului atau melampaui peluang pendanaan?

Seri II ini jamak menggarisbawahi bahwa pengelolaan pengetahuan bukan sekadar inti dari mobilisasi sumber daya, melainkan juga suatu bentuk pengelolaan organisasi. Eko menyodorkan premis umum pengelolaan pengetahuan OMS. Antara lain: pengetahuan akan membantu organisasi menjamin pertumbuhan dan keberlanjutan pada tiga dimensi, yakni objek, agen, dan konteks. Meski demikian, apa gerangan pengetahuan itu?

Eko memaparkan, pengetahuan merupakan informasi yang telah diinterpretasikan, sedangkan informasi merupakan hasil pengolahan data. “Dan data itu sendiri ialah hasil pengamatan fakta atau kejadian tertentu,” ungkapnya. Sementara itu, pengetahuan dapat berupa tacit dan eksplisit. Pengetahuan tacit, atau pengetahuan yang tersimpan dalam diri individu, akan terbangun terlebih dahulu. Namun, proses pematangan pengetahuan semacam ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Lebih lanjut, perubahan dari pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit, dan kemudian kembali menjadi pengetahuan tacit, memerlukan model intervensi khusus untuk memfasilitasinya. “Pengelolaan pengetahuan memiliki siklus yang tersambung. Dan, kesinambungannya mensyaratkan organisasi menjadi organisasi pembelajar,” terang Eko.

Pada OMS terdapat dua arus pengetahuan utama yang saling berkaitan. Pertama, arus pengalaman yang harus dikelola selaras dengan budaya organisasi. Kedua, arus informasi yang bermula dari data dan membutuhkan pengelolaan sistemik.

Kendati memiliki karakteristik berbeda, kedua arus pengetahuan ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya berpangkal dari titik awal yang sama dan akan membentuk satu muara bersama, membentuk sinergi pengetahuan yang kuat di dalam organisasi.

Pada penghujung diskusi, terdapat refleksi bersama yang diutarakan Eko Komara. Acap kali masalah sistemik organisasi sipil hari ini adalah ketiadaan staf organisasi. Sebab, menurut hasil pencermatannya, adanya “struktur kepanitiaan dalam organisasi kita.” Fenomena ini mengunggah seraya melecut audiens OMS dari berbagai daerah di Indonesia. Marwah organisasi mesti disadarkan sangkan dan paran-nya.

Menyunting yang Mengasyikkan

By Liputan Kegiatan

Jakarta (17/5/2024). Banyak orang melakukan swasunting lalu kesulitan menemukan kelemahan tulisannya. Kemudian mereka meminta bantuan orang lain untuk membaca kembali tulisan mereka. Tentunya ini adalah cara yang efektif untuk mendapat pandangan yang obyektif guna perbaikan tulisan kita. Idealnya mengorekasi dilakukan minimal dua kali baca guna didapat hasil yang terbaik.

Pemahaman menarik ini muncul di 3 Jam Kelas Berbagi; Kyutri yang dihelat Jejaring Lokadaya dan Lingkar Madani. Pelatihan ini merupakan sesi kedua dari rangkaian tema besar menulis dengan kalimat efektif. Uu Suhardi masih membersamai sebagai narasumber pada topik penyuntingan kali ini.

Penyuntingan adalah proses atau perbuatan menyunting. Adapun menyunting adalah memeriksa dan memperbaiki naskah dengan memperhatikan isi dan bahasanya (menyangkut kaidah/ejaan dan struktur kalimat). Kita dapat menyunting sendiri tulisan kita (melakukan swasunting), meminta bantuan orang lain, atau meminta bantuan dari penyunting profesional.

Seorang penyunting atau orang yang pekerjaannya melakukan penyuntingan, dipastikan termasuk dalam kategori orang yang teliti, fokus dan tidak terburu-buru. Dalam penyuntingan, tentunya mereka membutuhkan pegangan agar tulisan mereka lebih sempurna dan efektif.

Pegangan utama dalam melakukan penyuntingan, meliputi:

– Tata bahasa baku bahasa indonesia

– Ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan (EYD)

– Kamus besar bahasa indonesia, kamus bahasa asing dan tesaurus.

Pada sesi tanya jawab muncul pertanyaan dari Heri Oktavianus mengenai penggunaan ChatGPT AI dalam penyuntingan. Uu Suhardi menjawab bahwa boleh-boleh saja dipergunakan, tetapi sebatas digunakan sebagai alat bantu saja. Untuk saat ini hasil ChatGPT tidak sepenuhnya benar, terutama bahasa Indonesia. Bila menggunakannya, kita harus tetap melakukan penyuntingan ulang. “Dari pengalaman saya, penggunaan ChatGPT hanya sebagai alat bantu karena tetap harus diperbaiki ulang. Terkadang dia tidak mengerti apa yang kita maksud, namanya juga mesin, iya terbantu tapi tidak sepenuhnya benar”, ujar Uu Suhardi.

Pada pertemuan kedua ini semua peserta antusias melatih kemampuan menyunting, lebih aktif  dalam berbicara, bertanya, dan menjawab pertanyaan secara berkelompok. Moderator dan Narasumber memberikan beberapa paragraf sebagai bahan latihan para peserta, lalu mereka saling mengoreksi apa yang salah dari kalimat-kalimatnya. Sementara  moderator juga sibuk menilai peserta layaknya kuis. Seru sekali tentunya sesi ini.

Keseruan-keseruan lain dalam pelatihan penyuntingan ini dapat diikuti secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Kekuatan Ajaib Sebuah Kalimat Efektif

By Liputan Kegiatan

Jakarta (15/5/2024). Dalam sebuah tulisan, struktur kalimat yang teratur tidak harus melulu tersusun dari SPOK yang  lengkap. Boleh saja di dalam tulisan menggunakan satu atau dua kalimat yang berantakan sebagai teknik variasi agar pembaca tidak merasa bosan untuk membacanya. Namun bila tulisan menggunakan struktur kalimat yang berantakan semua, tentu akan melelahkan pembaca dan pesan menjadi kurang tersampaikan karena pembaca susah untuk memahami tulisan tersebut.

Lokadaya bekerjasama dengan Lingkar Madani mengadakan Tig Jam Kelas Berbagi; Kyutri dengan tema kali ini adalah “Menulis dengan Kalimat Efektif bersama Uu  Suhardi, Ia merupakan redaktur senior dan pengajar di Tempo Institute.

Di awal pemaparannya , Uu menjelaskan mengenai ragam bahasa yang secara garis besar dibagi menjadi tiga ;

– Formal (bahasa yang tertib secara gramatikal, kata baku, dan imbuhan lengkap)

– Nonformal (bahasa percakapan sehari-hari, menggunakan kata nonbaku dan imbuhannya ada yang tidak lengkap)

– Semi formal (bahasa jurnalistik, ringkas dan imbuhannya lengkap kecuali judul)

Seorang penulis tentunya ingin semua hal yang akan disampaikannya benar-benar dipahami oleh pembaca dan kalimat efektif diperlukan untuk itu. Semua jenis tulisan membutuhkan keterampilan menulis dengan kalimat efektif.

Kalimat yang sempurna sekurang-kurangnya harus memiliki subyek dan predikat. Kalimat tersebut dapat juga diberi pelengkap dan penjelasan. Biasanya kalimat sempurna itu efektif dan sederhana. Kalimat efektif adalah kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap dan cermat, yaitu

  • Singkat: hanya menggunakan unsur yang diperlukan
  • Padat: tidak berisi pengulangan kata
  • Jelas: strukturnya teratur
  • Lengkap: mengandung semua unsur pembentuk kalimat
  • Cermat: memakai tanda baca dan pilihan kata yang tepat serta tidak menyimpang kaidah

Uu Suhardi juga menyampaikan bahwa dalam penulisan kalimat efektif, ada baiknya menghindari kata-kata yang mubazir. Kata mubazir adalah kata yang tidak mengganggu kelancaran komunikasi bila tidak digunakan. Sifatnya yang berlebihan bahkan dapat menghasilkan kalimat rancu.

Penjelasan selanjutnya ialah mengenai kaidah. Semua bahasa modern memiliki kaidah, hal ini didasari bahasa yang selalu berpola. Dari pola tersebut maka lahirlah kaidah atau aturan yang pasti. Kaidah ini harus dipatuhi dan diikuti banyak orang. “Jika kita menerapkan kaidah, niscaya tulisan kita akan mudah dipahami. Namun sebaliknya jika tulisan kita menyimpang dari kaidah maka tulisan yang kita tampilkan akan sulit dipahami”, terang Uu Suhardi.

Dengan demikian, agar lebih mudah dipahami, tulisan harus menggunakan kalimat yang mematuhi kaidah. Kaidah dalam hal ini mencakup penggunaan tanda baca, pemakaian huruf dan penulisan kata.

Pemaparan lengkap  materi kalimat efektif ini dapat diakses secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Menyulam Masa Depan, Benang Pengetahuan Organisasi Masyarakat Sipil

By Liputan Kegiatan

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berada di titik persimpangan jalan. Ia tengah menghadapi desakan sejarah untuk berkelanjutan tanpa memupuk laba. Sebagai entitas nirlaba, OMS berorientasi memberikan layanan dan jasa demi kemaslahatan khalayak. Nuansa filantropi, solidaritas, dan semangat perubahan yang menggerakkan OMS sehingga menjadikannya khas.

OMS berada di tengah zaman yang makin bertunggang-langgang. Perubahan yang teramat cepat itu mengondisikan OMS untuk punya daya ungkit dan radar sensitivitas sumber daya organisasi. Pada aras ini pengelolaan pengetahuan OMS bukan saja penting, melainkan juga merupakan kebutuhan imperatif. Begitulah Eko Komara, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, mengawali diskusi Kenapa OMS Harus Mengelola pengetahuan? pada Selasa (14/05) di Zoom Meeting.

Diskusi seri pertama bertemakan Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan ini membabar tantangan dan peluang OMS untuk merefleksikan situasi “melihat ke luar, menengok ke dalam” tubuh organisasinya. Eko menuturkan, mobilisasi sumber daya adalah upaya yang memastikan tercukupinya sumber daya organisasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan keberlanjutan pencapaian visi dan misi organisasi.

“Mobilisasi sumber daya berarti perluasan sumber-sumber daya, dan peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki organisasi,” ujarnya. Sumber daya pengetahuan, lanjut Eko, melengkapi sumber daya manusia, pendanaan, dan teknologi.

Sumber daya pengetahuan acap kali terabaikan karena OMS kerap bekerja berbasis proyek. Sandra Tjan, salah satu peserta dari Morotai, Maluku Utara, menyatakan kecenderungan OMS yang timbul-tenggelam. Sebab, hematnya, OMS sering muncul karena suatu isu. Bila isu telah didanai sekaligus dikerjakan, maka setelah pembagian “hasil” OMS berpotensi hilang. Hilangnya OMS ini diakibatkan karena tak memiliki daya ungkit yang sesungguhnya dapat ditopang dari kegiatan pengelolaan pengetahuan.

Seirama dengan kondisi “OMS musiman” itu, Subhan dari Pandeglang berpendapat, “Biasanya lembaga sosial yang sedang lead dalam project akan eksis sepanjang project-nya belum berakhir. Namun, setelah project-nya selesai, lembaga tersebut nyaris tidak ada.” Kegelisahan Sandra dan Subhan ini cukup beralasan karena OMS jamak terjebak pada kerja sosial berbalut kegiatan proyek yang sifatnya temporal.

Terdapat satu celetukan Febrilia dari Bandar lampung atas hasil menyimaknya dari paparan Eko Komara: “Logika tanpa logistik akan sulit untuk jalan. Logistik ada tapi nggak pakai logika itu jalannya kesasar.” Sementara, ia melanjutkan, pengelolaan pengetahuan memang berada di ranah logika, selain dimungkinkan karena ketelatenan, kerja kolektif, dan panjang usus.

Kendati demikian, pengelolaan pengetahuan juga seyogianya dibarengi dengan kesadaran bersama. Jika tidak, Sandra Tjan mengingatkan, OMS akan terus menebalkan persaingan seperti halnya problem organisasi sipil belakangan. “Persaingan antar-OMS juga cukup kuat. Saling menahan pengetahuan daripada berbagi pengetahuan dan kerja sama. Karena takut disaingi, masing-masing mempertahankan positioning dan branding dirinya,” kritik Sandra.

Keringkihan OMS pun berpeluang mengancam keberlanjutan organisasi. Dennis dari Yogya melihat keberlanjutan organisasi akan di ujung tanduk jika tak mengindahkan aspek resiliensi. “Tren tiga sampai lima tahun belakangan, kan kelokalan jadi konteks yang didorong oleh donor. Dan OMS tak mampu mengelola pengetahuannya,” ungkapnya. Dennis melihat benang merah antara pengelolaan pengetahuan dan keinginan donor. Jadi, menurutnya, OMS harus tetap relevan.

Forum diskusi yang diikuti oleh sekitar 100 peserta dari OMS di Sabang sampai Merauke ini berjalan ciamik, sebagaimana dibahasakan oleh Eko Komara: mampu reflektif dan seberapa jauh organisasi sipil berposisi dan menjalin-kelindan pendekatan serta intervensi baru. Di tengah titik persimpangan yang dirasakan, keberlanjutan OMS hendaknya bertumpu di atas pengelolaan pengetahuan. Bila tak disadari sedemikian, alih-alih berkelanjutan, OMS akan berkubang dalam situasi dilematis: hidup segan mati tak mau.

Optimalisasi Potensi Relawan TB

By Liputan Kegiatan

Jakarta (1/4/2024). Relawan biasanya tidak memiliki ikatan formal dengan sebuah lembaga dan juga mereka tidak memiliki SK dari pihak yang berwenang. Hal ini yang mendasari keberlanjutan relawan dalam sebuah program menjadi ironi, termasuk dalam program TB. Mereka dapat melakukan ghosting atau datang pergi selama berjalannya program. Tentu ini menjadi PR bersama mengenai pengelolaan atau manajemen relawan TB.

Penyampaian menarik ini terdapat dalam program Ngabuburit Ngobrol TBC.yang diadakan oleh jejaring Lokadaya. Pada pertemuan keempat ini, Lokadaya mengambil tema “Potensi dan Opsi Manajemen Relawan TB” dengan  Anggoro Budi Prasetyo, peneliti dan Direktur eksekutif Pujiono Centre, sebagai narasumber.

Mayoritas OMS yang mau tergabung menjadi relawan biasanya dalam tahap mengerjakan dan bersinggungan langsung dengan isu TB. Jadi bukan hanya didasari sebagai individu yang peduli, tetapi juga sebagai lembaga yang sedang menggarap program TB.

Program TB itu tidak serta merta membicarakan tentang kesehatan, tetapi juga ada isu pendidikan, serta isu sosial did alamnya. Nah ini merupakan bagian dari peran relawan dalam mendukung program TB. Oleh karena itu, relawan tidak harus mengerti tentang kesehatan pada kasus TB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pujiono Centre, cukup banyak pihak yang potensial menjadi relawan TB. Pihak tersebut tidak hanya berperan di dalam penanganan pasien secara langsung, tetapi dapat berperan di ranah influencer, fundraiser, edukator dan administrator.

Pihak yang berpotensi menjadi relawan terbagi menjadi dua yaitu kategori perorangan dan kategori lembaga. Dalam kategori perorangan meliputi:

– Perorangan non-struktur

– Perorangan dari organisasi

– Perangkat desa

– Petugas kesehatan

– Anggota organisasi kemasyarakatan

– Warga umum

Sementara untuk kategori lembaga/pemerintah, meliputi:

– Lembaga kemasyarakatan

– Lembaga sosial

– Lembaga khusus TB

– Lembaga pendidikan

– Lembaga pemberdayaan wanita

– Lembaga kemanusiaan

– Organisasi profesi

– Lembaga Pramuka

Anggoro menyampaikan sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang relawan TB. Selain itu, masih terdapat kerancuan konsep kader dan relawan TB. Rekomendasi yang Ia berikan adalah kita perlu mempertegas fungsi dan peran relawan dalam upaya eliminasi TB dan mengadvokasi kebijakan payung di tingkat nasional tentang peran dan fungsi relawan TB.

Pada sesi tanya jawab, terdapat pertanyaan menarik terkait fenomena hilang timbulnya relawan dalam proses berjalannya program TB. Sepertinya permasalahan ini diamini oleh banyak pelaksana program TB di Indonesia. Menurut Anggoro, dalam hal pengelolaan relawan sebaiknya kita gunakan kontrak kerja yang harus didiskusikan sejak awal. Kontrak ini bukan hanya terkait durasi kerja, tetapi juga jobdesc apa saja yang dapat dilakukan sesuai passion mereka.

Ngabuburit dengan obrolan berkualitas ini dapat kita simak secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)