Skip to main content
Category

Liputan Kegiatan

Dari Layar ke Hati: Galangdaya Bahas Optimalisasi Kampanye Media Sosial

By Liputan Kegiatan

“Konten is the king,” begitu tegas salah satu narasumber dalam webinar Merakit Kolaborasi Digital yang digelar Galangdaya. Namun pernyataan itu segera memantik pertanyaan: apakah sekadar konten cukup untuk menggugah kepedulian publik? Dari klaim dingin tentang algoritma hingga kalimat hangat yang menyentuh hati, sesi ini menunjukkan bahwa kampanye digital bukan hanya soal strategi teknis, melainkan tentang cara menghidupkan harapan nyata bagi mereka yang paling membutuhkan

Galangdaya kembali menggelar webinar dalam rangkaian Seri “Merakit Kolaborasi Digital”, Kamis (7/8/2025). Pada sesi bertajuk “Optimalisasi Kampanye di Media Sosial”, hadir tiga narasumber utama: Sari Novita, Rizkiani Milania (Kiki), dan David dari Penabulu. Acara ini dirancang sebagai ruang belajar bersama bagi organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat strategi komunikasi digital, terutama dalam mengelola kampanye publik dan penggalangan dana.

Sejak awal, para pembicara menegaskan bahwa media sosial kini telah menjadi arena utama dalam menyuarakan isu-isu sosial. Namun, agar kampanye tidak sekadar lewat di beranda pengguna, strategi yang terukur mutlak dibutuhkan. Sari Novita menjelaskan bahwa setiap organisasi harus mulai dengan merumuskan tujuan kampanye menggunakan pendekatan SMART: specific, measurable, achievable, relevant, dan time-bound. Dengan cara ini, target yang diinginkan, misalnya jumlah donasi atau partisipasi publik lebih mudah dicapai.

Pembahasan kemudian mengerucut pada pentingnya memilih kanal komunikasi yang tepat. Media sosial seperti Instagram dan TikTok dinilai efektif untuk menjangkau anak muda dengan konten visual yang ringan dan cepat viral. YouTube cocok untuk narasi panjang seperti dokumenter atau testimoni, sementara Facebook tetap relevan bagi komunitas berusia 30 tahun ke atas. Di sisi lain, WhatsApp dianggap sebagai saluran personal untuk membangun kedekatan, sedangkan email dipandang lebih formal dan cocok menjaga relasi dengan donatur tetap.

Sari menambahkan, strategi kampanye yang baik juga harus memanfaatkan cross-platform. Satu tautan donasi, misalnya dari platform crowdfunding, sebaiknya ditempatkan di berbagai kanal sekaligus, dari Instagram, WhatsApp, hingga website organisasi. Transparansi, konsistensi, dan kemudahan akses menjadi kunci agar publik mau terlibat. “Cukup satu link yang sama, supaya tidak membingungkan calon donatur,” ujarnya.

Selain kanal, kekuatan narasi mendapat sorotan penting. Menurut David, sebuah kampanye akan lebih menggugah jika menghadirkan persona nyata seperti anak, keluarga, atau komunitas yang menjadi penerima manfaat. Narasi yang terlalu umum sering kehilangan daya tarik, sementara penyebutan nama atau kisah spesifik bisa membuat audiens merasa lebih dekat. “Dengan bantuan Anda, Yani dan Rizal bisa kembali belajar,” contoh David, menggambarkan bagaimana menyusun kalimat sederhana namun berdampak.

Dalam diskusi, peserta juga belajar menyusun narasi kampanye dengan metode CARS yang telah dibahas pertemuan sebelumnya. Sari dan David antusias memberikan masukan sebagai evaluasi pada narasi kampanye yang telah disusun peserta. Sedangkan Kiki mengomentari pada foto-foto yang digunakan peserta untuk mewakili narasi kampanye tersebut.

Para narasumber sepakat bahwa keberhasilan kampanye digital bukan semata soal teknis distribusi konten, melainkan juga kejujuran dan orisinalitas. Foto kondisi lapangan, testimoni penerima manfaat, hingga laporan keuangan yang transparan akan membangun kepercayaan publik. “Orang bisa melihat ketulusan dari narasi maupun visual yang apa adanya,” kata David.

Menutup sesi, Galangdaya menegaskan kembali bahwa media sosial hanyalah alat. Substansi terpenting tetap ada pada isu dan tujuan organisasi. Dengan narasi yang kuat, strategi kanal yang tepat, serta evaluasi berkelanjutan, kampanye digital diyakini mampu menjadi motor perubahan sosial. (*ari)

Strategi Narasi dan Visual Kampanye yang Berdaya

By Liputan Kegiatan

Jakarta, 6 Agustus 2025 – Galangdaya kembali menyelenggarakan webinar dalam seri Merakit Kolaborasi Digital, kali ini bertajuk “Merancang Narasi dan Visual Kampanye”. Tiga narasumber dihadirkan: Sari Novita, content writer dan copywriter; Rizkiani Milania (Kiki), project manager sekaligus fotografer; serta David dari Penabulu, praktisi komunikasi organisasi.

Acara ini membahas cara merancang narasi kampanye yang menggugah, menyusun visual yang etis, hingga strategi mengoptimalkan media sosial untuk penggalangan dana dan advokasi.

Dari Eksploitasi Kesedihan ke Narasi Positif

Materi pertama dibawakan oleh Sari Novita. Ia mengingatkan bahwa kampanye bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan menggerakkan orang untuk bertindak.

Menurut Sari, pendekatan lama kerap mengeksploitasi kesedihan dengan menampilkan penderitaan secara vulgar. Foto-foto penderitaan dianggap bisa memicu donasi. Namun kini, praktik tersebut dinilai tidak etis.

Sari menekankan pentingnya narasi positif yang menonjolkan dampak dukungan, bukan penderitaan subjek. Ia memperkenalkan formula CARS (Context – Action – Result – Storytelling): menjelaskan masalah, menyampaikan aksi yang direncanakan, menunjukkan hasil yang diharapkan, lalu membungkusnya dalam cerita yang sederhana dan emosional.

Alih-alih menulis, “Anak-anak di desa X tak punya sepatu,” Sari menyarankan narasi seperti: “Dengan sepasang sepatu dan jas hujan, Rina bisa bersekolah setiap hari tanpa takut berjalan di jalan licin saat musim hujan. Ia bisa lebih fokus belajar dan tidak lagi tertinggal pelajaran.”

“Kalimat seperti itu memberi harapan, bukan sekadar menampilkan kesedihan,” tegasnya.

Visual yang Menghidupkan Cerita

Setelah sesi narasi, giliran David dan Kiki membahas visual kampanye. David mengingatkan bahwa foto harus menghormati privasi dan martabat subjek. “Kita bisa gunakan nama samaran atau siluet. Audiens tetap bisa berempati tanpa melanggar etika,” katanya.

Kiki lalu menjelaskan dasar-dasar fotografi untuk kampanye. Menurutnya, foto yang baik bukan hanya indah, tetapi mampu bercerita. Ia menekankan tiga hal utama:

  • Emosi: tangkap ekspresi atau simbol yang menghadirkan rasa.
  • Konteks dan Latar: tunjukkan situasi di balik subjek, bukan hanya orangnya.
  • Momen: pilih saat yang tepat ketika ekspresi paling kuat muncul.

Kiki menambahkan, “Foto kelompok yang kaku jarang bercerita. Lebih baik tangkap momen diskusi atau ekspresi bahagia peserta. Itu lebih menggugah dan relevan.”

Pertanyaan Peserta: Etika dan Tantangan

Sesi tanya jawab memunculkan diskusi menarik.

Afria dari PKBI NTB bertanya bagaimana membuat narasi menggugah jika isu yang diangkat sensitif, misalnya anak korban kekerasan yang tidak bisa ditampilkan wajahnya. Sari menegaskan, persona bisa tetap dibangun tanpa identitas asli. “Yang penting, audiens tetap bisa membayangkan dan berempati,” jelasnya.

Kumbara dari Yayasan Peduli Masyarakat Sumatera Utara mengangkat isu penggunaan dana donasi untuk dokumentasi. Ia khawatir publik salah paham. Menjawab hal ini, David menekankan pentingnya transparansi. “Donatur publik tak menuntut nota konsumsi satu per satu, tapi organisasi harus menjelaskan alokasi dana dengan jujur agar tidak menimbulkan kecurigaan,” tegasnya.

Pertanyaan lain menyinggung penggunaan AI dalam fotografi. Afria kembali bertanya, apakah etis menggunakan teknologi ini untuk memperkuat visual kampanye. David menjawab, AI bisa dipakai untuk memperbaiki kualitas, tetapi tidak boleh menciptakan cerita palsu. “Manipulasi yang menyesatkan harus dihindari,” ujarnya.

Dari Data ke Cerita

Satu pesan kunci yang berulang kali muncul adalah pergeseran dari gaya laporan data menuju cerita yang menyentuh emosi. Menurut Sari, narasi laporan cenderung kaku, sementara kampanye harus membangun harapan.

Kiki menambahkan bahwa dokumentasi formal seperti foto berjejer kurang efektif. “Lebih baik tunjukkan dinamika nyata: diskusi hangat, kerja bersama, atau momen bahagia. Itu yang membuat publik merasa ingin ikut terlibat,” jelasnya.

Menuju Kampanye yang Inspiratif

Melalui webinar ini, Galangdaya menegaskan bahwa kampanye digital bukan hanya soal menyebarkan informasi, melainkan merakit kepercayaan publik melalui cerita dan visual yang etis. Transparansi, penghormatan terhadap martabat subjek, serta kreativitas menjadi kunci utama.

Webinar ditutup dengan ajakan agar peserta mempraktikkan metode yang dipelajari melalui latihan merancang narasi kampanye pada sesi berikutnya. “Pada akhirnya, kampanye digital yang baik membuat orang merasa: saya ingin menjadi bagian dari perubahan ini,” pungkas Sari.

Galangdaya; Nafas Baru Pendanaan OMS

By Liputan Kegiatan

Jakarta (5/8/2025). Tantangan yang saat ini banyak dialami OMS di Indonesia adalah keterbatasan sumber daya, termasuk donor. Hal tersebut memang sangat krusial karena akan berpengaruh pada keberlanjutan program layanan kita di masyarakat. Nah, dari pemasalahan ini, sebenarnya publik juga memiliki potensi untuk turut andil dan berpartisipasi guna membantu program kerja kita.

Tantangan ini banyak diamini oleh para peserta serial Merakit Kolaborasi Digital yang diadakan Galangdaya Selasa, 5 Agustus 2025. Pertemuan pertama seri ini berjudul Panduan Pembuatan Akun Kreator Dan Kampanye Galangdaya. Serial ini diinisiasi oleh Galangdaya, Jejaring Lokadaya, dan Yayasan Penabulu serta dukungan dari Uni Eropa melalui program Co Evolve 2.

Narasumber yang dihadirkan pada sesi pengenalan Platform ini adalah Tio Hermawan sebagai punggawa Galangdaya.

Dalam organisasi, kita perlu mendalami kembali (flashback) visi misi OMS kita masing-masing. Hal-hal terkait alasan kita hadir di tengah masyarakat dan solusi apa yang dapat kita berikan untuk kemajuan masyarakat. Tentu dalam proses ini, kita juga menemui tantangan di lapangan dalam hal pemberian solusi tersebut. Galangdaya hadir sebagai solusi atas tantangan tersebut.

Galangdaya berperan sebagai jembatan antara potensi publik dengan solusi lokal yang sedang kita kembangkan, diharapkan program kita akan terus berjalan, bila publik turut membantu berkontribusi. Galangdaya adalah inisiatif penggalangan daya publik yang mempertemukan solusi dari layanan OMS lokal dengan dukungan sumber daya, infrakstruktur, dan peluang kolaborasi lintas pihak.

“Galangdaya diharapkan dapat menjadi jawaban akan tantangan pendanaan (donor), tantangan keberlanjutan program/layanan,” ungkap Tio. Selain itu, Galangdaya juga sebagai alternatif peluang sumber daya. Berikut adalah peluang dari Platform Galangdaya:

  • Masih tingginya perhatian publik terhadap isu global
  • Tumbuhnya budaya berdonasi secara digital
  • Ruang komunitas yang terkoneksi dengan teman-teman OMS lain.

Di platform Galangdaya, bagian donatur terdiri dari donatur terdaftar dan donatur tidak terdaftar. Sebagai donatur, memang tidak diperlukan mendaftar bila ingin berdonasi. Namun, jika seorang donatur tersebut sudah terregister, maka semua riwayat donasinya akan tercatat dengan baik di dalam platform. Selanjutnya, untuk akun kreator terdiri dari pembuat kampanye dan keluarga Lokadaya (sementara ini masih dibatasi hanya untuk lembaga yang terhubung dengan Lokadaya).

Para peserta antusias dalam membuat akun dan kampanye di Platform Galangdaya. Cara registrasi akun diawali dengan membuat akun kreator dengan data lembaga masing-masing. Peserta membuat kampanye penggalangan daya dengan mengangkat isu lokal beserta solusinya. Kemudian, peserta dapat melakukan optimalisasi kampanye melalui jejaring dan media sosial.

Di sesi ini, Tio memandu cara membuat akun kreator dan kampanye Galangdaya. Kita perlu mempersiapkan kebutuhan data yang diperlukan untuk mengisi Platform ini. Setelah klik daftar, kita pilih program creator, pastikan kita sudah terhubung dalam keluarga (Jejaring Lokadaya). Kemudian setelah mengisi data yang dibutuhkan, kita wajib cek email untuk aktivasi akun. Bila akun telah diverifikasi oleh admin, maka kita sudah bisa login dan memulai membuat kampanye.

Untuk membuat kampanye, pertama-tama kita masuk dulu ke tab program saya, klik tambah ,lalu mengisi deskripsi kampanye dan kebutuhan dana/barang/relawan. Perlu diingat, sebelum kita publish kampanye kita, tentu perlu dicek kembali, baru klik simpan. Setelah klik simpan, pihak Galangdaya akan meninjau dan memverifikasi kampanye tersebut.

Setelah berhasil tayang, kita sebaiknya membagikan link kampanye ke media sosial masing-masing. Jangan lupa selalu cek notifikasi terbaru. Selain itu, kita perlu membuat laporan secara menyeluruh bila masa kampanye kita sudah selesai.

Semakin optimal kampanye yang kita lakukan, kita bisa lebih cepat mendapatkan atensi publik dan kontribusi sumber daya publik. Selanjutnya, kita perlu melaksanakan implementasi program sesuai dengan kampanye dari sumber daya yang didapat. Rangkaian ini diakhiri dengan cerita baik yaitu pembuatan laporan implementasi program disertai dengan cerita kampanye. (*ari)

OMS Bukan Dinasti

By Liputan Kegiatan

Jakarta (18/7/2025). Ada sebuah premis menarik bahwa jika kita tidak mengakomodir generasi muda, mereka justru membuat gerakan perubahan di luar organisasi, karena ada data banyaknya organisasi yang pecah karena ini. Afirmasi menarik ini membuat diskusi siang itu agak panas dan para peserta nampak berpikir keras dan mengiyakan statement tersebut. Diskusi ini masih dalam rangkaian Kyutri Kepemimpinan Angkatan Muda di Organisasi Masyarakat Sipil.

Pertemuan keempat ini mengambil judul Strategi Estafet Kepemimpinan (OMS Bukan Dinasti). Arief Syamsuddin dari LBH Semarang dan Andi Iskandar dari Jejaring Mitra Kemanusiaan masih menjadi pemantik diskusi pada serial ini. Kyutri ini diadakan oleh Jejaring Lokadaya, Sadaya dan didukung oleh Uni Eropa melalui program Co Evolve 2.

Muncul pula argumen bahwa pemimpin muda adalah agen perubahan, karenanya untuk merangkul para pemimpin muda kita wajib memiliki strategi yang tepat. Pertama, kita perlu menciptakan tujuan yang jelas serta diselaraskan dengan kemampuan semua anggota organisasi. Kita juga sebaiknya memiliki ketrampilan komunikasi yang baik, empati dan jiwa kerelawanan. Selanjutnya, kita perlu memiliki kemampuan memimpin yang baik. Di dalam organisasi, para senior bisa menjadi contoh (role model) sekaligus bahan belajar bagi pemuda apabila sudah melaksanakan strategi tersebut.

Dalam menjaring calon pemimpin muda, organisasi harus melihat potensi anggotanya yang memiliki visi yang jelas tentang perubahan apa yang ingin dicapai.

Penting juga organisasi menjaga komunikasi yang terbuka dan transparan selama proses perubahan berlangsung. Sebagai pemimpin perubahan, kita perlu menggunakan saluran komunikasi yang baik untuk memastikan tersampaikannya pesan kepada seluruh anggota tim.

Organisasi harus melibatkan seluruh anggota tim dalam proses perubahan, malah akan baik bila memberdayakan seluruh anggota tim. Selain itu, umpan balik yang konstruktif kepada anggota tim menjadi hal yang krusial dalam proses perubahan. Hal ini dilakukan untuk membantu mereka berkembang mengatasi tantangan. “Beri Kesan bahwa kita sebagai pemimpin perubahan perlu membangun kepercayaan dengan saling bersifat jujur transparan dan berempati,” tambah Bang Is, sapaan akrab Andi Iskandar.

Di sesi berikutnya, Arief menyinggung masalah pentingnya kaderisasi. Proses ini harus berfokus pada pewarisan nilai, regenerasi, pengembangan kapasitas dan adaptasi zaman. Kaderisasi adalah pondasi untuk membentuk pemimpin muda yang berkualitas. Proses ini tidak hanya mencetak individu yang kompeten secara teknis, tetapi juga membangun karakter, mentalitas dan komitmen sosial.

“Kita perlu merancang program kaderisasi yang inklusif dan meningkatkan pemanfaatan teknologi,” tambah Arief. Kita perlu sepakat bahwa anak muda harus dilibatkan dalam kerja-kerja inti organisasi.

Melalui kaderisasi diharapkan kita dapat mencetak potensi dan ahli strategi yang baru. Tidak perlu khawatir, karena para pemimpin muda ini cenderung lebih fleksibel dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Mereka hanya perlu dibimbing agar memiliki kemampuan evaluasi guna melakukan perbaikan berkelanjutan. Hal tersebut yang menjadikan pemuda sangat potensial di organisasi.

Ingin menilik lebih jauh terkait strategi estafet pemimpin muda ini? Diskusi ini dapat dilihat secara menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya.

Strategi Pelibatan Pemuda di Gerakan OMS

By Liputan Kegiatan

Jakarta (4/7/2025). Pemuda sudah seharusnya diberi porsi dan posisi dalam lembaga namun selama ini ada tembok penghalang besar dalam pelibatan pemuda di organisasi, yaitu budaya senioritas. Selain itu, terbatasnya akses pada sumber daya organisasi juga menjadi masalah berikutnya.

“Kalau dari awal kita sudah melakukan batasan-batasan, maka inklusivitas juga tidak terjamin, maka pemuda akan merasa enggan untuk bergabung”, terang Syamsuddin Arief (Direktur LBH Semarang) membuka Kyutri serial Kepemimpinan Angkatan Muda di Organisasi Masyarakat Sipil. Kegiatan ini terselenggara berkat bantuan Jejaring Lokadaya, Sadaya, dan dukungan program Co evolve 2. Tema kali ini mengenai Peta Potensi Pemimpin Muda.

Selain Syamsuddin Arief dan hadir pula narasumber andal dari Jaringan Mitra Kemanusiaan, Andi Iskandar Harun yang akrab disapa “Bang Is”.

Pemuda merupakan aset yang strategis dalam pembangunan demokrasi. Berdasarkan data BPS per Desember 2024, sebanyak 1 dari 5 penduduk Indonesia adalah pemuda, tepatnya 64,22 juta jiwa. Tentu persentase ini sangat besar, untuk itu pemuda ini akan sangat berperan dan berdampak jika mau masuk ke dalam gerakan OMS. Pemuda biasanya memiliki manajemen prioritas yang lebih baik dan longgar, mereka masih energik serta belum mengurus rumah tangga. Hal ini membuat pemuda menjadi sosok dengan daya yang khas bila bergabung dalam gerakan-gerakan OMS.

Pemuda biasanya lebih sensitif dengan isu-isu global yang sedang terjadi, termasuk isu ekonomi dan politik. Orang muda pun memiliki potensi besar dan proximity dalam mengakses teknologi dan media sosial, dibanding generasi boomers. Banyak kemajuan advokasi sekarang ini yang menggunakan teknologi. “Hanya menggunakan tagar saja tapi dampaknya sungguh luar biasa”, tambah Arief. Pemuda lebih paham dalam hal meramu teknologi menjadi lebih asik dan berdampak pada sebuah gerakan.

Guna menangkap potensi pemuda ini, lembaga harus menjamin hak dan rasa aman mereka. Seperti soal ragam gender, menolak kekerasan seksual, dan menjamin kesehatan mental mereka. Lembaga harus bisa jadi ruang nyaman bagi pemuda. Kebijakan lembaga yang ramah dengan inklusivitas ini akan menarik pemuda untuk bergabung.

Arief memindai beberapa strategi untuk meningkatkan pelibatan pemuda, yaitu:

  • penguatan kapasitas
  • pemanfaatan teknologi
  • membangun kemitraan inklusif
  • kesadaran budaya lokal
  • melibatkan pemuda dalam advokasi kebijakan

Tantangan lain datang dari infrastruktur yang minim di OMS untuk menjaring pemuda, serta masalah materialism dan hedonism. “Jangan sampai pemuda memiliki materialism dan hedonism di OMS, karena mereka akan enggan berjejaring dan solidaritasnya akan berkurang”, pungkas Arief

Diskusi selanjutnya dipandu oleh Bang Is yang memaparkan hasil asesmen berdasarkan form yang telah diisi oleh beberapa OMS pada pertemuan sebelumnya. Terdapat 20 OMS yang telah selesai mengisi, tetapi beberapa perlu dicek ulang ke OMS tersebut karena ada jawaban yang tidak konsisten.

Usia organisasi masih didominasi oleh lembaga besar yang memiliki histori seperti PKBI dan Paramitra. “Dari usia ini diharapkan OMS tersebut sudah memiliki sistem kaderisasi yang baik,” ujar Bang Is. Hampir sebagian besar OMS juga melihat adanya gap generasi, dan lembaganya masih diisi generasi baby boomer.

Menurut Bang Is, OMS ini sudah memperlihatkan adanya transisi atau tranformasi organisasi. Tentu ini menjadi awal yang baik bagi OMS tersebut, walaupun usia pemimpin OMS didominasi usia 46-55 tahun. Hasil asesmen selanjutnya, hampir 55% OMS menjawab sudah memiliki mekanisme kaderisasi, tetapi tidak tahu modelnya. Nah ini yang perlu dicek lagi.

Poin ssesmen terakhir menyatakan 100% OMS sudah memiliki budaya berbagi pengetahuan. Hal ini sudah sangat baik, karena bila ini tidak terjadi tentunya akan muncul gap lintas generasi.

Ingin mendengar hasil asesmen dan peta potensi pemimpin muda lebih lanjut? Pemaparan ini dapat diaskes secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Urgensi Kaderisasi Pemimpin Muda

By Liputan Kegiatan

Jakarta (20/06/2025). Kaderisasi merupakan proses penting dalam mepertahankan eksistensi sebuah organisasi. Jika sebuah organisasi mampu mempertahankan kaderisasi lembaganya, maka dipastikan lembaga tersebut tidak akan terjadi krisis kepemimpinan. “Banyak OMS dulunya eksis, tapi sekarang tertatih-tatih karena krisis kepempinan ini,” ujar Andi Iskandar Harun, yang masih setia menemani di Kyutri serial Kepemimpinan Angkatan Muda di OMS. Tema pada pertemuan kedua adalah “Kaderisasi Pemimipin Muda”. Acara ini diadakan oleh Jejaring Lokadaya dan Sadaya, serta didukung oleh Uni Eropa melalui program Co-Evolve 2.

Kaderisasi itu diasumsikan sebagai upaya organisasi untuk mengaktualisasikan potensi manusia sesuai ideologi yang dimiliki, termasuk pengetahuan, sikap kepemimpinan dan keterampilan berorganisasi. Jadi, sudah seharusnya setiap lembaga wajib memiliki kerangka kaderisasi yang jelas.

Di dalam konteks kaderisasi di OMS ini mencakup 3 hal penting, yaitu:

  • Recruitmen dan pembinaan serta pengembangan anggota untuk menjadi pemimpin masa depan
  • Transfer nilai kepemimpinan dan manajemen kepada anggota
  • Keberlangsungan organisasi sangat bergantung pada seberapa serius para pengurus melaksanakan proses kaderisasi ini.

Iskandar menekankan manfaat kaderisasi utamanya adalah memastikan keberlanjutan organisasi tersebut. Selain itu kaderisasi dijadikan ruang transfer pengetahuan antar senior dengan junior.

Generasi muda dianggap sebagai agen perubahan, mereka membawa perspektif segar dan inovasi serta potensi besar menjadi pemimpin masa depan. Rata-rata anak jaman now suka aksi kolektif, kerja tim atau kolaborasi. Mereka senang berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih baik. “Selain itu, mereka juga dianggap berani dalam mengambil resiko”, terang Iskandar di sela-sela presentasinya.

Namun, ada juga tantangan dalam kepemimpinan muda yang perlu diperhatikan, diantaranya:

  • Kesenjangan generasi
  • Kesiapan mental dan emosional
  • Keterbatasan pengalaman

Menurut Iskandar, metode kaderisasi yang tepat harus menggunakan pendekatan yang sesuai serta mencari moment yang pas. “Jangan hanya asal melakukan recruitmen tapi nilai-nilai kepemimpinan tidak ditanamkan,” tambah Iskandar. Kalau generasi sekarang membuktikan kapasitasnya, pasti generasi sebelumnya dengan bangga akan menyerahkan estafet kepemimpinannya. “Biasanya mereka (senior) enggan melaksanakan kaderisasi karena tidak tahu kapasitas juniornya,” lanjut Mas Is, sapaan akrab Iskandar.

Pada akhir diskusi ada pernyataan menarik dari perwakilan peserta. “Kaderisasi yang berhasil itu biasanya berasal dari institusi militer dan OMS yang duitnya banyak”. Tentu moderator dan narasumber tergelitik dalam menanggapi pernyataan ini. Mas Is menanggapi bahwa institusi militer biasanya sudah memiliki proses kaderisasi yang terpola, konsisten dilakukan dan memiliki support yang besar. Kalau OMS kita membandingkan dengan kaderisasi militer, maka perlu pendanaan yang mapan dan besar. “Pemerintah kalau mau kaderisasi abdi negara militer dia harus membuat sekolah kedinasan dulu,” pungkas mas Is sembari tersenyum.

Serunya sesi menarik ini dapat diakses secara menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Alih Mandat Kepemimpinan Ke Gen-Z

By Kyutri, Liputan Kegiatan

Jakarta (13/6/2025). Banyak ahli menyebut bahwa Indonesia gagal dalam menghadapi bonus demografinya, hingga munculah teori baru; generasi muda kita rapuh, gampang stres, dicap sebagai manusia yang tidak bisa diberi tanggung jawab. Bahkan generasi muda dianggap hanya mahir di bidang digitilisasi. Hal ini menjadi satu faktor pemicu OMS tidak yakin melibatkan mereka dalam kegiatan kemasyarakatan.

Paparan yang terdengar kontroversional ini menyeruak dalam Serial berbagi Kyutri bertajuk “Kepemimpinan Angkatan Muda di Organisasi Masyarakat Sipil”. “Pemimpin Masa Depan OMS” merupakan topik yang dipilih dalam pertemuan pertama seri ini. Kyutri ini terselenggara atas kerjasama Jejaring Lokadaya dan Sadaya, serta dukungan dari Uni Eropa melalui program Co-Evolve.

Andi Iskandar Harun, kerap disapa Mas Is, diberi mandat sebagai narasumber tema ini. Mas Is yang mengaku sebagai generasi Baby Boomer ini adalah seorang aktivis Jaringan  Mitra Kemanusiaan (JMK).

Terdapat banyak tantangan dalam masalah kepemimpinan OMS di jaman sekarang yang menjadi dasar diskusi serial ini. Mas Is juga berharap akan mendapat banyak masukan dari berbagai lintas generasi, khususnya dari generasi muda melalui diskusi Kyutri kali ini.

Tantangan OMS saat ini tidak hanya berkutat pada dana, tetapi juga sempitnya ruang gerak untuk berpartisipasi dalam pembangunan, melemahnya kapasitas OMS dan perbedaan konteks antar daerah di Indonesia. Banyak program atau skema gerakan yang dilakukan tidak bisa disamaratakan di berbagai daerah Indonesia. Untuk itu, hal ini perlu diluruskan mengenai skema masa depan OMS di negara kita.

“Ada atau tidak human resource mobilization yang bisa melanjutkan pergerakan dari generasi sebelumnya”, ujar mas Is. Kuncinya adalah sudah siapkah OMS ini memberikan mandat visi misi dan tujuan organisasi kepada generasi M dan generasi Z. Karena pemegang tongkat estafet tentunya berasal dari generasi muda, tidak mungkin dari generasi lampau.

Era sekarang, negara kita didominasi generasi milenial dan gen Z sebesar 74% dadi total populasi kita.

Generasi Millenial identik dengan rasa percaya diri yang tinggi dan berambisi untuk menguasai semua bidang. Selain itu, umumnya mereka kristis terhadap fenomena sosial dan lebih terbuka terhadap isu keberagaman dan kesetaraan. Mereka juga berorientasi pada pengalaman daripada kepemilikan barang. Mereka cenderung lebih memilih menghabiskan uang untuk mencari pengalaman baru ketimbang membeli aset tetap.

Selanjutnya untuk ciri khas gen Z, mereka terkenal dengan kemahirannya dalam pengunaan teknologi dan kemampuan multitasking yang mengesankan. Mereka cenderung kreatif dan mendorong ekspresi diri di media digital. Mereka menunjukan peningkatan kesadaran sosial dan peduli terhadap isu lingkungan, kesetaraan, dan kesejahteraan sosial. “Tetapi kadang-kadang mereka tidak betah dengan satu isu, mereka lebih cepat boring” tambah Mas Is.

Berdasarkan penelitian, gen Z itu adalah generasi yang sangat akrab dengan teknologi, memiliki kebiasaan berkomunikasi di dunia maya, memprioritaskan finansial, dan mandiri. Namun, mereka sering mengumbar apapun termasuk privasi di media sosial.

Ada pertanyaan yang dilontarkan Mas Is sebelum dimulai diskusi yaitu mengapa generasi baby boomer sulit mempercayakan alih tangan kepemimpinan kepada gen millenial dan gen Z?

Terdapat statement bahwa generasi muda paling suka masuk ruang kerja yang santai. Sekarang ini mereka sudah berani beradu argumen dan harus didikte instruksi-instruksi secara detail di awal kerja. Namun, setelah sesi diskusi, mas Is terkesan karena masih ada generasi muda (khususnya gen Z) yang siap jadi militan di organisasi, ini menarik karena sebagian besar orang OMS biasanya adalah pekerja project bukan relawan organisasi. Untuk itu, transisi sebelum masuk ke generasi alpha, OMS harus memberikan delegasi mutlak serta memberi ruang dan peluang kepada generasi Z di OMS. “Intinya kita harus kompromi lagi, perlu komunikasi, yang tua jangan gunakan kacamata tuanya, yang atas turun grade dan yang bawah perlu upgrade kapasitas negosiasinya” pungkas Mas Is

Pemaparan menarik ini dapat dilihat secara lengkap dikanal Youtube Lokadaya.(*ari)

Yuk, Sebar Film Kita dengan Benar

By Liputan Kegiatan

Jakarta (7/3/2025) Ada yang hal yang sering luput saat kita sebagai Organisasi Masyarakat Sipil (atau pribadi) merencanakan sebuah produk film. Hal itu adalah pendistribusian film supaya bertemu dengan penontonnya. Tentu tidak mungkin, kalau kita sudah bersusah payah memproduksi film, tetapi ending-nya hanya menumpuk di hardisk saja. Hal seperti ini tentunya membuat kita merasa capek sendiri karena minim apresiasi dan akhirnya merasa enggan untuk terus berkarya di bidang ini. Padahal untuk menemukan penonton film supaya isu yang kita angkat sampai pada mereka itu memerlukan strategi dan sumber daya tersendiri.

Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, Jejaring Lokadaya menghadirkan Kyutri “Berkomunikasi via Sinema”, seri ke-4 ini  bertajuk “Media Distribusi Karya.” Masih seperti pertemuan lalu, Ratmurti Mardika, yang akrab disapa “Sonkski” masih didapuk sebagai narasumber guna memberikan pengalamannya terkait distribusi film ini.  Ia merupakan dosen Sinematografi UIN Raden Mas Said yang pada tahun 2024 lalu membentuk komunitas  Sinema Warga Solo. Setiap tahun, dia juga menghadirkan film hasil karya mahasiswanya di bioskop lewat acara “Panen Sinema”.

Sebelumnya, bila kita sudah selesai mengambil gambar, perjuangan membuat film tak begitu saja usai. Setelah produksi rampung, kita masuk dalam tahapan pasca produksi. Pasca produksi adalah tahap akhir dalam proses pembuatan film setelah proses syuting selesai. Kegiatan yang dilakukan di tahap ini meliputi kegiatan menyunting, merapikan suara, menambah musik, memberikan efek visual, color grading dan final render.

Tahapan selanjutnya adalah distribusi. Distribusi adalah proses penyaluran film kepada penonton melalui berbagai platform. Kalau diluar negeri yang bertugas mendistribusikan film ke penontonnya itu bukan filmmaker ataupun produsernya. Namun, tahap tersebut dikerjakan oleh distributor professional.

Namun, di Indonesia belum banyak orang atau badan yang mengkhususkan diri bekerja di bidang distribusi film, maka ada baiknya kita pahami kerja-kerja itu, dan kita lakukan secara mandiri. Ada beberapa rilisan dalam distribusi yang perlu kita ketahui, yaitu:

  1. Rilisan lebar (disebar serentak di banyak bioskop)
  2. Rilis terbatas (ditayangkan ke bioskop tertentu atau ke festival dan komunitas tertentu)
  3. Rilis mandiri (distribusi melalui platform digital, media sosial atau film freeway)

“Rilis lebar biasanya untuk mencari keuntungan, karena kita akan terbantu lewat penjualan tiket bioskop,” ujar Sonkski

Setelah menjelaskan mengenai variasi rilisan distribusi, Sonkski juga menyuguhkan sekilas tantangan dalam distribusi, yang mana hal ini juga wajib diketahui oleh orang film. Tantangan ini mencakup:

  • Penjualan hak distribusi
  • Pemasaran dan promosi
  • Rilis film
  • Monetisasi dan pendapatan

Namun, sebenarnya semua jobdesc serta tantangan itu bukan tanggung jawab dari filmmaker. “Inilah tantangan utamanya, harus ada orang lain yang dipercaya untuk bekerja dibagian distribusi dan eksebisi”, tambah Sonkski.

Lalu mengenai eksebisi, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Faktor pertama adalah menentukan target audiens (menyesuaikan tema film dan dicocokkan ke mana akan di-publish), Kedua, pemilihan letak eksebisi. Seperti kita ketahui pemutaran bioskop saat ini paling ideal karena terdapat ruang gelap dan tata suara yang baik. Selain itu, format yang digunakan di bioskop itu premium seperti  iMAX atau ruang dengan tata suara Dolby Atmos sehingga memberikan kesan yang optimal untuk pengalaman pentonton. Faktor ketiga adalah kebijakan sensor dan regulasi. Faktor ini merupakan bagian yang berpengaruh, pasalnya biasanya isu sensitif yang diangkat OMS justru malah kena sensor.

Namun untuk film-film yang ditujukan untuk advokasi, sebaiknya memilih jalur distribusi daring, festival film, pemutaran komunitas, atau lakukan eksebisi mandiri.

Sebelum menutup pemaparan, tak lupa Sonkski juga menyinggung tentang review dan kritik film. Kegiatan ini merupakan sebuah kegiatan yang memberikan pandangan objekif maupun subjektif tentang film. Kegiatan ini memberikan ruang pembicaraan tentang film tersebut. Hal inilah yang membuat film itu tetap panjang umur karena terus dibicarakan. “Kritik dan review itu sama-sama powerfull, tetapi kritik itu lebih akademik karena teori-teori film masuk disitu,” pungkas Sonkski.

Pada intinya, bila kita memiliki proyek film jangan lupa untuk merencakan strategi memepertemukan film kita dengan segmentasi penonton yang kita harapkan. Kalau perlu masukkan pula budget distribusi dalan RAB.

Diskusi mengenai distribusi film ini dapat diakses secara lengkap dikanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Catatan Sebelum Mulai Produksi Film

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/2/2025). Sebagai awalan membuat film, kita seyogyanya tidak perlu membuat film yang terlalu ribet atau berambisi sekelas film Joker. Kita bisa mulai dulu dengan film yang sederhana tetapi memenuhi kriteria standar produksi film. Hal terpenting bagi OMS kita adalah cerita film tersebut wajib membawa impact perubahan, sehingga berguna dan sesuai dengan visi misi OMS kita.

Pembahasan ini diulik secara asik oleh Ratmurti Mardika yang akrab disapa “Sonkski”. Kyutri serial “Berkomunikasi via Sinema” memasuki sesi ketiga yang berjudul “Sinema Sederhana Berdaya”. Kegiatan ini berlangsung atas kerjasama Lokadaya dan Lingkar 9 dengan dukungan dari Uni Eropa melalui program Co-evolve.

Sesi ini diawali dengan pembahasan one pager kiriman dari dua peserta. Kiriman yang pertama dari Alton yang berjudul Ombak Priok. Rencanany film pertama ini akan mengisahkan tentang hiruk pikuk kehidupan masyarakat di Tanjung Priok. One pager selanjutnya ditulis oleh Arif, berjudul “Alibi di Lautan”. One pager ini bercerita tentang konflik kerakusan manusia dan perjuangan masyarakat nelayan yang dirugikan.

Mereka antusias menyampaikan alasan dan bagaimana perspektif mereka masing-masing. Sonkski memberikan masukan dan komentarnya pada pembahasan one pager ini. Tentu hal ini menarik sekali untuk didiskusikan.

Dalam proses pembuatan film sampai dapat ditonton masyarakat terdapat 5 tahapan yang biasa dilalui, yaitu:

  1. Pra produksi: Pada tahap ini kita akan membuat cerita dan mencari dukungan.
  2. Produksi: Tahap ini meliputi kegiatan mengambil gambar (shooting), membuat suara dan adegan.
  3. Pasca produksi: Hal yang penting dilakukan di tahap ini ialah proses editing, pewarnaan, pemberian sound effect, serta finishing film.
  4. Distribusi: Tugas pokoknya adalah mempromosikan dan mengirim film ke festival atau bioskop.
  5. Eksebisi: Komunitas dan bioskop-bioskop adalah bagian penting dari tahap eksebisi ini.

“Sayangnya di Indonesia kelima tahap ini biasanya masih di-handle oleh seorang produser”, ujar Sonkski. Padahal alangkah leluasanya para kru, bila semua tahapan ini dikerjakan oleh orang yang berbeda dan yang lebih kompeten di bidang masing-masing.

Ada pertanyaan menarik dari peserta terkait perbedaan produser dengan sutradara. Produser itu bertanggungjawab atas manajemen di belakang layar. Sedangkan Sutradara bekerja untuk film yang akan ditampilkan di depan layar. Nah, sebaiknya dua Jobdesc ini dikerjakan oleh dua orang yang berbeda, bukan dirapel satu orang saja.

Selanjutnya dalam hal pendekatan dengan narasumber, kita sebaiknya menunggu momen yang tepat dahulu. Biasanya protagonis harus sudah kenal dan akrab dulu, barulah diajak Shooting. “Jangan gunakan hari pertama bertemu langsung memakai kamera”, tambah Sonkski. Kalau tetap memaksakan mengambil gambar , pasti hasil ceritanya tidak utuh dan terkesan seperti wawancara yang kaku.

Perlu dipahami, karena film itu sebuah entitas dari gambar, suara dan cerita, jadi mau tak mau kita harus mengusahakan gambar dari kamera yang bagus. Apakah bisa shooting dokumenter memakai Handphone? Jawabannya bisa, cukup, tetapi gambarnya tidak akan variatif dan pengambilan suaranya juga susah karena kurang maksimal.

Standar produksi gambar yang digunakan saat ini adalah beresolusi 4K, karena ditilik dari peralatan yang beredar kini mayoritas sudah menggunakan resolusi ini. Dalam sebuah film pendek biasanya cukup menggunakan mirorless maupun DSLR. Selain kamera, kita juga sebaiknya menyediakan 3 lensa yang berbeda. Lensa ini meliputi pengambilan gambar long shoot, medium shoot dan close up.

Hal yang tak kalah penting adalah microphone. Kalau sudah di lapangan, teman-teman OMS biasanya lupa membawa microphone. Walaupun kamera yang digunakan sudah bisa mengambil suara, tetapi kita tetap harus memakai microphone atau clip-on agar kamera bisa leluasa mengambil gambar.

Tantangan pengambilan suara adalah suara tersebut tidak dapat dilihat. Biasanya pembuatan film menggunakan 3 jenis mic, yaitu: shotgun mic, lavelier dan boom mic. Selain kamera, lensa, mic, Sonkski juga menjelaskan sekilas tentang penggunaan tata cahaya dan teknisnya.

Pada kesempatan ini, Sonkski menjelaskan banyak hal teknis dalam pembuatan film. Dia juga membagikan modul lengkap dan detail sehingga dapat dipelajari oleh semua peserta Kyutri.

Pelatihan teknis yang sangat penting ini dapat dilihat menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Mengolah Data Menjadi Film

By Liputan Kegiatan

Jakarta (21/2/2025). Saat kita memiliki koleksi  data, menentukan perspektif adalah hal yang krusial tatkala kita akan menyulapnya menjadi sebuah film dokumenter. Tak lain tak bukan, pemilihan perspektif bisa membawa penonton pada pengalaman penonton, emosi yang ditimbulkan, serta call to action yang diharapkan.

Cuplikan mengenai perspektif tersebut, tersirat pada Kyutri seri “Berkomunikasi via Sinema” yang diadakan Jejaring Lokadaya Jumat (21/2). “Data Jadi Drama” adalah tajuk yang diangkat untuk seri kedua ini. Ratmurti Mardika seorang filmmaker documenter memantik diskusi dengan pertanyaan, “bagaimana mengolah data, mengenalinya dan mengklasifikasikannya, dan mengolahnya menjadi drama?”

Sebagai awalan, peserta diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang data, drama, perspektif dan bentuk drama. Data meliputi catatan, informasi, pengetahuan, dll, yang bisa digunakan dan diolah menjadi film dokumenter. Sedangkan drama adalah metode seni teatrikal yang menjadi dasar dari film. Teori drama ini masih berpijak pada drama 3 babak dari Aristoteles, yang merupakan teori klasik yang exist sejak jaman kuno. Namun, di Holywood-pun masih menggunakan teori 3 babak ini, yang mana mereka kombinasikan dengan struktur dan bahasa audio visual yang baik.

Mengenai perspektif saat membuat drama kita harus mengenal beberaepa sudut pandang yang akan kita lekatkan pada protagonis, apa dan data apa yang harus dilekatkan pada tubuh protagonis bila mengambil perspektif tersebut. Selanjutnya ialah bentuk film yang merupakan entitas Storytelling, Audio, dan Visual. Bentuk film itu jenisnya banyak, konten media sosial, film fiksi, dokumenter, dan lain-lain. Tentunya dari jenis bentuk tersebut, bisa kita pilih dan sesuaikan dengan kebutuhan OMS kita masing-masing.

Apabila kita memilih film Dokumenter, informasi tidak akan terdistorsi dan pesan dapat tersampaikan secara jujur, hamper menyerupai kenyataan yang terjadi. “Kalau mau bikin dokumenter, sebaiknya harus merancang bentuk eksebisi yang bisa langsung berinteraksi dengan penontonnya,” ujar pria yang akrab dipanggil Sonkski ini.

Pada tahap awal pembuatan film, Sonkski menyarankan sebuah workflow yang dia gunakan selama ini, workflow tersebut meliputi:

– pahami data

– analisis data

– ambil perspektif

– elemen naratif

– one pager dan pitch deck (semacam proposal tetapi ringkas, biasa digunakan untuk mencari dukungan)

– penulisan naskah

developing

– produksi – Pasca Produksi

Pemaparan selanjutnya mengenai data analisis dan pemilihan perspektif. Ibarat mau memasak, kita harus tahu dulu bahan masakannya.

Menurut Eko Komara dalam seri Kyutri yang terdahulu, Data terletak di posisi paling bawah sebuah bagan hierarki pengetahuan. Perlu dipahami, data bisa jadi sebuah informasi, tetapi belum tentu informasi tersebut bisa dijadikan film. Menurut Sonkski, posisi film dalam hierarki pengetahuan adalah pada tingkatan knowlegde dan wisdom. Kalau sekedar data dan informasi itu masih data mentah atau feature, belum bisa disebut film. Sebuah film tentunya dapat memberikan pengetahuan baru dan dapat menarik empati guna sebuah aksi perubahan.

Contohnya, seperti sebuah film yang bercerita tentang eksebisi lumba-lumba. Bagaimana seekor lumba-lumba dididik, bahkan disiksa untuk menghasilkan pertunjukan yang atraktif. Nah, harapannya setelah melihat dokmenter ini, banyak penonton yang mendapat pengetahuan baru , terketuk hatinya dan enggan melihat eksebisi lumba-lumba lagi. Ini yang dinamakan film tersebut berhasil dan membawa perubahan.

Hal yang tak kalah penting adalah elemen naratif. Elemen ini merupakan pembeda antara film dokumenter dan sebuah berita, tabloid, ataupun baliho sekalipun. Kita harus memikirkan plot (alur cerita), karakter, latar, konflik (tidak ada konflik, bisa dipastikan tidak akan ada perubahan), Point of View, Ironi (ketidakseimbanagan antara harapan dan kenyataan) dan simbolis (elemen untuk mewakili sesuatu yang lebih besar).

Pada kesempatan ini, Sonkski juga membantu seorang peserta dari Bulukumba, Nur Ismi, untuk mendevelop elemen naratif terkait konflik yang dialaminya. Beliau adalah seorang pendamping buruh migran di area perbatasan Indonesia-Malaysia.

Di akhir diskusi, peserta diminta untuk berlatih membuat one pager, yang meliputi:

– Logline (kalimat pendek yang menggambarkan inti cerita). Logline ini biasa ditujukan untuk produksi saja

– Sinopsis (ditujukan untuk calon penonton, bagaimana seorang film maker ini mengajak orang untuk mau menonton filmnya)

– Statement (mengapa film ini penting untuk dibuat dan ditonton. Apa saja motivasinya?).

Diskusi serta pelatihan menyusun data jadi drama,  tentunya sangat menarik ya? Pelatihan ini dapat dilihat secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Organisasi Masyarakat Sipil yang Sinematik

By Liputan Kegiatan

Jakarta (14/2/2025). Film memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan sosial-budaya, penting  sebagai alat komunikasi, advokasi dan pemberdayaan. Karenanya, Organisasi Masyarakat Sipil dirasa wajib memproduksi film karena mereka mempunyai kekayaan berupa arsip data, bahan bercerita, kedekatan psikologis dan jaringan yang kuat. Selain itu, singgungan film dan OMS terletak pada daya untuk mendorong kesadaran, menginspirasi aksi nyata dari individu, komunitas, dan pemangku kepentingan.

Memandang peran penting film, Jejaring Lokadaya menghelat serial Kyutri bertema “Berkomunikasi Via Sinema”. Kyutri seri ini direncanakan berlangsung selama satu bulan dan menghadirkan seorang filmmaker yang juga dosen praktisi Sinematografi di UIN Raden Mas Said Surakarta, Ratmurti Mardika.

Seri pertama diadakan pada Jumat kemarin tanggal 14 Februari, dengan topik Daya Media Sinema. Pada sesi ini, Ratmurti yang akrab disapa dengan Sonkski, banyak memberikan perspektif sinema pada puluhan peserta yang hadir di ruang zoom, ia juga berdiskusi serta mendengarkan sejauh mana sinema itu berdampak pada kehidupan masyarakat khususnya OMS.

Di awal diskusi, Sonkski memantik tentang kaitan masyarakat dan seni dari berbagai aspek kehidupan. Jika dilihat dari sisi seni, film ini jelas merupakan produk seni yang mengandung drama didalamnya. Dari sisi ekonomi, film merupakan miniatur kehidupan yang jumlah permintaannya banyak, tetapi supply-nya kurang/sedikit. Hal tersebut tentu menjadikan film sebagai ladang ekonomi masyarakat, sebab produksi sebuah film pasti melibatkan banyak profesi, contohnya makeup artist, wardrobe, tukang sound dan masih banyak lagi.

Dipandang dari sisi komunikasi, film ialah bahasa khusus yang menggunakan bahasa audio, visual dan story. Film juga digunakan sebagai media penyampai pesan. Sedangkan jika ditinjau dari sisi sosial politik, film tentu dapat membangkitkan empati penontonnya, bahkan bisa menjadi agen propaganda. Daya jangkau film itu luas, sehingga bisa menjadi sebuah produk budaya yang masif. “Kalau film itu hidup lestari setiap hari di sebuah wilayah, tentunya bisa membuat wilayah/kota tersebut menjadi sebuah pusat budaya seperti Hollywood”, ujar Sonkski.

Tak lupa Sonkski menghadirkan contoh karya-karyanya yang mayoritas berhubungan dengan kinerja OMS. “Bukit Bernyawa” ialah film yang ia rasa berdampak langsung secara nyata pada warga yang membutuhkan bantuan.  Film ini bermula dari 0 (nol) rupiah alias tidak ada budget-nya, ia dan timnya merangkai  footage-footage yang tidak terpakai agar bisa membentuk sebuah narasi. Sonkski mengambil footage saat bekerja untuk program Biogas Hivos (Yayasan Humanis Inovasi Sosial) di area Gunung Merapi. Bukit Bernyawa telah menjadi nominasi beberapa festival luar negeri dan memenangkan DocNet South East Asia tahun 2012. Film ini sangat berkesan dan menjadi sebuah titik balik bagi kehidupan Sonkski.

Pada saat itu, film ini digunakan untuk mencari donasi guna membantu masyarakat terdampak erupsi gunung Merapi. Hasil yang terkumpul terbilang cukup fantastis, bisa digunakan untuk merenovasi Rumah Gamelan di desa Srunen. “Membuat film ini adalah cara yang apik untuk membantu sesama, di saat kita belum mampu memberi sesuatu,” tambah Sonkski.

Film terbaru yang dia produksi berjudul “Sengkala”. Penjelasan terkait film Sengkala ini sekaligus jawaban atas pertanyaan seorang peserta diskusi yang menanyakan mengenai antropologi visual dalam film. Sengkala menceritakan tentang cara menulis angka tahun era Jawa Kuno. Menariknya, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X Kemdikbud bersedia mendanai produksi film ini.

Ada beberapa poin yang layak dicatat sebelum memulai untuk memroduksi film, sebaiknya OMS mengetahui pengetahuan dasar perfilman yang meliputi:

– story (struktur dramanya, kemampuan story telling, pengenalan dramaturgi 3 babak yaitu pengenalan, konflik dan resolusi)

– Visual (foto, sinematografi dan editing)

– Audio (merekam, mengedit, dan mengidentifikasi suara)

Hal baku yang perlu dipunyai OMS adalah kesadaran dokumentasi dahulu. Barulah kemudian memenuhi 5W 1H dalam sebuah dokumentasi advokasi. Nah jika 5W+1H terpenuhi, baiknya ditambahkan 1A (art). Meskipun di dokumenter itu tuntutannya tidak seperti di film fiksi, tidak harus menggunakan kamera mahal bak film fiksi, pencahayaan ala teater, tetapi titik beratnya adalah pada runtutan cerita yang bagus yang wajib dipenuhi.

Pada sesi ini antusias peserta sangat luar biasa. Baik di kolom komentar maupun peserta yang open mic. Mereka menceritakan isu-isu seksi yang mereka dampingi, seperti kasus HIV AIDS di Merauke, buruh migran yang terabaikan, cerita penyandang disabilitas yang merasa didzolimi oknum polisi, dan masih banyak konflik menarik yang terungkap. Mereka merasa Kyutri kali ini sangat cocok dan dibutuhkan oleh mereka, guna menyuarakan keluh kesah mereka selama di OMS.

Penasaran dengan kemeriahan diskusi asik kali ini? Obrolan berbobot ini dapat disimak secara keseluruhan di kanal Youtube Lokadaya.(*ari)

Dampak Besar Multimedia Dalam Advokasi

By Liputan Kegiatan

Jakarta (24/1/2025). bastilah sudah umum bila kita sebagai pegiat advokasi menggunakan siaran pers sebagai satu media penggaung isu maupun gerakan yang kita motori. Namun, perlu diingat bahwa kebutuhan audiens bukan hanya teks. Dalam kenyataan sehari-hari banyak dijumpai teks yang panjang berlembar-lembar yang alangkah baiknya jika dibuat dengan lebih menarik, bisa menampilkan infografis, link audio, link foto atau video.

Irvan Imamsyah selaku narasumber diskusi Kyutri bertajuk Optimasi Advokasi Digital, menyampaikan perihal pengalamannya menangani siaran pers yang menjadi makanan sehari-harinya. Serial “Seni Komunikasi dalam Advokasi”, yang diadakan oleh jejaring Lokadaya ini masuk pada sesi kedua pada Jumat lalu. (24/01)

Pada sesi pamungkas ini, Irvan memberikan apersepsi mengenai pentingnya mempelajari dan meriset audiens. Seperti yang dikatakannya pada sesi pertama, komunikasi adalah upaya menyampaikan pesan. Oleh karena itu, ada baiknya pendekatan komunikasi yang digunakan bisa lebih personal, agar kita menjadi lebih dekat dan paham selera audiens, sehingga perubahan sosial yang diinginkan bisa terlaksana.

“Di era digital ini, multimedia memegang peranan penting dalam proses kampanye kesadaran sosial. Seperti gambar peringatan darurat. Bukan hanya tentang penyampaian pesan, tetapi cara menggugah audiens untuk bertindak”, ujar Irvan.

Kekuatan gambar garuda putih dengan latar biru dan tulisan peringatan darurat yang menggegerkan Indonesia tahun lalu. Gambar ini bertengger 10 hari berturut-turut di media sosial. Dengan adanya gambar ini, orang menjadi penasaran dan mencari tahu tentang fakta kedaruratan tersebut. Selain itu, orang-orang yang melihat serta mencari tahu akan tergerak untuk bersuara dan melakukan tindakan.

“Kenapa harus menggunakan multimedia?”, tanya seorang peserta. Irvan pun mencontohkan salah satu foto juara lomba foto dunia. Foto tersebut bernarasi tentang seorang anak Ethiopia yang kelaparan dan ditunggui burung pemakan bangkai di dekatnya. Walaupun pada akhirnya sang fotografer mengatakan bahwa karyanya tak murni hingga akhirnya ia tak kuat menghadapi tekanan publik. Namun, foto ini telah trending dan dibicarakan di mana-mana. Banyak yang berpendapat bahwa karyanya sangat apik dan impactfull. Untuk itu, kampanye multimedia harus dirancang dengan cermat agar dapat memikat jutaan orang. Dalam sesi ini, Irvan juga menjelaskan mengenai multimedia dan perannya sebagai kendaraan kampanye kesadaran sosial. Multimedia itu meramu semua media komunikasi menjadi satu kemasan yang baik.

Multimedia adalah sinergi berbagai bentuk media baik teks, audio, gambar, animasi, video dan konten interaktif untuk menciptakan pengalaman yang holistik dan menarik. Multimedia juga menggabungkan berbagai elemen, dimana masing-masing memiliki peran unik dalam menyampaikan pesan. Selanjutnya, multimedia memungkinkan penceritaan yang lebih kaya dan bernuansa. Dengan menggabungkan teks, visual dan audio, multimedia memberikan nyawa pada narasi, membuatnya lebih berkesan dan berdampak.

Keunggulan multimedia itu cakupan jangkauannya luas, serta mudah dibagikan di media sosial. Penelitian menunjukkan bahwa pengguna internet menghabiskan 30% waktu mereka di platform media sosial. Alasan keterlibatan yang tinggi tersebut, memberikan  peluang lebih besar untuk viral atau trending. Nah, peluang ini yang harus teman-teman CSO manfaatkan.

“Kadang orang itu baca berita dari medsos, bukan dari platform media itu sendiri,” tambah Irvan. Kita bisa memahami dahulu tren dan menyesuaikan algoritmanya sehingga kampanye kita bisa naik tinggi karena telah sesuai atensi publik.

Keunggulan multimedia selanjutnya adalah fleksibel. Konten multimedia dapat digunakan kembali di berbagai platform, mulai dari medsos, situs web, hingga buletin dan siaran pers. Fleksibilitas ini memungkinkan konsistensi dalam branding dan penyampaian pesan, sehingga memperkuat dampak kampanye kita.

Melalui multimedia orang dapat memiliki pemahaman yang lebih baik. Multimedia membantu menjelaskan isu-isu kompleks dengan menyajikannya ke dalam format yang mudah dipahami. Sebagai contoh, infografik dapat menyederhanakan data yang rumit, video dapat mendemonstrasikan proses atau urutan yang membuat informasi lebih mudah diakses oleh audiens yang lebih luas.

Paparan tentang pentingnya multimedia ini dapat diikuti secara utuh di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Komunikasi Kunci Advokasi

By Liputan Kegiatan

Jakarta (17/1/2025). Sudah barang tentu, komunikasi memegang peran krusial pada kerja-kerja aktivisme apalagi di dunia digital yang terus melaju sekrang ini. Lokadaya memandang kepentingan ini harus dipertajam dan pegiatnya perlu terus meng-update kapasistasnya. Oleh karenanya gelaran Kyutri seri Seni Komunikasi dalam Advokasi yang dihelat Lokadaya pada Jumat (17/1) menjadi spesial karena menghadirkan ahli komunikasi yang kompeten dan sempat menghebohkan pemilu 2024 lewat karyanya. Beliau adalah Irvan Imamsyah, co-founder Koma Berseru dan produser dari “Dirty Vote”.  Melalui “Dirty Vote”, Irvan dan teman-temannya mengajak masyarakat untuk lebih melek kecurangan-kecurangan yang terjadi di Pilpres.

Walaupun salah satu paslon yang terindikasi curang tersebut tetap menang, tetapi advokasi yang dilakukan Irvan dan kawan-kawan diklaim berhasil. Film “Dirty Vote” bisa trending, meskipun terkena Black Shadow oleh buzzer bayaran. Black Shadow adalah hambatan dalam kampanye. Di sesi ini, Irvan juga berbicara mengenai trick mengatasi Black shadow agar pesan yang dia usung tetap viral dan lebih tersampaikan. Menarik bukan?

“Strategi komunikasi itu bukan soal kamu atau saya, melainkan tentang masyarakat yang kita dampingi”, ungkap Irvan. Dalam melakukan advokasi, kita berkewajiban mendampingi masyarakat agar mau terlibat dan maju bersama menyuarakan aspirasi mereka.

Selaku aktivis, alangkah baiknya merenungi dahulu apa yang harus kita perjuangkan. Selain itu, bagaimana memberi porsi sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan peran pendampingan dari kita.

Advokasi adalah sebuah proses untuk mendorong perubahan sosial melalui komunikasi yang efektif. Sedangkan, komunikasi merupakan kunci untuk mencapai tujuan advokasi dan menginspirasi untuk bertindak. Menurut Irvan, trik yang bisa digunakan dalam advokasi antara lain:

  • Menggunakan cerita yang menginspirasi, narasi nyata dan menyentuh emosi audiens.
  • Menggabungkan data dan fakta yang mendukung untuk memberikan kredibilitas.
  • Mengajak audiens untuk terlibat dalam perubahan (call to action)

“Namun sebelum itu, kita wajib mengenali target audience dahulu. Kalau di media umum, seperti saya di TV, semua umur dihajar habis dengan format yang sama” ujar Irvan. Tentunya hal tersebut kurang efektif di era sekarang ini, yang mana mayoritas warganya di dominasi oleh anak muda atau gen Z.

Kita bisa mempelajari batasan usia anak muda sesuai kebiasaannya. Rentang umur pertama adalah usia 18-21 tahun. Di umur ini engagement-nya harus berkorelasi dengan jobfair dan peluang usaha. Perlu diketahui bahwa mereka ini masih sangat memperhatikan hal-hal yang trending atau viral di media sosial.

Rentang umur kedua ialah usia 22-25 tahun. Untuk menarik perhatian rentang umur ini, sebaiknya kita  gunakan sesuatu yang berhubungan dengan financial freedom dan financial management. Selanjutnya, rentang umur 26-30 tahun. Ciri khas umur ini biasanya sudah memikirkan keluarga, masa depan dan cara mempertahankan diri di dunia kerja

Setelah mengenali target, kita perlu menentukan audience segmentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan kampanye advokasi. Langkah pertama paling simpel bisa kita mulai dengan meminta tanggapan pengikut di media sosial (kuesioner). Sebagai komunikator, kita harus benar-benar bisa terlibat serta memahami insight yaitu tentang cara mendekatkan diri ke publik dan cara menggapai pesona anak muda untuk mau bergabung dalam aksi.

Tahapan terakhir adalah menentukan target yang jelas. Kita harus membuat pesan yang mudah dipahami dan relevan dengan audiens. Setelah itu, kita pilih medianya. Platform atau media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan seperti media sosial, film dan pers conference.

Diskusi hangat tentang Seni Komunikasi dalam Advokasi ini dapat dinikmati menyeluruh di Kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

PSEA Mengeskalasi Kredibilitas OMS

By Liputan Kegiatan

Jakarta (22/11/2024). Penting bagi OMS untuk terus merawat dan meningkatkan kredibilitasnya, salah satu usaha rasional adalah mencegah dan meminimalisir adanya kasus di lingkungan masing-masing. Termasuk kasus pelecehan dan eksploitasi seksual.

Beberapa kasus pelecehan dan eksploitasi seksual di ekosistem OMS tercatat muncul dalam kerja-kerja kemanusiaan. Potensi terjadinya kasus dapat muncul dari adanya relasi kuasa antara dan pekerja (staf) OMS dan penerima manfaat, terutama wanita dan anak-anak.

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Ahmad Hidayat selaku Direktur Utama PKBI Nusa Tenggara Barat, saat diminta membagikan ilmunya pada program Kyutri dengan tajuk “Menciptakan Ruang Aman Bebas Eksploitasi dan Pelecehan Seksual”. Program 3 jam kelas berbagi ini adalah kerjasama antara Co-Evolve, Lokadaya, dan Lingkar 9.

PBB dan organisasi internasional merespons banyaknya kasus pelecehan dan eksploitasi seksual dengan PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse) sebagai standar etika baru di lingkungan OMS. Hal ini terpantik dari tahun 2002 saat banyak laporan eksploitasi seksual di sektor kemanusiaan, khususnya di Afrika Barat. Berdasarkan investigasi, pelecehan dan eksploitasi justru banyak terjadi di internal pekerja kemanusiaan, juga para penerima manfaat kerja kemanusiaan.

Definisi PSEA sendiri terdiri dari 2 komponen yaitu eksploitasi dan pelecehan seksual. Bahkan di UNICEF ditambahkan satu komponen lagi yaitu perlakuan salah seksual pada anak-anak. Prinsip dasar PSEA adalah akuntabilitas penuh dari semua pihak yang terlibat tidak hanya lembaga atau pihak yang diadukan. Semua tahap harus  jelas mulai dari pelaporan, mekanisme, proses investigasinya, dan masih banyak lagi. Selain itu, OMS harus menjamin keamanan pelapor agar tidak ada tindakan balasan dari yang dilaporkan.

Selain itu, mekanisme pelaporan juga harus diatur. Pertama, OMS wajib menyediakan saluran yang aman untuk pengaduan (hotline, email rahasia). Kedua, jaminan kerahasiaan dan perlindungan terhadap pelapor. Hal yang juga tak kalah penting adalah memastikan semua staff berani lapor jika ada tindakan pelecehan ataupun eksploitasi. Tentu ini wajib, walaupun belum cukup bukti karena ada tim investigasi yang akan mencari bukti tersebut. Dayat khawatir jika tindakan seksual ini didiamkan justru akan berimplikasi buruk pada korban.

Semua staff harus diedukasi secara memadahi tentang kode etik di lingkungannya. Materi pelatihannya meliputi etika kerja dalam organisasi kemanusiaan dan cara menangani laporan PSEA dengan sensitif.

Menurut Dayat, komitmen bersama yang harus ditanamkan pada diri masing-masing meliputi:

  • melindungi penerima manfaat, staff dan komunitas
  • merevisi kebijakan organisasi
  • mengevaluasi mekanisme pelaporan
  • menyerukan untuk bertindak, bahwa PSEA bukan hanya kebijakan , tetapi tanggung jawab moral masing-masing.

Di sesi tanya jawab terdapat pertanyaan mengenai grooming. Isu ini seperti kasus seorang staf yang melakukan grooming terhadap anak penerima manfaat saat menjalankan tugas. Grooming adalah manipulasi psikologis yang tujuannya agar si calon korban percaya kepada pelaku. Grooming ini masuk dalam lingkup PSEA dan masuk kategori perlakuan salah seksual di UNICEF. Dayat menambahkan  bahwa Grooming merupakan siklus eksploitasi seksual karena menjadi langkah awal terjadinya eksploitasi ataupun pelecehan seksual. Grooming masuk dalam hukum positif eksploitasi non fisik, namun  sayangnya untuk membuktikannya pun tidak mudah.

Sebagai pernyataan pamungkas, Dayat menjelaskan alasan mengapa lembaga yang ingin mengajukan hibah kepada donor harus melengkapi SOP PSEA. Persyaratan ini wajib dilakukan walaupun tidak semua lembaga mengangkat isu wanita dan anak. Hal ini karena kelompok penerima manfaat kebanyakan masyarakat rentan yang beresiko mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan terkait pelecehan seksual.

Kyutri seri PSEA ini dapat diakses secara menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya.(*ari)

Indikator Kunci Penilaian PSEA

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/11/2024). Jika ada lembaga terindikasi terjadi pelecehan dan ekploitasi seksual, maka lembaga tersebut harus menangani hal tersebut dengan serius. Hal ini berlaku juga walau pelecehan dan eksploitasi seksual itu hanya sebatas dugaan saja. Lembaga yang abai akan isu ini akan dicap sebagai lembaga yang beresiko tinggi terjadinya SEA (sexual abuse and exploitation). Walaupun pelecehan dan eksploitasi seksualnya dianggap hanya bersifat dugaan atau tidak cukup bukti, tetapi aksi abai ini akan berdampak buruk bagi lembaga dari sisi akuntabilitas organisasi.

Serial Akuntabilitas OMS masuk pada ranah Perangkat penilaian PSEA (adaptasi tools dari UNICEF). Sebelum sesi 2 dimulai, Narasumber Ahmad Hidayat (PKBI Mataram) mengajak meninjau kembali materi pada pertemuan sebelumnya, terkait pentingnya OMS menerapkan kebijakan PSEA, serta tindakan pencegahan bila terjadi eksploitasi dan pelecehan seksual di lingkungan organisasi.

Gambaran umum perangkat penilaian PSEA meliputi zero tolerance, tidak ada toleransi untuk semua bentuk pelecehan, eksploitasi dan tindak salah seksual (UNICEF), akuntabel, transparan, aksesibel, aman tanpa mendapat tindakan balasan, rahasia terjaga, dan aksi korektif (ada proses review dari hal yang telah dilakukan.

Sedangkan inti pembahasan dalam sesi PSEA sesi 2 ini adalah penjabaran ruang lingkup PSEA. Terdapat 8 indikator kunci yang telah dijelaskan Ahmad Hidayat, yaitu meliputi:

  • Komitmen organisasi, hal ini dapat ditunjukan dengan adanya kebijakan prinsip PSEA di sebuah organisasi. Kebijakan ini harus memuat definisi eksploitasi dan pelecehan seksual yang dituangkan dalam kode etik organisasi.
  • Manajemen organisasi, Kewajiban bagi semua staf termasuk volunteer untuk mencegah dan melaporkan terjadinya SEA (sexual exploitation and abuse) harus dituliskan dalam kontrak kerja.
  • Ketenagakerjaan, Indikator ini lebih pada proses bagaimana OMS melakukan seleksi/ recruitment yang aman, perlu check referensi (google history) apakah yang bersangkutan pernah tersangkut kasus SEA.
  • Pelatihan wajib, Bagian ini yang biasa akan dilihat pemberi donor, apakah lembaga tersebut memiliki pelatihan PSEA wajib reguler. Materi pelatihan memuat definisi, larangan, kewajiban lapor, dan kanal aduan. Setelah mengikuti pelatihan ini, para staf dapat diberikan sertifikat pelatihan sebagai bukti telah mendapatkan materi PSEA.
  • Pelaporan, Hal ini terkait mekanisme internal (jalur untuk melapor), mekanisme antar lembaga (lembaga lain dan pemerintah), serta kanal pelaporan. Pelaporan erat kaitannya dengan umpan balik. “Jadi kalau sudah mendapat laporan, jangan diem aja, tindakannya apa? progressnya gimana?” ujar Dayat. Apalagi OMS yang bekerja bersama donor, sebaiknya melaporkan kepada pemberi donor apa yang terjadi apalagi bila membutuhkan asistensi. OMS tidak perlu khawatir akan dicap negatif oleh pemberi donor, justru mereka akan melabeli kita sebagai OMS yang akuntabel karena selalu gercep (gerak cepat) merespons laporan.
  • Bantuan dan rujukan, Perlu dipastikan semua penyintas wajib ditampung oleh lembaga tersebut, untuk itu kita butuh berjejaring agar dapat memetakan siapa saja yang bisa membantu sesuai kebutuhan penyintas. Ketika sudah tertampung, kita butuh daftar layanan kemana rujukan selanjutnya (kesehatan, bantuan hukum, materi dasar dan keamanan). “Hampir tidak bisa semua aspek ini disediakan oleh satu OMS/ lembaga, untuk itu kita butuh berjejaring” imbuh Dayat. Alur rujukan harus memastikan kebutuhan dasar penyintas terlebih dahulu, misalnya kesehatan, setelah itu barulah berlanjut ke bantuan hukum dan sebagainya.
  • Investigasi, OMS perlu melihat lembaga internalnya, apakah mempunyai tenaga investigator. Perlu diperhatikan juga, ada tidaknya konflik kepentingan yang beresiko meperdalam trauma korban. Misalkan terduga pelaku dari lembaga kita, berjenis kelamin laki-laki, investigatornya juga laki-laki dan berasal dari staff lembaga yang sama juga. Hal ini justru akan membuat korban semakin trauma, maka perlu berhati-hati.
  • Aksi korektif, indikator ini merupakan standar inti yang wajib ada di sebuah organisasi. Hal ini berguna untuk mengungkap adanya tuduhan atau laporan dugaan ekploitasi dan pelecehan. Aksi korektif harus dilakukan semua orang termasuk mitra, donor juga penerima manfaat. Koreksi ini mencakup riwayat tuduhan yang pernah terjadi, tindakan yang dilakukan dan upaya perbaikan mekanisme ke depan.

Tentu penerapan indikator kunci ini tak bisa instan dilakukan oleh organisasi dan lembaga, namun sebagai standar baku hal ini harus mulai dikerjakan, hingga nanti bisa menjadi budaya yang baik bagi sebuah organisasi dalam lingkup kecil, dan masyarakat umum dalam lingkup yang lebih besar.

Detail mengenai perangkat penilaian PSEA ini dapat dilihat secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Sekali Terkembang Pantang Surut ke Belakang, Organisasi Masyarakat Sipil Gas Pol Raih Benifit

By Liputan Kegiatan

“Diskusi virtual ‘Gerak Gesit Raih Benefit’ mengungkap strategi baru bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk bertahan dan berkembang di tengah tantangan yang terus berubah”

Di tengah ketergantungan terhadap donor, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) harus menguasai seni mengelola aset dan kapasitasnya untuk tetap berdaya dan relevan. Pada Jumat (08/11), Jejaring Lokadaya Nusantara kembali menggelar diskusi Seri IV bertajuk “Gerak Gesit Raih Benefit” melalui platform Zoom. Acara ini menghadirkan dua narasumber utama: Kangsure Suroto dari Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) dan Frans Toegimin dari Yayasan SPEAK Indonesia. Diskusi ini diikuti oleh sekitar 50 peserta dari berbagai OMS di Indonesia. Para peserta antusias mendengarkan berbagai strategi dan praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya organisasi yang dibahas oleh para pakar.

Kangsure Suroto membuka diskusi dengan memaparkan materi berjudul “Praktik Pengelolaan Sumber Daya Organisasi”. Ia menyoroti data terkini yang menunjukkan jumlah OMS di Indonesia mencapai 560.510 per Oktober 2023. “Ini menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dengan rata-rata bertambah 50 hingga 100 organisasi baru setiap harinya,” ungkap Kangsure. Dari jumlah tersebut, 1.821 terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, 46 organisasi asing di Kementerian Luar Negeri, dan 558.643 berbadan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 219.149 perkumpulan dan 339.494 yayasan.

Hasil penilaian CSOSI yang diuraikan Kangsure menunjukkan evaluasi Indeks Keberlanjutan OMS di Indonesia. Skor Lingkungan Hukum mencapai 4,8, menunjukkan keberlanjutan yang berkembang. “Hal ini menunjukkan adanya kemajuan, meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi,” tambahnya. Kapasitas Organisasi memiliki skor 3,7, sementara Kemampuan Finansial memperoleh 4,5. Dengan skor rata-rata 3,9, Kangsure menekankan pentingnya strategi pengelolaan sumber daya yang efektif untuk mencapai tujuan organisasi.

Dalam paparannya, Kangsure menjelaskan strategi bagaimana Yayasan Satu Karsa Karya mengelola sumber daya; khususnya memfokuskan pada rana “dana” dan “sumber daya manusia”. “Yang ini saya fokuskan adalah dua fungsi utama: mobilisasi sumber dana dan pengelolaan dana,” jelasnya. YSKK menggalang dana melalui kegiatan konvensional, pemberian jasa layanan konsultansi, dan mengintegrasikan kewirausahaan sosial dalam program-programnya. Selain itu, YSKK menerapkan peraturan dan SOP terkait sistem penggajian serta akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.

Pengelolaan sumber daya manusia di YSKK melibatkan aspek kerelawanan, aktivisme, dan profesionalisme. “Kami memperhatikan kesejahteraan karyawan dengan memberikan penghargaan masa kerja, jaminan kesehatan, dan dana pensiun,” kata Kangsure. Keterbukaan informasi, termasuk keuangan organisasi, menjadi cara untuk membangun kepercayaan antara staf dan organisasi.

Frans Toegimin memberikan perspektifnya dengan menekankan pentingnya SOP dalam mengatur kontribusi staf dan transparansi keuangan. “Jika kita transparan dalam aspek keuangan, baik pihak dalam maupun luar akan lebih percaya,” ujar Frans. Ia juga memuji dedikasi Kangsure di YSKK, yang telah berperan penting sejak awal berdirinya organisasi tersebut.

Selama sesi tanya jawab, Joni Aswira dari SIEJ menyoroti pentingnya kemitraan strategis antara OMS dan media. Ia mengungkapkan bahwa “media sosial kini memegang peran penting dalam agenda setting, menggantikan media konvensional”. Menanggapi hal ini, Kangsure menekankan pentingnya konsensus agenda bersama dalam forum, yang mencakup berbagi pengetahuan, sumber daya, dan agenda advokasi. “Agenda bersama harus diperjelas agar anggota merasa mendapatkan manfaat,” jelasnya.

Deni dari Yayasan Koppesda mengangkat tantangan kemandirian organisasi di daerah terpencil. Ia menyatakan bahwa “tantangan utama adalah kerelawanan dan penggunaan sumber daya secara transparan”. Kangsure menanggapi dengan menekankan perlunya lembaga besar yang akan menjalankan program di daerah untuk bermitra dengan lembaga lokal. “Harusnya ada konsorsium dengan lembaga lokal,” ujar Kangsure.

Frans menambahkan bahwa mendirikan perusahaan sebagai bagian dari upaya keberlanjutan organisasi bukanlah masalah selama dikelola dengan baik. “Namun, perlu diingat bahwa perusahaan dan CSO memiliki budaya yang berbeda, dan hal ini harus dianalisis terlebih dahulu,” tambahnya.

Pertanyaan terakhir dari Eros Speaker Kampung mengenai akses CSO terhadap CSR perusahaan tambang dijawab Frans dengan menekankan pentingnya mematuhi prinsip dan kode etik CSO. “Kemitraan harus disesuaikan dengan kode etik kita,” tegas Frans.

Diskusi yang berlangsung selama beberapa jam ini menjadi wadah penting bagi para peserta untuk saling berbagi strategi dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya organisasi. Dengan berbagai masukan dari narasumber dan peserta, diharapkan OMS dapat lebih gesit dalam meraih benefit dan mencapai keberlanjutan di masa depan. Diskusi ini juga menandaskan pentingnya kolaborasi dan inovasi dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, terutama di era ketidakpastian yang semakin kompleks.

Melalui sesi ini, para peserta mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana organisasi mereka dapat beradaptasi dan berkembang meskipun dihadapkan pada berbagai kendala. Jejaring Lokadaya Nusantara berkomitmen untuk terus menyelenggarakan diskusi-diskusi semacam ini sebagai bagian dari upaya mendukung OMS di seluruh Indonesia.

P2KTD, Satu Solusi Kemajuan Desa

By Liputan Kegiatan

Jakarta (19/11/2024). Idealnya, masyarakat desa sadar akan potensi daerah masing-masing. Namun kondisi lapangan terkadang tak seusai dengan kondisi idealnya, hal ini nampak pada cara desa menyerap dana desa. Masih jamak kita temui, alokasi dana desa yang hanya memikirkan pembangunan infrastruktur seperti jalan, gapura dan sebagainya. P2KTD hadir membantu desa untuk memberi gambaran lain, menyediakan pilihan-pilihan yang tak kalah penting dalam memajukan desa, termasuk saat desa harus mengalokasikan dana desa secara bijaksana.

P2KTD (Penyedia Peningkatan Kapasitas Teknis Desa) jadi bahasan menarik, hangat, dan antusias oleh perwakilan NGO dan pendamping desa pada sesi daring bertajuk “Membangun Desa via Berniaga Sumber Daya”. Kegiatan ini dihelat Lokadaya, Penabulu, dan Lingkar 9, pada Selasa (19/11). Narasumber yang dihadirkan merupakan tenaga ahli P2KTD, Hilmy, serta dibuka Nursaid Mustafa selaku Kepala Pusat Pengembangan Masyarakat Desa dan Daerah Tertinggal Kemendes.

P2KTD adalah platform inovasi yang menjaring banyak layanan penyedia, baik SDM maupun infrastruktur. Sebelum platform ini hadir, Kemendes terlebih dulu melakukan riset selama 1 tahun, untuk memastikan platform ini benar-benar diperlukan dan berguna di masyarakat desa. Pada saat riset, sekitar 1800 pendamping telah memberikan masukannya dan mereka menyarankan untuk menambahkan lebih banyak kategori layanan penyedia di berbagai Kabupaten. Sementara ini, P2KTD ini baru saja diluncurkan di Bengkulu utara.

Berikut adalah beberapa prioritas P2KTD:

  • Penguatan potensi desa (untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa),
  • Swasembada energi dan pangan
  • Hilirisasi desa

P2KTD ini menjadi penting, tatkala di lingkup desa banyak kebutuhan yang tidak bisa difasilitasi. Menurut Nursaid, Tenaga Pendamping Profesional (TPP) jumlahnya tak sebanding dengan jumlah desa di Indonesia. Tentu dapat dibayangkan layanan desa yang didapat, jika seorang TPP harus melayani sekitar 4 desa sekaligus. Hal ini pasti menyebabkan APBD desa selalu terlambat.

Selain itu, ada beberapa alasan keterlambatan yaitu pendamping kesulitan menyusun RAB, informasi dari pusat yang terlambat dan masih banyak lagi. Seperti diketahui, tidak semua TPP memiliki background di bidang infrastruktur, ini juga menyebabkan lamanya proses fasilitasi.

“P2KTD bisa beroperasi jika layanan penyedia mau bergabung, tentunya Kades juga enggan bergabung jika penyedianya tidak ada”, ujar Nursaid. Nah, dengan adanya P2KTD tentu kini jadi momen yang tepat bagi OMS untuk meyakinkan bahwa P2KTD ini akan berguna dan berkontribusi bagi desa.

Kondisi teranyar, saat ini Kemendes sedang fokus untuk memperbanyak layanan penyedia yang mau bergabung di platform. Kemendes tidak mengatur harga layanan penyedia, karena ini sudah masuk ke dalam ranah negosiasi antara Pemdes dengan Penyedia. Kemendes hanya meminta laporan hasil kerja dari penyedia yang telah mendapatkan dana desa tersebut. Harga tentunya harus disesuaikan dengan standar kabupaten masing-masing.

Di tengah diskusi, ada peserta yang menyampaikan temuan menarik di lapangan. Banyak lembaga yang nakal untuk mengadakan Bimtek secara berlebihan. Seperti diketahui, Bimtek ini mengundang OPD agar mereka mendapatkan insentif dari dana desa tersebut. Untuk itu, platform P2KTD ini jelas akan dapat memanggulangi hal itu. Pihak Pemdes dapat menolak secara halus bila ada lembaga yang meminta Bimtek tetapi lembaga tersebut tidak tersedia dalam daftar penyedia layanan  P2KTD.

Hilmy berharap platform ini dapat sebagai ajang pembelajaran dalam melakukan perencanaan desa yang lebih profesional. Diharapkan desa bisa lebih mandiri, tidak seperti sepuluh tahun terakhir yang bergantung pada dana desa. Akan tetapi, Pemdes dapat menambah pemasukan dari potensi daerah masing-masing.

Diskusi seru antara tenaga ahli P2KTD, Tenaga pendamping dan perwakilan NGO ini dapat dilihat secara utuh di kanal youtube Lokadaya. (*ari)

Cegah Kanker dengan RIP

By Liputan Kegiatan

Jakarta (14/11/2024). Diakui atau tidak, masyarakat kita minim inisiasi deteksi dini untuk berbagai penyakit, termasuk kanker. Contoh kasus pada pasien kanker yang datang dan berobat sudah bergejala berat dan di atas stadium III. Mayoritas masyarakat belum melek informasi tentang tahapan awal gejala kanker, padahal kasus makin meningkat dan faktor pemicu  yang semakin banyak, serta sulit dihindari. Sebut saja radiasi yang merupakan faktor pemicu yang susah dihindari di era serba digital ini.

Kabar buruknya, berdasarkan Global Burden of Cancer, di tahun 2018 angka kematian akibat kanker sejumlah 9,6 juta jiwa. Hal ini berarti, 1 dari 5 laki-laki serta 1 dari 6 perempuan meninggal akibat kanker.

Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses pertumbuhan sel yang abnormal. Kanker biasa diawali dari tumor jinak.  Faktanya,  tumor jenis ini tidak menyerang jaringan normal sehingga tidak bergejala apalagi menganggu keseharian. Namun bila dibiarkan, jenis tumor ini akan berkembang menjadi tumor ganas (kanker). Sel kanker ini yang akan menyerang dan merusak jaringan normal.

Afina Putri, tenaga medis dari Yayasan Pemerhati Kanker Indonesia (YPKI), memaparkan beberapa faktor pemicu kanker seperti:

  • makanan olahan dan mengandung kasinogen
  • pola hidup tidak sehat
  • faktor kimia (asap)
  • faktor fisika (radiasi)
  • keturunan/ genetik

“Langkah Primer Cegah Kanker” tema pertemuan yang diinisiasi oleh Lokadaya dan YPKI, yang fokus membahas 3 jenis kanker (kanker prostat, kanker rahim dan kanker payudara). Kanker prostat merupakan pembunuh nomor 3 bagi pria. Sedangkan kanker rahim pembunuh nomor 2 dan kanker payudara pembunuh nomor 1 bagi wanita. Kanker rahim terbagi menjadi 3, yaitu kanker ovarium (biasanya akibat pemakaian KB hormonal terlalu lama), Kanker endometrium (akibat seringnya melahirkan) dan kanker serviks (akibat sering berganti pasangan dan nikah muda).

Selama ini YPKI sudah melakukan sosialisasi di berbagai tempat untuk mengurangi kasus kanker khususnya pencegahan sebelum terkena. Cara menurunkan angka penderita kanker menurut YPKI adalah dengan sosialisasi, deteksi dini, tatalaksana/pengobatan dan pencegahan.

Pencegahan dari luar bisa dilakukan dengan memeriksa riwayat keturunan, rutin konsumsi antioksidan, menghindari asap rokok dan bahan karsinogen serta olahraga secara teratur. Sementara untuk pencegahan dari dalam dapat dilakukan dengan vaksin (hal ini akan melindungi seorang wanita dari kanker serviks selama 5 tahun kedepan) dan mengonsumsi tumbuhan alami yang mengandung zat anti kanker atau RIP (Ribosom Inactivating Protein).

RIP ini bertugas memblokir pertumbuhan sel kanker, menonaktifkan sel jahat dan mematikan sel kanker tanpa merusak jaringan sekitar. Tumbuhan yang mengandung RIP adalah daun sirsak (sejumlah 35% RIP), benalu teh (50% RIP), dan temu putih (95%).

Namun, pengobatan medis itu wajib hukumnya bagi pasien kanker. Konsumsi tumbuhan RIP hanya bersifat komplementer jika seseorang sudah didiagnosa kanker.

Perlu dipahami bahwa pemeriksaan deteksi dini bukan merupakan aib. Oleh sebab itu masyarakat tidak perlu malu. Memang butuh pendampingan bersama supaya masyarakat tidak takut terstigma karena menderita kanker, sehingga enggan melakukan deteksi dini. Pendekatan interpersonal dapat dilakukan agar masyarakat mau memeriksakan diri dan sadar sebelum stadium kankernya berlanjut.

Konsultasi dan diskusi hangat dengan Afina Putri dari YKPI ini dapat diakses secara utuh via kanal youtube Lokadaya.(*ari)

Menggiring Bola Keberlanjutan, Tiki-Taka Ahli Sumber Daya dalam Pengelolaan OMS

By Liputan Kegiatan

Diskusi daring Kyutri “Seri III” bertajuk “Tiki Taka Ahli Sumber Daya” menyoroti strategi inovatif dalam pengelolaan sumber daya organisasi masyarakat sipil (OMS). Terinspirasi dari strategi sepak bola “Tiki-Taka,” diskusi ini menekankan pentingnya kolaborasi dan adaptabilitas dalam menghadapi tantangan sosial dan lingkungan

Jejaring Lokadaya Nusantara menyelenggarakan diskusi ini pada Jumat (01/11) melalui platform Zoom, menghadirkan Karel Tuhehay dari Yayasan Satunama dan Frans Toegimin dari Yayasan SPEAK Indonesia sebagai narasumber. Acara ini dihadiri oleh sekitar 50 peserta dari berbagai OMS di Indonesia. Diskusi ini mengangkat pendekatan inovatif dalam pengelolaan sumber daya yang terinspirasi dari strategi sepak bola “Tiki-Taka,” yang menekankan kerja sama tim, umpan-umpan pendek, dan penguasaan strategi.

Dalam sepak bola, Tiki-Taka dikenal dengan umpan-umpan pendek dan pergerakan dinamis. Ketika diterapkan dalam konteks OMS, strategi ini menekankan pentingnya kerja sama tim dan penguasaan strategi untuk mencapai keberlanjutan. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumber daya dalam OMS dengan menekankan pada kolaborasi antar anggota dan pemangku kepentingan. Strategi ini mendorong penggunaan sumber daya yang fleksibel dan adaptif untuk mencapai tujuan organisasi.

Karel Tuhehay menyoroti bahwa pendekatan Tiki-Taka ini berkelindan dengan konsep crowdfunding. Crowdfunding, yang berasal dari istilah crowdsourcing atau urun daya, kini menjadi metode efektif dalam menggalang dana untuk proyek sosial. “Crowdfunding adalah praktik penggalangan dana dari sejumlah besar orang, biasanya melalui internet. Ini adalah cara yang memungkinkan OMS untuk lebih mandiri dari donor internasional,” jelas Karel.

Crowdfunding telah berkembang menjadi praktik penggalangan dana untuk tujuan sosial, seperti membantu korban bencana dan mendanai proyek-proyek sosial. Diskusi ini menekankan bahwa crowdfunding dapat menjadi alat yang kuat untuk keberlanjutan OMS. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang dermawan dan memiliki pengguna internet yang besar.

Diskusi ini juga membahas tantangan yang dihadapi OMS dalam pendanaan. Di banyak negara berkembang, OMS sering kali bergantung pada donor internasional. Namun, dengan strategi yang tepat, seperti kemitraan dan pengelolaan pengetahuan, OMS dapat mengurangi ketergantungan ini. Frans Toegimin menambahkan bahwa crowdfunding dapat menjadi alat yang kuat untuk keberlanjutan OMS, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara yang dermawan dan memiliki pengguna internet yang besar.

Diskusi ini menggarisbawahi elemen-elemen penting dalam crowdfunding, seperti dana, sekelompok orang, tujuan tertentu, dan akuntabilitas. Transparansi dan laporan yang terbuka kepada pemberi donasi juga sangat penting untuk menjaga kepercayaan. Dengan menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi, OMS dapat memastikan bahwa dana yang terkumpul digunakan secara efektif dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Crowdfunding juga dipandang sebagai bentuk pemasaran publik. OMS harus mampu menyampaikan kisah mereka, siapa mereka, dan bagaimana mereka mencapai tujuan. “Kita harus mengenal target donor kita dan menggunakan alat komunikasi yang tepat untuk menjangkau mereka, baik melalui media sosial, email, atau acara khusus,” ujar Karel. Pendekatan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang audiens dan penggunaan strategi komunikasi yang efektif untuk menarik perhatian dan dukungan dari masyarakat luas.

Beberapa kelebihan crowdfunding yang dibahas meliputi biaya yang murah, jangkauan yang luas, dan pencairan dana yang aman melalui sistem perbankan. Namun, ada konsekuensi seperti pemotongan biaya administrasi oleh platform crowdfunding yang berkisar antara 5% hingga 10%. Hal ini berarti bahwa tidak semua dana yang terkumpul akan sepenuhnya diterima oleh OMS, dan penting bagi organisasi untuk mempertimbangkan biaya-biaya ini dalam perencanaan mereka.

Peluang crowdfunding untuk proyek sosial di Indonesia sangat besar, mengingat tingginya tingkat kedermawanan masyarakat. Karel menekankan bahwa OMS harus memanfaatkan media sosial untuk memaksimalkan penggalangan dana. “Indonesia memiliki potensi besar, terutama dengan pengguna media sosial yang sangat aktif,” katanya. Dengan strategi yang tepat, OMS dapat memanfaatkan potensi ini untuk mencapai tujuan penggalangan dana mereka.

Diskusi ini juga menyoroti pentingnya strategi konten dan narasi dalam crowdfunding. Narasi yang kuat dan efektif dapat menarik perhatian donatur. “Kita harus pandai mengemas cerita kita dalam narasi singkat dan padat yang menarik,” tambah Karel. Pertanyaan dari audiens mengenai aspek perizinan, pajak, dan strategi penggalangan dana juga dibahas secara mendalam. Mukhlis dari PATTIROS dan Tri Lestari dari Yabhysa Jatim menanyakan apakah OMS perlu mendapatkan izin khusus dari pihak berwenang. Karel menjelaskan bahwa legalitas sangat penting untuk menghindari masalah hukum di kemudian hari.

Farida menanyakan apakah crowdfunding dikenakan pajak. Frans menjelaskan bahwa hal ini tergantung pada regulasi setempat dan penting bagi OMS untuk memahami implikasi pajak yang mungkin berlaku. Iwan Hamid bertanya tentang strategi untuk OMS yang belum pernah melakukan crowdfunding. Frans memberikan saran untuk memulai dengan membangun kepercayaan melalui transparansi dan akuntabilitas.

Muhammad Yusuf menyoroti tren baru di platform seperti TikTok yang bisa dimanfaatkan untuk penggalangan dana. “Dengan kreativitas dan pendekatan yang tepat, OMS dapat memanfaatkan platform ini untuk menjangkau lebih banyak orang,” ujarnya. Flora Kambuaya menanyakan tentang kasus penyalahgunaan dana dan bagaimana OMS harus merespons. Karel menekankan pentingnya komunikasi yang jelas dan dokumentasi yang baik untuk mencegah penyalahgunaan dana.

Omri dari Kupang berbagi pengalaman tentang tantangan menarik donatur melalui media sosial. Frans memberikan tips untuk meningkatkan engagement, seperti menggunakan narasi yang menarik dan visual yang kuat. Raviq A bertanya tentang cara menentukan target dana yang realistis. Karel menyarankan untuk memulai dengan target yang terukur dan belajar dari pengalaman penggalangan dana sebelumnya.

Diskusi ini menegaskan bahwa dengan strategi yang tepat, OMS dapat meningkatkan keberlanjutan dan dampak sosial mereka. Pendekatan Tiki-Taka, yang menekankan kolaborasi dan adaptabilitas, dapat menjadi kunci keberhasilan dalam mengelola sumber daya dan menghadapi tantangan di masa depan.

Membongkar Kemampatan Keran Sumber Daya OMS

By Liputan Kegiatan

“Sejumlah ahli dan praktisi OMS berkumpul untuk mengurai teka-teki besar: mengapa keran-keran sumber daya bagi organisasi masyarakat sipil di Indonesia seolah tersumbat? Dipandu oleh para narasumber berpengalaman, diskusi ini menggali lebih dalam tantangan yang dihadapi dan strategi inovatif yang dapat membuka aliran sumber daya menuju keberlanjutan finansial”

Pada Jumat (25/10), Jejaring Lokadaya Nusantara menyelenggarakan diskusi bertajuk “Keran-Keran Sumber Daya” melalui platform Zoom. Diskusi Serial II “Kyutri” ini menghadirkan George Corputty (Jejaring Lokadaya Nusantara) dan Frans Toegimin (Yayasan SPEAK Indonesia) sebagai pemantik diskusi. Fokus utama dialog ini adalah menyoroti tantangan yang dihadapi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia dan strategi yang dapat diterapkan untuk mencapai keberlanjutan finansial dan operasional.

George Corputty membuka diskusi dengan memaparkan tentang The Civil Society Organization Sustainability Index (CSOSI). “CSOSI adalah alat penting untuk memahami keberlanjutan OMS,” kata George. Indeks ini mengukur perkembangan OMS melalui tujuh dimensi kunci: lingkungan hukum, kapasitas organisasi, kemampuan finansial, advokasi, penyediaan layanan, infrastruktur sektoral, dan citra publik. CSOSI dikembangkan oleh USAID dan bertujuan menjadi sumber informasi bagi OMS, pemerintah, lembaga donor, dan akademisi untuk memahami dan memantau aspek kunci keberlanjutan OMS.

George menjelaskan bahwa indeks keberlanjutan OMS Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa kapasitas organisasi masih stagnan dengan skor 3.7, sama dengan tahun 2021. “Skor ini menunjukkan kategori keberlanjutan berkembang,” jelasnya. Menurut panel ahli CSOSI 2023, salah satu penyebab stagnasi adalah rendahnya kualitas aktivis dalam gerakan OMS, meski ada fokus pada profesionalisme staf dalam tata kelola organisasi. “Kita perlu mengembangkan kapasitas aktivis, bukan hanya fokus pada administrasi,” tegas George.

Selain kapasitas organisasi, George juga menyoroti indeks kemampuan finansial OMS yang tetap di skor 4.5. “Ini berarti OMS berada dalam situasi berkembang namun cenderung terhambat,” ujarnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi ini antara lain belum optimalnya diversifikasi sumber pendanaan, penurunan dukungan luar negeri, dan belum maksimalnya akses ke sumber pendanaan lokal. “Pandemi COVID-19 memang mendorong kreativitas dalam penggalangan dana, tetapi kemandirian finansial OMS belum berkembang signifikan,” tambahnya.

Diversifikasi pendanaan menjadi salah satu strategi kunci bagi OMS untuk mencapai kemandirian finansial dan menjaga keberlanjutan program-programnya. Dalam survei yang melibatkan 509 OMS, 361 organisasi telah memulai diversifikasi pendanaan, sementara 129 lainnya masih bergantung pada satu sumber dana. Diversifikasi ini melibatkan sektor swasta, seperti konsultasi dan program Corporate Social Responsibility (CSR), serta sektor publik melalui anggaran pemerintah. “Diversifikasi adalah strategi kunci untuk keberlanjutan,” kata George.

Diskusi kemudian beralih ke pentingnya perencanaan strategis dan struktur pengelolaan internal OMS. Tris Dianto, salah satu peserta, menyoroti pentingnya menyusun rencana strategis yang tidak hanya mengidentifikasi kegiatan, tetapi juga dapat terlaksana. Menanggapi hal ini, George menjelaskan bahwa penting untuk memiliki analisis konteks organisasi dan struktur yang sesuai. “Buatlah rencana strategis lima tahunan, dan evaluasi setiap akhir tahun,” sarannya. Frans Toegimin menambahkan, “Visi dan misi itu penting, tapi harus fleksibel. Fokuslah pada analisis kekuatan dan kelemahan institusi serta penerima manfaat.”

Lely Zailani dari HAPSARI mengakui bahwa organisasinya belum memaksimalkan manajemen pengetahuan. “Kami sering mendiskusikan potensi sumber daya, tetapi sering kali hanya bicara soal dana,” katanya. Menanggapi ini, George menyarankan agar OMS mengembangkan fungsi manajemen pengetahuan dengan metode berbasis bukti. “Organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan, tidak ada obat mujarab kecuali kita yang meramunya,” ujarnya. Frans menambahkan bahwa manajemen pengetahuan harus didokumentasikan dan dibagikan. “Kita harus mengembangkan metode pembelajaran yang efektif,” katanya.

Pertanyaan dari audiens lainnya, seperti dari Evie dari YMMA Sumut, menyoroti evaluasi mandiri OMS. George menjelaskan bahwa penilaian sebaiknya dilakukan setiap tahun, dengan kejujuran sebagai kunci dalam penilaian mandiri. “Ini membantu kita mengukur kinerja organisasi,” jelasnya. OMS diharapkan memiliki sistem monitoring dan SOP yang jelas, bukan hanya untuk program tetapi juga administrasi organisasi.

Diskusi ini juga menyoroti tantangan OMS dalam menghadapi generasi milenial. Lilya dari Para Mitra Indonesia dan Ijun Gilang mengangkat isu keberlanjutan tim OMS di era ini. Frans menekankan pentingnya merekrut individu yang memiliki minat dan komitmen. “Materi penting, tetapi bukan tujuan utama,” katanya. George menambahkan bahwa transformasi dan inovasi diperlukan untuk menghindari stagnasi. “Kita harus berani bertransformasi dan tidak meromantisasi masa lalu,” katanya.

Diskusi Kyutri Seri III ini menggarisbawahi bahwa kendatipun OMS Indonesia menghadapi tantangan dalam kapasitas dan finansial, ada banyak peluang untuk memperkuat keberlanjutan melalui diversifikasi pendanaan dan peningkatan kapasitas internal. OMS didorong untuk terus beradaptasi dan berinovasi agar dapat bertahan dan berkembang di tengah perubahan lingkungan. Dengan strategi yang tepat, OMS dapat mencapai kemandirian finansial dan keberlanjutan yang lebih baik di masa depan.