Jakarta (21/2/2025). Saat kita memiliki koleksi data, menentukan perspektif adalah hal yang krusial tatkala kita akan menyulapnya menjadi sebuah film dokumenter. Tak lain tak bukan, pemilihan perspektif bisa membawa penonton pada pengalaman penonton, emosi yang ditimbulkan, serta call to action yang diharapkan.
Cuplikan mengenai perspektif tersebut, tersirat pada Kyutri seri “Berkomunikasi via Sinema” yang diadakan Jejaring Lokadaya Jumat (21/2). “Data Jadi Drama” adalah tajuk yang diangkat untuk seri kedua ini. Ratmurti Mardika seorang filmmaker documenter memantik diskusi dengan pertanyaan, “bagaimana mengolah data, mengenalinya dan mengklasifikasikannya, dan mengolahnya menjadi drama?”
Sebagai awalan, peserta diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang data, drama, perspektif dan bentuk drama. Data meliputi catatan, informasi, pengetahuan, dll, yang bisa digunakan dan diolah menjadi film dokumenter. Sedangkan drama adalah metode seni teatrikal yang menjadi dasar dari film. Teori drama ini masih berpijak pada drama 3 babak dari Aristoteles, yang merupakan teori klasik yang exist sejak jaman kuno. Namun, di Holywood-pun masih menggunakan teori 3 babak ini, yang mana mereka kombinasikan dengan struktur dan bahasa audio visual yang baik.
Mengenai perspektif saat membuat drama kita harus mengenal beberaepa sudut pandang yang akan kita lekatkan pada protagonis, apa dan data apa yang harus dilekatkan pada tubuh protagonis bila mengambil perspektif tersebut. Selanjutnya ialah bentuk film yang merupakan entitas Storytelling, Audio, dan Visual. Bentuk film itu jenisnya banyak, konten media sosial, film fiksi, dokumenter, dan lain-lain. Tentunya dari jenis bentuk tersebut, bisa kita pilih dan sesuaikan dengan kebutuhan OMS kita masing-masing.
Apabila kita memilih film Dokumenter, informasi tidak akan terdistorsi dan pesan dapat tersampaikan secara jujur, hamper menyerupai kenyataan yang terjadi. “Kalau mau bikin dokumenter, sebaiknya harus merancang bentuk eksebisi yang bisa langsung berinteraksi dengan penontonnya,” ujar pria yang akrab dipanggil Sonkski ini.
Pada tahap awal pembuatan film, Sonkski menyarankan sebuah workflow yang dia gunakan selama ini, workflow tersebut meliputi:
– pahami data
– analisis data
– ambil perspektif
– elemen naratif
– one pager dan pitch deck (semacam proposal tetapi ringkas, biasa digunakan untuk mencari dukungan)
– penulisan naskah
– developing
– produksi – Pasca Produksi
Pemaparan selanjutnya mengenai data analisis dan pemilihan perspektif. Ibarat mau memasak, kita harus tahu dulu bahan masakannya.
Menurut Eko Komara dalam seri Kyutri yang terdahulu, Data terletak di posisi paling bawah sebuah bagan hierarki pengetahuan. Perlu dipahami, data bisa jadi sebuah informasi, tetapi belum tentu informasi tersebut bisa dijadikan film. Menurut Sonkski, posisi film dalam hierarki pengetahuan adalah pada tingkatan knowlegde dan wisdom. Kalau sekedar data dan informasi itu masih data mentah atau feature, belum bisa disebut film. Sebuah film tentunya dapat memberikan pengetahuan baru dan dapat menarik empati guna sebuah aksi perubahan.
Contohnya, seperti sebuah film yang bercerita tentang eksebisi lumba-lumba. Bagaimana seekor lumba-lumba dididik, bahkan disiksa untuk menghasilkan pertunjukan yang atraktif. Nah, harapannya setelah melihat dokmenter ini, banyak penonton yang mendapat pengetahuan baru , terketuk hatinya dan enggan melihat eksebisi lumba-lumba lagi. Ini yang dinamakan film tersebut berhasil dan membawa perubahan.
Hal yang tak kalah penting adalah elemen naratif. Elemen ini merupakan pembeda antara film dokumenter dan sebuah berita, tabloid, ataupun baliho sekalipun. Kita harus memikirkan plot (alur cerita), karakter, latar, konflik (tidak ada konflik, bisa dipastikan tidak akan ada perubahan), Point of View, Ironi (ketidakseimbanagan antara harapan dan kenyataan) dan simbolis (elemen untuk mewakili sesuatu yang lebih besar).
Pada kesempatan ini, Sonkski juga membantu seorang peserta dari Bulukumba, Nur Ismi, untuk mendevelop elemen naratif terkait konflik yang dialaminya. Beliau adalah seorang pendamping buruh migran di area perbatasan Indonesia-Malaysia.
Di akhir diskusi, peserta diminta untuk berlatih membuat one pager, yang meliputi:
– Logline (kalimat pendek yang menggambarkan inti cerita). Logline ini biasa ditujukan untuk produksi saja
– Sinopsis (ditujukan untuk calon penonton, bagaimana seorang film maker ini mengajak orang untuk mau menonton filmnya)
– Statement (mengapa film ini penting untuk dibuat dan ditonton. Apa saja motivasinya?).
Diskusi serta pelatihan menyusun data jadi drama, tentunya sangat menarik ya? Pelatihan ini dapat dilihat secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)