Skip to main content
All Posts By

anton

Alih Mandat Kepemimpinan Ke Gen-Z

By Kyutri, Liputan Kegiatan

Jakarta (13/6/2025). Banyak ahli menyebut bahwa Indonesia gagal dalam menghadapi bonus demografinya, hingga munculah teori baru; generasi muda kita rapuh, gampang stres, dicap sebagai manusia yang tidak bisa diberi tanggung jawab. Bahkan generasi muda dianggap hanya mahir di bidang digitilisasi. Hal ini menjadi satu faktor pemicu OMS tidak yakin melibatkan mereka dalam kegiatan kemasyarakatan.

Paparan yang terdengar kontroversional ini menyeruak dalam Serial berbagi Kyutri bertajuk “Kepemimpinan Angkatan Muda di Organisasi Masyarakat Sipil”. “Pemimpin Masa Depan OMS” merupakan topik yang dipilih dalam pertemuan pertama seri ini. Kyutri ini terselenggara atas kerjasama Jejaring Lokadaya dan Sadaya, serta dukungan dari Uni Eropa melalui program Co-Evolve.

Andi Iskandar Harun, kerap disapa Mas Is, diberi mandat sebagai narasumber tema ini. Mas Is yang mengaku sebagai generasi Baby Boomer ini adalah seorang aktivis Jaringan  Mitra Kemanusiaan (JMK).

Terdapat banyak tantangan dalam masalah kepemimpinan OMS di jaman sekarang yang menjadi dasar diskusi serial ini. Mas Is juga berharap akan mendapat banyak masukan dari berbagai lintas generasi, khususnya dari generasi muda melalui diskusi Kyutri kali ini.

Tantangan OMS saat ini tidak hanya berkutat pada dana, tetapi juga sempitnya ruang gerak untuk berpartisipasi dalam pembangunan, melemahnya kapasitas OMS dan perbedaan konteks antar daerah di Indonesia. Banyak program atau skema gerakan yang dilakukan tidak bisa disamaratakan di berbagai daerah Indonesia. Untuk itu, hal ini perlu diluruskan mengenai skema masa depan OMS di negara kita.

“Ada atau tidak human resource mobilization yang bisa melanjutkan pergerakan dari generasi sebelumnya”, ujar mas Is. Kuncinya adalah sudah siapkah OMS ini memberikan mandat visi misi dan tujuan organisasi kepada generasi M dan generasi Z. Karena pemegang tongkat estafet tentunya berasal dari generasi muda, tidak mungkin dari generasi lampau.

Era sekarang, negara kita didominasi generasi milenial dan gen Z sebesar 74% dadi total populasi kita.

Generasi Millenial identik dengan rasa percaya diri yang tinggi dan berambisi untuk menguasai semua bidang. Selain itu, umumnya mereka kristis terhadap fenomena sosial dan lebih terbuka terhadap isu keberagaman dan kesetaraan. Mereka juga berorientasi pada pengalaman daripada kepemilikan barang. Mereka cenderung lebih memilih menghabiskan uang untuk mencari pengalaman baru ketimbang membeli aset tetap.

Selanjutnya untuk ciri khas gen Z, mereka terkenal dengan kemahirannya dalam pengunaan teknologi dan kemampuan multitasking yang mengesankan. Mereka cenderung kreatif dan mendorong ekspresi diri di media digital. Mereka menunjukan peningkatan kesadaran sosial dan peduli terhadap isu lingkungan, kesetaraan, dan kesejahteraan sosial. “Tetapi kadang-kadang mereka tidak betah dengan satu isu, mereka lebih cepat boring” tambah Mas Is.

Berdasarkan penelitian, gen Z itu adalah generasi yang sangat akrab dengan teknologi, memiliki kebiasaan berkomunikasi di dunia maya, memprioritaskan finansial, dan mandiri. Namun, mereka sering mengumbar apapun termasuk privasi di media sosial.

Ada pertanyaan yang dilontarkan Mas Is sebelum dimulai diskusi yaitu mengapa generasi baby boomer sulit mempercayakan alih tangan kepemimpinan kepada gen millenial dan gen Z?

Terdapat statement bahwa generasi muda paling suka masuk ruang kerja yang santai. Sekarang ini mereka sudah berani beradu argumen dan harus didikte instruksi-instruksi secara detail di awal kerja. Namun, setelah sesi diskusi, mas Is terkesan karena masih ada generasi muda (khususnya gen Z) yang siap jadi militan di organisasi, ini menarik karena sebagian besar orang OMS biasanya adalah pekerja project bukan relawan organisasi. Untuk itu, transisi sebelum masuk ke generasi alpha, OMS harus memberikan delegasi mutlak serta memberi ruang dan peluang kepada generasi Z di OMS. “Intinya kita harus kompromi lagi, perlu komunikasi, yang tua jangan gunakan kacamata tuanya, yang atas turun grade dan yang bawah perlu upgrade kapasitas negosiasinya” pungkas Mas Is

Pemaparan menarik ini dapat dilihat secara lengkap dikanal Youtube Lokadaya.(*ari)

LAPMAS Ngada

By Selasar - Jendela

Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat Sipil Ngada, atau akronimnya LAPMAS didirikan tahun 2001 dengan akta pendirian No. 8,  Tanggal 10 Mei 2001. menjawabi persoalan bangsa dan negara ketika itu, melemahnya posisi tawar masyarakat sipil menyusul tekanan penguasa Orba.

Tinjau

Pejuang Melawan Tuberkulosis

By Selasar - Jendela

Pelawan TB  diresmikan pada 27 Oktober 2023, berbasis di Pangkalpinang, Bangka Belitung dan merupakan yayasan yang memiliki misi dalam mengeliminasi TB di bumi Bangka Belitung. Kegiatan Organisasi di bidang sosial kemanusiaan, dengan fokus pada kegiatan promotif, preventf, tracing, tracking, supporting dan pemberdayaan komunitas penyintas TB.

Tinjau

Yayasan Victory Plus Yogyakarta

By Selasar - Jendela

Yayasan Victory Plus Yogyakarta berdiri sejak tahun 2004 dan bergerak dalam isu HIV & AIDS, sampai saat ini menangani ODHA dengan jumlah kurang lebih 5.192 lebih orang dengan semua latar belakang (Pecandu, LSL, WPS, WPSL, Waria, dll) serta menggagasi sepuluh Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang terbagi di lima kabupaten wilayah Yogyakarta (Kota,Sleman, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul).

Tinjau

Yayasan Kamiang

By Selasar - Jendela

Yayasan Kamiang adalah organisasi nirlaba yang didirikan sebagai respons terhadap tingginya risiko bencana di Indonesia, dengan komitmen utama memperkuat ketangguhan masyarakat secara berkelanjutan. Berbasis pada semangat kolaborasi dan kearifan lokal.

Tinjau

Perkumpulan Mitra Masyarakat Inklusif (PMMI)

By Selasar - Jendela

Perkumpulan Mitra Masyarakat Inklusif (PMMI) adalah organisasi nirlaba dan independen yang beranggotakan difabel dan non-difabel. Berdiri sejak 2018, disahkan secara hukum pada 2019. Berbasis di Kota Bengkulu, dengan cakupan wilayah kerja seprovinsi Bengkulu. PMMI Bengkulu berfokus pada pemenuhan hak-hak difabel dan inklusi sosial

Tinjau

Kopel Sulawesi

By Selasar - Jendela

Pasca reformasi tahun 1998, Indonesia mengalami transformasi besar dalam pemerintahan, yang diwarnai oleh peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi. Pembaharuan ini membuka jalan bagi penerapan otonomi daerah yang memberi kewenangan lebih besar kepada DPRD, menjadikannya salah satu institusi yang memiliki kekuasaan tanpa kontrol eksternal yang kuat.

Tinjau

Koperasi JAGADIRI

By Selasar - Jendela

Koperasi Produsen Janda Gachor Mandiri (Jaga Diri) adalah wadah bagi perempuan-perempuan tangguh yang berkomitmen untuk mandiri secara ekonomi, sosial, dan ekologis. Kami hadir sebagai bentuk solidaritas dan pemberdayaan bagi para perempuan yang ingin membangun kehidupan lebih baik melalui usaha kolektif dan berkelanjutan.

Tinjau

Komunitas PARHAT Belitung

By Selasar - Jendela

Komunitas PARHAT didirikan pada tahun 2021 yang digagas oleh wasor Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung dan wasor Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang melihat kecendrungan tingginya angka ketidakpatuhan minum obat pada pasien TBC yang sedang dalam pengobatan di Kabupaten Belitung.

Tinjau

KOMPASS TB Sumatera Selatan

By Selasar - Jendela

KOMPASS TB adalah organisassi yang terdiri dari para penyintas TBC yang sudah sembuh dari pengobatan dan sebagai wadah untuk menambah ilmu dan juga wawasan dalam dunia TBC dan memberdayakan para penyintas dalam mengembangkan bakat yang dimiliki oleh masing-masing anggota

Tinjau

TUAH TB Pekanbaru

By Selasar - Jendela

TUAH TB yakni singkatan dari Tunjukkan Aksi Hidup tanpa Tuberkulosis adalah lembaga sosial yang bergerak dalam memberikan dukungan pengobatan kepada pasien TBC Resisten Obat/Kebal Obat di wilayah kota Pekanbaru.

Tinjau

Yayasan SPEAK Indonesia

By Selasar - Jendela

SPEAK Indonesia merupakan organisasi nasional yang berdiri pada tahun 2004. SPEAK memiliki spesialisasi dalam peningkatan kapasitas lembaga dan masyarakat melalui strategi komunikasi yang memberdayakan semua pihak dan telah aktif di berbagai sektor pembangunan selama lebih dari 15 tahun serta berkolaborasi dengan pemerintah pusat/daerah, donor, LSM, CBO, dan sektor swasta di berbagai daerah di Indonesia.

Tinjau

Yuk, Sebar Film Kita dengan Benar

By Liputan Kegiatan

Jakarta (7/3/2025) Ada yang hal yang sering luput saat kita sebagai Organisasi Masyarakat Sipil (atau pribadi) merencanakan sebuah produk film. Hal itu adalah pendistribusian film supaya bertemu dengan penontonnya. Tentu tidak mungkin, kalau kita sudah bersusah payah memproduksi film, tetapi ending-nya hanya menumpuk di hardisk saja. Hal seperti ini tentunya membuat kita merasa capek sendiri karena minim apresiasi dan akhirnya merasa enggan untuk terus berkarya di bidang ini. Padahal untuk menemukan penonton film supaya isu yang kita angkat sampai pada mereka itu memerlukan strategi dan sumber daya tersendiri.

Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, Jejaring Lokadaya menghadirkan Kyutri “Berkomunikasi via Sinema”, seri ke-4 ini  bertajuk “Media Distribusi Karya.” Masih seperti pertemuan lalu, Ratmurti Mardika, yang akrab disapa “Sonkski” masih didapuk sebagai narasumber guna memberikan pengalamannya terkait distribusi film ini.  Ia merupakan dosen Sinematografi UIN Raden Mas Said yang pada tahun 2024 lalu membentuk komunitas  Sinema Warga Solo. Setiap tahun, dia juga menghadirkan film hasil karya mahasiswanya di bioskop lewat acara “Panen Sinema”.

Sebelumnya, bila kita sudah selesai mengambil gambar, perjuangan membuat film tak begitu saja usai. Setelah produksi rampung, kita masuk dalam tahapan pasca produksi. Pasca produksi adalah tahap akhir dalam proses pembuatan film setelah proses syuting selesai. Kegiatan yang dilakukan di tahap ini meliputi kegiatan menyunting, merapikan suara, menambah musik, memberikan efek visual, color grading dan final render.

Tahapan selanjutnya adalah distribusi. Distribusi adalah proses penyaluran film kepada penonton melalui berbagai platform. Kalau diluar negeri yang bertugas mendistribusikan film ke penontonnya itu bukan filmmaker ataupun produsernya. Namun, tahap tersebut dikerjakan oleh distributor professional.

Namun, di Indonesia belum banyak orang atau badan yang mengkhususkan diri bekerja di bidang distribusi film, maka ada baiknya kita pahami kerja-kerja itu, dan kita lakukan secara mandiri. Ada beberapa rilisan dalam distribusi yang perlu kita ketahui, yaitu:

  1. Rilisan lebar (disebar serentak di banyak bioskop)
  2. Rilis terbatas (ditayangkan ke bioskop tertentu atau ke festival dan komunitas tertentu)
  3. Rilis mandiri (distribusi melalui platform digital, media sosial atau film freeway)

“Rilis lebar biasanya untuk mencari keuntungan, karena kita akan terbantu lewat penjualan tiket bioskop,” ujar Sonkski

Setelah menjelaskan mengenai variasi rilisan distribusi, Sonkski juga menyuguhkan sekilas tantangan dalam distribusi, yang mana hal ini juga wajib diketahui oleh orang film. Tantangan ini mencakup:

  • Penjualan hak distribusi
  • Pemasaran dan promosi
  • Rilis film
  • Monetisasi dan pendapatan

Namun, sebenarnya semua jobdesc serta tantangan itu bukan tanggung jawab dari filmmaker. “Inilah tantangan utamanya, harus ada orang lain yang dipercaya untuk bekerja dibagian distribusi dan eksebisi”, tambah Sonkski.

Lalu mengenai eksebisi, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Faktor pertama adalah menentukan target audiens (menyesuaikan tema film dan dicocokkan ke mana akan di-publish), Kedua, pemilihan letak eksebisi. Seperti kita ketahui pemutaran bioskop saat ini paling ideal karena terdapat ruang gelap dan tata suara yang baik. Selain itu, format yang digunakan di bioskop itu premium seperti  iMAX atau ruang dengan tata suara Dolby Atmos sehingga memberikan kesan yang optimal untuk pengalaman pentonton. Faktor ketiga adalah kebijakan sensor dan regulasi. Faktor ini merupakan bagian yang berpengaruh, pasalnya biasanya isu sensitif yang diangkat OMS justru malah kena sensor.

Namun untuk film-film yang ditujukan untuk advokasi, sebaiknya memilih jalur distribusi daring, festival film, pemutaran komunitas, atau lakukan eksebisi mandiri.

Sebelum menutup pemaparan, tak lupa Sonkski juga menyinggung tentang review dan kritik film. Kegiatan ini merupakan sebuah kegiatan yang memberikan pandangan objekif maupun subjektif tentang film. Kegiatan ini memberikan ruang pembicaraan tentang film tersebut. Hal inilah yang membuat film itu tetap panjang umur karena terus dibicarakan. “Kritik dan review itu sama-sama powerfull, tetapi kritik itu lebih akademik karena teori-teori film masuk disitu,” pungkas Sonkski.

Pada intinya, bila kita memiliki proyek film jangan lupa untuk merencakan strategi memepertemukan film kita dengan segmentasi penonton yang kita harapkan. Kalau perlu masukkan pula budget distribusi dalan RAB.

Diskusi mengenai distribusi film ini dapat diakses secara lengkap dikanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Media Distribusi Karya

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Membuat sinema sederhana berdaya hanya sebagian dari perjalanan; langkah selanjutnya adalah bagaimana mendistribusikan karya tersebut secara optimal. Dengan memanfaatkan kanal distribusi, platform berbagi, dan strategi yang tepat, karya sederhana bisa menjangkau lebih banyak orang dan berdampak.

Mari kita eksplorasi bagaimana pesan dari karya kita sampai ke orang yang tepat!

Hari : Jumat, 7 Maret 2025
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-KYUTRI-MediaDistribusiKarya

Sampai bertemu!

Catatan Sebelum Mulai Produksi Film

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/2/2025). Sebagai awalan membuat film, kita seyogyanya tidak perlu membuat film yang terlalu ribet atau berambisi sekelas film Joker. Kita bisa mulai dulu dengan film yang sederhana tetapi memenuhi kriteria standar produksi film. Hal terpenting bagi OMS kita adalah cerita film tersebut wajib membawa impact perubahan, sehingga berguna dan sesuai dengan visi misi OMS kita.

Pembahasan ini diulik secara asik oleh Ratmurti Mardika yang akrab disapa “Sonkski”. Kyutri serial “Berkomunikasi via Sinema” memasuki sesi ketiga yang berjudul “Sinema Sederhana Berdaya”. Kegiatan ini berlangsung atas kerjasama Lokadaya dan Lingkar 9 dengan dukungan dari Uni Eropa melalui program Co-evolve.

Sesi ini diawali dengan pembahasan one pager kiriman dari dua peserta. Kiriman yang pertama dari Alton yang berjudul Ombak Priok. Rencanany film pertama ini akan mengisahkan tentang hiruk pikuk kehidupan masyarakat di Tanjung Priok. One pager selanjutnya ditulis oleh Arif, berjudul “Alibi di Lautan”. One pager ini bercerita tentang konflik kerakusan manusia dan perjuangan masyarakat nelayan yang dirugikan.

Mereka antusias menyampaikan alasan dan bagaimana perspektif mereka masing-masing. Sonkski memberikan masukan dan komentarnya pada pembahasan one pager ini. Tentu hal ini menarik sekali untuk didiskusikan.

Dalam proses pembuatan film sampai dapat ditonton masyarakat terdapat 5 tahapan yang biasa dilalui, yaitu:

  1. Pra produksi: Pada tahap ini kita akan membuat cerita dan mencari dukungan.
  2. Produksi: Tahap ini meliputi kegiatan mengambil gambar (shooting), membuat suara dan adegan.
  3. Pasca produksi: Hal yang penting dilakukan di tahap ini ialah proses editing, pewarnaan, pemberian sound effect, serta finishing film.
  4. Distribusi: Tugas pokoknya adalah mempromosikan dan mengirim film ke festival atau bioskop.
  5. Eksebisi: Komunitas dan bioskop-bioskop adalah bagian penting dari tahap eksebisi ini.

“Sayangnya di Indonesia kelima tahap ini biasanya masih di-handle oleh seorang produser”, ujar Sonkski. Padahal alangkah leluasanya para kru, bila semua tahapan ini dikerjakan oleh orang yang berbeda dan yang lebih kompeten di bidang masing-masing.

Ada pertanyaan menarik dari peserta terkait perbedaan produser dengan sutradara. Produser itu bertanggungjawab atas manajemen di belakang layar. Sedangkan Sutradara bekerja untuk film yang akan ditampilkan di depan layar. Nah, sebaiknya dua Jobdesc ini dikerjakan oleh dua orang yang berbeda, bukan dirapel satu orang saja.

Selanjutnya dalam hal pendekatan dengan narasumber, kita sebaiknya menunggu momen yang tepat dahulu. Biasanya protagonis harus sudah kenal dan akrab dulu, barulah diajak Shooting. “Jangan gunakan hari pertama bertemu langsung memakai kamera”, tambah Sonkski. Kalau tetap memaksakan mengambil gambar , pasti hasil ceritanya tidak utuh dan terkesan seperti wawancara yang kaku.

Perlu dipahami, karena film itu sebuah entitas dari gambar, suara dan cerita, jadi mau tak mau kita harus mengusahakan gambar dari kamera yang bagus. Apakah bisa shooting dokumenter memakai Handphone? Jawabannya bisa, cukup, tetapi gambarnya tidak akan variatif dan pengambilan suaranya juga susah karena kurang maksimal.

Standar produksi gambar yang digunakan saat ini adalah beresolusi 4K, karena ditilik dari peralatan yang beredar kini mayoritas sudah menggunakan resolusi ini. Dalam sebuah film pendek biasanya cukup menggunakan mirorless maupun DSLR. Selain kamera, kita juga sebaiknya menyediakan 3 lensa yang berbeda. Lensa ini meliputi pengambilan gambar long shoot, medium shoot dan close up.

Hal yang tak kalah penting adalah microphone. Kalau sudah di lapangan, teman-teman OMS biasanya lupa membawa microphone. Walaupun kamera yang digunakan sudah bisa mengambil suara, tetapi kita tetap harus memakai microphone atau clip-on agar kamera bisa leluasa mengambil gambar.

Tantangan pengambilan suara adalah suara tersebut tidak dapat dilihat. Biasanya pembuatan film menggunakan 3 jenis mic, yaitu: shotgun mic, lavelier dan boom mic. Selain kamera, lensa, mic, Sonkski juga menjelaskan sekilas tentang penggunaan tata cahaya dan teknisnya.

Pada kesempatan ini, Sonkski menjelaskan banyak hal teknis dalam pembuatan film. Dia juga membagikan modul lengkap dan detail sehingga dapat dipelajari oleh semua peserta Kyutri.

Pelatihan teknis yang sangat penting ini dapat dilihat menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Sinema Sederhana Berdaya

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Sinema bukan hanya milik para profesional dengan peralatan mahal dan produksi besar, siapapun bisa membuat sinema sederhana yang tetap memiliki daya untuk menyampaikan pesan dan menginspirasi perubahan.

Mari kita pelajari bagaimana membuat sinema sederhana yang efektif, bermakna, dan penuh daya!

Hari : Jumat, 28 Februari 2025
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-KYUTRI-SinemaSederhana

Sampai bertemu!

Mengolah Data Menjadi Film

By Liputan Kegiatan

Jakarta (21/2/2025). Saat kita memiliki koleksi  data, menentukan perspektif adalah hal yang krusial tatkala kita akan menyulapnya menjadi sebuah film dokumenter. Tak lain tak bukan, pemilihan perspektif bisa membawa penonton pada pengalaman penonton, emosi yang ditimbulkan, serta call to action yang diharapkan.

Cuplikan mengenai perspektif tersebut, tersirat pada Kyutri seri “Berkomunikasi via Sinema” yang diadakan Jejaring Lokadaya Jumat (21/2). “Data Jadi Drama” adalah tajuk yang diangkat untuk seri kedua ini. Ratmurti Mardika seorang filmmaker documenter memantik diskusi dengan pertanyaan, “bagaimana mengolah data, mengenalinya dan mengklasifikasikannya, dan mengolahnya menjadi drama?”

Sebagai awalan, peserta diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang data, drama, perspektif dan bentuk drama. Data meliputi catatan, informasi, pengetahuan, dll, yang bisa digunakan dan diolah menjadi film dokumenter. Sedangkan drama adalah metode seni teatrikal yang menjadi dasar dari film. Teori drama ini masih berpijak pada drama 3 babak dari Aristoteles, yang merupakan teori klasik yang exist sejak jaman kuno. Namun, di Holywood-pun masih menggunakan teori 3 babak ini, yang mana mereka kombinasikan dengan struktur dan bahasa audio visual yang baik.

Mengenai perspektif saat membuat drama kita harus mengenal beberaepa sudut pandang yang akan kita lekatkan pada protagonis, apa dan data apa yang harus dilekatkan pada tubuh protagonis bila mengambil perspektif tersebut. Selanjutnya ialah bentuk film yang merupakan entitas Storytelling, Audio, dan Visual. Bentuk film itu jenisnya banyak, konten media sosial, film fiksi, dokumenter, dan lain-lain. Tentunya dari jenis bentuk tersebut, bisa kita pilih dan sesuaikan dengan kebutuhan OMS kita masing-masing.

Apabila kita memilih film Dokumenter, informasi tidak akan terdistorsi dan pesan dapat tersampaikan secara jujur, hamper menyerupai kenyataan yang terjadi. “Kalau mau bikin dokumenter, sebaiknya harus merancang bentuk eksebisi yang bisa langsung berinteraksi dengan penontonnya,” ujar pria yang akrab dipanggil Sonkski ini.

Pada tahap awal pembuatan film, Sonkski menyarankan sebuah workflow yang dia gunakan selama ini, workflow tersebut meliputi:

– pahami data

– analisis data

– ambil perspektif

– elemen naratif

– one pager dan pitch deck (semacam proposal tetapi ringkas, biasa digunakan untuk mencari dukungan)

– penulisan naskah

developing

– produksi – Pasca Produksi

Pemaparan selanjutnya mengenai data analisis dan pemilihan perspektif. Ibarat mau memasak, kita harus tahu dulu bahan masakannya.

Menurut Eko Komara dalam seri Kyutri yang terdahulu, Data terletak di posisi paling bawah sebuah bagan hierarki pengetahuan. Perlu dipahami, data bisa jadi sebuah informasi, tetapi belum tentu informasi tersebut bisa dijadikan film. Menurut Sonkski, posisi film dalam hierarki pengetahuan adalah pada tingkatan knowlegde dan wisdom. Kalau sekedar data dan informasi itu masih data mentah atau feature, belum bisa disebut film. Sebuah film tentunya dapat memberikan pengetahuan baru dan dapat menarik empati guna sebuah aksi perubahan.

Contohnya, seperti sebuah film yang bercerita tentang eksebisi lumba-lumba. Bagaimana seekor lumba-lumba dididik, bahkan disiksa untuk menghasilkan pertunjukan yang atraktif. Nah, harapannya setelah melihat dokmenter ini, banyak penonton yang mendapat pengetahuan baru , terketuk hatinya dan enggan melihat eksebisi lumba-lumba lagi. Ini yang dinamakan film tersebut berhasil dan membawa perubahan.

Hal yang tak kalah penting adalah elemen naratif. Elemen ini merupakan pembeda antara film dokumenter dan sebuah berita, tabloid, ataupun baliho sekalipun. Kita harus memikirkan plot (alur cerita), karakter, latar, konflik (tidak ada konflik, bisa dipastikan tidak akan ada perubahan), Point of View, Ironi (ketidakseimbanagan antara harapan dan kenyataan) dan simbolis (elemen untuk mewakili sesuatu yang lebih besar).

Pada kesempatan ini, Sonkski juga membantu seorang peserta dari Bulukumba, Nur Ismi, untuk mendevelop elemen naratif terkait konflik yang dialaminya. Beliau adalah seorang pendamping buruh migran di area perbatasan Indonesia-Malaysia.

Di akhir diskusi, peserta diminta untuk berlatih membuat one pager, yang meliputi:

– Logline (kalimat pendek yang menggambarkan inti cerita). Logline ini biasa ditujukan untuk produksi saja

– Sinopsis (ditujukan untuk calon penonton, bagaimana seorang film maker ini mengajak orang untuk mau menonton filmnya)

– Statement (mengapa film ini penting untuk dibuat dan ditonton. Apa saja motivasinya?).

Diskusi serta pelatihan menyusun data jadi drama,  tentunya sangat menarik ya? Pelatihan ini dapat dilihat secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)