Skip to main content
All Posts By

anton

Media Distribusi Karya

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Membuat sinema sederhana berdaya hanya sebagian dari perjalanan; langkah selanjutnya adalah bagaimana mendistribusikan karya tersebut secara optimal. Dengan memanfaatkan kanal distribusi, platform berbagi, dan strategi yang tepat, karya sederhana bisa menjangkau lebih banyak orang dan berdampak.

Mari kita eksplorasi bagaimana pesan dari karya kita sampai ke orang yang tepat!

Hari : Jumat, 7 Maret 2025
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-KYUTRI-MediaDistribusiKarya

Sampai bertemu!

Catatan Sebelum Mulai Produksi Film

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/2/2025). Sebagai awalan membuat film, kita seyogyanya tidak perlu membuat film yang terlalu ribet atau berambisi sekelas film Joker. Kita bisa mulai dulu dengan film yang sederhana tetapi memenuhi kriteria standar produksi film. Hal terpenting bagi OMS kita adalah cerita film tersebut wajib membawa impact perubahan, sehingga berguna dan sesuai dengan visi misi OMS kita.

Pembahasan ini diulik secara asik oleh Ratmurti Mardika yang akrab disapa “Sonkski”. Kyutri serial “Berkomunikasi via Sinema” memasuki sesi ketiga yang berjudul “Sinema Sederhana Berdaya”. Kegiatan ini berlangsung atas kerjasama Lokadaya dan Lingkar 9 dengan dukungan dari Uni Eropa melalui program Co-evolve.

Sesi ini diawali dengan pembahasan one pager kiriman dari dua peserta. Kiriman yang pertama dari Alton yang berjudul Ombak Priok. Rencanany film pertama ini akan mengisahkan tentang hiruk pikuk kehidupan masyarakat di Tanjung Priok. One pager selanjutnya ditulis oleh Arif, berjudul “Alibi di Lautan”. One pager ini bercerita tentang konflik kerakusan manusia dan perjuangan masyarakat nelayan yang dirugikan.

Mereka antusias menyampaikan alasan dan bagaimana perspektif mereka masing-masing. Sonkski memberikan masukan dan komentarnya pada pembahasan one pager ini. Tentu hal ini menarik sekali untuk didiskusikan.

Dalam proses pembuatan film sampai dapat ditonton masyarakat terdapat 5 tahapan yang biasa dilalui, yaitu:

  1. Pra produksi: Pada tahap ini kita akan membuat cerita dan mencari dukungan.
  2. Produksi: Tahap ini meliputi kegiatan mengambil gambar (shooting), membuat suara dan adegan.
  3. Pasca produksi: Hal yang penting dilakukan di tahap ini ialah proses editing, pewarnaan, pemberian sound effect, serta finishing film.
  4. Distribusi: Tugas pokoknya adalah mempromosikan dan mengirim film ke festival atau bioskop.
  5. Eksebisi: Komunitas dan bioskop-bioskop adalah bagian penting dari tahap eksebisi ini.

“Sayangnya di Indonesia kelima tahap ini biasanya masih di-handle oleh seorang produser”, ujar Sonkski. Padahal alangkah leluasanya para kru, bila semua tahapan ini dikerjakan oleh orang yang berbeda dan yang lebih kompeten di bidang masing-masing.

Ada pertanyaan menarik dari peserta terkait perbedaan produser dengan sutradara. Produser itu bertanggungjawab atas manajemen di belakang layar. Sedangkan Sutradara bekerja untuk film yang akan ditampilkan di depan layar. Nah, sebaiknya dua Jobdesc ini dikerjakan oleh dua orang yang berbeda, bukan dirapel satu orang saja.

Selanjutnya dalam hal pendekatan dengan narasumber, kita sebaiknya menunggu momen yang tepat dahulu. Biasanya protagonis harus sudah kenal dan akrab dulu, barulah diajak Shooting. “Jangan gunakan hari pertama bertemu langsung memakai kamera”, tambah Sonkski. Kalau tetap memaksakan mengambil gambar , pasti hasil ceritanya tidak utuh dan terkesan seperti wawancara yang kaku.

Perlu dipahami, karena film itu sebuah entitas dari gambar, suara dan cerita, jadi mau tak mau kita harus mengusahakan gambar dari kamera yang bagus. Apakah bisa shooting dokumenter memakai Handphone? Jawabannya bisa, cukup, tetapi gambarnya tidak akan variatif dan pengambilan suaranya juga susah karena kurang maksimal.

Standar produksi gambar yang digunakan saat ini adalah beresolusi 4K, karena ditilik dari peralatan yang beredar kini mayoritas sudah menggunakan resolusi ini. Dalam sebuah film pendek biasanya cukup menggunakan mirorless maupun DSLR. Selain kamera, kita juga sebaiknya menyediakan 3 lensa yang berbeda. Lensa ini meliputi pengambilan gambar long shoot, medium shoot dan close up.

Hal yang tak kalah penting adalah microphone. Kalau sudah di lapangan, teman-teman OMS biasanya lupa membawa microphone. Walaupun kamera yang digunakan sudah bisa mengambil suara, tetapi kita tetap harus memakai microphone atau clip-on agar kamera bisa leluasa mengambil gambar.

Tantangan pengambilan suara adalah suara tersebut tidak dapat dilihat. Biasanya pembuatan film menggunakan 3 jenis mic, yaitu: shotgun mic, lavelier dan boom mic. Selain kamera, lensa, mic, Sonkski juga menjelaskan sekilas tentang penggunaan tata cahaya dan teknisnya.

Pada kesempatan ini, Sonkski menjelaskan banyak hal teknis dalam pembuatan film. Dia juga membagikan modul lengkap dan detail sehingga dapat dipelajari oleh semua peserta Kyutri.

Pelatihan teknis yang sangat penting ini dapat dilihat menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Sinema Sederhana Berdaya

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Sinema bukan hanya milik para profesional dengan peralatan mahal dan produksi besar, siapapun bisa membuat sinema sederhana yang tetap memiliki daya untuk menyampaikan pesan dan menginspirasi perubahan.

Mari kita pelajari bagaimana membuat sinema sederhana yang efektif, bermakna, dan penuh daya!

Hari : Jumat, 28 Februari 2025
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-KYUTRI-SinemaSederhana

Sampai bertemu!

Mengolah Data Menjadi Film

By Liputan Kegiatan

Jakarta (21/2/2025). Saat kita memiliki koleksi  data, menentukan perspektif adalah hal yang krusial tatkala kita akan menyulapnya menjadi sebuah film dokumenter. Tak lain tak bukan, pemilihan perspektif bisa membawa penonton pada pengalaman penonton, emosi yang ditimbulkan, serta call to action yang diharapkan.

Cuplikan mengenai perspektif tersebut, tersirat pada Kyutri seri “Berkomunikasi via Sinema” yang diadakan Jejaring Lokadaya Jumat (21/2). “Data Jadi Drama” adalah tajuk yang diangkat untuk seri kedua ini. Ratmurti Mardika seorang filmmaker documenter memantik diskusi dengan pertanyaan, “bagaimana mengolah data, mengenalinya dan mengklasifikasikannya, dan mengolahnya menjadi drama?”

Sebagai awalan, peserta diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang data, drama, perspektif dan bentuk drama. Data meliputi catatan, informasi, pengetahuan, dll, yang bisa digunakan dan diolah menjadi film dokumenter. Sedangkan drama adalah metode seni teatrikal yang menjadi dasar dari film. Teori drama ini masih berpijak pada drama 3 babak dari Aristoteles, yang merupakan teori klasik yang exist sejak jaman kuno. Namun, di Holywood-pun masih menggunakan teori 3 babak ini, yang mana mereka kombinasikan dengan struktur dan bahasa audio visual yang baik.

Mengenai perspektif saat membuat drama kita harus mengenal beberaepa sudut pandang yang akan kita lekatkan pada protagonis, apa dan data apa yang harus dilekatkan pada tubuh protagonis bila mengambil perspektif tersebut. Selanjutnya ialah bentuk film yang merupakan entitas Storytelling, Audio, dan Visual. Bentuk film itu jenisnya banyak, konten media sosial, film fiksi, dokumenter, dan lain-lain. Tentunya dari jenis bentuk tersebut, bisa kita pilih dan sesuaikan dengan kebutuhan OMS kita masing-masing.

Apabila kita memilih film Dokumenter, informasi tidak akan terdistorsi dan pesan dapat tersampaikan secara jujur, hamper menyerupai kenyataan yang terjadi. “Kalau mau bikin dokumenter, sebaiknya harus merancang bentuk eksebisi yang bisa langsung berinteraksi dengan penontonnya,” ujar pria yang akrab dipanggil Sonkski ini.

Pada tahap awal pembuatan film, Sonkski menyarankan sebuah workflow yang dia gunakan selama ini, workflow tersebut meliputi:

– pahami data

– analisis data

– ambil perspektif

– elemen naratif

– one pager dan pitch deck (semacam proposal tetapi ringkas, biasa digunakan untuk mencari dukungan)

– penulisan naskah

developing

– produksi – Pasca Produksi

Pemaparan selanjutnya mengenai data analisis dan pemilihan perspektif. Ibarat mau memasak, kita harus tahu dulu bahan masakannya.

Menurut Eko Komara dalam seri Kyutri yang terdahulu, Data terletak di posisi paling bawah sebuah bagan hierarki pengetahuan. Perlu dipahami, data bisa jadi sebuah informasi, tetapi belum tentu informasi tersebut bisa dijadikan film. Menurut Sonkski, posisi film dalam hierarki pengetahuan adalah pada tingkatan knowlegde dan wisdom. Kalau sekedar data dan informasi itu masih data mentah atau feature, belum bisa disebut film. Sebuah film tentunya dapat memberikan pengetahuan baru dan dapat menarik empati guna sebuah aksi perubahan.

Contohnya, seperti sebuah film yang bercerita tentang eksebisi lumba-lumba. Bagaimana seekor lumba-lumba dididik, bahkan disiksa untuk menghasilkan pertunjukan yang atraktif. Nah, harapannya setelah melihat dokmenter ini, banyak penonton yang mendapat pengetahuan baru , terketuk hatinya dan enggan melihat eksebisi lumba-lumba lagi. Ini yang dinamakan film tersebut berhasil dan membawa perubahan.

Hal yang tak kalah penting adalah elemen naratif. Elemen ini merupakan pembeda antara film dokumenter dan sebuah berita, tabloid, ataupun baliho sekalipun. Kita harus memikirkan plot (alur cerita), karakter, latar, konflik (tidak ada konflik, bisa dipastikan tidak akan ada perubahan), Point of View, Ironi (ketidakseimbanagan antara harapan dan kenyataan) dan simbolis (elemen untuk mewakili sesuatu yang lebih besar).

Pada kesempatan ini, Sonkski juga membantu seorang peserta dari Bulukumba, Nur Ismi, untuk mendevelop elemen naratif terkait konflik yang dialaminya. Beliau adalah seorang pendamping buruh migran di area perbatasan Indonesia-Malaysia.

Di akhir diskusi, peserta diminta untuk berlatih membuat one pager, yang meliputi:

– Logline (kalimat pendek yang menggambarkan inti cerita). Logline ini biasa ditujukan untuk produksi saja

– Sinopsis (ditujukan untuk calon penonton, bagaimana seorang film maker ini mengajak orang untuk mau menonton filmnya)

– Statement (mengapa film ini penting untuk dibuat dan ditonton. Apa saja motivasinya?).

Diskusi serta pelatihan menyusun data jadi drama,  tentunya sangat menarik ya? Pelatihan ini dapat dilihat secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Data Jadi Drama

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Data bukan sekadar angka atau teks, data bisa menjadi cerita yang menggugah banyak orang! Mengolah data dengan cara menarik dapat membuat pesan lebih mudah dipahami dan berdampak. Salah satu cara efektif untuk menyajikannya adalah melalui media visual, seperti sinema.

Mari kita eksplorasi bagaimana data dapat diubah menjadi cerita yang kuat dan bermakna melalui sinema!

Hari : Jumat, 21 Februari 2025
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-KYUTRI-DataJadiDrama

Sampai bertemu!

Organisasi Masyarakat Sipil yang Sinematik

By Liputan Kegiatan

Jakarta (14/2/2025). Film memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan sosial-budaya, penting  sebagai alat komunikasi, advokasi dan pemberdayaan. Karenanya, Organisasi Masyarakat Sipil dirasa wajib memproduksi film karena mereka mempunyai kekayaan berupa arsip data, bahan bercerita, kedekatan psikologis dan jaringan yang kuat. Selain itu, singgungan film dan OMS terletak pada daya untuk mendorong kesadaran, menginspirasi aksi nyata dari individu, komunitas, dan pemangku kepentingan.

Memandang peran penting film, Jejaring Lokadaya menghelat serial Kyutri bertema “Berkomunikasi Via Sinema”. Kyutri seri ini direncanakan berlangsung selama satu bulan dan menghadirkan seorang filmmaker yang juga dosen praktisi Sinematografi di UIN Raden Mas Said Surakarta, Ratmurti Mardika.

Seri pertama diadakan pada Jumat kemarin tanggal 14 Februari, dengan topik Daya Media Sinema. Pada sesi ini, Ratmurti yang akrab disapa dengan Sonkski, banyak memberikan perspektif sinema pada puluhan peserta yang hadir di ruang zoom, ia juga berdiskusi serta mendengarkan sejauh mana sinema itu berdampak pada kehidupan masyarakat khususnya OMS.

Di awal diskusi, Sonkski memantik tentang kaitan masyarakat dan seni dari berbagai aspek kehidupan. Jika dilihat dari sisi seni, film ini jelas merupakan produk seni yang mengandung drama didalamnya. Dari sisi ekonomi, film merupakan miniatur kehidupan yang jumlah permintaannya banyak, tetapi supply-nya kurang/sedikit. Hal tersebut tentu menjadikan film sebagai ladang ekonomi masyarakat, sebab produksi sebuah film pasti melibatkan banyak profesi, contohnya makeup artist, wardrobe, tukang sound dan masih banyak lagi.

Dipandang dari sisi komunikasi, film ialah bahasa khusus yang menggunakan bahasa audio, visual dan story. Film juga digunakan sebagai media penyampai pesan. Sedangkan jika ditinjau dari sisi sosial politik, film tentu dapat membangkitkan empati penontonnya, bahkan bisa menjadi agen propaganda. Daya jangkau film itu luas, sehingga bisa menjadi sebuah produk budaya yang masif. “Kalau film itu hidup lestari setiap hari di sebuah wilayah, tentunya bisa membuat wilayah/kota tersebut menjadi sebuah pusat budaya seperti Hollywood”, ujar Sonkski.

Tak lupa Sonkski menghadirkan contoh karya-karyanya yang mayoritas berhubungan dengan kinerja OMS. “Bukit Bernyawa” ialah film yang ia rasa berdampak langsung secara nyata pada warga yang membutuhkan bantuan.  Film ini bermula dari 0 (nol) rupiah alias tidak ada budget-nya, ia dan timnya merangkai  footage-footage yang tidak terpakai agar bisa membentuk sebuah narasi. Sonkski mengambil footage saat bekerja untuk program Biogas Hivos (Yayasan Humanis Inovasi Sosial) di area Gunung Merapi. Bukit Bernyawa telah menjadi nominasi beberapa festival luar negeri dan memenangkan DocNet South East Asia tahun 2012. Film ini sangat berkesan dan menjadi sebuah titik balik bagi kehidupan Sonkski.

Pada saat itu, film ini digunakan untuk mencari donasi guna membantu masyarakat terdampak erupsi gunung Merapi. Hasil yang terkumpul terbilang cukup fantastis, bisa digunakan untuk merenovasi Rumah Gamelan di desa Srunen. “Membuat film ini adalah cara yang apik untuk membantu sesama, di saat kita belum mampu memberi sesuatu,” tambah Sonkski.

Film terbaru yang dia produksi berjudul “Sengkala”. Penjelasan terkait film Sengkala ini sekaligus jawaban atas pertanyaan seorang peserta diskusi yang menanyakan mengenai antropologi visual dalam film. Sengkala menceritakan tentang cara menulis angka tahun era Jawa Kuno. Menariknya, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X Kemdikbud bersedia mendanai produksi film ini.

Ada beberapa poin yang layak dicatat sebelum memulai untuk memroduksi film, sebaiknya OMS mengetahui pengetahuan dasar perfilman yang meliputi:

– story (struktur dramanya, kemampuan story telling, pengenalan dramaturgi 3 babak yaitu pengenalan, konflik dan resolusi)

– Visual (foto, sinematografi dan editing)

– Audio (merekam, mengedit, dan mengidentifikasi suara)

Hal baku yang perlu dipunyai OMS adalah kesadaran dokumentasi dahulu. Barulah kemudian memenuhi 5W 1H dalam sebuah dokumentasi advokasi. Nah jika 5W+1H terpenuhi, baiknya ditambahkan 1A (art). Meskipun di dokumenter itu tuntutannya tidak seperti di film fiksi, tidak harus menggunakan kamera mahal bak film fiksi, pencahayaan ala teater, tetapi titik beratnya adalah pada runtutan cerita yang bagus yang wajib dipenuhi.

Pada sesi ini antusias peserta sangat luar biasa. Baik di kolom komentar maupun peserta yang open mic. Mereka menceritakan isu-isu seksi yang mereka dampingi, seperti kasus HIV AIDS di Merauke, buruh migran yang terabaikan, cerita penyandang disabilitas yang merasa didzolimi oknum polisi, dan masih banyak konflik menarik yang terungkap. Mereka merasa Kyutri kali ini sangat cocok dan dibutuhkan oleh mereka, guna menyuarakan keluh kesah mereka selama di OMS.

Penasaran dengan kemeriahan diskusi asik kali ini? Obrolan berbobot ini dapat disimak secara keseluruhan di kanal Youtube Lokadaya.(*ari)

Daya Media Sinema

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Di era digital ini, teks dan lisan saja tidak cukup untuk menyampaikan sebuah pesan. Dalam mengemas pesan menjadi lebih relevan dan menarik, salah satu alat komunikasi yang dapat digunakan adalah media sinema.

Mari kita jelajahi bagaimana pesan dikemas menjadi sebuah sinema, yang tidak hanya menarik namun efektif!

Hari : Jumat, 14 Februari 2025
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-KYUTRI-DayaMediaSinema

Sampai bertemu!

Dampak Besar Multimedia Dalam Advokasi

By Liputan Kegiatan

Jakarta (24/1/2025). bastilah sudah umum bila kita sebagai pegiat advokasi menggunakan siaran pers sebagai satu media penggaung isu maupun gerakan yang kita motori. Namun, perlu diingat bahwa kebutuhan audiens bukan hanya teks. Dalam kenyataan sehari-hari banyak dijumpai teks yang panjang berlembar-lembar yang alangkah baiknya jika dibuat dengan lebih menarik, bisa menampilkan infografis, link audio, link foto atau video.

Irvan Imamsyah selaku narasumber diskusi Kyutri bertajuk Optimasi Advokasi Digital, menyampaikan perihal pengalamannya menangani siaran pers yang menjadi makanan sehari-harinya. Serial “Seni Komunikasi dalam Advokasi”, yang diadakan oleh jejaring Lokadaya ini masuk pada sesi kedua pada Jumat lalu. (24/01)

Pada sesi pamungkas ini, Irvan memberikan apersepsi mengenai pentingnya mempelajari dan meriset audiens. Seperti yang dikatakannya pada sesi pertama, komunikasi adalah upaya menyampaikan pesan. Oleh karena itu, ada baiknya pendekatan komunikasi yang digunakan bisa lebih personal, agar kita menjadi lebih dekat dan paham selera audiens, sehingga perubahan sosial yang diinginkan bisa terlaksana.

“Di era digital ini, multimedia memegang peranan penting dalam proses kampanye kesadaran sosial. Seperti gambar peringatan darurat. Bukan hanya tentang penyampaian pesan, tetapi cara menggugah audiens untuk bertindak”, ujar Irvan.

Kekuatan gambar garuda putih dengan latar biru dan tulisan peringatan darurat yang menggegerkan Indonesia tahun lalu. Gambar ini bertengger 10 hari berturut-turut di media sosial. Dengan adanya gambar ini, orang menjadi penasaran dan mencari tahu tentang fakta kedaruratan tersebut. Selain itu, orang-orang yang melihat serta mencari tahu akan tergerak untuk bersuara dan melakukan tindakan.

“Kenapa harus menggunakan multimedia?”, tanya seorang peserta. Irvan pun mencontohkan salah satu foto juara lomba foto dunia. Foto tersebut bernarasi tentang seorang anak Ethiopia yang kelaparan dan ditunggui burung pemakan bangkai di dekatnya. Walaupun pada akhirnya sang fotografer mengatakan bahwa karyanya tak murni hingga akhirnya ia tak kuat menghadapi tekanan publik. Namun, foto ini telah trending dan dibicarakan di mana-mana. Banyak yang berpendapat bahwa karyanya sangat apik dan impactfull. Untuk itu, kampanye multimedia harus dirancang dengan cermat agar dapat memikat jutaan orang. Dalam sesi ini, Irvan juga menjelaskan mengenai multimedia dan perannya sebagai kendaraan kampanye kesadaran sosial. Multimedia itu meramu semua media komunikasi menjadi satu kemasan yang baik.

Multimedia adalah sinergi berbagai bentuk media baik teks, audio, gambar, animasi, video dan konten interaktif untuk menciptakan pengalaman yang holistik dan menarik. Multimedia juga menggabungkan berbagai elemen, dimana masing-masing memiliki peran unik dalam menyampaikan pesan. Selanjutnya, multimedia memungkinkan penceritaan yang lebih kaya dan bernuansa. Dengan menggabungkan teks, visual dan audio, multimedia memberikan nyawa pada narasi, membuatnya lebih berkesan dan berdampak.

Keunggulan multimedia itu cakupan jangkauannya luas, serta mudah dibagikan di media sosial. Penelitian menunjukkan bahwa pengguna internet menghabiskan 30% waktu mereka di platform media sosial. Alasan keterlibatan yang tinggi tersebut, memberikan  peluang lebih besar untuk viral atau trending. Nah, peluang ini yang harus teman-teman CSO manfaatkan.

“Kadang orang itu baca berita dari medsos, bukan dari platform media itu sendiri,” tambah Irvan. Kita bisa memahami dahulu tren dan menyesuaikan algoritmanya sehingga kampanye kita bisa naik tinggi karena telah sesuai atensi publik.

Keunggulan multimedia selanjutnya adalah fleksibel. Konten multimedia dapat digunakan kembali di berbagai platform, mulai dari medsos, situs web, hingga buletin dan siaran pers. Fleksibilitas ini memungkinkan konsistensi dalam branding dan penyampaian pesan, sehingga memperkuat dampak kampanye kita.

Melalui multimedia orang dapat memiliki pemahaman yang lebih baik. Multimedia membantu menjelaskan isu-isu kompleks dengan menyajikannya ke dalam format yang mudah dipahami. Sebagai contoh, infografik dapat menyederhanakan data yang rumit, video dapat mendemonstrasikan proses atau urutan yang membuat informasi lebih mudah diakses oleh audiens yang lebih luas.

Paparan tentang pentingnya multimedia ini dapat diikuti secara utuh di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Lembaga Pengkajian dan Penguatan Kapasitas (LEKAT)

By Selasar - Jendela

Lembaga Pengkajian dan Penguatan Kapasitas (LEKAT) Papua adalah sebuah organisasi non pemerintahan yang didirikan pada tanggal 14 November 2016 di kota Jayapura oleh beberapa profesional muda papua yang ingin berkontribusi secara aktif dan bersinergi dengan para stakholder lainnya untuk menjawab permasalahan pembangunan di Tanah Papua. Dengan lambang “tangan yang memegang pena dalam lingkaran bola dunia”, LEKAT Papua siap menyumbang pikiran dan tenaga

Tinjau

LSM BYTRA

By Selasar - Jendela

BYTRA adalah organisasi mandiri bersifat nirlaba, yang berfungsi melakukan advokasi dan pemberdayaan masyarakat Mukim/Gampong dan Masyarakat Adat di Aceh serta memiliki komitmen sebagai kelompok masyarakat sipil yang berkarakter perubahan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup dan penguatan demokrasi.

Tinjau

Komunikasi Kunci Advokasi

By Liputan Kegiatan

Jakarta (17/1/2025). Sudah barang tentu, komunikasi memegang peran krusial pada kerja-kerja aktivisme apalagi di dunia digital yang terus melaju sekrang ini. Lokadaya memandang kepentingan ini harus dipertajam dan pegiatnya perlu terus meng-update kapasistasnya. Oleh karenanya gelaran Kyutri seri Seni Komunikasi dalam Advokasi yang dihelat Lokadaya pada Jumat (17/1) menjadi spesial karena menghadirkan ahli komunikasi yang kompeten dan sempat menghebohkan pemilu 2024 lewat karyanya. Beliau adalah Irvan Imamsyah, co-founder Koma Berseru dan produser dari “Dirty Vote”.  Melalui “Dirty Vote”, Irvan dan teman-temannya mengajak masyarakat untuk lebih melek kecurangan-kecurangan yang terjadi di Pilpres.

Walaupun salah satu paslon yang terindikasi curang tersebut tetap menang, tetapi advokasi yang dilakukan Irvan dan kawan-kawan diklaim berhasil. Film “Dirty Vote” bisa trending, meskipun terkena Black Shadow oleh buzzer bayaran. Black Shadow adalah hambatan dalam kampanye. Di sesi ini, Irvan juga berbicara mengenai trick mengatasi Black shadow agar pesan yang dia usung tetap viral dan lebih tersampaikan. Menarik bukan?

“Strategi komunikasi itu bukan soal kamu atau saya, melainkan tentang masyarakat yang kita dampingi”, ungkap Irvan. Dalam melakukan advokasi, kita berkewajiban mendampingi masyarakat agar mau terlibat dan maju bersama menyuarakan aspirasi mereka.

Selaku aktivis, alangkah baiknya merenungi dahulu apa yang harus kita perjuangkan. Selain itu, bagaimana memberi porsi sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan peran pendampingan dari kita.

Advokasi adalah sebuah proses untuk mendorong perubahan sosial melalui komunikasi yang efektif. Sedangkan, komunikasi merupakan kunci untuk mencapai tujuan advokasi dan menginspirasi untuk bertindak. Menurut Irvan, trik yang bisa digunakan dalam advokasi antara lain:

  • Menggunakan cerita yang menginspirasi, narasi nyata dan menyentuh emosi audiens.
  • Menggabungkan data dan fakta yang mendukung untuk memberikan kredibilitas.
  • Mengajak audiens untuk terlibat dalam perubahan (call to action)

“Namun sebelum itu, kita wajib mengenali target audience dahulu. Kalau di media umum, seperti saya di TV, semua umur dihajar habis dengan format yang sama” ujar Irvan. Tentunya hal tersebut kurang efektif di era sekarang ini, yang mana mayoritas warganya di dominasi oleh anak muda atau gen Z.

Kita bisa mempelajari batasan usia anak muda sesuai kebiasaannya. Rentang umur pertama adalah usia 18-21 tahun. Di umur ini engagement-nya harus berkorelasi dengan jobfair dan peluang usaha. Perlu diketahui bahwa mereka ini masih sangat memperhatikan hal-hal yang trending atau viral di media sosial.

Rentang umur kedua ialah usia 22-25 tahun. Untuk menarik perhatian rentang umur ini, sebaiknya kita  gunakan sesuatu yang berhubungan dengan financial freedom dan financial management. Selanjutnya, rentang umur 26-30 tahun. Ciri khas umur ini biasanya sudah memikirkan keluarga, masa depan dan cara mempertahankan diri di dunia kerja

Setelah mengenali target, kita perlu menentukan audience segmentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan kampanye advokasi. Langkah pertama paling simpel bisa kita mulai dengan meminta tanggapan pengikut di media sosial (kuesioner). Sebagai komunikator, kita harus benar-benar bisa terlibat serta memahami insight yaitu tentang cara mendekatkan diri ke publik dan cara menggapai pesona anak muda untuk mau bergabung dalam aksi.

Tahapan terakhir adalah menentukan target yang jelas. Kita harus membuat pesan yang mudah dipahami dan relevan dengan audiens. Setelah itu, kita pilih medianya. Platform atau media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan seperti media sosial, film dan pers conference.

Diskusi hangat tentang Seni Komunikasi dalam Advokasi ini dapat dinikmati menyeluruh di Kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Seni Komunikasi Advokasi

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

Komunikasi yang efektif adalah kunci dalam advokasi untuk mendorong perubahan sosial. Dengan strategi yang cerdas, media penyaluran yang tepat, dan narasi yang kuat, keberhasilan perjuangan tak sekadar impian.

Ayo tingkatkan strategi komunikasi demi organisasi yang lebih baik dan inklusif!

Hari : Jumat, 17 Januari 2025
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-KYUTRI-SeniKomunikasiAdvokasi-1

Sampai bertemu!

Kalimantan Bumi Lestari (KBLi)

By Selasar - Jendela

Kalimantan Bumi Lestari (KBLi) adalah lembaga yang bergerak dibidang pelestarian lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. Didirikan pada tanggal 1 Desember 2021. Didirikan atas kegelisahan kerusakan lingkungan dan penyempitan ruang hidup masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan serta hilangnya hak – hak masyarakat dan masyarakat adat.

Tinjau

PKBI Kalimantan Barat

By Selasar - Jendela

PKBI Daerah Kalimantan Barat mulai berdiri sejak 23 Desember 1971, diawal pendiriaan PKBI Daerah Kalimantan Barat masih banyak terdapat kasus-kasus kematian Ibu melahirkan dan anak. hal Itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan pada masyarakat dan minimnya tenaga medis yang ada pada waktu saat itu. PKBI Daerah Kalimantan Barat hadir ditengah-tengah masyarakat yang memerlukan layanan

Tinjau

PKBI Lampung

By Selasar - Jendela

PKBI Lampung adalah salah satu dari 25 PKBI Daerah Yang tersebar di indonesia didirikan untuk mendukung upaya peningkatan kesejahteraan keluarga yang bertanggung jawab dan inklusif. Organisasi kami memiliki sejarah panjang sejak tahun 1957-an, fokus pada pelayanan kesehatan reproduksi, pendidikan seks, dan pemberdayaan perempuan. Seiring berjalannya waktu, PKBI Lampung terus berkembang,

Tinjau

Penilain Mandiri & Rencana Tindak Lanjut

By Kyutri

Kawan Lokadaya!

PSEA adalah kebijakan penting dalam mewujudkan organisasi yang aman dan terpercaya dalam mencegah eksploitasi dan pelecehan seksual di ekosistemnya. Lalu bagaimana merancang serta menjalankan kebijakan PSEA agar lebih optimal dan berdampak pada kesehatan organisasi?

Mari bersama kita evaluasi hasil formulir asesmen mandiri PSEA dan rancang tindakan nyata untuk mencipatakan lingkungan kerja hingga komunitas lebih aman, inklusif, serta bebas dari eksploitasi!

Hari : Jumat, 23 Desember 2024
Waktu : 13.30 WIB/14.30 WITA/15.30 WITA
Tautan Zoom : https://bit.ly/LD-KYUTRI-PSEA-3

Sampai bertemu!

PSEA Mengeskalasi Kredibilitas OMS

By Liputan Kegiatan

Jakarta (22/11/2024). Penting bagi OMS untuk terus merawat dan meningkatkan kredibilitasnya, salah satu usaha rasional adalah mencegah dan meminimalisir adanya kasus di lingkungan masing-masing. Termasuk kasus pelecehan dan eksploitasi seksual.

Beberapa kasus pelecehan dan eksploitasi seksual di ekosistem OMS tercatat muncul dalam kerja-kerja kemanusiaan. Potensi terjadinya kasus dapat muncul dari adanya relasi kuasa antara dan pekerja (staf) OMS dan penerima manfaat, terutama wanita dan anak-anak.

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Ahmad Hidayat selaku Direktur Utama PKBI Nusa Tenggara Barat, saat diminta membagikan ilmunya pada program Kyutri dengan tajuk “Menciptakan Ruang Aman Bebas Eksploitasi dan Pelecehan Seksual”. Program 3 jam kelas berbagi ini adalah kerjasama antara Co-Evolve, Lokadaya, dan Lingkar 9.

PBB dan organisasi internasional merespons banyaknya kasus pelecehan dan eksploitasi seksual dengan PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse) sebagai standar etika baru di lingkungan OMS. Hal ini terpantik dari tahun 2002 saat banyak laporan eksploitasi seksual di sektor kemanusiaan, khususnya di Afrika Barat. Berdasarkan investigasi, pelecehan dan eksploitasi justru banyak terjadi di internal pekerja kemanusiaan, juga para penerima manfaat kerja kemanusiaan.

Definisi PSEA sendiri terdiri dari 2 komponen yaitu eksploitasi dan pelecehan seksual. Bahkan di UNICEF ditambahkan satu komponen lagi yaitu perlakuan salah seksual pada anak-anak. Prinsip dasar PSEA adalah akuntabilitas penuh dari semua pihak yang terlibat tidak hanya lembaga atau pihak yang diadukan. Semua tahap harus  jelas mulai dari pelaporan, mekanisme, proses investigasinya, dan masih banyak lagi. Selain itu, OMS harus menjamin keamanan pelapor agar tidak ada tindakan balasan dari yang dilaporkan.

Selain itu, mekanisme pelaporan juga harus diatur. Pertama, OMS wajib menyediakan saluran yang aman untuk pengaduan (hotline, email rahasia). Kedua, jaminan kerahasiaan dan perlindungan terhadap pelapor. Hal yang juga tak kalah penting adalah memastikan semua staff berani lapor jika ada tindakan pelecehan ataupun eksploitasi. Tentu ini wajib, walaupun belum cukup bukti karena ada tim investigasi yang akan mencari bukti tersebut. Dayat khawatir jika tindakan seksual ini didiamkan justru akan berimplikasi buruk pada korban.

Semua staff harus diedukasi secara memadahi tentang kode etik di lingkungannya. Materi pelatihannya meliputi etika kerja dalam organisasi kemanusiaan dan cara menangani laporan PSEA dengan sensitif.

Menurut Dayat, komitmen bersama yang harus ditanamkan pada diri masing-masing meliputi:

  • melindungi penerima manfaat, staff dan komunitas
  • merevisi kebijakan organisasi
  • mengevaluasi mekanisme pelaporan
  • menyerukan untuk bertindak, bahwa PSEA bukan hanya kebijakan , tetapi tanggung jawab moral masing-masing.

Di sesi tanya jawab terdapat pertanyaan mengenai grooming. Isu ini seperti kasus seorang staf yang melakukan grooming terhadap anak penerima manfaat saat menjalankan tugas. Grooming adalah manipulasi psikologis yang tujuannya agar si calon korban percaya kepada pelaku. Grooming ini masuk dalam lingkup PSEA dan masuk kategori perlakuan salah seksual di UNICEF. Dayat menambahkan  bahwa Grooming merupakan siklus eksploitasi seksual karena menjadi langkah awal terjadinya eksploitasi ataupun pelecehan seksual. Grooming masuk dalam hukum positif eksploitasi non fisik, namun  sayangnya untuk membuktikannya pun tidak mudah.

Sebagai pernyataan pamungkas, Dayat menjelaskan alasan mengapa lembaga yang ingin mengajukan hibah kepada donor harus melengkapi SOP PSEA. Persyaratan ini wajib dilakukan walaupun tidak semua lembaga mengangkat isu wanita dan anak. Hal ini karena kelompok penerima manfaat kebanyakan masyarakat rentan yang beresiko mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan terkait pelecehan seksual.

Kyutri seri PSEA ini dapat diakses secara menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya.(*ari)

Indikator Kunci Penilaian PSEA

By Liputan Kegiatan

Jakarta (28/11/2024). Jika ada lembaga terindikasi terjadi pelecehan dan ekploitasi seksual, maka lembaga tersebut harus menangani hal tersebut dengan serius. Hal ini berlaku juga walau pelecehan dan eksploitasi seksual itu hanya sebatas dugaan saja. Lembaga yang abai akan isu ini akan dicap sebagai lembaga yang beresiko tinggi terjadinya SEA (sexual abuse and exploitation). Walaupun pelecehan dan eksploitasi seksualnya dianggap hanya bersifat dugaan atau tidak cukup bukti, tetapi aksi abai ini akan berdampak buruk bagi lembaga dari sisi akuntabilitas organisasi.

Serial Akuntabilitas OMS masuk pada ranah Perangkat penilaian PSEA (adaptasi tools dari UNICEF). Sebelum sesi 2 dimulai, Narasumber Ahmad Hidayat (PKBI Mataram) mengajak meninjau kembali materi pada pertemuan sebelumnya, terkait pentingnya OMS menerapkan kebijakan PSEA, serta tindakan pencegahan bila terjadi eksploitasi dan pelecehan seksual di lingkungan organisasi.

Gambaran umum perangkat penilaian PSEA meliputi zero tolerance, tidak ada toleransi untuk semua bentuk pelecehan, eksploitasi dan tindak salah seksual (UNICEF), akuntabel, transparan, aksesibel, aman tanpa mendapat tindakan balasan, rahasia terjaga, dan aksi korektif (ada proses review dari hal yang telah dilakukan.

Sedangkan inti pembahasan dalam sesi PSEA sesi 2 ini adalah penjabaran ruang lingkup PSEA. Terdapat 8 indikator kunci yang telah dijelaskan Ahmad Hidayat, yaitu meliputi:

  • Komitmen organisasi, hal ini dapat ditunjukan dengan adanya kebijakan prinsip PSEA di sebuah organisasi. Kebijakan ini harus memuat definisi eksploitasi dan pelecehan seksual yang dituangkan dalam kode etik organisasi.
  • Manajemen organisasi, Kewajiban bagi semua staf termasuk volunteer untuk mencegah dan melaporkan terjadinya SEA (sexual exploitation and abuse) harus dituliskan dalam kontrak kerja.
  • Ketenagakerjaan, Indikator ini lebih pada proses bagaimana OMS melakukan seleksi/ recruitment yang aman, perlu check referensi (google history) apakah yang bersangkutan pernah tersangkut kasus SEA.
  • Pelatihan wajib, Bagian ini yang biasa akan dilihat pemberi donor, apakah lembaga tersebut memiliki pelatihan PSEA wajib reguler. Materi pelatihan memuat definisi, larangan, kewajiban lapor, dan kanal aduan. Setelah mengikuti pelatihan ini, para staf dapat diberikan sertifikat pelatihan sebagai bukti telah mendapatkan materi PSEA.
  • Pelaporan, Hal ini terkait mekanisme internal (jalur untuk melapor), mekanisme antar lembaga (lembaga lain dan pemerintah), serta kanal pelaporan. Pelaporan erat kaitannya dengan umpan balik. “Jadi kalau sudah mendapat laporan, jangan diem aja, tindakannya apa? progressnya gimana?” ujar Dayat. Apalagi OMS yang bekerja bersama donor, sebaiknya melaporkan kepada pemberi donor apa yang terjadi apalagi bila membutuhkan asistensi. OMS tidak perlu khawatir akan dicap negatif oleh pemberi donor, justru mereka akan melabeli kita sebagai OMS yang akuntabel karena selalu gercep (gerak cepat) merespons laporan.
  • Bantuan dan rujukan, Perlu dipastikan semua penyintas wajib ditampung oleh lembaga tersebut, untuk itu kita butuh berjejaring agar dapat memetakan siapa saja yang bisa membantu sesuai kebutuhan penyintas. Ketika sudah tertampung, kita butuh daftar layanan kemana rujukan selanjutnya (kesehatan, bantuan hukum, materi dasar dan keamanan). “Hampir tidak bisa semua aspek ini disediakan oleh satu OMS/ lembaga, untuk itu kita butuh berjejaring” imbuh Dayat. Alur rujukan harus memastikan kebutuhan dasar penyintas terlebih dahulu, misalnya kesehatan, setelah itu barulah berlanjut ke bantuan hukum dan sebagainya.
  • Investigasi, OMS perlu melihat lembaga internalnya, apakah mempunyai tenaga investigator. Perlu diperhatikan juga, ada tidaknya konflik kepentingan yang beresiko meperdalam trauma korban. Misalkan terduga pelaku dari lembaga kita, berjenis kelamin laki-laki, investigatornya juga laki-laki dan berasal dari staff lembaga yang sama juga. Hal ini justru akan membuat korban semakin trauma, maka perlu berhati-hati.
  • Aksi korektif, indikator ini merupakan standar inti yang wajib ada di sebuah organisasi. Hal ini berguna untuk mengungkap adanya tuduhan atau laporan dugaan ekploitasi dan pelecehan. Aksi korektif harus dilakukan semua orang termasuk mitra, donor juga penerima manfaat. Koreksi ini mencakup riwayat tuduhan yang pernah terjadi, tindakan yang dilakukan dan upaya perbaikan mekanisme ke depan.

Tentu penerapan indikator kunci ini tak bisa instan dilakukan oleh organisasi dan lembaga, namun sebagai standar baku hal ini harus mulai dikerjakan, hingga nanti bisa menjadi budaya yang baik bagi sebuah organisasi dalam lingkup kecil, dan masyarakat umum dalam lingkup yang lebih besar.

Detail mengenai perangkat penilaian PSEA ini dapat dilihat secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)

Sekali Terkembang Pantang Surut ke Belakang, Organisasi Masyarakat Sipil Gas Pol Raih Benifit

By Liputan Kegiatan

“Diskusi virtual ‘Gerak Gesit Raih Benefit’ mengungkap strategi baru bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk bertahan dan berkembang di tengah tantangan yang terus berubah”

Di tengah ketergantungan terhadap donor, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) harus menguasai seni mengelola aset dan kapasitasnya untuk tetap berdaya dan relevan. Pada Jumat (08/11), Jejaring Lokadaya Nusantara kembali menggelar diskusi Seri IV bertajuk “Gerak Gesit Raih Benefit” melalui platform Zoom. Acara ini menghadirkan dua narasumber utama: Kangsure Suroto dari Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) dan Frans Toegimin dari Yayasan SPEAK Indonesia. Diskusi ini diikuti oleh sekitar 50 peserta dari berbagai OMS di Indonesia. Para peserta antusias mendengarkan berbagai strategi dan praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya organisasi yang dibahas oleh para pakar.

Kangsure Suroto membuka diskusi dengan memaparkan materi berjudul “Praktik Pengelolaan Sumber Daya Organisasi”. Ia menyoroti data terkini yang menunjukkan jumlah OMS di Indonesia mencapai 560.510 per Oktober 2023. “Ini menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dengan rata-rata bertambah 50 hingga 100 organisasi baru setiap harinya,” ungkap Kangsure. Dari jumlah tersebut, 1.821 terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, 46 organisasi asing di Kementerian Luar Negeri, dan 558.643 berbadan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 219.149 perkumpulan dan 339.494 yayasan.

Hasil penilaian CSOSI yang diuraikan Kangsure menunjukkan evaluasi Indeks Keberlanjutan OMS di Indonesia. Skor Lingkungan Hukum mencapai 4,8, menunjukkan keberlanjutan yang berkembang. “Hal ini menunjukkan adanya kemajuan, meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi,” tambahnya. Kapasitas Organisasi memiliki skor 3,7, sementara Kemampuan Finansial memperoleh 4,5. Dengan skor rata-rata 3,9, Kangsure menekankan pentingnya strategi pengelolaan sumber daya yang efektif untuk mencapai tujuan organisasi.

Dalam paparannya, Kangsure menjelaskan strategi bagaimana Yayasan Satu Karsa Karya mengelola sumber daya; khususnya memfokuskan pada rana “dana” dan “sumber daya manusia”. “Yang ini saya fokuskan adalah dua fungsi utama: mobilisasi sumber dana dan pengelolaan dana,” jelasnya. YSKK menggalang dana melalui kegiatan konvensional, pemberian jasa layanan konsultansi, dan mengintegrasikan kewirausahaan sosial dalam program-programnya. Selain itu, YSKK menerapkan peraturan dan SOP terkait sistem penggajian serta akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.

Pengelolaan sumber daya manusia di YSKK melibatkan aspek kerelawanan, aktivisme, dan profesionalisme. “Kami memperhatikan kesejahteraan karyawan dengan memberikan penghargaan masa kerja, jaminan kesehatan, dan dana pensiun,” kata Kangsure. Keterbukaan informasi, termasuk keuangan organisasi, menjadi cara untuk membangun kepercayaan antara staf dan organisasi.

Frans Toegimin memberikan perspektifnya dengan menekankan pentingnya SOP dalam mengatur kontribusi staf dan transparansi keuangan. “Jika kita transparan dalam aspek keuangan, baik pihak dalam maupun luar akan lebih percaya,” ujar Frans. Ia juga memuji dedikasi Kangsure di YSKK, yang telah berperan penting sejak awal berdirinya organisasi tersebut.

Selama sesi tanya jawab, Joni Aswira dari SIEJ menyoroti pentingnya kemitraan strategis antara OMS dan media. Ia mengungkapkan bahwa “media sosial kini memegang peran penting dalam agenda setting, menggantikan media konvensional”. Menanggapi hal ini, Kangsure menekankan pentingnya konsensus agenda bersama dalam forum, yang mencakup berbagi pengetahuan, sumber daya, dan agenda advokasi. “Agenda bersama harus diperjelas agar anggota merasa mendapatkan manfaat,” jelasnya.

Deni dari Yayasan Koppesda mengangkat tantangan kemandirian organisasi di daerah terpencil. Ia menyatakan bahwa “tantangan utama adalah kerelawanan dan penggunaan sumber daya secara transparan”. Kangsure menanggapi dengan menekankan perlunya lembaga besar yang akan menjalankan program di daerah untuk bermitra dengan lembaga lokal. “Harusnya ada konsorsium dengan lembaga lokal,” ujar Kangsure.

Frans menambahkan bahwa mendirikan perusahaan sebagai bagian dari upaya keberlanjutan organisasi bukanlah masalah selama dikelola dengan baik. “Namun, perlu diingat bahwa perusahaan dan CSO memiliki budaya yang berbeda, dan hal ini harus dianalisis terlebih dahulu,” tambahnya.

Pertanyaan terakhir dari Eros Speaker Kampung mengenai akses CSO terhadap CSR perusahaan tambang dijawab Frans dengan menekankan pentingnya mematuhi prinsip dan kode etik CSO. “Kemitraan harus disesuaikan dengan kode etik kita,” tegas Frans.

Diskusi yang berlangsung selama beberapa jam ini menjadi wadah penting bagi para peserta untuk saling berbagi strategi dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya organisasi. Dengan berbagai masukan dari narasumber dan peserta, diharapkan OMS dapat lebih gesit dalam meraih benefit dan mencapai keberlanjutan di masa depan. Diskusi ini juga menandaskan pentingnya kolaborasi dan inovasi dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, terutama di era ketidakpastian yang semakin kompleks.

Melalui sesi ini, para peserta mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana organisasi mereka dapat beradaptasi dan berkembang meskipun dihadapkan pada berbagai kendala. Jejaring Lokadaya Nusantara berkomitmen untuk terus menyelenggarakan diskusi-diskusi semacam ini sebagai bagian dari upaya mendukung OMS di seluruh Indonesia.