Jakarta, 6 Agustus 2025 – Galangdaya kembali menyelenggarakan webinar dalam seri Merakit Kolaborasi Digital, kali ini bertajuk “Merancang Narasi dan Visual Kampanye”. Tiga narasumber dihadirkan: Sari Novita, content writer dan copywriter; Rizkiani Milania (Kiki), project manager sekaligus fotografer; serta David dari Penabulu, praktisi komunikasi organisasi.
Acara ini membahas cara merancang narasi kampanye yang menggugah, menyusun visual yang etis, hingga strategi mengoptimalkan media sosial untuk penggalangan dana dan advokasi.
Dari Eksploitasi Kesedihan ke Narasi Positif
Materi pertama dibawakan oleh Sari Novita. Ia mengingatkan bahwa kampanye bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan menggerakkan orang untuk bertindak.
Menurut Sari, pendekatan lama kerap mengeksploitasi kesedihan dengan menampilkan penderitaan secara vulgar. Foto-foto penderitaan dianggap bisa memicu donasi. Namun kini, praktik tersebut dinilai tidak etis.
Sari menekankan pentingnya narasi positif yang menonjolkan dampak dukungan, bukan penderitaan subjek. Ia memperkenalkan formula CARS (Context – Action – Result – Storytelling): menjelaskan masalah, menyampaikan aksi yang direncanakan, menunjukkan hasil yang diharapkan, lalu membungkusnya dalam cerita yang sederhana dan emosional.
Alih-alih menulis, “Anak-anak di desa X tak punya sepatu,” Sari menyarankan narasi seperti: “Dengan sepasang sepatu dan jas hujan, Rina bisa bersekolah setiap hari tanpa takut berjalan di jalan licin saat musim hujan. Ia bisa lebih fokus belajar dan tidak lagi tertinggal pelajaran.”
“Kalimat seperti itu memberi harapan, bukan sekadar menampilkan kesedihan,” tegasnya.
Visual yang Menghidupkan Cerita
Setelah sesi narasi, giliran David dan Kiki membahas visual kampanye. David mengingatkan bahwa foto harus menghormati privasi dan martabat subjek. “Kita bisa gunakan nama samaran atau siluet. Audiens tetap bisa berempati tanpa melanggar etika,” katanya.
Kiki lalu menjelaskan dasar-dasar fotografi untuk kampanye. Menurutnya, foto yang baik bukan hanya indah, tetapi mampu bercerita. Ia menekankan tiga hal utama:
- Emosi: tangkap ekspresi atau simbol yang menghadirkan rasa.
- Konteks dan Latar: tunjukkan situasi di balik subjek, bukan hanya orangnya.
- Momen: pilih saat yang tepat ketika ekspresi paling kuat muncul.
Kiki menambahkan, “Foto kelompok yang kaku jarang bercerita. Lebih baik tangkap momen diskusi atau ekspresi bahagia peserta. Itu lebih menggugah dan relevan.”
Pertanyaan Peserta: Etika dan Tantangan
Sesi tanya jawab memunculkan diskusi menarik.
Afria dari PKBI NTB bertanya bagaimana membuat narasi menggugah jika isu yang diangkat sensitif, misalnya anak korban kekerasan yang tidak bisa ditampilkan wajahnya. Sari menegaskan, persona bisa tetap dibangun tanpa identitas asli. “Yang penting, audiens tetap bisa membayangkan dan berempati,” jelasnya.
Kumbara dari Yayasan Peduli Masyarakat Sumatera Utara mengangkat isu penggunaan dana donasi untuk dokumentasi. Ia khawatir publik salah paham. Menjawab hal ini, David menekankan pentingnya transparansi. “Donatur publik tak menuntut nota konsumsi satu per satu, tapi organisasi harus menjelaskan alokasi dana dengan jujur agar tidak menimbulkan kecurigaan,” tegasnya.
Pertanyaan lain menyinggung penggunaan AI dalam fotografi. Afria kembali bertanya, apakah etis menggunakan teknologi ini untuk memperkuat visual kampanye. David menjawab, AI bisa dipakai untuk memperbaiki kualitas, tetapi tidak boleh menciptakan cerita palsu. “Manipulasi yang menyesatkan harus dihindari,” ujarnya.
Dari Data ke Cerita
Satu pesan kunci yang berulang kali muncul adalah pergeseran dari gaya laporan data menuju cerita yang menyentuh emosi. Menurut Sari, narasi laporan cenderung kaku, sementara kampanye harus membangun harapan.
Kiki menambahkan bahwa dokumentasi formal seperti foto berjejer kurang efektif. “Lebih baik tunjukkan dinamika nyata: diskusi hangat, kerja bersama, atau momen bahagia. Itu yang membuat publik merasa ingin ikut terlibat,” jelasnya.
Menuju Kampanye yang Inspiratif
Melalui webinar ini, Galangdaya menegaskan bahwa kampanye digital bukan hanya soal menyebarkan informasi, melainkan merakit kepercayaan publik melalui cerita dan visual yang etis. Transparansi, penghormatan terhadap martabat subjek, serta kreativitas menjadi kunci utama.
Webinar ditutup dengan ajakan agar peserta mempraktikkan metode yang dipelajari melalui latihan merancang narasi kampanye pada sesi berikutnya. “Pada akhirnya, kampanye digital yang baik membuat orang merasa: saya ingin menjadi bagian dari perubahan ini,” pungkas Sari.