Jakarta (14/2/2025). Film memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan sosial-budaya, penting sebagai alat komunikasi, advokasi dan pemberdayaan. Karenanya, Organisasi Masyarakat Sipil dirasa wajib memproduksi film karena mereka mempunyai kekayaan berupa arsip data, bahan bercerita, kedekatan psikologis dan jaringan yang kuat. Selain itu, singgungan film dan OMS terletak pada daya untuk mendorong kesadaran, menginspirasi aksi nyata dari individu, komunitas, dan pemangku kepentingan.
Memandang peran penting film, Jejaring Lokadaya menghelat serial Kyutri bertema “Berkomunikasi Via Sinema”. Kyutri seri ini direncanakan berlangsung selama satu bulan dan menghadirkan seorang filmmaker yang juga dosen praktisi Sinematografi di UIN Raden Mas Said Surakarta, Ratmurti Mardika.
Seri pertama diadakan pada Jumat kemarin tanggal 14 Februari, dengan topik Daya Media Sinema. Pada sesi ini, Ratmurti yang akrab disapa dengan Sonkski, banyak memberikan perspektif sinema pada puluhan peserta yang hadir di ruang zoom, ia juga berdiskusi serta mendengarkan sejauh mana sinema itu berdampak pada kehidupan masyarakat khususnya OMS.
Di awal diskusi, Sonkski memantik tentang kaitan masyarakat dan seni dari berbagai aspek kehidupan. Jika dilihat dari sisi seni, film ini jelas merupakan produk seni yang mengandung drama didalamnya. Dari sisi ekonomi, film merupakan miniatur kehidupan yang jumlah permintaannya banyak, tetapi supply-nya kurang/sedikit. Hal tersebut tentu menjadikan film sebagai ladang ekonomi masyarakat, sebab produksi sebuah film pasti melibatkan banyak profesi, contohnya makeup artist, wardrobe, tukang sound dan masih banyak lagi.
Dipandang dari sisi komunikasi, film ialah bahasa khusus yang menggunakan bahasa audio, visual dan story. Film juga digunakan sebagai media penyampai pesan. Sedangkan jika ditinjau dari sisi sosial politik, film tentu dapat membangkitkan empati penontonnya, bahkan bisa menjadi agen propaganda. Daya jangkau film itu luas, sehingga bisa menjadi sebuah produk budaya yang masif. “Kalau film itu hidup lestari setiap hari di sebuah wilayah, tentunya bisa membuat wilayah/kota tersebut menjadi sebuah pusat budaya seperti Hollywood”, ujar Sonkski.
Tak lupa Sonkski menghadirkan contoh karya-karyanya yang mayoritas berhubungan dengan kinerja OMS. “Bukit Bernyawa” ialah film yang ia rasa berdampak langsung secara nyata pada warga yang membutuhkan bantuan. Film ini bermula dari 0 (nol) rupiah alias tidak ada budget-nya, ia dan timnya merangkai footage-footage yang tidak terpakai agar bisa membentuk sebuah narasi. Sonkski mengambil footage saat bekerja untuk program Biogas Hivos (Yayasan Humanis Inovasi Sosial) di area Gunung Merapi. Bukit Bernyawa telah menjadi nominasi beberapa festival luar negeri dan memenangkan DocNet South East Asia tahun 2012. Film ini sangat berkesan dan menjadi sebuah titik balik bagi kehidupan Sonkski.
Pada saat itu, film ini digunakan untuk mencari donasi guna membantu masyarakat terdampak erupsi gunung Merapi. Hasil yang terkumpul terbilang cukup fantastis, bisa digunakan untuk merenovasi Rumah Gamelan di desa Srunen. “Membuat film ini adalah cara yang apik untuk membantu sesama, di saat kita belum mampu memberi sesuatu,” tambah Sonkski.
Film terbaru yang dia produksi berjudul “Sengkala”. Penjelasan terkait film Sengkala ini sekaligus jawaban atas pertanyaan seorang peserta diskusi yang menanyakan mengenai antropologi visual dalam film. Sengkala menceritakan tentang cara menulis angka tahun era Jawa Kuno. Menariknya, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X Kemdikbud bersedia mendanai produksi film ini.
Ada beberapa poin yang layak dicatat sebelum memulai untuk memroduksi film, sebaiknya OMS mengetahui pengetahuan dasar perfilman yang meliputi:
– story (struktur dramanya, kemampuan story telling, pengenalan dramaturgi 3 babak yaitu pengenalan, konflik dan resolusi)
– Visual (foto, sinematografi dan editing)
– Audio (merekam, mengedit, dan mengidentifikasi suara)
Hal baku yang perlu dipunyai OMS adalah kesadaran dokumentasi dahulu. Barulah kemudian memenuhi 5W 1H dalam sebuah dokumentasi advokasi. Nah jika 5W+1H terpenuhi, baiknya ditambahkan 1A (art). Meskipun di dokumenter itu tuntutannya tidak seperti di film fiksi, tidak harus menggunakan kamera mahal bak film fiksi, pencahayaan ala teater, tetapi titik beratnya adalah pada runtutan cerita yang bagus yang wajib dipenuhi.
Pada sesi ini antusias peserta sangat luar biasa. Baik di kolom komentar maupun peserta yang open mic. Mereka menceritakan isu-isu seksi yang mereka dampingi, seperti kasus HIV AIDS di Merauke, buruh migran yang terabaikan, cerita penyandang disabilitas yang merasa didzolimi oknum polisi, dan masih banyak konflik menarik yang terungkap. Mereka merasa Kyutri kali ini sangat cocok dan dibutuhkan oleh mereka, guna menyuarakan keluh kesah mereka selama di OMS.
Penasaran dengan kemeriahan diskusi asik kali ini? Obrolan berbobot ini dapat disimak secara keseluruhan di kanal Youtube Lokadaya.(*ari)