“Sejumlah ahli dan praktisi OMS berkumpul untuk mengurai teka-teki besar: mengapa keran-keran sumber daya bagi organisasi masyarakat sipil di Indonesia seolah tersumbat? Dipandu oleh para narasumber berpengalaman, diskusi ini menggali lebih dalam tantangan yang dihadapi dan strategi inovatif yang dapat membuka aliran sumber daya menuju keberlanjutan finansial”
Pada Jumat (25/10), Jejaring Lokadaya Nusantara menyelenggarakan diskusi bertajuk “Keran-Keran Sumber Daya” melalui platform Zoom. Diskusi Serial II “Kyutri” ini menghadirkan George Corputty (Jejaring Lokadaya Nusantara) dan Frans Toegimin (Yayasan SPEAK Indonesia) sebagai pemantik diskusi. Fokus utama dialog ini adalah menyoroti tantangan yang dihadapi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia dan strategi yang dapat diterapkan untuk mencapai keberlanjutan finansial dan operasional.
George Corputty membuka diskusi dengan memaparkan tentang The Civil Society Organization Sustainability Index (CSOSI). “CSOSI adalah alat penting untuk memahami keberlanjutan OMS,” kata George. Indeks ini mengukur perkembangan OMS melalui tujuh dimensi kunci: lingkungan hukum, kapasitas organisasi, kemampuan finansial, advokasi, penyediaan layanan, infrastruktur sektoral, dan citra publik. CSOSI dikembangkan oleh USAID dan bertujuan menjadi sumber informasi bagi OMS, pemerintah, lembaga donor, dan akademisi untuk memahami dan memantau aspek kunci keberlanjutan OMS.
George menjelaskan bahwa indeks keberlanjutan OMS Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa kapasitas organisasi masih stagnan dengan skor 3.7, sama dengan tahun 2021. “Skor ini menunjukkan kategori keberlanjutan berkembang,” jelasnya. Menurut panel ahli CSOSI 2023, salah satu penyebab stagnasi adalah rendahnya kualitas aktivis dalam gerakan OMS, meski ada fokus pada profesionalisme staf dalam tata kelola organisasi. “Kita perlu mengembangkan kapasitas aktivis, bukan hanya fokus pada administrasi,” tegas George.
Selain kapasitas organisasi, George juga menyoroti indeks kemampuan finansial OMS yang tetap di skor 4.5. “Ini berarti OMS berada dalam situasi berkembang namun cenderung terhambat,” ujarnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi ini antara lain belum optimalnya diversifikasi sumber pendanaan, penurunan dukungan luar negeri, dan belum maksimalnya akses ke sumber pendanaan lokal. “Pandemi COVID-19 memang mendorong kreativitas dalam penggalangan dana, tetapi kemandirian finansial OMS belum berkembang signifikan,” tambahnya.
Diversifikasi pendanaan menjadi salah satu strategi kunci bagi OMS untuk mencapai kemandirian finansial dan menjaga keberlanjutan program-programnya. Dalam survei yang melibatkan 509 OMS, 361 organisasi telah memulai diversifikasi pendanaan, sementara 129 lainnya masih bergantung pada satu sumber dana. Diversifikasi ini melibatkan sektor swasta, seperti konsultasi dan program Corporate Social Responsibility (CSR), serta sektor publik melalui anggaran pemerintah. “Diversifikasi adalah strategi kunci untuk keberlanjutan,” kata George.
Diskusi kemudian beralih ke pentingnya perencanaan strategis dan struktur pengelolaan internal OMS. Tris Dianto, salah satu peserta, menyoroti pentingnya menyusun rencana strategis yang tidak hanya mengidentifikasi kegiatan, tetapi juga dapat terlaksana. Menanggapi hal ini, George menjelaskan bahwa penting untuk memiliki analisis konteks organisasi dan struktur yang sesuai. “Buatlah rencana strategis lima tahunan, dan evaluasi setiap akhir tahun,” sarannya. Frans Toegimin menambahkan, “Visi dan misi itu penting, tapi harus fleksibel. Fokuslah pada analisis kekuatan dan kelemahan institusi serta penerima manfaat.”
Lely Zailani dari HAPSARI mengakui bahwa organisasinya belum memaksimalkan manajemen pengetahuan. “Kami sering mendiskusikan potensi sumber daya, tetapi sering kali hanya bicara soal dana,” katanya. Menanggapi ini, George menyarankan agar OMS mengembangkan fungsi manajemen pengetahuan dengan metode berbasis bukti. “Organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan, tidak ada obat mujarab kecuali kita yang meramunya,” ujarnya. Frans menambahkan bahwa manajemen pengetahuan harus didokumentasikan dan dibagikan. “Kita harus mengembangkan metode pembelajaran yang efektif,” katanya.
Pertanyaan dari audiens lainnya, seperti dari Evie dari YMMA Sumut, menyoroti evaluasi mandiri OMS. George menjelaskan bahwa penilaian sebaiknya dilakukan setiap tahun, dengan kejujuran sebagai kunci dalam penilaian mandiri. “Ini membantu kita mengukur kinerja organisasi,” jelasnya. OMS diharapkan memiliki sistem monitoring dan SOP yang jelas, bukan hanya untuk program tetapi juga administrasi organisasi.
Diskusi ini juga menyoroti tantangan OMS dalam menghadapi generasi milenial. Lilya dari Para Mitra Indonesia dan Ijun Gilang mengangkat isu keberlanjutan tim OMS di era ini. Frans menekankan pentingnya merekrut individu yang memiliki minat dan komitmen. “Materi penting, tetapi bukan tujuan utama,” katanya. George menambahkan bahwa transformasi dan inovasi diperlukan untuk menghindari stagnasi. “Kita harus berani bertransformasi dan tidak meromantisasi masa lalu,” katanya.
Diskusi Kyutri Seri III ini menggarisbawahi bahwa kendatipun OMS Indonesia menghadapi tantangan dalam kapasitas dan finansial, ada banyak peluang untuk memperkuat keberlanjutan melalui diversifikasi pendanaan dan peningkatan kapasitas internal. OMS didorong untuk terus beradaptasi dan berinovasi agar dapat bertahan dan berkembang di tengah perubahan lingkungan. Dengan strategi yang tepat, OMS dapat mencapai kemandirian finansial dan keberlanjutan yang lebih baik di masa depan.