Jakarta (23/2/2024). Bagian yang sering terlewat dari kebanyakan relawan adalah kesiapsiagaan, mitigasi, dan adaptasi resiko kebencanaan yang mungkin terjadi lagi. “Padahal bagian pasca bencana ini paling krusial”, jelas Arif Haryono, punggawa Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa.
Lokadaya dan Pujiono Centre didukung oleh The Canada Fund for Local Initiative (CFLI) mengadakan kegiatan semi daring bertajuk Mobilisasi Sumber Daya Lokal Kerelawanan dalam Respons Kemanusiaan. Nah, pada pertemuan ketiga ini merupakan sesi terakhir dan mengangkat tema praktik baik mobilisasi relawan di masa pra bencana, bencana dan pasca bencana. Narasumber yang dihadirkan adalah perwakilan dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
DMC Dompet Dhuafa sejak 2012 telah memiliki sekitar 23 ribu relawan yang tersebar di 24 provinsi, yang mana mereka juga rutin mengadakan rakernas volunteer mengenai aktivitas mengelola kebencanaan. Tentunya hal ini dilakukan untuk merawat simpul kerelawanan juga. Seperti yang diketahui bersama, relawan harus dihargai serta diberikan haknya. DMC Dompet Dhuafa menerapkan poin-poin terkait hak relawan, seperti:
– Jaminan kecelakaan kerja dan kematian yang diakomodir BPJS TK BPU
– Mendapatkan waktu istirahat setelah berkegiatan lebih dari 14 hari
– Mendapatkan pengganti transport / uang apresiasi
– Meningkatkan kompetensi sesuai dengan minat yang dimiliki relawan
Dalam tahap Pra bencana, DMC Dompet Dhuafa memiliki skema skenario guna penguatan kerelawanan saat terjadinya bencana. Sebagai contoh penguatan relawan lokal pada karhutla, DMC telah memetakan provinsi-provinsi yang rawan kebakaran hutan. Walaupun masih ada relawan yang tergopoh-gopoh saat terjadi bencana, tetapi setidaknya para relawan sudah memiliki rencana yang lebih baik.
DMC Dompet dhuafa juga memiliki tim relawan yang sigap saat terjadinya bencana. Mereka telah memiliki SOP kaji cepat, yaitu maksimal 8 jam relawan harus sudah berada di lokasi, tetapi bisa 12 jam bila daerah tersebut terisolir. Hal itu dilakukan guna memberikan respons bantuan cepat dan mengobservasi tingkat kerusakan, infrastruktur apa saja yang rusak dalam klasifikasi kecil, sedang, atau parah.
Tahapan selanjutnya adalah masa pemulihan setelah terjadi bencana. Arif Haryono mengatakan bahwa biasanya jumlah relawan menjadi lebih sedikit di tahap ini. Tidak sebanyak pada saat bencana itu terjadi. Kemudian untuk jenis relawan yang baling banyak dibutuhkan saat masa tanggap darurat selesai (masa pemulihan) adalah relawan-relawan profesi seperti ahli medis, psikolog, guru, arsitek, pekerja bangunan dan lain sebagainya.
Iis Yulianti dari Direktorat kesiapsiagaan kedeputian bidang pencegahan BNPB menyampaikan mengenai spesifikasi keahlian relawan dari sudut pandang BNPB. Spesifikasi tersebut telah diatur dalam Perka BNPB No 17 Tahun 2011 Tentang pedoman relawan penanggulangan Bencana. Penting kiranya mengetahui keahlian atau kecakapan relawan agar bisa dipetakan bersama relawan yang lain. “Jangan sampai pada saat terjadi bencana, relawan yang tidak terpetakan keahliannya ini justru malah ditolong bukan menolong,” imbuh Iis Yulianti.
Diskusi menarik dapat diakses secara lengkap dikanal youtube Lokadaya. (*ari)