Jakarta (17/1/2025). Sudah barang tentu, komunikasi memegang peran krusial pada kerja-kerja aktivisme apalagi di dunia digital yang terus melaju sekrang ini. Lokadaya memandang kepentingan ini harus dipertajam dan pegiatnya perlu terus meng-update kapasistasnya. Oleh karenanya gelaran Kyutri seri Seni Komunikasi dalam Advokasi yang dihelat Lokadaya pada Jumat (17/1) menjadi spesial karena menghadirkan ahli komunikasi yang kompeten dan sempat menghebohkan pemilu 2024 lewat karyanya. Beliau adalah Irvan Imamsyah, co-founder Koma Berseru dan produser dari “Dirty Vote”. Melalui “Dirty Vote”, Irvan dan teman-temannya mengajak masyarakat untuk lebih melek kecurangan-kecurangan yang terjadi di Pilpres.
Walaupun salah satu paslon yang terindikasi curang tersebut tetap menang, tetapi advokasi yang dilakukan Irvan dan kawan-kawan diklaim berhasil. Film “Dirty Vote” bisa trending, meskipun terkena Black Shadow oleh buzzer bayaran. Black Shadow adalah hambatan dalam kampanye. Di sesi ini, Irvan juga berbicara mengenai trick mengatasi Black shadow agar pesan yang dia usung tetap viral dan lebih tersampaikan. Menarik bukan?
“Strategi komunikasi itu bukan soal kamu atau saya, melainkan tentang masyarakat yang kita dampingi”, ungkap Irvan. Dalam melakukan advokasi, kita berkewajiban mendampingi masyarakat agar mau terlibat dan maju bersama menyuarakan aspirasi mereka.
Selaku aktivis, alangkah baiknya merenungi dahulu apa yang harus kita perjuangkan. Selain itu, bagaimana memberi porsi sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan peran pendampingan dari kita.
Advokasi adalah sebuah proses untuk mendorong perubahan sosial melalui komunikasi yang efektif. Sedangkan, komunikasi merupakan kunci untuk mencapai tujuan advokasi dan menginspirasi untuk bertindak. Menurut Irvan, trik yang bisa digunakan dalam advokasi antara lain:
- Menggunakan cerita yang menginspirasi, narasi nyata dan menyentuh emosi audiens.
- Menggabungkan data dan fakta yang mendukung untuk memberikan kredibilitas.
- Mengajak audiens untuk terlibat dalam perubahan (call to action)
“Namun sebelum itu, kita wajib mengenali target audience dahulu. Kalau di media umum, seperti saya di TV, semua umur dihajar habis dengan format yang sama” ujar Irvan. Tentunya hal tersebut kurang efektif di era sekarang ini, yang mana mayoritas warganya di dominasi oleh anak muda atau gen Z.
Kita bisa mempelajari batasan usia anak muda sesuai kebiasaannya. Rentang umur pertama adalah usia 18-21 tahun. Di umur ini engagement-nya harus berkorelasi dengan jobfair dan peluang usaha. Perlu diketahui bahwa mereka ini masih sangat memperhatikan hal-hal yang trending atau viral di media sosial.
Rentang umur kedua ialah usia 22-25 tahun. Untuk menarik perhatian rentang umur ini, sebaiknya kita gunakan sesuatu yang berhubungan dengan financial freedom dan financial management. Selanjutnya, rentang umur 26-30 tahun. Ciri khas umur ini biasanya sudah memikirkan keluarga, masa depan dan cara mempertahankan diri di dunia kerja
Setelah mengenali target, kita perlu menentukan audience segmentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan kampanye advokasi. Langkah pertama paling simpel bisa kita mulai dengan meminta tanggapan pengikut di media sosial (kuesioner). Sebagai komunikator, kita harus benar-benar bisa terlibat serta memahami insight yaitu tentang cara mendekatkan diri ke publik dan cara menggapai pesona anak muda untuk mau bergabung dalam aksi.
Tahapan terakhir adalah menentukan target yang jelas. Kita harus membuat pesan yang mudah dipahami dan relevan dengan audiens. Setelah itu, kita pilih medianya. Platform atau media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan seperti media sosial, film dan pers conference.
Diskusi hangat tentang Seni Komunikasi dalam Advokasi ini dapat dinikmati menyeluruh di Kanal Youtube Lokadaya. (*ari)