Jakarta (19/11/2024). Idealnya, masyarakat desa sadar akan potensi daerah masing-masing. Namun kondisi lapangan terkadang tak seusai dengan kondisi idealnya, hal ini nampak pada cara desa menyerap dana desa. Masih jamak kita temui, alokasi dana desa yang hanya memikirkan pembangunan infrastruktur seperti jalan, gapura dan sebagainya. P2KTD hadir membantu desa untuk memberi gambaran lain, menyediakan pilihan-pilihan yang tak kalah penting dalam memajukan desa, termasuk saat desa harus mengalokasikan dana desa secara bijaksana.
P2KTD (Penyedia Peningkatan Kapasitas Teknis Desa) jadi bahasan menarik, hangat, dan antusias oleh perwakilan NGO dan pendamping desa pada sesi daring bertajuk “Membangun Desa via Berniaga Sumber Daya”. Kegiatan ini dihelat Lokadaya, Penabulu, dan Lingkar 9, pada Selasa (19/11). Narasumber yang dihadirkan merupakan tenaga ahli P2KTD, Hilmy, serta dibuka Nursaid Mustafa selaku Kepala Pusat Pengembangan Masyarakat Desa dan Daerah Tertinggal Kemendes.
P2KTD adalah platform inovasi yang menjaring banyak layanan penyedia, baik SDM maupun infrastruktur. Sebelum platform ini hadir, Kemendes terlebih dulu melakukan riset selama 1 tahun, untuk memastikan platform ini benar-benar diperlukan dan berguna di masyarakat desa. Pada saat riset, sekitar 1800 pendamping telah memberikan masukannya dan mereka menyarankan untuk menambahkan lebih banyak kategori layanan penyedia di berbagai Kabupaten. Sementara ini, P2KTD ini baru saja diluncurkan di Bengkulu utara.
Berikut adalah beberapa prioritas P2KTD:
- Penguatan potensi desa (untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa),
- Swasembada energi dan pangan
- Hilirisasi desa
P2KTD ini menjadi penting, tatkala di lingkup desa banyak kebutuhan yang tidak bisa difasilitasi. Menurut Nursaid, Tenaga Pendamping Profesional (TPP) jumlahnya tak sebanding dengan jumlah desa di Indonesia. Tentu dapat dibayangkan layanan desa yang didapat, jika seorang TPP harus melayani sekitar 4 desa sekaligus. Hal ini pasti menyebabkan APBD desa selalu terlambat.
Selain itu, ada beberapa alasan keterlambatan yaitu pendamping kesulitan menyusun RAB, informasi dari pusat yang terlambat dan masih banyak lagi. Seperti diketahui, tidak semua TPP memiliki background di bidang infrastruktur, ini juga menyebabkan lamanya proses fasilitasi.
“P2KTD bisa beroperasi jika layanan penyedia mau bergabung, tentunya Kades juga enggan bergabung jika penyedianya tidak ada”, ujar Nursaid. Nah, dengan adanya P2KTD tentu kini jadi momen yang tepat bagi OMS untuk meyakinkan bahwa P2KTD ini akan berguna dan berkontribusi bagi desa.
Kondisi teranyar, saat ini Kemendes sedang fokus untuk memperbanyak layanan penyedia yang mau bergabung di platform. Kemendes tidak mengatur harga layanan penyedia, karena ini sudah masuk ke dalam ranah negosiasi antara Pemdes dengan Penyedia. Kemendes hanya meminta laporan hasil kerja dari penyedia yang telah mendapatkan dana desa tersebut. Harga tentunya harus disesuaikan dengan standar kabupaten masing-masing.
Di tengah diskusi, ada peserta yang menyampaikan temuan menarik di lapangan. Banyak lembaga yang nakal untuk mengadakan Bimtek secara berlebihan. Seperti diketahui, Bimtek ini mengundang OPD agar mereka mendapatkan insentif dari dana desa tersebut. Untuk itu, platform P2KTD ini jelas akan dapat memanggulangi hal itu. Pihak Pemdes dapat menolak secara halus bila ada lembaga yang meminta Bimtek tetapi lembaga tersebut tidak tersedia dalam daftar penyedia layanan P2KTD.
Hilmy berharap platform ini dapat sebagai ajang pembelajaran dalam melakukan perencanaan desa yang lebih profesional. Diharapkan desa bisa lebih mandiri, tidak seperti sepuluh tahun terakhir yang bergantung pada dana desa. Akan tetapi, Pemdes dapat menambah pemasukan dari potensi daerah masing-masing.
Diskusi seru antara tenaga ahli P2KTD, Tenaga pendamping dan perwakilan NGO ini dapat dilihat secara utuh di kanal youtube Lokadaya. (*ari)