Skip to main content

“Diskusi menyoal pentingnya akuntabilitas informasi publik untuk meningkatkan transparansi dan tata kelola yang baik. Peran OMS dan prinsip-prinsip good governance dalam mendorong keterbukaan informasi menjadi jantung diskusi”

Jejaring Lokadaya Nusantara menggelar diskusi “Kyutri” Seri IV bertajuk “Akuntabilitas Informasi Publik: Etalase Kertas Kerja” pada Jumat, 4 Oktober 2024. Acara yang berlangsung dari pukul 13.30 hingga 15.30 WIB ini menghadirkan narasumber Sarwitri dari Konsil LSM Indonesia dan Edy Anan, dosen Amikom Yogyakarta, yang membahas pentingnya akuntabilitas informasi publik dalam meningkatkan transparansi dan tata kelola yang baik. Seri terakhir ini berarti memungkasi keseluruhan rangkaian diskusi bertajuk akuntabilitas organisasi masyarakat sipil.

Diskusi ini menyoroti beberapa isu krusial terkait akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik. Sarwitri membuka sesi dengan memaparkan peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam menyediakan informasi yang transparan kepada publik. “OMS harus menyampaikan informasi terkait badan organisasi, kegiatan dan kinerja, laporan keuangan, serta informasi lainnya yang telah diatur oleh kebijakan internal organisasi,” ujar Sarwitri.

Menurutnya, langkah ini penting untuk mewujudkan masyarakat informasi, di mana publik memiliki hak dan kewenangan untuk meminta akuntabilitas dari organisasi yang beroperasi di ruang publik. “Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mewajibkan informasi publik disediakan secara terbuka oleh organisasi nonpemerintah,” tambahnya.

Lebih lanjut, Sarwitri menyoroti pentingnya akuntabilitas fiskal atau finansial, yang melibatkan pertanggungjawaban atas pendanaan publik. Ia menjelaskan, “Pihak pendana dapat menuntut laporan dari OMS, dan jika ada penyimpangan yang ditemukan, OMS tersebut dapat dikenakan sanksi. Proses audit menjadi langkah penting untuk memastikan akuntabilitas dan memberikan akses kepada masyarakat untuk mengetahui penggunaan sumber daya anggaran oleh OMS.”

Sarwitri menekankan bahwa akuntabilitas adalah proses administrasi-politik yang menuntut upaya berkelanjutan dan komitmen dari semua pihak. “Akuntabilitas bukan hanya kewajiban melaporkan keuangan kepada mitra kerja, tetapi juga sumber pengetahuan yang terbuka bagi publik,” jelasnya.

Edy Anan kemudian melanjutkan diskusi dengan menjelaskan prinsip-prinsip good governance, merujuk pada standar yang ditetapkan oleh organisasi internasional seperti UNDP, World Bank, IMF, dan OECD. “Prinsip-prinsip ini meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipasi, aturan hukum, efisiensi dan efektivitas, responsivitas, keadilan dan inklusivitas, independensi, serta responsibilitas,” kata Edy.

Edy mengaitkan keterbukaan informasi publik (KIP) dengan good governance. Menurutnya, “Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi adalah elemen kunci dalam mencegah korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik.” Ia menjelaskan regulasi KIP, termasuk Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang KIP dan berbagai peraturan lain yang mendukung prinsip keterbukaan informasi.

Dalam konteks OMS, Edy menyoroti pentingnya tata kelola internal yang baik, transparansi dalam penggunaan dana internasional, serta keterbukaan dalam pengelolaan keuangan, pengambilan keputusan, program dan capaian, pengelolaan sumber daya manusia, dan komunikasi. Ia juga mengakui tantangan dalam mewujudkan keterbukaan informasi di kalangan OMS, seperti kurangnya infrastruktur teknologi, keterbatasan sumber daya manusia, dan resistensi internal terhadap keterbukaan.

Pada sesi tanya jawab, peserta diskusi turut memberikan pandangan. Eros dari Speaker Kampung mempertanyakan relevansi keterbukaan anggaran terhadap publik. Menanggapi hal ini, Sarwitri menegaskan, “Keterbukaan anggaran penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam penggunaan dana publik.” Valentina Wiji menyoroti isu akses informasi bagi penyandang disabilitas dan pentingnya mengakomodasi kebutuhan mereka dalam sistem informasi publik.

Agung Prabowo dari Sigap Indonesia menyarankan penerapan strategi inklusif, khususnya dalam memperkuat posisi masyarakat sipil yang mendukung OMS difabel. Ia berharap agar masyarakat sipil yang mapan dapat menjadi jembatan bagi OMS difabel untuk memperluas gerakan mereka. Sulaiman dari IPDP Aceh menyatakan bahwa diskusi ini sangat bermanfaat dalam menambah pengetahuan terkait akuntabilitas untuk organisasi yang bergerak dalam isu disabilitas.

Diskusi “Kyutri” Seri IV ini diharapkan menjadi titik tolak bagi OMS di Indonesia untuk lebih aktif menerapkan prinsip keterbukaan informasi dan meningkatkan akuntabilitas. Upaya ini tidak hanya memperkuat tata kelola yang baik, tetapi juga membangun kepercayaan publik dan memastikan penggunaan sumber daya yang lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan lebih aktif dalam memantau dan mengawasi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi di tanah air.