Di tengah tuntutan transparansi yang kian mendesak, bagaimana organisasi masyarakat sipil bisa bertahan? Diskusi “Kyutri” Seri III menggali jawabannya, menyoroti akuntabilitas sebagai pilar keberlanjutan organisasi
Dalam langkah strategis untuk memperkuat fondasi tata kelola, Jejaring Lokadaya Nusantara menggelar diskusi “Kyutri” Seri III dengan fokus pada Akuntabilitas Program: Rencana, Eksekusi, Solusi. Acara yang berlangsung secara daring pada Rabu, 2 Oktober 2024 ini mengundang perhatian dengan menghadirkan dua pakar dari Konsil LSM Indonesia, memberikan wawasan berharga tentang bagaimana akuntabilitas dapat menjamin keberhasilan organisasi masyarakat sipil (OMS).
Diskusi ini menawarkan perspektif segar bagi OMS di Indonesia, menyoroti peran vital akuntabilitas sebagai penopang utama keberhasilan program-program mereka. Sarwitri, yang menjabat sebagai Program Manager Konsil LSM Indonesia, dan Lusi Herlina dari Komite Pengarah Nasional Konsil LSM, berbagi pandangan dan strategi untuk menerapkan akuntabilitas secara efektif dalam operasional OMS. Dengan wawasan yang mendalam dan praktis, diskusi ini diharapkan mendorong organisasi masyarakat untuk memperkuat tata kelolanya dan meningkatkan kontribusi mereka dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Sarwitri memulai diskusi dengan memaparkan akuntabilitas sebagai sebuah siklus yang dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk distribusi kekuasaan di antara aktor yang terlibat. “Efektivitas akuntabilitas sangat dipengaruhi oleh lingkungan, yang terkait erat dengan distribusi kekuasaan dari aktor-aktor yang terlibat,” ujarnya. Menurut Sarwitri, siklus ini mencakup tiga elemen penting: respons, informasi, dan aksi. Ia menegaskan bahwa akuntabilitas tidak hanya sekadar mencapai tujuan program, tetapi juga mempertimbangkan alternatif program yang dapat memberikan hasil optimal dengan biaya minimal, sebagaimana digariskan oleh Sheila Elwood.
Dalam menjelaskan model-model akuntabilitas, Sarwitri menguraikan beberapa pendekatan yang telah diterapkan secara global, seperti HAP (Humanitarian Accountability Project), GAP (Global Accountability Project), dan UNDP (United Nations Development Program), serta model yang dikembangkan oleh Konsil LSM Indonesia. Ia menekankan prinsip-prinsip akuntabilitas menurut Konsil LSM Indonesia yang meliputi komitmen dari pimpinan dan seluruh staf untuk menjalankan organisasi secara bertanggung jawab, menjamin penggunaan sumber daya secara konsisten dengan peraturan yang berlaku, serta menunjukkan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan.
“Prinsip-prinsip ini juga berorientasi pada visi, misi, hasil, dan manfaat yang diperoleh organisasi, serta memegang teguh nilai kejujuran, transparansi, objektif, dan inovatif,” tambah Sarwitri. Manfaat dari penerapan akuntabilitas ini, menurutnya, antara lain adalah keberlanjutan, posisi tawar yang kuat, sistem organisasi yang efektif, dan dukungan pendanaan baik dari dalam negeri maupun internasional.
Lusi Herlina, yang akrab disapa Uni Lusi, menyoroti pentingnya Standar Minimal Akuntabilitas OMS Konsil LSM Indonesia. Ia menjelaskan bahwa standar ini diperlukan untuk meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap LSM. “Dengan standar minimal akuntabilitas, kita dapat menunjukkan kepada para pemangku kepentingan bahwa LSM adalah organisasi yang memiliki tata kelola yang baik, demokratis, profesional, serta mengelola sumber daya secara efektif dan efisien,” ungkap Lusi.
Lebih lanjut, Lusi menguraikan tujuh standar minimal akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh LSM, yaitu perilaku etis, manajemen keuangan yang terbuka dan terpercaya, manajemen staf yang profesional, partisipasi bermakna masyarakat dalam pengambilan keputusan strategis, mekanisme penanganan pengaduan, transparansi informasi, dan pencegahan konflik kepentingan. “Kredibilitas dan reputasi publik sangat menentukan keberhasilan visi dan agenda OMS, karenanya OMS sangat berkepentingan menjunjung tinggi standar perilaku serta membangun reputasi yang kokoh,” tegasnya.
Diskusi ini juga diwarnai dengan berbagai pertanyaan dari audiens yang menunjukkan antusiasme dan keingintahuan yang tinggi mengenai tema yang dibahas. Frans Toegimin, salah satu sesepuh di jagat per-LSM-an Indonesia, menanyakan tentang hubungan antara dimensi akuntabilitas yang diterapkan oleh UNDP dan dimensi yang ada di Konsil LSM. Pertanyaan ini memicu diskusi lebih dalam mengenai bagaimana berbagai model akuntabilitas dapat saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain.
Arifin Alapan, peserta lain yang telah berkecimpung di dunia LSM sejak 1994, mengkritisi desentralisasi yang membuat LSM daerah hanya berperan sebagai pelaksana proyek, sementara LSM di Jakarta lebih mendominasi. “Apakah ini merupakan potret akuntabilitas? Saya ditawarkan teman-teman LSM Jakarta untuk menjadi pelaksana atas nama jaringan, namun saya menolak karena tidak ingin hanya menjadi pelaksana,” ujarnya. Arifin menekankan pentingnya keberadaan organisasi yang mandiri dan berorientasi pada self-help.
Sugiarto Arif Santoso menambahkan bahwa Standar Minimal Akuntabilitas (SMA) sangat bermanfaat bagi LSM untuk mengevaluasi kemampuan mereka dalam mempertanggungjawabkan mandatnya kepada publik. Selain itu, SMA ini dianggap sebagai salah satu model untuk memperluas ruang sipil, di mana kesadaran akan kebebasan berorganisasi dan berkumpul mendapat pengakuan publik.
Sementara itu, Leonardo, peserta lain, mengangkat isu keadilan dalam akuntabilitas, terutama terkait penggajian yang didasarkan pada UMK/UMP masing-masing provinsi. “Prinsip keadilan terkadang hanya untuk memenuhi kepentingan donor dan bukan berdasarkan kepentingan SDM LSM pelaksana,” katanya. Ia juga menyoroti pentingnya akuntabilitas sebagai arah komunikasi dengan publik.
Diskusi ini bersimpul pada gagasan betapa akuntabilitas merupakan elemen krusial dalam pengelolaan organisasi masyarakat sipil. Tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas tersebut secara konsisten di tengah berbagai dinamika dan tantangan yang ada. Dengan adanya diskusi ini, diharapkan OMS di Indonesia dapat terus meningkatkan tata kelola dan akuntabilitasnya, sehingga dapat berkontribusi lebih besar dalam pembangunan masyarakat yang berkelanjutan dan berkeadilan.