Skip to main content

Di tengah pusaran informasi tiada henti, pengetahuan bagaikan harta karun yang menanti untuk digali. Bagi organisasi, mengelola pengetahuan secara efektif menjadi kunci untuk membuka gerbang pertumbuhan dan keberlanjutan. Dalam diskusi Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, Eko Komara, menutup Seri IV (11/06) ini dengan pemahaman secara mendalam tentang esensi dan praktik pengelolaan pengetahuan dalam organisasi.

“Pengelolaan pengetahuan ibarat radar sensitivitas organisasi,” ungkapnya. “Dengan mengelola pengetahuan secara baik, organisasi dapat lebih sigap menangkap perubahan dan memanfaatkan sumber dayanya dengan optimal.”

Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa pengelolaan pengetahuan tidak hanya terbatas pada ranah informasi, tetapi juga mencakup pengalaman dan budaya organisasi. “Pengetahuan organisasi terbangun dari dua arus utama: arus pengalaman dan arus informasi,” tuturnya. “Kedua arus ini perlu dikelola dengan pendekatan yang berbeda, yaitu budaya organisasi untuk arus pengalaman dan sistemik untuk arus informasi.”

Eko menuturkan bahwa pengelolaan pengetahuan secara efektif membutuhkan transformasi pengetahuan menjadi bentuk yang lebih tinggi, seperti inovasi dan kreasi. Hal ini dapat dicapai melalui proses spiralisasi dan konversi pengetahuan—paparan ini telah diwedarkannya pada Sesi III. “Spiralisasi dan konversi ini ibarat proses daur ulang pengetahuan,” terangnya. “Pengetahuan yang telah diperoleh diolah dan diubah menjadi sesuatu yang baru dan lebih bermanfaat.”

Namun, pengelolaan pengetahuan takkan optimal tanpa adanya organisasi pembelajar. “Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus belajar dan beradaptasi,” kata Eko. “Untuk menjadi organisasi pembelajar, diperlukan empat prasyarat: fondasi, keterampilan, kondisi pemungkin, dan habitat belajar.”

Eko tak luput menekankan bahwa teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), menjadi elemen penting dalam menciptakan kondisi pemungkin pengelolaan pengetahuan. Ia berpendapat, teknologi dapat membantu organisasi dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan pengetahuan.

Di sela paparan, Eko mengingatkan organisasi masyarakat sipil: pengetahuan organisasi lahir dari interpretasi dan makna yang diberikan terhadap data dan informasi. “Data adalah hasil pengamatan, informasi adalah hasil pengolahan data, dan pengetahuan adalah informasi yang telah dimaknai,” terangnya. “Dengan mengelola pengetahuannya secara efektif, organisasi dapat meningkatkan kepekaan terhadap perubahan, memanfaatkan sumber daya dengan optimal, dan pada akhirnya mencapai tujuannya.”

Bukan Mas Eko, begitu aktivis sipil sosial kemasyarakatan memanggilnya, kalau tak melemparkan pertanyaan reflektif. “Nah, jika demikian, kapan, di mana, dan bagaimana pengetahuan organisasi lahir,” demikian ia melemparkan pertanyaan kepada audiens. Pertanyaan ini mengundang sejumlah komentar.

Holan Tobing (Batam) bilang kalau pengetahuan lahir saat organisasi berdiri. Sementara, bagi Lien (Medan), pengetahuan organisasi lahir tatkala ia dibagikan atau diimplementasikan melalui program. Hampir segendang dan sepenarian dengan pernyataan demikian, Pajung Institute Lutra (Sulawesi Selatan) berujar: “Pengetahuan itu lahir dari saat kita berinteraksi dengan fakta di lapangan.”

Sementara itu, Kusworo Bayu Aji (Yogyakarta) mendefinisikan proses penciptaan pengetahuan sebagai perenungan dan transformasi pengalaman dan data menjadi bentuk yang mudah diakses. Baginya, pengetahuan baru tercipta ketika ia dibagikan dan dimanfaatkan oleh orang lain.

Aji memaparkan dua jenis format pengetahuan yang ia praktikkan: tulisan dan non-tulisan. Ia pun menekankan bahwa pengetahuan organisasi tak harus terpaku pada dokumen resmi dan lembaga, melainkan pada nilai yang tertransformasi dan dapat diakses secara luas. Pandangan Aji ini membuka wawasan baru tentang pengetahuan, yakni kolaborasi dan aksesibilitas menjadi kunci utama dalam memajukan organisasi dan individu.

Eko gayung bersambut dengan paparan Aji. Ia menyatakan, “Pengetahuan adalah sesuatu yang ditransformasi dalam bentuk lain yang dapat diakses,” menekankan esensi dari pengetahuan sebagai ikatan makna. Bagi Eko, mengelola pengetahuan bukanlah sekadar tugas teknis, melainkan sebuah proses yang melibatkan aspek esensial seperti menangkap, mengikat, memaknai, memberi nama, dan mendistribusikan pengetahuan. Ia menyoroti bahwa pada tahap ini, kemampuan untuk memproduksi pengetahuan menjadi mungkin.

“Materi ini [Seri I-IV] untuk ‘mengganggu’ teman-teman apakah ketika kembali ke organisasi kita menyadari soal ini [produksi pengetahuan]. Kalau organisasi ini sudah mampu memproduksi pengetahuan, ya kita akan mendapatkan efek ‘arus balik’ dari situ,” pungkas Eko.

Paparan Eko Komara—bila disimak dari seri pertama sampai keempat—bagaikan peta jalan yang menuntun aktivis organisasi masyarakat sipil dalam memahami pengelolaan pengetahuan. Seperti kerap ia utarakan: pengetahuan adalah ikatan makna, maka ia perlu diikat, dinamai, dan didistribusi.