Skip to main content

Nirwan Dessibali asal Makassar sesekali mengernyitkan dahi ketika diminta merefleksikan diskusi Seri I tempo hari. Di balik jumpalitan pertanyaan di benaknya, Nirwan merasakan bahwa paparan Eko Komara sebelumnya membuat dirinya ngeh. Betapa tidak? Nirwan menyadari pengelolaan pengetahuan memang makanan sehari-harinya di organisasi.

Namun, selepas paparan Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu lalu, dirinya makin tergerak untuk membikin peta pengelolaan pengetahuan secara lebih serius. Di internal organisasinya, Nirwan mengaku, “Kami selalu harap diskusi ini [ihwal pengelolaan pengetahuan] tidak membuat kening kami berkerut. Diskusi boleh panjang tapi semoga membuat bahagia.”

Memang tanda pengetahuan telah mengejawantah menjadi pemahaman tatkala seseorang tengah dirundung tanda tanya. Bingung itu pasti. Tapi di balik kebingungan senantiasa disusul dengan gerak nyata. Tindakan nyata itu Nirwan ingin gali terus melalui keikutsertaannya dalam Sesi II: Pemetaan Arus dan Alur Pengetahuan dalam OMS pada Selasa (28/05) di Zoom Meeting.

Bila pertemuan pertama cenderung memprovokasi mengapa OMS harus mengelola pengetahuan, sesi kedua lebih pada kedudukan sirkulasi pengetahuan dalam lapisan konseptual dan praksis. Eko mengawali diskusi dengan menyodorkan anggapan umum yang kerap dilakoni OMS.

“Siklus kita kan gagasan yang dituliskan dalam bentuk proposal, bahkan sebelum gagasan kita ambil peluang pendanaan (call). Apakah kita punya gagasan karena call atau kita punya gagasan sebelum itu,” tanyanya mengundang refleksi. Pertanyaan Eko ini mengimplikasikan kecenderungan—kalau tidak dikatakan sebagai pola umum—organisasi sipil yang mendapatkan asupan energi karena peluang pendanaan. Problemnya, ide itu mendahului atau melampaui peluang pendanaan?

Seri II ini jamak menggarisbawahi bahwa pengelolaan pengetahuan bukan sekadar inti dari mobilisasi sumber daya, melainkan juga suatu bentuk pengelolaan organisasi. Eko menyodorkan premis umum pengelolaan pengetahuan OMS. Antara lain: pengetahuan akan membantu organisasi menjamin pertumbuhan dan keberlanjutan pada tiga dimensi, yakni objek, agen, dan konteks. Meski demikian, apa gerangan pengetahuan itu?

Eko memaparkan, pengetahuan merupakan informasi yang telah diinterpretasikan, sedangkan informasi merupakan hasil pengolahan data. “Dan data itu sendiri ialah hasil pengamatan fakta atau kejadian tertentu,” ungkapnya. Sementara itu, pengetahuan dapat berupa tacit dan eksplisit. Pengetahuan tacit, atau pengetahuan yang tersimpan dalam diri individu, akan terbangun terlebih dahulu. Namun, proses pematangan pengetahuan semacam ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Lebih lanjut, perubahan dari pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit, dan kemudian kembali menjadi pengetahuan tacit, memerlukan model intervensi khusus untuk memfasilitasinya. “Pengelolaan pengetahuan memiliki siklus yang tersambung. Dan, kesinambungannya mensyaratkan organisasi menjadi organisasi pembelajar,” terang Eko.

Pada OMS terdapat dua arus pengetahuan utama yang saling berkaitan. Pertama, arus pengalaman yang harus dikelola selaras dengan budaya organisasi. Kedua, arus informasi yang bermula dari data dan membutuhkan pengelolaan sistemik.

Kendati memiliki karakteristik berbeda, kedua arus pengetahuan ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya berpangkal dari titik awal yang sama dan akan membentuk satu muara bersama, membentuk sinergi pengetahuan yang kuat di dalam organisasi.

Pada penghujung diskusi, terdapat refleksi bersama yang diutarakan Eko Komara. Acap kali masalah sistemik organisasi sipil hari ini adalah ketiadaan staf organisasi. Sebab, menurut hasil pencermatannya, adanya “struktur kepanitiaan dalam organisasi kita.” Fenomena ini mengunggah seraya melecut audiens OMS dari berbagai daerah di Indonesia. Marwah organisasi mesti disadarkan sangkan dan paran-nya.