Skip to main content

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berada di titik persimpangan jalan. Ia tengah menghadapi desakan sejarah untuk berkelanjutan tanpa memupuk laba. Sebagai entitas nirlaba, OMS berorientasi memberikan layanan dan jasa demi kemaslahatan khalayak. Nuansa filantropi, solidaritas, dan semangat perubahan yang menggerakkan OMS sehingga menjadikannya khas.

OMS berada di tengah zaman yang makin bertunggang-langgang. Perubahan yang teramat cepat itu mengondisikan OMS untuk punya daya ungkit dan radar sensitivitas sumber daya organisasi. Pada aras ini pengelolaan pengetahuan OMS bukan saja penting, melainkan juga merupakan kebutuhan imperatif. Begitulah Eko Komara, Direktur Eksekutif Yayasan Penabulu, mengawali diskusi Kenapa OMS Harus Mengelola pengetahuan? pada Selasa (14/05) di Zoom Meeting.

Diskusi seri pertama bertemakan Mobilisasi Sumber Daya berbasis Pengelolaan Pengetahuan ini membabar tantangan dan peluang OMS untuk merefleksikan situasi “melihat ke luar, menengok ke dalam” tubuh organisasinya. Eko menuturkan, mobilisasi sumber daya adalah upaya yang memastikan tercukupinya sumber daya organisasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan keberlanjutan pencapaian visi dan misi organisasi.

“Mobilisasi sumber daya berarti perluasan sumber-sumber daya, dan peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki organisasi,” ujarnya. Sumber daya pengetahuan, lanjut Eko, melengkapi sumber daya manusia, pendanaan, dan teknologi.

Sumber daya pengetahuan acap kali terabaikan karena OMS kerap bekerja berbasis proyek. Sandra Tjan, salah satu peserta dari Morotai, Maluku Utara, menyatakan kecenderungan OMS yang timbul-tenggelam. Sebab, hematnya, OMS sering muncul karena suatu isu. Bila isu telah didanai sekaligus dikerjakan, maka setelah pembagian “hasil” OMS berpotensi hilang. Hilangnya OMS ini diakibatkan karena tak memiliki daya ungkit yang sesungguhnya dapat ditopang dari kegiatan pengelolaan pengetahuan.

Seirama dengan kondisi “OMS musiman” itu, Subhan dari Pandeglang berpendapat, “Biasanya lembaga sosial yang sedang lead dalam project akan eksis sepanjang project-nya belum berakhir. Namun, setelah project-nya selesai, lembaga tersebut nyaris tidak ada.” Kegelisahan Sandra dan Subhan ini cukup beralasan karena OMS jamak terjebak pada kerja sosial berbalut kegiatan proyek yang sifatnya temporal.

Terdapat satu celetukan Febrilia dari Bandar lampung atas hasil menyimaknya dari paparan Eko Komara: “Logika tanpa logistik akan sulit untuk jalan. Logistik ada tapi nggak pakai logika itu jalannya kesasar.” Sementara, ia melanjutkan, pengelolaan pengetahuan memang berada di ranah logika, selain dimungkinkan karena ketelatenan, kerja kolektif, dan panjang usus.

Kendati demikian, pengelolaan pengetahuan juga seyogianya dibarengi dengan kesadaran bersama. Jika tidak, Sandra Tjan mengingatkan, OMS akan terus menebalkan persaingan seperti halnya problem organisasi sipil belakangan. “Persaingan antar-OMS juga cukup kuat. Saling menahan pengetahuan daripada berbagi pengetahuan dan kerja sama. Karena takut disaingi, masing-masing mempertahankan positioning dan branding dirinya,” kritik Sandra.

Keringkihan OMS pun berpeluang mengancam keberlanjutan organisasi. Dennis dari Yogya melihat keberlanjutan organisasi akan di ujung tanduk jika tak mengindahkan aspek resiliensi. “Tren tiga sampai lima tahun belakangan, kan kelokalan jadi konteks yang didorong oleh donor. Dan OMS tak mampu mengelola pengetahuannya,” ungkapnya. Dennis melihat benang merah antara pengelolaan pengetahuan dan keinginan donor. Jadi, menurutnya, OMS harus tetap relevan.

Forum diskusi yang diikuti oleh sekitar 100 peserta dari OMS di Sabang sampai Merauke ini berjalan ciamik, sebagaimana dibahasakan oleh Eko Komara: mampu reflektif dan seberapa jauh organisasi sipil berposisi dan menjalin-kelindan pendekatan serta intervensi baru. Di tengah titik persimpangan yang dirasakan, keberlanjutan OMS hendaknya bertumpu di atas pengelolaan pengetahuan. Bila tak disadari sedemikian, alih-alih berkelanjutan, OMS akan berkubang dalam situasi dilematis: hidup segan mati tak mau.