Jakarta (1/4/2024). Relawan biasanya tidak memiliki ikatan formal dengan sebuah lembaga dan juga mereka tidak memiliki SK dari pihak yang berwenang. Hal ini yang mendasari keberlanjutan relawan dalam sebuah program menjadi ironi, termasuk dalam program TB. Mereka dapat melakukan ghosting atau datang pergi selama berjalannya program. Tentu ini menjadi PR bersama mengenai pengelolaan atau manajemen relawan TB.
Penyampaian menarik ini terdapat dalam program Ngabuburit Ngobrol TBC.yang diadakan oleh jejaring Lokadaya. Pada pertemuan keempat ini, Lokadaya mengambil tema “Potensi dan Opsi Manajemen Relawan TB” dengan Anggoro Budi Prasetyo, peneliti dan Direktur eksekutif Pujiono Centre, sebagai narasumber.
Mayoritas OMS yang mau tergabung menjadi relawan biasanya dalam tahap mengerjakan dan bersinggungan langsung dengan isu TB. Jadi bukan hanya didasari sebagai individu yang peduli, tetapi juga sebagai lembaga yang sedang menggarap program TB.
Program TB itu tidak serta merta membicarakan tentang kesehatan, tetapi juga ada isu pendidikan, serta isu sosial did alamnya. Nah ini merupakan bagian dari peran relawan dalam mendukung program TB. Oleh karena itu, relawan tidak harus mengerti tentang kesehatan pada kasus TB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pujiono Centre, cukup banyak pihak yang potensial menjadi relawan TB. Pihak tersebut tidak hanya berperan di dalam penanganan pasien secara langsung, tetapi dapat berperan di ranah influencer, fundraiser, edukator dan administrator.
Pihak yang berpotensi menjadi relawan terbagi menjadi dua yaitu kategori perorangan dan kategori lembaga. Dalam kategori perorangan meliputi:
– Perorangan non-struktur
– Perorangan dari organisasi
– Perangkat desa
– Petugas kesehatan
– Anggota organisasi kemasyarakatan
– Warga umum
Sementara untuk kategori lembaga/pemerintah, meliputi:
– Lembaga kemasyarakatan
– Lembaga sosial
– Lembaga khusus TB
– Lembaga pendidikan
– Lembaga pemberdayaan wanita
– Lembaga kemanusiaan
– Organisasi profesi
– Lembaga Pramuka
Anggoro menyampaikan sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang relawan TB. Selain itu, masih terdapat kerancuan konsep kader dan relawan TB. Rekomendasi yang Ia berikan adalah kita perlu mempertegas fungsi dan peran relawan dalam upaya eliminasi TB dan mengadvokasi kebijakan payung di tingkat nasional tentang peran dan fungsi relawan TB.
Pada sesi tanya jawab, terdapat pertanyaan menarik terkait fenomena hilang timbulnya relawan dalam proses berjalannya program TB. Sepertinya permasalahan ini diamini oleh banyak pelaksana program TB di Indonesia. Menurut Anggoro, dalam hal pengelolaan relawan sebaiknya kita gunakan kontrak kerja yang harus didiskusikan sejak awal. Kontrak ini bukan hanya terkait durasi kerja, tetapi juga jobdesc apa saja yang dapat dilakukan sesuai passion mereka.
Ngabuburit dengan obrolan berkualitas ini dapat kita simak secara lengkap di kanal Youtube Lokadaya. (*ari)