Jakarta (24/1/2024). Tantangan terberat dalam eliminasi TB pada perempuan yaitu adanya pikiran berlebih tentang tanggung jawab seorang ibu. Pengalaman lapangan berbicara, isu tersebut mengakibatkan mereka telat dalam mengakses fasilitas kesehatan. Padahal hal ini tentu berbahaya karena dapat meningkatkan kasus penularan TB pada anak, keluarga, dan sekitarnya.
Pernyataan menarik ini terungkap dalam webinar kelima program Program accelerate (Advancing Community Consortium Efforts to Leverage and Advocate TB Elimination). Program ini merupakan kerjasama Lokadaya dan Penabulu Foundation, serta didukung oleh UNOPS. Tema yang diambil pada sesi ini adalah Mewujudkan Perempuan dan Anak Bebas Tuberkulosis.
Narasumber utama pada webinar kali ini ialah seorang dosen kesejahteraan sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tuti Alawiyah. Di awal pemaparannya, Tuti membandingkan negara kita dengan negara maju mengenai penanganan TB. Di luar negeri isu tentang health dan human service merupakan satu kesatuan. Seperti di Amerika, Departemen kesehatan dan departemen sosial itu bergabung menjadi Health and Human Services Department. Mereka terintegrasi sebagai layanan services dari pemerintah. Tidak seperti di Indonesia, yang mana Kemenkes dan Kemensos berdiri sendiri. Ada kalanya seorang pasien TB tidak mendapat PKH (Program Keluarga Harapan) karena data yang tidak sinkron antara Kemensos dan Kemenkes. “Padahal isu health dan human service itu dekat, karena pasien dengan penyakit kronis seperti TB membutuhkan keduanya, tentu harus mendapatkan layanan kesehatan dan juga layanan sosialnya”, ujar Tuti
Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta webinar mempertanyakan mengapa isu stunting itu lebih sensasional dibanding penanganan TB. Lalu, narasumber membenarkan dan menganggap gizi buruk juga termasuk faktor resiko seorang anak terkena TB. Harusnya sewaktu mengintervensi stunting, fasilitas kesehatan sekaligus melakukan tes TB di keluarganya. “Ini adalah hal yang biasa terjadi di negara kita, karena biasanya mengatasi masalah by project“, jawab Tuti
Selain itu, terdapat gap gender di dalam isu TB bahwa lebih banyak ditemukan kasus TB pada laki-laki daripada perempuan. Padahal ini belum tentu 100% benar. Kemungkinan ada perempuan yang terkena TB laten, atau merasa harus sehat sebagai seorang ibu karena merasa memiliki tanggung jawab dalam rumah tangga sehingga enggan mendatangi layanan kesehatan. Faktanya, banyak perempuan yang telah menjadi survivor TB, setelah sembuh mereka menjadi agen perubahan serta menjadi promotor TB di komunitasnya. Hal ini berbeda dengan laki-laki, mereka biasanya akan kembali bekerja setelah sembuh.
Diperlukan kebijakan khusus dari pemerintah dalam menanggulangi TB perempuan dan anak, seperti Perpres 67 tahun 2021 yang mana Kementerian pemberdayaan perempuan tidak dilibatkan dalam penanggulangan TB seperti kementerian lain. Menurut Tuti ini dibutuhkan karena bicara tentang Keadilan gender, tentu kita tahu bahwa pasien TB perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan pasien TB laki-laki.
Praktik baik yang dapat kita ambil contoh adalah program TB Aisyiyah yang berkolaborasi dengan Global Fund pada tahun 2018-2020. Ibu-ibu Aisyiyah telah bekerja keras dan turut andil dalam menurunkan kasus TB. Aisyiyah juga bekerjasama dengan Rumah sakit Muhammadiyah untuk melakukan treatment TBC.
Di akhir acara, Tuti berterimakasih kepada para kader TB yang luar biasa, mereka berjuang tanpa takut dalam mengeliminasi kasus TB. “Semoga target pemerintah tercapai, bahwa di tahun 2030 kasus TB turun dari 385/100ribu jiwa menjadi 65/100ribu jiwa penduduk”, pungkas Tuti
Paparan Tuti Alawiyah dan diskusi webinar sore itu dapat ditonton secara lengkap di kanal youtube Lokadaya. (*ari)