Mendengar kata akuntabilitas jamak orang acap kali spontan teringat pada audit keuangan. Secara asosiatif, akuntabilitas kemudian berkonotasi pada kegiatan formal kelembagaan. Padahal, kenyataannya tak sesempit itu. Ibarat sebuah pohon, akuntabilitas terletak pada akar, sebab ia merupakan nilai, prinsip, dan fondasi. Akuntabilitas, pertama dan terutama, bermula dari persona, baru kemudian organisasi.
Sugiarto Arif Santoso, fasilitator diskusi Menjadi Indonesia dan Lokadaya seri kedua, menganalogikan komponen akuntabilitas seperti akar pohon. Dalam diskusi bertemakan Peningkatan Akuntabilitas Masyarakat Sipil pada Selasa (23/01) di Zoom itu Sugiarto menuturkan, bila akuntabilitas berada di akar maka batangnya merupakan struktur dan dedaunnya mencerminkan dampak.
“Di daun, cerminan dampak ini ditimbulkan oleh arena masyarakat sipil. Juga aktivitas OMS terhadap kehidupan orang-per-orang dan masyarakat luas atau penilaian kinerja masyarakat sebagai arena yang efektif untuk memecahkan problem Ekosospol. Di daun ini terlihat melayani kepentingan bersama,” katanya.
Sugiarto berpendapat, OMS yang akuntabel itu bermakna mampu menunjukkan komitmennya pada nilai-nilai demokrasi dan turut membangun masyarakat sipil untuk masa depan yang lebih baik. “Jadi, organisasi yang akuntabel itu harus transparan dalam menyampaikan kegiatan dan anggarannya agar dapat diawasi oleh publik, penyandang dana, penerima manfaat, dan pihak lainnya,” tutur Sugiarto lebih lanjut.
Ia mengimbuhkan prinsip akuntabilitas. Pimpinan dan staf hendaknya bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya, memastikan kepatuhan pada peraturan, dan mencapai tujuan organisasi dengan jujur, transparan, serta inovatif.
Sementara itu, ditilik dari segi jenisnya, hemat Sugiarto, akuntabilitas dibagi tiga. Pertama, akuntabilitas ke atas: OMS bertanggung jawab kepada lembaga donor dan pemerintah. Kedua, akuntabilitas internal: OMS bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Ketiga, akuntabilitas ke bawah: OMS bertanggung jawab kepada anggota-anggotanya, konstituennya, atau kelompok masyarakat penerima manfaat.
Dalam paparannya, Sugiarto melansir model akuntabilitas Konsil LSM Indonesia. Pada tahun 2015, Konsil LSM Indonesia mengembangkan Standar Minimal Akuntabilitas (SMA) berdasarkan Kode Etik LSM. SMA digunakan untuk menilai tingkat akuntabilitas minimal OMS. Menurut Konsil LSM Indonesia, terdapat empat dimensi akuntabilitas: transparansi, partisipasi, evaluasi, dan mekanisme pengaduan.
“Sebuah organisasi yang sukses perlu memiliki beberapa elemen kunci. Hal ini termasuk memiliki sistem organisasi yang efektif, jaringan yang luas, mendapatkan dukungan pendanaan baik dari sumber internasional maupun domestik, memperoleh kepercayaan dari stakeholder dan/atau publik, memiliki posisi tawar, serta berkelanjutan,” terang Sugiarto.
Manakala memasuki sesi tanya-jawab, salah seorang audiens menyodorkan refleksi. “Dulu, beberapa tahun lalu, ketika donor selesai ya programnya selesai. Masyarakat hanya kita jadikan sebagai objek. Tapi hak mereka berupa reward kami sampaikan secara transparan, pasien juga kita dampingi. Semua akuntabel. Tetapi yang membuat gundah selama ini, dan saya merasa berdosa, saya bersalah, ini ya soal pertanggungjawaban akuntabilitas ke masyarakat,” ujar Zainal.
Merespons refleksi yang berimplikasi pada pertanyaan itu, Sugiarto mewedarkan, “Sebagai organisasi pembelajar, kita jatuh-bangun, bukan merasa kita dosa, dan forum ini menjadi sarana belajar kita. Agar pemberdayaan masyarakat jalan terus, walau donor telah selesai, sebaiknya kita bikin modelling jangka panjang dan berkelanjutan,” tandasnya.
Pemodelan berjangka panjang ini mengindahkan prinsip visi-misi organisasi. Ia tak hanya mengaraskan pada proyek organisasi yang barangkali temporal. “Karena kalau kita bicara visi dan misi organisasi, OMS kan badan publik. Jadi, itu haknya publik. Kita perlu sampaikan ini ke masyarakat. Sehingga masyarakat tahu bahwa dampak sosialnya ke mereka bukan sebatas proyek semata,” pungkas Sugiarto. (RKP).