Skip to main content

Jakarta (14/10) –Jejaring Lokadaya dan Yayasan Pujiono Centre Indonesia mengadakan seri pelatihan Mobilisasi Sumber Daya Lokal Berbasis Pengelolaan Risiko Bencana secara daring. Pelatihan Sesi Pengantar IV tentang Pengelolaan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim yang Inklusif ini diadakan pada Jum’at (13/10) melalui Zoom Meeting.

Berbagai peristiwa atau kejadian akibat perubahan iklim sudah banyak terjadi di Indonesia. Diramalkan tahun 2050 akan terjadi perubahan suhu ekstrem sehingga mengakibatkan kekeringan dan kebakaran hutan yang lebih meluas. Kemudian permukaan laut naik, menenggelamkan kota-kota di pesisir, dan padat penduduk.

Koordinator Perhimpunan Sanggabuana Sofyan sebagai narasumber turut menyebutkan siklus El Nino pun juga berubah akibat perubahan iklim. Semula, saat kondisi atmosfer masih baik, El Nino bisa terjadi setiap 8-12 tahun sekali. Namun saat ini siklusnya lebih pendek sehingga manusia di Bumi mengalami dampak El Nino setiap 4 tahun.

“Tanda-tanda dampak perubahan iklim ekstrem bisa saja terjadi sebelum tahun 2050 kalau upaya-upaya mitigasi dan adaptasi tidak dilakukan,” jelasnya.

Sofyan melanjutkan keterkaitan perubahan iklim dengan bencana ada pada variabel pembentuk risiko bencana, antara lain bahaya (hazard), kerentanan (vulnerable), paparan (exposure), dan kapasitas. Faktor bahaya pada geologis, misalnya, Sofyan menyampaikan hasil penelitian oleh para ahli geologi di Inggris bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi percepatan atau tumbuhnya gempa bumi.

Maka pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim yang inklusif menjadi penting. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Perhimpunan Sanggabuana tentang wilayah rawan bencana di Indonesia pada tahun 2007, hasilnya menunjukkan bahwa 98 persen daerah di Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Pada konteks ini, Sofyan menekankan pengelolaan risiko bencana wajib dilakukan dan menjadi suatu keharusan.

Perubahan iklim familiar dengan respon mitigasi dan adaptasi dalam menyikapi hal tersebut. Banyak upaya yang seolah-olah adalah respon mitigasi atau adaptasi pada pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim tapi ternyata memiliki dampak negatif terhadap tujuan besarnya, yaitu mengelola risiko bencana atau merespon dampak perubahan iklim.

Kerja pengelolaan risiko bencana dalam konteks perubahan iklim perlu memperhatikan inklusifitas. Tidak boleh ada kelompok masyarakat yang termarjinalkan. “Jangan sampai kita fokus pada kelompok marjinal sampai mengabaikan kelompok yang tidak rentan,” kata Sofyan.