Jakarta (22/11/2024). Penting bagi OMS untuk terus merawat dan meningkatkan kredibilitasnya, salah satu usaha rasional adalah mencegah dan meminimalisir adanya kasus di lingkungan masing-masing. Termasuk kasus pelecehan dan eksploitasi seksual.
Beberapa kasus pelecehan dan eksploitasi seksual di ekosistem OMS tercatat muncul dalam kerja-kerja kemanusiaan. Potensi terjadinya kasus dapat muncul dari adanya relasi kuasa antara dan pekerja (staf) OMS dan penerima manfaat, terutama wanita dan anak-anak.
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Ahmad Hidayat selaku Direktur Utama PKBI Nusa Tenggara Barat, saat diminta membagikan ilmunya pada program Kyutri dengan tajuk “Menciptakan Ruang Aman Bebas Eksploitasi dan Pelecehan Seksual”. Program 3 jam kelas berbagi ini adalah kerjasama antara Co-Evolve, Lokadaya, dan Lingkar 9.
PBB dan organisasi internasional merespons banyaknya kasus pelecehan dan eksploitasi seksual dengan PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse) sebagai standar etika baru di lingkungan OMS. Hal ini terpantik dari tahun 2002 saat banyak laporan eksploitasi seksual di sektor kemanusiaan, khususnya di Afrika Barat. Berdasarkan investigasi, pelecehan dan eksploitasi justru banyak terjadi di internal pekerja kemanusiaan, juga para penerima manfaat kerja kemanusiaan.
Definisi PSEA sendiri terdiri dari 2 komponen yaitu eksploitasi dan pelecehan seksual. Bahkan di UNICEF ditambahkan satu komponen lagi yaitu perlakuan salah seksual pada anak-anak. Prinsip dasar PSEA adalah akuntabilitas penuh dari semua pihak yang terlibat tidak hanya lembaga atau pihak yang diadukan. Semua tahap harus jelas mulai dari pelaporan, mekanisme, proses investigasinya, dan masih banyak lagi. Selain itu, OMS harus menjamin keamanan pelapor agar tidak ada tindakan balasan dari yang dilaporkan.
Selain itu, mekanisme pelaporan juga harus diatur. Pertama, OMS wajib menyediakan saluran yang aman untuk pengaduan (hotline, email rahasia). Kedua, jaminan kerahasiaan dan perlindungan terhadap pelapor. Hal yang juga tak kalah penting adalah memastikan semua staff berani lapor jika ada tindakan pelecehan ataupun eksploitasi. Tentu ini wajib, walaupun belum cukup bukti karena ada tim investigasi yang akan mencari bukti tersebut. Dayat khawatir jika tindakan seksual ini didiamkan justru akan berimplikasi buruk pada korban.
Semua staff harus diedukasi secara memadahi tentang kode etik di lingkungannya. Materi pelatihannya meliputi etika kerja dalam organisasi kemanusiaan dan cara menangani laporan PSEA dengan sensitif.
Menurut Dayat, komitmen bersama yang harus ditanamkan pada diri masing-masing meliputi:
- melindungi penerima manfaat, staff dan komunitas
- merevisi kebijakan organisasi
- mengevaluasi mekanisme pelaporan
- menyerukan untuk bertindak, bahwa PSEA bukan hanya kebijakan , tetapi tanggung jawab moral masing-masing.
Di sesi tanya jawab terdapat pertanyaan mengenai grooming. Isu ini seperti kasus seorang staf yang melakukan grooming terhadap anak penerima manfaat saat menjalankan tugas. Grooming adalah manipulasi psikologis yang tujuannya agar si calon korban percaya kepada pelaku. Grooming ini masuk dalam lingkup PSEA dan masuk kategori perlakuan salah seksual di UNICEF. Dayat menambahkan bahwa Grooming merupakan siklus eksploitasi seksual karena menjadi langkah awal terjadinya eksploitasi ataupun pelecehan seksual. Grooming masuk dalam hukum positif eksploitasi non fisik, namun sayangnya untuk membuktikannya pun tidak mudah.
Sebagai pernyataan pamungkas, Dayat menjelaskan alasan mengapa lembaga yang ingin mengajukan hibah kepada donor harus melengkapi SOP PSEA. Persyaratan ini wajib dilakukan walaupun tidak semua lembaga mengangkat isu wanita dan anak. Hal ini karena kelompok penerima manfaat kebanyakan masyarakat rentan yang beresiko mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan terkait pelecehan seksual.
Kyutri seri PSEA ini dapat diakses secara menyeluruh di kanal Youtube Lokadaya.(*ari)