Jakarta (29/11) – Jejaring Lokadaya dan Menjadi Indonesia menyelenggarakan seri diskusi bertajuk Pilar Akuntabilitas, Visibilitas, dan Keberlanjutan OMS Indonesia. Sugiarto Arif Santoso, Direktur CSRO Penabulu, mengawali sesi pertama dengan Peran Strategis OMS dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat pada Selasa (16/021) di Zoom Meeting.
Dihadiri oleh OMS tingkat SR, SSR, dan IU yang tengah mengerjakan isu Eliminasi TBC. Eko Komara, Direktur Eksekutif Penabulu, memberikan pengantar dengan mendudukkan kembali posisi komunitas sebagai entitas dari elemen masyarakat sipil. Ia menegaskan betapa masyarakat sipil hendaknya menjadi penyeimbang bagi pembangunan di Indonesia.
“Tentu saja di satu sisi ada elemen pemerintah dan swasta yang punya tendensi untuk bersama-sama dalam dinamika pembangunan. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan swasta di wilayah pemegang modal. Begitu pun civil society, yakni harus menjadi penyeimbang atas nama masyarakat,” ucap Eko.
Authorized Signatory (AS) PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI ini menaruh harapan pada pundak audiens agar mereka tak hanya mengurusi Eliminasi TBC. Ia menggadang agar SR, SSR, dan IU juga turut menjaga dari ihwal demokrasi hingga pemenuhan hak warga. “Semoga diskusi ini bermanfaat dan feel free buat teman-teman untuk mendiskusikan apa saja,” harapnya.
Selama tiga puluh menit Sugiarto membentangkan masalah OMS dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ia membuka paparannya dengan membidik sejarah OMS. Menurutnya, sebelum istilah OMS mengarus utama, muncul istilah Ornop (Organisasi Non-Pemerintah), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan LPSDM (Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia). Sebagai istilah, ia menyejarah bersamaan dengan dinamika pengorganisasian masyarakat di Indonesia.
Masyarakat sipil, hemat Sugiarto, merupakan sebuah arena di luar keluarga, negara, dan pasar. Kata “arena” ini menandai sejumlah orang untuk berkelompok. Mereka sama-sama tergerak atas atau melalui kepentingan bersama. “Penekanannya pada orang-orang yang berkelompok dalam memperluas ruang publik. Dan, di sini poinnya, berbagai nilai sosial dan kepentingan masyarakat bertemu,” ungkapnya lebih lanjut.
OMS punya peran strategis. Menurut Sugiarto, setidaknya ada empat hal. Pertama, pemberdayaan masyarakat. Cakupan ini meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dalam mengatasi problem sosial. Kedua, inovasi dan kolaborasi yang bertujuan untuk mendorong ide baru serta kerja sama dengan berbagai pihak demi tujuan kolektif.
“Yang ketiga itu advokasi dan pemantauan. Ini mendukung perubahan kebijakan dan mengawasi pelaksanaan program pemerintah. Dan keempat, ini kaitannya dengan pengembangan pengetahuan. Misalnya, mendukung perubahan kebijakan dan mengawasi pelaksanaan program pemerintah,” tutur Sugiarto.
Selepas paparan narasumber, beberapa pertanyaan mengemuka. Audiens gayung bersambut dengan mengajukan refleksi dan pertanyaan. Antara lain pertanyaan dari Merly Yuanda (Manajer SR Provinsi Bengkulu). Ia bertanya seberapa jauh posisi aktivis OMS di tengah kerja advokasi. “Yang saya tangkap advokasi ini memiliki prinsip-prinsip oposisi,” tandasnya.
Sugiarto merespons pertanyaan itu dengan menyodorkan kata kunci “critical engagement” dalam kinerja advokasi. “Kalau dalam bahasa projeknya itu Penta Helix. Cuma bahasa kita adalah advokasi kebijakan,” ujarnya. Ia mengajukan konsep kemitraan. Sebab, kerja advokasi dan pengorganisasian masyarakat memiliki perbedaan strategi. “Ya strategi kita adalah berkolaborasi dengan organisasi lain yang terbiasa advokasi,” kata Sugiarto.
Penguatan serta pengembangan jaringan ini menjadi salah satu rekomendasi peningkatan peran dan dampak OMS, di samping penguatan kapasitas, advokasi dan perubahan kebijakan, maupun kerelawanan dan kepedulian sosial.
Acara berlangsung selama dua jam. Dipungkasi pada pukul 11.00 WIB dengan berfoto bersama. (RKP).