“Diskusi ini menguak strategi baru dan tantangan kritis yang tengah dihadapi OMS dalam upaya mobilisasi sumber daya untuk menjaga keberlanjutan organisasi di tengah semakin menyempitnya ruang sipil dan meningkatnya tekanan eksternal”
Jejaring Lokadaya Nusantara menyelenggarakan diskusi bertema “Serial Mobilisasi Sumber Daya dan Keberlanjutan Organisasi” pada Jumat (18/10) melalui platform Zoom. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 70 peserta yang berasal dari berbagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di seluruh Indonesia. Sebagai narasumber utama, Frans Toegimin dari Yayasan SPEAK Indonesia memimpin diskusi yang membahas isu-isu strategis terkait mobilisasi sumber daya dan keberlanjutan organisasi.
Frans Toegimin membuka diskusi dengan pernyataan yang menggugah: “Masa depan tidak diramalkan atau diperkirakan – masa depan perlu dibentuk. Kita perlu membentuk masa depan kita sendiri,” tegasnya. Pernyataan Frans yang disitir dari Yanuar Nugroho ini menekankan pentingnya peran aktif OMS dalam menentukan arah gerak mereka di masa depan.
Diskusi ini mengangkat isu klasik yang masih relevan bagi OMS, yakni mobilisasi sumber daya. Frans menegaskan bahwa setiap pengiat OMS memahami pentingnya mobilisasi sumber daya untuk menjaga keberlangsungan lembaga dan aktivitas mereka. “Organisasi harus menjadi instrumen yang akuntabel dan strategis,” ujarnya, menekankan bahwa meskipun organisasi adalah alat untuk melaksanakan program, mereka harus berfungsi dengan efektif dan bertanggung jawab.
Para peserta juga diajak untuk merefleksikan kondisi OMS saat ini berdasarkan berbagai sumber seperti CSOSI Indeks (Konsil LSM Indonesia), OCPAT Yappika (Action Aid), Indeks Demokrasi Indonesia (Bappenas), dan Hasil Indonesia Civil Society Forum (ICSF) 2024. Temuan dari ICSF Regional mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi OMS, termasuk keterbatasan partisipasi di ruang publik, intimidasi terhadap aktivis, dan dominasi patriarki serta hirarki dalam struktur organisasi.
Frans menyoroti bahwa ruang partisipasi yang ada acap kali tak memberikan kontribusi nyata. Representasi kelompok minoritas dan marginal hanya bersifat simbolis, dan ada kesenjangan yang signifikan antara isu masyarakat dengan perhatian pemerintah. Frans juga mencatat minimnya ruang komunikasi dan sumber pendanaan yang memadai, yang sering kali menghambat operasional OMS.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi OMS adalah rendahnya minat generasi muda untuk bergiat dan bergabung. Frans mengungkapkan bahwa kekosongan figur pemimpin dan keterbatasan akses teknologi, terutama bagi kelompok marginal, menambah kompleksitas situasi ini. “Kita perlu mencari cara untuk menarik minat generasi muda dan meningkatkan partisipasi mereka dalam organisasi,” katanya.
Selain itu, Frans juga menyoroti kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpengalaman, dokumen pendukung yang tak lengkap, dan kesulitan pendanaan yang berkelanjutan sebagai masalah nyata yang dihadapi OMS saat ini. Dia menekankan bahwa OMS kerap kali disalahgunakan untuk isu politik, kendatipun mereka dipandang sebagai mitra penting dalam isu sosial. Namun, penyempitan ruang sipil akibat kecenderungan pemerintah yang anti-kritik menjadi tantangan tersendiri.
Data dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan penurunan skor demokrasi elektoral Indonesia dari 0,67 di akhir pemerintahan SBY (2014) menjadi 0,54 pada 2023 di bawah pemerintahan Joko Widodo. “Penurunan ini adalah tantangan besar bagi OMS,” ujar Frans, “dan kita harus bekerja keras untuk membalikkan tren ini.”
Diskusi ini juga memberikan perhatian khusus pada pentingnya memperluas strategi mobilisasi sumber daya dengan meningkatkan efektivitas keterlibatan masyarakat. Frans menjelaskan bahwa keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam dialog dan kolaborasi dengan pemerintah merupakan kunci keberhasilan. “Partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah cara penting untuk terlibat secara konstruktif,” jelasnya. Dia menggarisbawahi perlunya pengawasan dan akuntabilitas yang kuat untuk memastikan transparansi pemerintah.
Kolaborasi dalam implementasi program dan advokasi kebijakan juga menjadi fokus diskusi. Frans menyarankan strategi komunikasi dan kampanye yang efektif untuk mendorong perubahan kebijakan, serta pentingnya mobilisasi dukungan yang sistematis untuk mempengaruhi berbagai pemangku kepentingan.
Peserta diskusi juga gayung bersambut secaraa aktif dengan mengajukan pertanyaan dan pandangan mereka. Waklim mengangkat isu dana pemerintah yang sulit diakses oleh CSO lokal, menyebutkan bahwa “CSO di daerah biasanya sulit mendapat informasi.” Ijun dari Suar menanyakan peluang kewirausahaan sosial sebagai strategi mobilisasi sumber daya menuju keberlanjutan organisasi. “Bagaimana peluang bagi kita untuk mobilisasi sumber daya?” tanyanya.
Budiman dari Suar Indonesia menyoroti persaingan antara organisasi payung dan lokal, dengan mengatakan, “Organisasi payung saat ini menjadi kompetitor organisasi lokal dalam program di semua isu.” Heri YTT dari Kapuas, Kalteng, berharap adanya forum di setiap provinsi untuk memfasilitasi kolaborasi lebih baik, menambahkan, “Di Kalteng banyak LSM dari luar, kami berharap bisa menjadi mitra di daerah.”
Herwanto dari Eska mengemukakan kekhawatirannya tentang penggunaan Ormas oleh oknum pemerintah untuk melindungi praktik korupsi, yang membatasi ruang gerak OMS. “Hal ini membatasi ruang gerak OMS,” katanya. Trinirmala Ningrum mengangkat isu beberapa LSM yang mendirikan PT untuk mendukung pembiayaan, dengan catatan, “Saya rasa hal ini sah-sah saja, asal tidak mengganggu ideologi LSM.”
Diskusi ini menegaskan bahwa OMS menghadapi tantangan eksternal yang tak semakin ramah. Namun, Frans optimis bahwa dengan strategi secara tepat, OMS dapat terus berkembang dan berkelanjutan. Lokadaya Nusantara berencana mengadakan diskusi lanjutan pada seri-seri berikutnya dengan topik diversifikasi sumber daya dan mitigasi risiko keberlanjutan, serta strategi dan teknik mobilisasi sumber daya yang lebih efektif.
Dengan spirit kolaborasi dan inovasi, para peserta diskusi berkomitmen untuk terus memperjuangkan keberlanjutan organisasi mereka di tengah berbagai tantangan. “Kita harus terus belajar dan beradaptasi,” tegas Frans, “agar OMS dapat terus memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.”